BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah merupakan isu yang selalu hangat dibicarakan berbagai kalangan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia yang selama ini
bersifat sentralistik mengalami perubahan ke desentralisasi dengan titik berat otonomi daerah di kabupaten dan kota.
Kewenangan yang selama ini terkonsentrasi di tangan pemerintah pusat, saat ini sudah berada di tangan pemerintah daerah termasuk
menentukan kebijakan untuk membangun daerahnya. Dan
dalam implementasinya muncul berbagai tuntutan dari daerah, yang salah satunya
adalah tuntutan pemekaran daerah baik propinsi, kabupaten maupun kota sehingga Syamsudin Haris, 2005, 209 mengatakan memberi otonomi
daerah sebetulnya sama saja dengan mengizinkan berdirinya ratusan “negara mini”.
Riswandha Imawan 2005, 41 mengatakan bahwa bentuk konkret dari desentralisasi sebagai devolusi dan dekonsentrasi adalah adanya daerah otonom.
Ciri utama daerah otonom adalah adanya lembaga perwakilan daerah dan eksekutif yang berfungsi sebagai lembaga politik lokal.
1
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
Pendapat lain dari Ryaas Rasyid,dkk. 2003, 22 menekankan desentralisasi dan otonomi daerah juga merupakan pendidikan politik dimana
dengan adanya pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik.
Kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, baik dalam rangka memilih atau dipilih akan terbuka lebar asalkan dilakukan
secara demokratis. Namun kalau tidak secara demokratis, akan memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan menciptakan raja – raja kecil di daerah
bahkan mungkin penumpukan sumber – sumber kekuasan di tangan segelintir orang.
Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional, apalagi secara langsung ikut serta membentuk kebijakan publik secara
nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik
di daerah. Dalam kajian Hoover Institute TB Bottomore, 2006, 10
digambarkan bahwa elit politik terdiri dari para pemegang kekuasaan suatu lembaga politik. Para pemegang kekuasaan mencakup kepemimpinan dan
formasi sosial yang biasanya merupakan asal – usul para pemimpin dan kepadanya diberikan pertanggungjawaban, selama suatu jangka waktu
tertentu. Itulah arti penting demokrasi politik yang menekankan bahwa posisi – posisi kekuasaan dalam masyarakat secara prinsip harus terbuka bagi setiap orang
dan ada kompetisi untuk memperoleh kekuasaan itu. Selain itu, dari para
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
pemegang kekuasaan itu setiap saat dapat dimintai pertanggungjawaban oleh para pemilihnya.
Pendapat di atas sejalan dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan pembentukan daerah antara lain
mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, penunjukan penjabat kepala
daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen serta perangkat daerah.
Berdasarkan pengamatan selama ini, dengan terbentuknya daerah otonom baru maka proses pengisian jabatan elit politik lokal merupakan aspek yang
mendominasi gerak kehidupan masyarakat. Sebagai salah satu wujud dari desentralisasi dan otonomi daerah, pembentukan daerah otonom baru sering
menjadi pro - kontra dimana sebagian pihak masih meragukan kemampuan daerah tersebut termasuk kesiapan masyarakatnya menerima berbagai hak dan
wewenangnya walau di lain pihak merasa optimis akan kemampuan dan kesiapan masyarakatnya menerima semua hak dan wewenang yang diberikan termasuk
pelaksanaan demokrasi tingkat lokal. Di daerah otonom baru, pengisian jabatan politik yang diartikan sebagai
orang-orang yang akan memerintah di daerah tersebut atau lebih dikenal dengan sebutan elit politik lokal yang dipilih melalui Pemilu Pemilihan Umum dan
Pilkada Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung merupakan permasalahan cukup menarik ditelusuri karena pengisian pejabat
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
pemegang kekuasaan tidak bisa dihindari bahkan sudah diamanahkan undang- undang pemerintahan daerah.
Kajian perkembangan politik lokal cukup menarik dibahas karena selama pemerintahan otoriter, kekuatan politik di luar negara ditekan dan dimatikan.
Peran negara yang begitu kuat di masa lalu menyebabkan tidak memungkinkan kekuatan-kekuatan politik di luar kelompok elit yang memerintah berpartisipasi
dalam proses sirkulasi elit. Namun saat ini sudah berubah dimana untuk menjadi elit politik lokal pasca regim otoriter telah dimungkinkan terjadinya berbagai
interaksi politik yang berbeda kepentingan baik di tingkat lokal maupun nasional. Mengenai batasan elit politik lokal ini, Moch Nurhasim Ed. 2005, 12-
13 membagi dua kategori elit dalam konteks lokal yakni elit politik lokal dan non-elit politik lokal.
A. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik kekuasaan di eksekutif, legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum
dalam proses politik yang demokratis. Mereka menduduki jabatan politik di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik seperti gubernur,
bupati, ketua DPRD dan pimpinan partai politik.
B. Sedang elit non-politik adalah seseorang yang menduduki jabatan- jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam
lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti elit keagamaan, kepemudaan, profesi dan lainnya.
Dalam kenyataannya, pemekaran kabupaten sebagai daerah otonom baru, telah membuka peluang untuk berkompetisi menjadi elit politik lokal , baik
sebagai anggota legislatif maupun kepala daerah. Masyarakat lokal pun akan diberi kesempatan untuk dipilih dan memilih calonnya yang akan duduk di
keanggotaan DPRD.
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
Secara prinsip, desentralisasi dan otonomi daerah telah memberi ruang kesempatan politik yang cukup luas bagi masyarakat lokal. Khusus di daerah
otonom baru, proses pemilihan elit politik lokal merupakan salah satu aspek politik lokal yang cukup penting karena masyarakat akan memilih wakil-wakilnya
untuk duduk di lembaga legislatif yang akan merumuskan berbagai kebijakan bersama kepala daerah.
Hal ini seiring dengan konsep demokratisasi dalam otonomi daerah yang antara lain diwujudkan melalui rekrutmen politik lokal secara terbuka dan
kompetitif. Pemilihan anggota dewan dan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah menjadi domain masyarakat daerah melalui Pemilu legislatif dan Pilkada
Langsung. Dalam kaitan ini, perspektif desentralisasi politik political
decentralisation perspective atau dikenal dengan istilah devolusi menjadi perhatian utama. Bagi daerah otonom baru, pendapat Dahl yang dikutip Syarif
Hidayat 2004, 52 cukup menarik disimak. Untuk mencapai devolusi kekuasaan tersebut, pemerintah daerah harus
memiliki teritorial kekuasaan yang jelas legal teritorial of power , memiliki pendapatan daerah sendiri local own income , memiliki lembaga perwakilan
rakyat local representative body yang berfungsi mengontrol eksekutif daerah dan adanya kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui
mekanisme pemilihan umum.
Merujuk berbagai pendapat terdahulu, maka dalam penelitian ini nantinya akan dianalisis apakah pemekaran daerah sudah benar-benar secara terbuka dan
kompetitif digunakan sebagai proses memunculkan elit-elit politik lokal di daerah otonom baru. Hal ini perlu diteliti karena proses memunculkan elit politik lokal
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
baik di lembaga legislatif akan terkait dengan pencapaian tujuan untuk mempercepat pembangunan di daerah otonom baru tersebut.
Ditinjau dari perundang – undangan bahwa DPRD dan kepala daerah merupakan pihak yang punya kewenangan untuk merumuskan dan menentukan
berbagai kebijakan di daerah tersebut karena sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang memberi kesempatan kepada daerah untuk menentukan nasibnya
sendiri. Namun dalam implementasi otonomi daerah ini, baik pemerintah daerah dan DPRD harus sadar bahwa pemilik dan pengelolanya bukan hanya di tangan
kedua lembaga tersebut tetapi seluruh rakyat daerah. Menurut Sutoro Eko 2004, 45, otonomi daerah merupakan otonomi bagi
rakyat daerah, otonomi bukan hanya milik pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah dan DPRD mempunyai kewenangan karena desentralisasi, keduanya tidak
bisa hanya memainkan legitimasi formal tetapi juga harus mempunyai legitimasi politik dari rakyat daerah, yang artinya harus dimanfaatkan untuk kepentingan
rakyat. Berkaitan dengan judul tesis yang akan meneliti dampak pemekaran
sebagai salah satu tuntutan pelaksanaan desentralisasi yang menekankan otonomi daerah maka pemekaran Kabupaten Samosir menarik untuk didalami. Dalam
penelitian ini, penulis membatasi proses munculnya anggota DPRD sebagai elit politik lokal karena ditinjau dari sudut peluang dan kompetisi, dalam pemilihan
umum legislatif tersebutlah masyarakat terlibat secara aktif dan pasif.
