Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir

(1)

T E S I S

OLEH

PANGIHUTAN SIRUMAPEA

057024017/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 7


(2)

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan ( MSP ) Program Magister Studi Pembangunan

Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

PANGIHUTAN SIRUMAPEA

057024017

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 7


(3)

Nama Mahasiswa : Pangihutan Sirumapea Nomor Induk Mahasiswa : 057024017

Program Magister : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing : A n g g o t a

K e t u a

Drs. M. Husni Thamrin Nasution, MSi Drs. M. Ridwan Rangkuti, MA

Ketua Program Studi Direktur SPs USU

Drs. Subhilhar, MA, PhD NIP. 131 754 528

Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc NIP. 130 535 852


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. M . Ridwan Rangkuti, MA Anggota :

1. Drs. M . Husni Thamrin Nasution, M.Si 2. Drs. Kariono, M.Si

3. Drs. Burhanuddin Harahap


(5)

LOKAL DI KABUPATEN SAMOSIR

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 30 Juli 2007


(6)

Lokal di Kabupaten Samosir “, Pembimbing I ( Drs. M. Ridwan Rangkuti ,MA ),

Pembimbing II ( Drs . M Husni Thamrin Nasution, M.Si ).

Kata Kunci : Pemekaran, Elit Politik Lokal, Pemilihan Umum dan Faktor Kekerabatan ( kolektivitas marga )

Kabupaten Samosir sebagai pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir telah memberi peluang munculnya elit politik lokal seperti pimpinan partai politik, calon anggota legislatif, anggota legislatif dan pimpinan dewan. Dan melalui proses Pemilu ( Pemilihan Umum ) Legislatif Tahun 2004 lalu, 25 anggota legislatif di Kabupaten Samosir sudah terbentuk yang dalam komposisinya 18 kursi didominasi partai politik ‘ pendatang baru ‘ dan cuma 7 kursi berhasil diraih partai politik yang sudah berpengalaman menghadapi pemilihan umum seperti Partai Golongan Karya ( Golkar ) dan PDI Perjuangan. Sebanyak 225 calon anggota legislatif dari 61 marga yang diajukan 20 partai politik peserta pemilihan umum sudah bertarung memperebutkan 25 kursi yang tersebar di 3 daerah pemilihan.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana proses muculnya calon anggota legislatif, anggota legislatif dan pimpinan dewan sebagai elit politik lokal di Kabupaten Samosir, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir ( Tobasa ) pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu. Dan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yang memberi gambaran tentang suatu kejadian dengan bantuan data dan informasi maupun keterangan yang dihimpun dari berbagai sumber diantaranya pimpinan partai politik, KPU ( Komisi Pemilihan Umum ) Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata di Kabupaten Samosir yang masyarakatnya homogen tersebut, faktor ikatan kekerabatan ( kolektivitas marga ) lebih dominan dalam mendapatkan dukungan suara sedangkan partai politik diposisikan sebagai kenderaan politik saja. Faktor primordialisme dan patrimonialisme yang dirajut dalam prinsip “ Dalihan Na Tolu “ masih sangat kental dalam berkompetisi saat pemilihan umum yang lalu di Kabupaten Samosir. Melihat kondisi kehidupan berpolitik tersebut maka untuk ke masa depan :

a. Partai politik perlu meningkatkan pendidikan politik bagi masyarakat agar lebih cerdas dalam menentukan pilihan terhadap calon anggota legislatif yang berkualitas dengan dukungan visi, misi dan program partai politik b. Pendekatan budaya sangat cocok diterapkan partai politik untuk mendapat

dukungan suara dari masyarakat pada pemilihan umum di masa yang akan datang.


(7)

MA), Counsellor II (Drs. M. Husni Thamrin Nasution, MSi).

Keywords : expansion, local political elite, general election and kindship factor (collectivity of clan)

District of Samosir as expansion of District of Toba Samosir has contributed to appearance of local political elite such as leader of political party, candidate of legislative member, legislative member and leader of board. And through Legislative General Election Process in 2004 ago, 25 legislative members in District of Samosir has been formed of which competition 18 seats are dominated by “ new comer “ political party, and only seven seats are occupped by experienced or qualified political party of facing the general election such as political party of Golongan Karya ( Golkar ) and PDI Perjuangan. Total 225 candidate of legislative members from 61 clans proposed by 20 participant political party of general election have competed to win 25 seats scattering out in 3 regions of election.

Based on description above, the writer is interested to observe how is the appearance process of legislative member candidate, legislative members and leader of Board as local political elite in District Samosir, as expansion of Toba Samosir District ( Tobasa ) in Legislative General Election 2004 ago. In this research, the writer uses analytical description method, describing in event with assistance of data and information or opinions collected from several sources, including : leader of political party, Commission of General Election in District Of Samosir.

The result of research indicates that in fact, in District of Samosir with homogenous peoples, factor kindship bond ( collectiveity of clan ) is more dominant in winning the support of vote, while political party is posited as merely vehickle of politic. Factors of primordialism and patrimonialism manifested in principle of “ Dalihan Natolu “ is still very dominant in competition for general election ago in District of Samosir. To consider the political condition, thus in future :

a. Political party needs to improve the political education for peoples to allow them better in determining their choice on qualified legislative member candidate with clear mission, vision and program of political party;

b. The cultural approach can be applied appropriately by political party to win the support of vote from the peoples in next general election .


(8)

atas berkat dan bimbingan-NYA sehingga penulisan tesis berjudul, “ PEMEKARAN DAN MUNCULNYA ELIT POLITIK LOKAL DI

KABUPATEN SAMOSIR “ ini dapat diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan pada Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini, diantaranya :

1. Bapak Prof. Chairuddin P Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Drs. Subhilhar, MA, PhD, selaku Ketua Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan Penguji;

4. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Sekretaris Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Drs. M. Ridwan Rangkuti, MA, selaku Ketua Pembimbing I yang telah banyak memberi bimbingan, pemikiran dan meluangkan waktu selama penulisan tesis ini;


(9)

7. Orang tuaku tercinta, E Sirumapea ( Ayahanda ) dan Ibunda T boru Sihombing, yang selalu memberi doa dan dukungan;

8. Isteriku tersayang, Midaria DP Sihotang, SP, yang selalu setia membantu dan memberi dukungannya demi selesainya penulisan tesis ini;

9. Anakku tercinta Astrid Rebecca Rumapea dan Cesilia Rezeki Marsaulina Rumapea, yang banyak memberi motivasi bagi penulis; 10. Mertuaku Drs. AJ Sihotang dan L boru Simbolon;

11. Kakak dan adek- adek kandungku serta abang dan adek iparku yang selalu memberi dorongan demi terselesainya penulisan tesis ini; 12. Adinda Drs Maniur Rumapea dan isteri ( Mama Cindy ) yang telah

banyak memberi bantuan berupa buku demi penulisan tesis ini;

13. Ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kabupaten Samosir beserta anggota dan Sekretaris yang membantu data dalam penulisan tesis ini; 14. Para fungsionaris partai politik yang sekaligus anggota DPRD

Kabupaten Samosir , yang memberi kemudahan untuk wawancara berkaitan dengan penulisan tesis ini;


(10)

kekurangsempurnaan namun penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkait terutama para pimpinan partai politik dan orang – orang yang mau mencalonkan diri sebagai calon legislatif demi kemajuan Kabupaten Samosir. Terima kasih!