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
Penulis menjadikan Kabupaten Samosir sebagai lokasi penelitian yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir Tobasa .
Kabupaten Samosir dengan luas wilayah 1.419,05 Km
2
dan jumlah penduduk 130.078 jiwa diresmikan melalui Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2003, yang
tentunya sudah melalui proses dan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Peresmian Kabupaten Samosir, waktunya sangat berdekatan dengan
pelaksanaan Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu sehingga bagi penulis merupakan salah satu pertimbangan untuk menjadikan lokasi penelitian. Dengan waktu yang
tidak begitu lama antara peresmian daerah otonom baru dengan pelaksanaan pemilihan umum legislatif, masyarakat Kabupaten Samosir sudah dihadapkan
untuk memilih anggota DPRD-nya. Dalam tesis ini juga diteliti kesiapan anggota masyarakat dalam
menggunakan hak memilih dan dipilih menjadi calon legislatif melalui mekanisme Pemilu. Termasuk juga kesiapan partai – partai politik untuk
melakukan rekrutmen dan seleksi calon legislatif di Kabupaten Samosir sebagai kabupaten baru pada saat Pemilu Tahun 2004 lalu.
Sesuai pasal 50 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR,DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten Kota , jumlah kursi
anggota DPRD yang akan diperbutkan di Kabupaten Samosir sebanyak 25 kursi.
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
Secara umum digambarkan , untuk memperebutkan 25 kursi tersebut, ternyata hanya 225 calon legislatif yang dicalonkan 20 partai politik berkompetisi
di 3 daerah pemilihan padahal jumlah pemilihnya mencapai 75.772 orang atau hanya 0,23 .
Melihat jumlah calon legislatif tersebut, dikaitkan dengan derasnya tuntutan pemekaran serta pendapat sementara pihak akan sorotan perebutan
kekuasaan yang bakal terjadi di daerah pemekaran, ternyata perbandingan antara jumlah calon legislatif dengan kursi yang diperebutkan sangat mencolok. Bila
lebih rinci, masing – masing partai politik hanya mampu mengajukan 11 orang lebih sebagai calon legislatif.
Menurut data di Komisi Pemilihan Umum KPU Kabupaten Samosir, perolehan kursi di DPRD Kabupaten Samosir terdistribusi untuk 11 partai politik
sehingga tidak ada partai politik yang dominan. Partai Golongan Karya Golkar dan PDI Perjuangan sebagai partai politik yang sudah cukup berpengalaman
dalam setiap pemilihan umum legislatif , hanya mampu meraih 7 kursi 28 yaitu 4 kursi untuk Partai Golkar dan 3 kursi diraih PDI Perjuangan .
Perolehan kursi justru didominasi partai - partai pendatang baru dengan menguasai 18 kursi 72 diantaranya PPD Partai Persatuan Daerah , PPDK
Partai Penegak Demokrasi Kebangsaan masing - masing 3 kursi. Kemudian disusul PNBK Partai Nasional Banteng Kemerdekaan , Partai Demokrat , PBSD
Partai Buruh Sosial Demokrat , Partai Patriot Pancasila dan PKPB Partai Karya Peduli Bangsa masing – masing 2 kursi. Sementara itu, PPIB Partai
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
Perhimpunan Indonesia Baru , PDS Partai Damai Sejahtera masing – masing meraih satu kursi.
Perbandingannya, saat
masih bergabung dengan Kabupaten Tobasa,
jumlah anggota dewan dari wilayah Samosir dengan 6 kecamatan pada Pemilu l999 lalu hanya 10 orang saja 6 orang PDI Perjuangan, 2 orang Partai Golkar
dan 2 orang Partai Katolik Demokrat Indonesia , yang berarti setelah terbentuknya Kabupaten Samosir bertambah 15 orang lagi.