Medan, 30 Juli 2007 P E N U L I S,


(11)

Nama : Pangihutan Sirumapea

Alamat : Jln. Bunga Mawar 12 E No. 20 Padang Bulan Kec. Medan Selayang

Tempat/Tgl. Lahir : Palipi, Samosir, 10 Maret 1964

Pekerjaan : Anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Medan Status : Kawin

Golongan Darah : B Agama : Katolik

Nama Orang Tua : Bapak : E. Sirumapea Ibu : T. br. Sihombing

PENDIDIKAN FORMAL :

1. S1 Isipol Jurusan Administrasi Negara USU, Tahun 1987 2. S2 Magister Studi Pembangunan USU

PENGALAMAN ORGANISASI :

1. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Medan 2. Pemuda Katolik Cabang Medan

3. MPC ( Medan Pers Club )

4. Forkoma ( Forum Komunikasi Alumni Mahaiswa Katolik ) Cabang Medan

5. Ikatan Sarjana Katolik ( Iska ) Cabang Medan.


(12)

DAFTAR ISI ………. i

ABSTRAK………. iii

ABSTRACT……… iv

DAFTAR TABEL……….. v

DAFTAR GAMBAR……….…… vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2.Perumusan Masalah………. 12

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian……….…… 12

1.3.2. Manfaat Penelitan………... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Desentralisasi………. 14

2.2. Otonomi Daerah dan Pemekaran………. 21

2.3. Partai Politik dan Pemilu………. 28

2.4. Elit Politik.……….. 32

BAB III. METODE PENELITAN 3.1. Jenis Penelitan……… 38

3.2 Definisi Konsep………. 38

3.3 Informan……… …… 39

3.4 Jenis Data……….. …… 40

3.5 Lokasi Penelitian……… 40


(13)

4.2.1. Perolehan Kursi di DPRD ………. 71 4.2.2. Komposisi di DPRD Kabupaten Samosir……….. 79 4.3. Gambaran Umum Kaitan Pemekaran dan Munculnya Elit

Politik Lokal di Kabupaten Samosir……… 83 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan……… 87 5.2. Saran………. 88 DAFTAR PUSTAKA


(14)

Tabel 4.1. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan

Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan……… 44

Tabel 4.2. Jumlah Data Pemilih Per Daerah Pemilihan di Kabupaten

Samosir pada Pemilu Tahun 2004……… 49 Tabel 4.3. Jumlah Calon Legislatif Per Daerah Pemilihan di Kabupaten

Samosir pada Pemilu Tahun 2004………. 55 Tabel 4.4. Nama – nama Pimpinan Partai Politik Kabupaten Samosir….. 57 Tabel 4.5. Jumlah Calon Legislatif Menurut Partai Politik dan Marga Per

Daerah Pemilihan ( Dapem ) di Kabupaten Samosir pada Pemilu Tahun 2004……… 59 Tabel 4.6. Jumlah Calon Legislatif Menurut Marga Per Daerah

Pemilihan di Kabupaten Samosir pada Pemilu Tahun 2004….. 65 Tabel 4.7. Perolehan Suara Partai Politik Per Daerah Pemilihan ( Dapem )

di Kabupaten Samosir pada Pemilu Tahun 2004……… 72 Tabel 4.8. Perolehan Kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD )

Kabupaten Samosir pada Pemilu Tahun 2004 ...……….. 76 Tabel 4.9. Perolehan Kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD )

Kabupaten Samosir Menurut Marga


(15)

(16)

1.1. Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah merupakan isu yang selalu hangat dibicarakan berbagai kalangan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia yang selama ini bersifat sentralistik mengalami perubahan ke desentralisasi dengan titik berat otonomi daerah di kabupaten dan kota.

Kewenangan yang selama ini terkonsentrasi di tangan pemerintah pusat, saat ini sudah berada di tangan pemerintah daerah termasuk menentukan kebijakan untuk membangun daerahnya. Dan dalam implementasinya muncul berbagai tuntutan dari daerah, yang salah satunya adalah tuntutan pemekaran daerah baik propinsi, kabupaten maupun kota sehingga Syamsudin Haris, (2005, 209 ) mengatakan memberi otonomi daerah sebetulnya sama saja dengan mengizinkan berdirinya ratusan “negara mini”.

Riswandha Imawan ( 2005, 41) mengatakan bahwa bentuk konkret dari desentralisasi sebagai devolusi dan dekonsentrasi adalah adanya daerah otonom. Ciri utama daerah otonom adalah adanya lembaga perwakilan daerah dan eksekutif yang berfungsi sebagai lembaga politik lokal.


(17)

Pendapat lain dari Ryaas Rasyid,dkk. ( 2003, 22 ) menekankan desentralisasi dan otonomi daerah juga merupakan pendidikan politik dimana dengan adanya pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik.

Kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, baik dalam rangka memilih atau dipilih akan terbuka lebar asalkan dilakukan secara demokratis. Namun kalau tidak secara demokratis, akan memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan menciptakan raja – raja kecil di daerah bahkan mungkin penumpukan sumber – sumber kekuasan di tangan segelintir orang.

Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional, apalagi secara langsung ikut serta membentuk kebijakan publik secara nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik di daerah.

Dalam kajian Hoover Institute ( TB Bottomore, 2006, 10 ) digambarkan bahwa elit politik terdiri dari para pemegang kekuasaan suatu lembaga politik. Para pemegang kekuasaan mencakup kepemimpinan dan formasi sosial yang biasanya merupakan asal – usul para pemimpin dan kepadanya diberikan pertanggungjawaban, selama suatu jangka waktu tertentu. Itulah arti penting demokrasi politik yang menekankan bahwa posisi – posisi kekuasaan dalam masyarakat secara prinsip harus terbuka bagi setiap orang dan ada kompetisi untuk memperoleh kekuasaan itu. Selain itu, dari para


(18)

pemegang kekuasaan itu setiap saat dapat dimintai pertanggungjawaban oleh para pemilihnya.

Pendapat di atas sejalan dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan pembentukan daerah antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen serta perangkat daerah.

Berdasarkan pengamatan selama ini, dengan terbentuknya daerah otonom baru maka proses pengisian jabatan elit politik lokal merupakan aspek yang mendominasi gerak kehidupan masyarakat. Sebagai salah satu wujud dari desentralisasi dan otonomi daerah, pembentukan daerah otonom baru sering menjadi pro - kontra dimana sebagian pihak masih meragukan kemampuan daerah tersebut termasuk kesiapan masyarakatnya menerima berbagai hak dan wewenangnya walau di lain pihak merasa optimis akan kemampuan dan kesiapan masyarakatnya menerima semua hak dan wewenang yang diberikan termasuk pelaksanaan demokrasi tingkat lokal.

Di daerah otonom baru, pengisian jabatan politik yang diartikan sebagai orang-orang yang akan memerintah di daerah tersebut atau lebih dikenal dengan sebutan elit politik lokal yang dipilih melalui Pemilu ( Pemilihan Umum ) dan Pilkada ( Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ) secara langsung merupakan permasalahan cukup menarik ditelusuri karena pengisian pejabat


(19)

pemegang kekuasaan tidak bisa dihindari bahkan sudah diamanahkan undang-undang pemerintahan daerah.

Kajian perkembangan politik lokal cukup menarik dibahas karena selama pemerintahan otoriter, kekuatan politik di luar negara ditekan dan dimatikan. Peran negara yang begitu kuat di masa lalu menyebabkan tidak memungkinkan kekuatan-kekuatan politik di luar kelompok elit yang memerintah berpartisipasi dalam proses sirkulasi elit. Namun saat ini sudah berubah dimana untuk menjadi elit politik lokal pasca regim otoriter telah dimungkinkan terjadinya berbagai interaksi politik yang berbeda kepentingan baik di tingkat lokal maupun nasional.

Mengenai batasan elit politik lokal ini, Moch Nurhasim (Ed.) (2005, 12-13) membagi dua kategori elit dalam konteks lokal yakni elit politik lokal dan non-elit politik lokal.

A. Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan di eksekutif, legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dalam proses politik yang demokratis). Mereka menduduki jabatan politik di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik seperti gubernur, bupati, ketua DPRD dan pimpinan partai politik.

B. Sedang elit non-politik adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti elit keagamaan, kepemudaan, profesi dan lainnya.

Dalam kenyataannya, pemekaran kabupaten sebagai daerah otonom baru, telah membuka peluang untuk berkompetisi menjadi elit politik lokal , baik sebagai anggota legislatif maupun kepala daerah. Masyarakat lokal pun akan diberi kesempatan untuk dipilih dan memilih calonnya yang akan duduk di keanggotaan DPRD.


(20)

Secara prinsip, desentralisasi dan otonomi daerah telah memberi ruang kesempatan politik yang cukup luas bagi masyarakat lokal. Khusus di daerah otonom baru, proses pemilihan elit politik lokal merupakan salah satu aspek politik lokal yang cukup penting karena masyarakat akan memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif yang akan merumuskan berbagai kebijakan bersama kepala daerah.

Hal ini seiring dengan konsep demokratisasi dalam otonomi daerah yang antara lain diwujudkan melalui rekrutmen politik lokal secara terbuka dan kompetitif. Pemilihan anggota dewan dan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah menjadi domain masyarakat daerah melalui Pemilu legislatif dan Pilkada Langsung.

Dalam kaitan ini, perspektif desentralisasi politik ( political

decentralisation perspective ) atau dikenal dengan istilah devolusi menjadi

perhatian utama. Bagi daerah otonom baru, pendapat Dahl yang dikutip Syarif Hidayat (2004, 52) cukup menarik disimak.

Untuk mencapai devolusi kekuasaan tersebut, pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas ( legal teritorial of power ), memiliki pendapatan daerah sendiri ( local own income ), memiliki lembaga perwakilan rakyat ( local representative body ) yang berfungsi mengontrol eksekutif daerah dan adanya kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme pemilihan umum.

Merujuk berbagai pendapat terdahulu, maka dalam penelitian ini nantinya akan dianalisis apakah pemekaran daerah sudah benar-benar secara terbuka dan kompetitif digunakan sebagai proses memunculkan elit-elit politik lokal di daerah otonom baru. Hal ini perlu diteliti karena proses memunculkan elit politik lokal


(21)

baik di lembaga legislatif akan terkait dengan pencapaian tujuan untuk mempercepat pembangunan di daerah otonom baru tersebut.

Ditinjau dari perundang – undangan bahwa DPRD dan kepala daerah merupakan pihak yang punya kewenangan untuk merumuskan dan menentukan berbagai kebijakan di daerah tersebut karena sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang memberi kesempatan kepada daerah untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun dalam implementasi otonomi daerah ini, baik pemerintah daerah dan DPRD harus sadar bahwa pemilik dan pengelolanya bukan hanya di tangan kedua lembaga tersebut tetapi seluruh rakyat daerah.

Menurut Sutoro Eko (2004, 45), otonomi daerah merupakan otonomi bagi rakyat daerah, otonomi bukan hanya milik pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah dan DPRD mempunyai kewenangan karena desentralisasi, keduanya tidak bisa hanya memainkan legitimasi formal tetapi juga harus mempunyai legitimasi politik dari rakyat daerah, yang artinya harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.

Berkaitan dengan judul tesis yang akan meneliti dampak pemekaran sebagai salah satu tuntutan pelaksanaan desentralisasi yang menekankan otonomi daerah maka pemekaran Kabupaten Samosir menarik untuk didalami. Dalam penelitian ini, penulis membatasi proses munculnya anggota DPRD sebagai elit politik lokal karena ditinjau dari sudut peluang dan kompetisi, dalam pemilihan umum legislatif tersebutlah masyarakat terlibat secara aktif dan pasif.


(22)

Penulis menjadikan Kabupaten Samosir sebagai lokasi penelitian yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir ( Tobasa ). Kabupaten Samosir dengan luas wilayah 1.419,05 Km2 dan jumlah penduduk 130.078 jiwa diresmikan melalui Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2003, yang tentunya sudah melalui proses dan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah

Peresmian Kabupaten Samosir, waktunya sangat berdekatan dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu sehingga bagi penulis merupakan salah satu pertimbangan untuk menjadikan lokasi penelitian. Dengan waktu yang tidak begitu lama antara peresmian daerah otonom baru dengan pelaksanaan pemilihan umum legislatif, masyarakat Kabupaten Samosir sudah dihadapkan untuk memilih anggota DPRD-nya.

Dalam tesis ini juga diteliti kesiapan anggota masyarakat dalam menggunakan hak memilih dan dipilih menjadi calon legislatif melalui mekanisme Pemilu. Termasuk juga kesiapan partai – partai politik untuk melakukan rekrutmen dan seleksi calon legislatif di Kabupaten Samosir sebagai kabupaten baru pada saat Pemilu Tahun 2004 lalu.

Sesuai pasal 50 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR,DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/ Kota , jumlah kursi anggota DPRD yang akan diperbutkan di Kabupaten Samosir sebanyak 25 kursi.


(23)

Secara umum digambarkan , untuk memperebutkan 25 kursi tersebut, ternyata hanya 225 calon legislatif yang dicalonkan 20 partai politik berkompetisi di 3 daerah pemilihan padahal jumlah pemilihnya mencapai 75.772 orang atau hanya 0,23 %.

Melihat jumlah calon legislatif tersebut, dikaitkan dengan derasnya tuntutan pemekaran serta pendapat sementara pihak akan sorotan perebutan kekuasaan yang bakal terjadi di daerah pemekaran, ternyata perbandingan antara jumlah calon legislatif dengan kursi yang diperebutkan sangat mencolok. Bila lebih rinci, masing – masing partai politik hanya mampu mengajukan 11 orang lebih sebagai calon legislatif.

Menurut data di Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kabupaten Samosir, perolehan kursi di DPRD Kabupaten Samosir terdistribusi untuk 11 partai politik sehingga tidak ada partai politik yang dominan. Partai Golongan Karya ( Golkar ) dan PDI Perjuangan sebagai partai politik yang sudah cukup berpengalaman dalam setiap pemilihan umum legislatif , hanya mampu meraih 7 kursi ( 28 % ) yaitu 4 kursi untuk Partai Golkar dan 3 kursi diraih PDI Perjuangan .

Perolehan kursi justru didominasi partai - partai pendatang baru dengan menguasai 18 kursi ( 72 % ) diantaranya PPD ( Partai Persatuan Daerah ), PPDK ( Partai Penegak Demokrasi Kebangsaan ) masing - masing 3 kursi. Kemudian disusul PNBK ( Partai Nasional Banteng Kemerdekaan ), Partai Demokrat , PBSD ( Partai Buruh Sosial Demokrat ), Partai Patriot Pancasila dan PKPB ( Partai Karya Peduli Bangsa ) masing – masing 2 kursi. Sementara itu, PPIB ( Partai


(24)

Perhimpunan Indonesia Baru ), PDS ( Partai Damai Sejahtera ) masing – masing meraih satu kursi.

Perbandingannya, saat masih bergabung dengan Kabupaten Tobasa, jumlah anggota dewan dari wilayah Samosir dengan 6 kecamatan pada Pemilu l999 lalu hanya 10 orang saja ( 6 orang PDI Perjuangan, 2 orang Partai Golkar dan 2 orang Partai Katolik Demokrat Indonesia ) , yang berarti setelah terbentuknya Kabupaten Samosir bertambah 15 orang lagi.