Ditelusuri lebih jauh, dari 10 orang anggota legislatif hasil Pemilu Tahun 1999 asal wilayah Samosir, hanya 4 orang yang masih bertahan . Keempat orang
yang kembali terpilih sebagai anggota dewan itu, diantaranya ada masih bertahan dengan partai politik lama dan ada juga yang ‘melompat ’ ke partai politik ‘
pendatang’ karena partai politik lamanya tidak lolos verifikasi. Melihat data dari KPU Samosir di atas, jelas terlihat bahwa perolehan
kursi di DPRD Samosir menyebar walau perolehan kursi didominasi partai ‘ pendatang baru’. Perolehan kursi ini yang didominasi partai politik ‘ pendatang ‘
baru cukup menarik diteliti karena meski dalam tenggang waktu yang tidak lama, partai – partai politik tersebut ternyata mampu berkompetisi dengan partai politik
yang sudah mapan baik dari segi kepengurusan maupun pengkaderan. Secara ringkas digambarkan, perbandingan jumlah caleg calon legislatif
per partai politik dengan perolehan kursi pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu. Partai Golongan Karya 21 orang caleg meraih 4 kursi 19 , PDI – Perjuangan
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
mengajukan 23 orang caleg dengan perolehan 3 kursi 13,4 , Partai Persatuan Daerah PPD sebanyak 22 orang meraih 3 kursi 13,6 .
Kemudian PPIB Partai Perhimpunan Indonesia Baru dengan 16 calon legislatif hanya mampu meraih satu kursi 6,2 , Partai Damai Sejahtera 15
caleg juga cuma satu kursi 6,6 . Sementara, PPDK dengan jumlah caleg 12 orang, mampu meraih 3 kursi 25 , PKPB dengan jumlah calon 8 orang ,
mampu merebut 2 kursi 25 dan PBSD Partai Buruh Sosial Demokrat dengan 8 orang caleg berhasil merebut 2 kursi 25 .
Jumlah caleg per daerah pemilihan Dapem yang diajukan partai politik cukup bervariasi. Dapem 1 meliputi Kecamatan Pangururan, Ronggur Nihuta dan
Simanindo yang merupakan daerah ibukota dan pusat ekonomi sebanyak 97 orang memperebutkan 11 kursi 9,6 , Dapem Samosir 2 meliputi Kecamatan Palipi,
Nainggolan dan Onan Runggu sebanyak 83 orang memperebutkan 9 kursi 10,8 dan Dapem Samosir 3 yang meliputi Kecamatan Sianjur Mula- Mula,
Harian dan Sitio-tio sebanyak 44 orang untuk memperebutkan 5 kursi 8,8 . Berdasarkan hasil perolehan kursi tersebut, muncul suatu permasalahan
yang cukup menarik diteliti karena dari kondisi sosial masyarakat di Kabupaten Samosir yang tergolong homogen, untuk mencapai puncak menuju elit politik
lokal agaknya lebih memungkinkan dari segi pendekatan budaya atau lebih spesifik kekerabatan keluarga marga . Pendekatan dari segi agama tidaklah
terlalu menonjol bahkan sifatnya hanya sebatas faktor pendukung. Hal ini bisa dilihat dari komposisi dari partai berbasis agama yakni PDS Partai Damai
Sejahtera yang hanya mampu meraih satu kursi.
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
Sentimen kekerabatan kelompok marga lebih cenderung menonjol karena dari 225 calon legislatif di Kabupaten Samosir, diantaranya 28 orang
bermarga Simbolon dan merupakan terbesar yang tersebar di sejumlah partai politik dengan perolehan 3 kursi 10,7 yang kesemuanya dari Dapem
Daerah Pemihan 1 , bermarga Sinaga 20 orang dengan 3 kursi, bermarga Sitanggang 14 orang hanya 2 kursi 14,3 . Kemudian, bermarga Situmorang
11 orang dengan 2 kursi 18,2 , bermarga Sagala 10 orang dengan 3 kursi 30 , bermarga Naibaho 8 orang hanya satu kursi 12,5 , bermarga
Sihotang 7 orang dengan 2 kursi 28,6 , bermarga Rumapea 4 orang tetapi hanya 1 kursi 25 . Disamping itu, ada juga yang hanya satu orang dari marga
tertentu tetapi berhasil duduk menjadi anggota legislatif seperti Sihombing, Togatorop, Tambunan, Gultom, Sitinjak, Lumban Tungkup, Hutabalian dan
Habeahan. Masyarakat Samosir dikategorikan homogen namun mereka ‘terpecah’
dalam berbagai idiologi politik dan komposisi keanggotaan DPRD juga tak satupun marga yang dominan.
Berdasarkan penjelasan dan data di atas, muncul suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti terutama mengenai proses munculnya elit politik lokal ,
penyebaran sumber – sumber kekuasaan dan kesiapan para caleg pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu yang dikaitkan dengan pemekaran Kabupaten Samosir
sebagai daerah otonom baru.
Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.
1.2. Perumusan Masalah