Ditelusuri lebih jauh, dari 10 orang anggota legislatif hasil Pemilu Tahun 1999 asal wilayah Samosir, hanya 4 orang yang masih bertahan . Keempat orang yang kembali terpilih sebagai anggota dewan itu, diantaranya ada masih bertahan dengan partai politik lama dan ada juga yang ‘melompat ’ ke partai politik ‘ pendatang’ karena partai politik lamanya tidak lolos verifikasi.

Melihat data dari KPU Samosir di atas, jelas terlihat bahwa perolehan kursi di DPRD Samosir menyebar walau perolehan kursi didominasi partai ‘ pendatang baru’. Perolehan kursi ini yang didominasi partai politik ‘ pendatang ‘ baru cukup menarik diteliti karena meski dalam tenggang waktu yang tidak lama, partai – partai politik tersebut ternyata mampu berkompetisi dengan partai politik yang sudah mapan baik dari segi kepengurusan maupun pengkaderan.

Secara ringkas digambarkan, perbandingan jumlah caleg ( calon legislatif ) per partai politik dengan perolehan kursi pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu. Partai Golongan Karya 21 orang caleg meraih 4 kursi ( 19 % ), PDI – Perjuangan


(25)

mengajukan 23 orang caleg dengan perolehan 3 kursi ( 13,4 % ) , Partai Persatuan Daerah ( PPD ) sebanyak 22 orang meraih 3 kursi ( 13,6 % ) .

Kemudian PPIB ( Partai Perhimpunan Indonesia Baru ) dengan 16 calon legislatif hanya mampu meraih satu kursi ( 6,2 % ) , Partai Damai Sejahtera 15 caleg juga cuma satu kursi ( 6,6 % ) . Sementara, PPDK dengan jumlah caleg 12 orang, mampu meraih 3 kursi ( 25 % ), PKPB dengan jumlah calon 8 orang , mampu merebut 2 kursi ( 25 % ) dan PBSD ( Partai Buruh Sosial Demokrat ) dengan 8 orang caleg berhasil merebut 2 kursi ( 25 % ).

Jumlah caleg per daerah pemilihan ( Dapem ) yang diajukan partai politik cukup bervariasi. Dapem 1 meliputi Kecamatan Pangururan, Ronggur Nihuta dan Simanindo yang merupakan daerah ibukota dan pusat ekonomi sebanyak 97 orang memperebutkan 11 kursi ( 9,6 % ), Dapem Samosir 2 meliputi Kecamatan Palipi, Nainggolan dan Onan Runggu sebanyak 83 orang memperebutkan 9 kursi ( 10,8 % ) dan Dapem Samosir 3 yang meliputi Kecamatan Sianjur Mula- Mula, Harian dan Sitio-tio sebanyak 44 orang untuk memperebutkan 5 kursi ( 8,8 % ).

Berdasarkan hasil perolehan kursi tersebut, muncul suatu permasalahan yang cukup menarik diteliti karena dari kondisi sosial masyarakat di Kabupaten Samosir yang tergolong homogen, untuk mencapai puncak menuju elit politik lokal agaknya lebih memungkinkan dari segi pendekatan budaya atau lebih spesifik kekerabatan keluarga ( marga ). Pendekatan dari segi agama tidaklah terlalu menonjol bahkan sifatnya hanya sebatas faktor pendukung. Hal ini bisa dilihat dari komposisi dari partai berbasis agama yakni PDS ( Partai Damai Sejahtera ) yang hanya mampu meraih satu kursi.


(26)

Sentimen kekerabatan ( kelompok marga ) lebih cenderung menonjol karena dari 225 calon legislatif di Kabupaten Samosir, diantaranya 28 orang bermarga Simbolon dan merupakan terbesar yang tersebar di sejumlah partai politik dengan perolehan 3 kursi ( 10,7 % ) yang kesemuanya dari Dapem ( Daerah Pemihan ) 1 , bermarga Sinaga 20 orang dengan 3 kursi, bermarga Sitanggang 14 orang hanya 2 kursi ( 14,3 % ). Kemudian, bermarga Situmorang 11 orang dengan 2 kursi ( 18,2 % ), bermarga Sagala 10 orang dengan 3 kursi ( 30 % ) , bermarga Naibaho 8 orang hanya satu kursi ( 12,5 % ), bermarga Sihotang 7 orang dengan 2 kursi ( 28,6 % ), bermarga Rumapea 4 orang tetapi hanya 1 kursi ( 25 % ). Disamping itu, ada juga yang hanya satu orang dari marga tertentu tetapi berhasil duduk menjadi anggota legislatif seperti Sihombing, Togatorop, Tambunan, Gultom, Sitinjak, Lumban Tungkup, Hutabalian dan Habeahan.

Masyarakat Samosir dikategorikan homogen namun mereka ‘terpecah’ dalam berbagai idiologi politik dan komposisi keanggotaan DPRD juga tak satupun marga yang dominan.

Berdasarkan penjelasan dan data di atas, muncul suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti terutama mengenai proses munculnya elit politik lokal , penyebaran sumber – sumber kekuasaan dan kesiapan para caleg pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu yang dikaitkan dengan pemekaran Kabupaten Samosir sebagai daerah otonom baru.


(27)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulisan karya ilmiah ini akan meneliti pembentukan daerah otonom baru ( pemekaran ) sebagai salah satu peluang memunculkan elit-elit politik lokal di era desentralisasi dan otonomi daerah.

Dalam penelitian ini, Penulis membatasi masalah pasca pemekaran yang berkaitan dengan pemunculan elit politik lokal di lembaga legislatif karena tenggang waktu antara keluarnya undang - undang pembentukan Kabupaten Samosir dengan pelaksanaan Pemilu legislatif cukup singkat. Bahkan, begitu terbentuk sebagai daerah otonom baru, masyarakat sudah langsung disibukkan dengan pelaksanaan Pemilu legislatif walau penyelenggaraannya masih ditangani partai politik induk.

Secara ringkas, Penulis merumuskan permasalahan yang akan diteliti yakni:“ Bagaimana proses munculnya calon legislatif, anggota legislatif dan

pimpinan dewan sebagai elit politik lokal di Kabupaten Samosir sebagai daerah otonom baru “

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Dari uraian-uraian di atas, maka Penulis merumuskan tujuan penelitian yaitu :


(28)

1. untuk mengetahui gambaran umum proses munculnya calon legislatif, anggota legislatif, pimpinan dewan sebagai elit politik lokal di Kabupaten Samosir.

2. untuk mengetahui gambaran umum kaitan antara pemekaran dengan proses munculnya calon legislatif, anggota legislatif dan pimpinan dewan di Kabupaten Samosir

1.3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai proses terbentuknya elit politik lokal ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Secara metodologi dan teoritis dapat memberi sumbangan pemikiran terhadap pelaksanaan otonomi daerah di daerah otonom baru.

2. Secara praktis akan memberi kerangka pemikiran bagi para elit politik lokal dalam membangun daerah otonom baru.


(29)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Pengertian Desentralisasi

Salah satu sumber energi terbesar yang menggerakkan reformasi politik pasca 1998 adalah desentraliasi sehingga keluarlah Undang - Undang Nomor 22 Tahun l999 yang kemudian digantikan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi menjadi wacana menarik bagi penyelenggara pemerintahan sebab di dalamnya terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan sebuah pembangunan.

Desentralisasi sebagai pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara administratif kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan.

Menurut Syarif Hidayat ( 2000, 1 ) ada dua poin penting yang dapat digarisbawahi ketika mengikuti maraknya diskusi tentang desentralisasi dan otonomi daerah yakni, pertama, secara politis terlihat dengan jelas bahwa tuntutan untuk memperluas otonomi daerah telah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Kedua, dalam upaya mendekati masalah desentralisasi, secara teoritis, hampir sebagian besar dari penulis mengacu pada dua perspektif konvensional – Political Decentralisation ( devolutiom ) dan


(30)

Mengenai nilai-nilai desentralisasi dapat dilihat dari sudut pandang kepentingan pemerintah pusat dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah. Dari sudut pandang kepentingan pemerintah pusat, sedikitnya ada tiga nilai desentralisasi: untuk pendidikan politik, latihan kepemimpinan, dan untuk menciptakan stabilitas politik.sedang dari sisi kepentingan pemerintah daerah, nilai pertama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan apa yang disebut

political equality. Ini berarti, melalui pelaksanaan desentralisasi, kesempatan bagi

masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal semakin terbuka lebar.

Nilai kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah

local accountability yaitu melalui pelaksanaan desentralisasi akan meningkatkan

kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Makanya, Oentarto ( 2004,57 ) mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban tugas pemerintah pusat. Program pembangunan didesentralisasikan dengan harapan keterlambatan - keterlambatan bisa dikurangi secara maksimal.

Desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai kedaerahan, untuk penyusunan program-program daerah secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala persoalan-persoalan timbul dalam pelaksanaannya.

Hal ini disadari Koirudin ( 2005, 26 ) yang menggariskan bahwa, desentralisasi merujuk pada satu konsep pemerintahan yang mencerminkan


(31)

kebutuhan untuk menciptakan pemerintah lokal sebagi institusi yang paling berhak melakukan formulasi kebijakan, implementasi dan evaluasi atau kontrol yang dirancang untuk kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah di negara - negara yang bersifat demokratis memiliki dua pokok manfaat yaitu :

1. Manfaat politis yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat daerah sekaligus dalam rangka memperkuat stabilitas secara nasional.

2. Manfaat administratif dan ekonomi yaitu untuk meyakinkan bahwa pembangunan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah-daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya

Secara umum, desentralisasi itu memiliki dampak sangat kuat bagi percepatan pembangunan daerah sebab ketika urusan dan beberapa kewenangan sudah diberikan kepada daerah maka proses pembangunan bisa lebih dipercepat dibandingkan jika semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat. Bila ditinjau dari segi konsep, otonomi daerah memang tampak sederhana namun mengandung arti yang kompleks karena terkandung makna pendewasaan politik rakyat lokal dan proses mensejahterakan rakyat.

Konsep desentralisasi itu bisa terlaksana di Indonesi menurut Koirudin ( 2005, 13 ) apabila didukung beberapa prasyarat yakni;

Pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas ( legal

territorial of power ), memiliki pendapatan daerah sendiri ( local own income ),

memiliki badan perwakilan ( local representative body ) yang mampu mengontrol eksekutif daerah dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui satu pemilihan yang bebas.


(32)

Dampak yang sangat penting diharapkan dari penerapan kebijakan yang bersemangatkan desentralisasi adalah terjadinya perubahan kebijakan ( policy

change ) dari paradigma sistim pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah

kepada sistim pemerintahan desentralistik dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengurus segala kepentingan pemerintahan dan pembangunannya.

Desentralisasi berguna untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan potensi wilayahnya masing-masing. Sementara itu, upaya pembangunan masyarakat harus dilakukan melalui penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

Menyangkut pentingnya peranan prakarsa yang sesuai potensi masyarakat lokal berkaitan dengan prinsip model pemerintah daerah, Koirudin mengatakan model pemerintah daerah yang dianut dalam sistim negara kesatuan setidaknya mengandung beberapa prinsip antara lain:

1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan yang penuh.

2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bersifat penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan kepada daerah.

3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan

pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat ( lokalitas ) sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.


(33)

Berdasarkan uraian – uraian terdahulu, bahwa desentralisasi dan demokrasi merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Desentralisasi tidak bisa dibicarakan terlepas dari demokrasi dan begitu sebaliknya, demokrasi tidak bisa dibicarakan terlepas dari desentralisasi. Namun, Herudjati Purwoko, ed. ( 2004, 35 ) mengatakan demokrasi yang hanya berlangsung di level nasional sama saja dengan menjauhkan negara dari rakyat dan melemahkan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Sebaliknya, desentralisasi dan otonomi daerah tanpa demokratisasi sama saja dengan memindahkan sentralisasi, otoritarianisme, feodalisme dan korupsi dari Jakarta ke daerah.

Partisipasi merupakan elemen terpenting demokrasi dalam konteks otonomi daerah. Sebagai bentuk keterlibatan warga masyarakat, partisipasi masyarakat terkait dengan pemilihan lokal untuk keperluan rekrutmen jabatan-jabatan publik ( eksekutif dan legislatif ), penyampaian aspirasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah, akses ke informasi kebijakan-keuangan-pelayanan secara transparan dan bebas, serta kontrol masyarakat terhadap pemerintah daerah dan DPRD.

Partisipasi dalam konteks otonomi daerah adalah barang ekstra-konstitusional yang harus secara tegas dirumuskan dalam undang - undang maupun peraturan daerah dan secara empiris harus mendapat perhatian serius dari masyarakat politik serta organisasi masyarakat sipil.

Aspirasi dan kontrol masyarakat yang kuat juga akan mendorong pemerintahan daerah lebih transparan, akuntabel dan responsif. Karena para


(34)

pemegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia lemah dan tidak punya komitmen, maka akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas pemerintah daerah tidak bakal tercapai tanpa penguatan aspirasi dan kontrol masyarakat.

Desentralisasi secara teoritis sebenarnya juga merupakan dorongan terhadap partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas di atas. Dengan kata lain, desentralisasi mendorong tumbuhnya demokrasi lokal. Mengutip pendapat Larry Diamond , Herudjati Purwoko ( 2005,36 ), mengungkapkan dengan cerdas bahwa pemerintahan lokal dapat memupuk vitalitas demokrasi dalam empat cara:

Pertama, membantu mengembangkan nilai-nilai dan ketrampilan demokratis di kalangan warga. Kedua, meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap kepentingan dan urusan lokal. Ketiga, memberikan saluran akses bagi kelompok yang secara historis terpinggirkan dan, oleh sebab itu, meningkatkan representativitas demokrasi. Keempat, meningkatkan check and

balances terhadap kekuasaan di pusat. Masing-masing fungsi menguatkan

legitimasi dan stabilitas demokrasi.

Para pendukung pemerintahan lokal demokratis mengutamakan potensi pendidikannya. Keterlibatan dalam pemerintahan lokal demokratis adalah suatu kekuatan edukatif yang besar, kata John Stuart Mill, karena mengajarkan warga untuk melihat kepentingan yang lebih tinggi daripada kepentingan langsung mereka, mengenali permintaan-permintaan adil dari orang lain, dan jika perlu, menerima keputusan yang pada awalnya tidak mereka sukai.

Desentralisasi dan demokratisasi lokal juga mempunyai potensi besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi dan jaringan kerja masyarakat sipil. Arena kehidupan komunitas dan lokal itulah yang menawarkan cakupan terbesar


(35)

bagi organisasi-organisasi independen untuk membentuk dan mempengaruhi kebijakan.

Keterlibatan langsung warga dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang penting untuk mengasah ketrampilan warga dan menghimpun modal sosial sekaligus membuat pelaksanaan layanan publik lebih accountable.

Di Brasil, misalnya, pengawasan terhadap administrasi lokal dan komunikasi multi-arah warga yang prihatin dengan para pejabat publik nampaknya membaik di sejumlah kotapraja setelah undang-undang mengharuskan para pejabat pendidikan dan kesehatan lokal mempertimbangkan masukan dari dewan perwakilan rakyat daerah dan warga masyarakat setempat.

Di negara-negara demokrasi baru yang sedang menjalani perubahan sosial dan ekonomi yang menyeluruh, keterlibatan warga dalam pemerintahan lokal dapat mencegah kekecewaan yang meluas terhadap kebijakan baru sehingga tidak berubah menjadi penolakan terhadap keseluruhan proses demokrasi.

Warga biasa lebih bisa menerima kebijakan yang merugikan kepentingan mereka jika mereka memahami dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menghasilkan pilihan-pilihan kebijakan inti dan dalam upaya-upaya untuk melaksanakannya secara lokal.

Pendapat Putnam yang dikutip Heridjati Purwoko ( 2005,37 ) menyebutkan bahwa partisipasi aktif warga dalam proses demokrasi ( dalam hubungan horisontal ), baik lewat pemilihan umum lokal maupun lewat organisasi


(36)

masyarakat sipil, lebih membuka peluang bagi kultur sipil yang toleran, saling-percaya, dan kooperatif

Pemerintahan lokal yang demokratis dapat membangun legitimasi dengan jalan bersikap lebih responsif pada kebutuhan-kebutuhan warga. Ini adalah salah satu argumen inti Mill dalam mendukung pemerintahan lokal.

Sebuah survei 1988 menunjukkan bahwa kebanyakan orang Italia lebih puas pada pemerintahan lokal karena levelnya terdekat dan paling dipercaya ketimbang pada level pemerintah nasional yang paling jauh dan paling tak dipercaya.

2.2. Otonomi Daerah dan Pemekaran

Penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Istilah otonomi sendiri berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu autos ( sendiri ), dan nomos ( peraturan ) atau ‘undang-undang’. Oleh karena itu otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.

Menurut terminologi ilmu pemerintahan dan hukum administrasi negara, kata otonomi ini sering dihubungkan dengan otonomi daerah dan daerah otonom. Oleh karena itu, akan dibahas pengertian otonomi, otonomi daerah dan daerah otonom.

Otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri ( Muslimin, 1978:16 ),


(37)

( Syarifudin, 1985: 23 ). Sedang otonomi daerah itu sendiri yang dirangkum Dharma Setyawan Salam ( 2004, 88 ) memiliki beberapa pengertian menurut , yaitu:

1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri.

2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses mensejahterakan rakyat. 3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan

sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut.

4. Pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Demikian juga daerah otonom memiliki beberapa pengertian, Liang Gie ( 1968: 58 ), Riwu Kaho (1988: 7), Sujamto ( 1991: 88 ), mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut:

1. Daerah yang mempunyai kehidupan sendiri yang tidak bergantung pada satuan organisasi lain.

2. Daerah yang mengemban misi tertentu, yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah di daerah di mana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu daerah diberi hak dan wewenang tertentu.

Secara umum, otonomi daerah adalah salah satu bentuk nyata dari praktek demokrasi. Dalam tataran masyarakat, demokrasi berbicara tentang kebebasan individu dan kelompok-kelompok namun dalam tataran hubungan pusat-daerah,


(38)

demokrasi menuntut adanya kebebasan daerah untuk mengatur dirinya sendiri ( otonomi daerah ).

Dalam tataran hubungan pusat-daerah, menurut Syamsudin Haris ( 2005,159 ) otonomi diinginkan agar daerah mampu mengembangkan

kemandirian dan hasil mencapai kemajuan di segala bidang sesuai dengan pandangan dan kebutuhan masyarakatnya dalam konteks negara Indonesia.

Kebebasan yang diinginkan bagi individu dan daerah merupakan persyaratan bagi kemajuan. Kemajuan individu diharapkan menghasilkan kemajuan tidak saja bagi individu bersangkutan, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Individu-individu yang berkembang akan dapat membawa kemajuan bagi individu-individu lainnya yang berarti masyarakat sebagai sebuah kesatuan.

Hal yang sama juga berlaku bagi daerah-daerah yang memiliki otonomi. Kemajuan daerah dengan adanya otonomi daerah diharapkan akan membawa kemajuan bagi bangsa secara keseluruhan. Jadi dasar pemikirannya adalah bahwa kemajuan-kemajuan haruslah dimulai dari berkembangnya kemandirian individu dalam demokrasi dan daerah dalam otonomi daerah.

Kebebasan menghasilkan kesempatan untuk melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan kemampuan perorangan. Kebebasan di sini haruslah diartikan kebebasan yang dibatasi oleh peraturan perundangan yang berlaku. Jadi bukanlah kebebasan mutlak karena kebebasan mutlak melahirkan anarki.


(39)

Berkaitan dengan penjelasan terdahulu, maka visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksi utama yakni politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Di bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

Demokratisasi pemerintah juga berarti transparansi kebijakan. Artinya, untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang dipikul, siapa yang akan diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu gagal.

Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.

Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya.


(40)

Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.

Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya..

Membicarakan otonomi daerah tidak terlepas dari desentralisasi sebab berkaitan dengan sejauh mana kewenangan dari pemerintah pusat itu diberikan kepada pemerintah daerah. Dan penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom.

Mengingat hubungan yang tak bisa terpisahkan, dalam otonomi daerah dan desentralisasi terdapat suatu interkoneksi yang linear. Otonomi daerah dan desentralisasi bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu dengan lainnya. Bahkan secara spesifik , tidak berlebihan bila dikatakan ada tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh seberapa jauh wewenang telah didesentralisasikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah.


(41)

Secara khusus, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia makin nyata seiring dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun l999 dan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai implementasi pasal 18 UUD 1945. Memang bila diamati, dalam pasal 18 UUD 1945 tersebut tidak merinci secara jelas berapa jumlah daerah sehingga memungkinkan bagi daerah-daerah untuk menuntut pemekaran kabupaten/kota.

Dalam pasal 4 ayat 3 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan, pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

Tuntutan pemekaran tersebut agaknya tak bisa dielakkan sejak dibukanya kran otonomi daerah yang titik beratnya di tingkat kabupaten dan kota ( Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 ) serta dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Dasar pertimbangan pembentukan daerah otonom antara lain kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosil budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan lainnya yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Sedang tujuan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan


(42)

pengelolaan daerah, peningiatan keamanan dan ketertiban, peningkatan hubungan yang serasi amtara pusat dan daerah

Pembentukan daerah otonom yang diatur dalam PP 129 Tahun 2000 tersebut adalah adanya kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat bersangkutan, diawali adanya penelitian dari pemerintah daerah yang dilengkapi dengan persetujuan DPRD setempat. Kemudian, usulan tersebut diteruskan gubernur ke Depdagri dan melalui penelitian DPOD ( Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ) dikeluarkan rekomendasi untuk disampaikan kepada presiden. Rancangan Undang – Undang pembentukan daerah itu kemudian disampaikan ke DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.

Pemekaran menjadi ‘trend’ bagi masyarakat lokal yang secara umum merasa selama ini kurang diperhatikan propinsi, kabupaten dan kota induk yang membuat daerah tersebut mengalami keterlambatan dibanding daerah lain.

Sama dengan daerah kabupaten dan kota induk maka kabupaten dan kota hasil pemekaran pun mendapatkan pelimpahan wewenang dan hak untuk mengatur rumah tangga sendiri walau masih mengandalkan dana dari pemerintah pusat mengingat pemerintah daerah masih tahap memulai penarikan dana baik dari pajak maupun retribusi daerah sebagai pendapatan asli daerah.

Untuk memperjuangkannya baik secara lokal maupun hingga tingkat pusat dibutuhkan wadah dan bagi daerah baru terbentuk, keberadaan parpol ( partai politik ) dan lembaga perwakilan rakyat ( DPRD ) masih tergolong dominan sebab institusi lainnya masih tahap pembentukan.


(43)

2.3. Partai Politik dan Pemilu

Salah satu prasyarat dari terwujudnya demokrasi adalah adanya partai politik yang berfungsi maksimal dan efektif sebagai wadah aspirasi poltik masyarakat dan sebagai media untuk melakukan bargaining kebijakan. Dan dari berbagai pranata sosial yang ada itu , salah satunya adalah partai politik.

Schattsneider sebagaimana dikutip Riswandha Imawan ( 1997, 8) menyebutkan sudah menjadi aksioma dalam ilmu politik bahwa satu negara disebut demokratis kalau terdapat partai – partai politik. Kehadiran partai politik berarti ada pengakuan – pengakuan akan hak warga negara untuk berbeda pendapat walaukemudian disadari bahwa adanya partai politik saja tidak cukup dijadikan tolak ukur untuk menyebut satu negara itu demokratis. Syarat yang tidak kalah pentingnya adalah partai – partai politik tersebut dapat berkompetisi dalam satu Pemilu ( Pemilihan Umum ) yang bebas.

Meluasnya gagasan bahwa rakyat harus diikutsertakan dalam proses politik maka partai politik telah lahir dan berkembang menjadi penghubung penting antara rakyat dan pemerintah.

Gagasan mengenai partisipasi politik rakyat melalui partai politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi, memiliki dasar budaya politik dan ideologi yang kuat bahwa rakyat berhak ikut serta menentukan seseorang yang akan menjadi pemimpin mereka, dan untuk menentukan isi kebijakan publik yang mempengaruhi kehidupan mereka.


(44)

Dari berbagai uraian tentang segmentasi masyarakat yang kemudian terartikulasi pada pelembagaan dalam bentuk partai politik, maka hal ini menjadi bahan dasar dari pertarungan antar kepentingan yang terjadi di Indonesia saat ini. Memang banyak juga kalangan yang melontarkan kritik bahwa pertarungan artikulasi kepentingan yang ada sekarang ini sesungguhnya lebih pada pertarungan kepentingan pragmatis daripada artikulasi kepentingan yang bersifat konseptual normatif.

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan publik. Agregasi kepentingan dijalankan dalam sistim politik yang tidak memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai kebutuhan dari rakyat dan konsumen. Agregasi kepentingan ini erat kaitannya dengan relasi antara masyarakat luas yang mengagregasikan diri atau diagregasikan oleh pemimpin politik, terutama di dalam partai politik.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi politik, partai sering disebut sebagai perantara dalam suatu bursa ide-ide ( clearing house of

ideas ). Kadang dikatakan pula bahwa partai politik sebagai alat pendengar bagi

pemerintah dan sebagai pengeras suara bagi masyarakat.

Partai politik berkewajiban menggabungkan pendapat dan aspirasi masyarakat yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan

( interest aggregation ). Setelah digabung, pendapat dan aspirasi diolah dan


(45)

kepentingan ( interest articulation ). Kegiatan ini dipakai oleh partai politik sebagai usul kebijakan. Usul kebijakan ini dimasukkan pada program partai untuk diperjuangkan dan disampaikan ke pemerintah untuk dijadikan kebijakan publik

( public policy ).

Kepentingan – kepentingan yang telah dirumuskan tersebut tentu harus diperjuangkan kader – kader partai politik yang duduk di lembaga legislatif yang dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum ( Pemilu ) karena Pemilu diyakini sebagai sarana yang paling demokratis untuk memilih elit politik. Karena sifatnya yang demokratis, maka kegiatan Pemilu selamanya mengikutsertakan mayoritas penduduk yang berhak memilih.

Dalam Pemilu, para pemilih bebas menentukan siapa yang dipilih dan calon elit juga bebas mengumbar janji untuk menarik massa sebanyak mungkin. Sebagai alat, demokrasi terutama digunakan untuk membentuk satu pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi rakyatnya. Pelaksanaannya dapat dengan berbagai macam cara, namun demokrasi selamanya mengehendaki rakyat terlibat langsung dalam pemilihan wakil – wakilnya.

Pengertian terlibat langsung dimaksud adalah rakyat mengetahui betul kualitas dan popularitas dari calon yang hendak dipilih. Kualitas bersangkut paut dengan daya analisis si calon terhadap masalah – masalah sosial yang berkembang. Popularitas berhubungan dengan dikenal atau tidak dikenalnya si calon oleh para pemilih namun popularitas tidak berhubungan langsung dengan kualitas si calon.


(46)

Dalam banyak kasus, memilih seorang calon hanya didasarkan pada jauh dekatnya hubungan personal antar mereka seperti terjadi di Thailand. Dalam negara sedang berkembang, faktor – faktor di luar kualitas tampaknya memainkan peranan penting bagi terpilih atau tidaknya si calon. Hal ini berhubungan dengan masih tingginya sentimen primordialisme dalam masyarakat sehingga menurut Riswandha Imawan ( 1997, 5 ), pandangan semacam ini kiranya cocok untuk melihat pola tingkah laku pemilih di Indonesia.

Para pakar ilmu politik memandang bahwa demokrasi baru bisa berjalan secara efektif, dalam arti mencapai tujuan kemasyarakatan tanpa harus mengorbankan hak – hak individu, kalau dilaksanakan dengan sistem perwakilan dimana rakyat memberi kepercayaan kepada segelintir orang membentuk

representative government.

Pembentukan representative government dilakukan melalui Pemilu dimana rakyat tidak sekedar memilih calon atau tokoh politik untuk memerintah tapi lebih penting lagi rakyat mendapat kesempatan untuk mengutarakan aspirasinya agar dilaksanakan oleh pemerintah.

Pelaksanaan Pemilu legislatif di Indonesia diatur dalam pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum ( Pemilu ). Disebutkan, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas dan legitimasi


(47)

Proses rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik harus melalui mekanisme demokrasi sehingga partai politik berhak mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat. Sesuai dengan undang – undang partai politik dan pemilihan umum, sistem pemilihan anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten / Kota menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.

2.4. Elit Politik

Kata “elit” selalu menarik perhatian , justru karena ia sering diartikan sebagai “orang-orang yang menentukan”. Kata elit, sebagaimana dilacak T.B. Bottomore, telah digunakan sejak abad ketujuh belas untuk menggambarkan barang-barang dengan kualitas yang sempurna, penggunaan kata itu kemudian diperluas untuk merujuk kelompok-kelompok sosial yang unggul, misalnya unit-unit militer kelas satu atau tingkatan bangsawan yang tinggi.” Oxford English

Dictionary ( 1823 ), kemudian memasukkan entri “elit” merujuk pada eksistensi

kelompok-kelompok sosial.

Pendekatan elit dalam studi ilmu sosial memang tidak kebal dari kritik namun sangat membantu menjelaskan fenomena struktur sosial, khususnya struktur kekuasaan seperti bentuk piramida. Para elit adalah mereka yang berada dalam puncak piramida itu, mereka yang punya pengaruh dan menentukan. Mereka “bukan orang biasa” justru karena posisi dan pengaruhnya itu.

Dalam konteks pengaruh kekuasaan, para elit penentu kebijakan dan struktur sosial masyarakat, Bottomore ( 2006, 6 ) menemukan konsep


(48)

keseimbangan sosial ( social equilibrium ), yang apabila direfleksikan dengan dinamika politik, sebagai bagian dari dinamika sosial lebih luas. Elit akan sangat terkait dengan upaya menuju tercapainya kondisi keseimbangan politik ( political

equilibrium ). Hal ini, segera mengingatkan pada prinsip demokrasi ‘checks and balances’.

Pada prinsipnya, setiap individu punya kesempatan untuk mengembangkan secara penuh kualitas-kualitas nalar dan perasaan yang dimilikinya sebagai seorang manusia, dalam suatu hubungan yang tanpa paksaan dengan orang lain. Artinya, semua individu berhak berprestasi, menaiki anak tangga, menjadi elit.

Sejak era reformasi hingga saat ini, para elit Indonesia, khususnya elit politiknya, masih sering memperoleh kritik dan sorotan tajam dari berbagai kalangan. Ketidakmandirian, pragmatisme yang terlampau kentara, kritisisme yang melemah, hingga orientasi kekuasaan an sich, merupakan sejumlah kritik yang menonjol.

Di alam demokrasi, lontaran-lontaran kritik itu hadir secara terbuka. Para elit politik itu kerap menjadi bulan-bulanan kritik dan demonstrasi, ketika mereka dianggap gagal memperjuangkan aspirasi publik.

Mengenai kajian elit ini, Pareto selalu cenderung untuk memberikan penekanan yang lebih kuat pada pemisahan antara elit yang memerintah dan non – elit. Sementara itu, Mosca adalah yang mengamati secara lebih menyeluruh


(49)

komposisi elit itu sendiri, khususnya dalam masyarakat-masyarakat demokratis modern.

Secara tegas, Robert H Lauer ( 2003, 346 ) mengatakan dalam masyarakat demokratis terdapat bermacam-macam elit, yang terpenting adalah elit politik disusul organisatoris, intelektual, seniman, moralis dan elit agama.

Para penganut teori modernisasi mengatakan elit sangat penting peranannya dalam perkembangan masyarakat dan selalu mendorong perubahan di dalam masyarakat sedang membangun. Sedikitnya 6 peranan penting elit bagi pembangunan yakni sebagai administrator, agitator, pemersatu, penyebar, propaganda idiologi dan broker politik.

Pendapat lainnya dari Sofian Effendi ( 1992, 646 ) yang secara sederhana memberi batasan tentang elit lokal adalah kelompok kecil yang biasanya oleh masyarakat tergolong disegani, dihormati, kaya dan berkuasa.

Kelompok elit tersebut kerapkali dinyatakan sebagai kelompok minoritas superior, yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan mengendalikan aktivitas perekonomian dan sangat dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan terutama keputusan-keputusan yang berdampak kuat dan berimbas luas terhadap tatanan kehidupan. Mereka tidak hanya ditempatkan sebagai pemberi legitimasi tetapi lebih daripada itu adalah panutan sikap dan cermin tindakan serta senantiasa diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama.


(50)

Secara khusus Czudnowski yang dikutip Riswandha Imawan ( 1997, 42 –

43 ) mengisyaratkan 7 variabel yang menentukan penampilan kerja ( performance ) elit politik yakni:

1. Social Background. Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status

sosial dan ekonomi keluarga dimana seseorang ( calon ) elit dibesarkan. Misalnya, dalam berbagai penelitian, terbukti adanya konsistensi tingkah laku elit yang lahir atau dibesarkan di kalangan keluarga berpandangan liberal, akan cenderung berpikir demokratis. Demikian pula, orang yang besar dari kalangan kelas menengah ke bawah cenderung untuk bersikap merakyat ( egaliter ) dibanding mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

2. Political Socialization. Sosialisasi politik yang diterima seseorang,

terbukti sangat efektif membentuk persepsi politiknya. Melalui sosialisasi politik, seseorang mengetahui tugas-tugasnya ataupun isu-isu yang harus dilaksanakan oleh satu kedudukan politik.

3. Initial Political Activity. Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau

pengalaman politik seseorang calon elit selama ini. Idealnya memang seseorang calon elit pernah aktif dalam satu organisasi politik ataupun kegiatan politik secara individual. Sebab orang tersebut menjadi terbiasa dengan bekerja sama serta proses tukar menukar pendapat yang menjadi ciri utama mekanisme kerja dalam satu dewan perwakilan rakyat.

4. Apprenticeship. Magang merupakan cara paling efektif untuk

mengenalkan calon elit terhadap peran politik yang dikehendaki. Dengan cara ini, calon elit mengerti benar mekanisme kerja satu norma-norma yang berlaku di lingkungan kerja yang diminatinya. Namun, jeleknya, reputasi calon elit dapat “tenggelam” bila kualitas elit yang digantikan lebih baik. Sering calon elit sulit untuk melepaskan diri dari bayang-bayang pendahulunya.

5. Occupational Variables. Faktor ini menunjuk kepada pentingnya calon

elit memiliki tambahan peningkatan kemampuan serta pengalaman kerja disamping pemenuhan syarat formal seperti kepastian intelektual. 6. Motivations. Asumsi dasar yang digunakan oleh pakar politik adalah:

orang termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal, Pertama, harapan ( ekspektasi ) atas penghargaan pribadi ( personal

reward ). Kedua, orientasi mereka terhadap tujuan bersama ( collective goals ). Namun dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa

seorang elit hampir selalu menggabungkan kedua motif ini bahkan yang banyak terjadi adalah elit memanipulasi tujuan pribadi ( personal


(51)

7. Selection. Dalam ilmu politik dikenal adanya mekanisme rekrutmen

politik. Dalam rekrutmen terbuka, syarat serta prosedur untuk menampilkan seseorang tidak harus datang dari kalangan partai sendiri. Cara ini memberi kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya serta sangat komperatif

Bila ditinjau dari segi politik, otonomi daerah telah diperluas dari otonomi administratif ke otonomi politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Keterlibatan secara seimbang antara politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan akan mampu melandasi realisasi otonomi daerah secara komprehensif sehingga dapat menjamin otonomi sesungguhnya yang mampu memberi dampak positif bagi pertumbuhan daerah.

Dalam menjalankan tugasnya terutama yang berhubungan dengan rakyat yang diwakilinya, para elit politik harus penuh dalam kehidupan solidaritas dengan rakyat. Seiring dengan tujuan pemekaran untuk mempercepat kesejahteraan rakyat, Affan Gafar mengatakan bahwa,

Pembangunan masyarakat harus diinterpretasikan sebagai proses pembentukan masyarakat yang memberi kemampuan kepada para warganya untuk mengaktualisasikan potensi, prakarsa dan kreativitasnya, menumbuhkan keefektifan politik ( political efficacy ) untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terutama sekali mengenai hal-hal yang menyangkut masyarakatnya dan membatasi hubungan dependensi terhadap elit dan birokrasi.

Memang harus diakui, perjuangan untuk memberhasilkan ‘agenda’ lanjutan tidaklah mudah dan mungkin saja tidak cukup dengan kapasitas elit politik lokal sehingga perlu menggandeng kelompok lain yang tumbuh ditengah masyarakat.


(52)

Kapasitas para elit politik dimaksudkan bukanlah mengedepankan posisi tawar menawar ( position bargaining ) atau memposisikan penolakan terhadap peluang-peluang yang mungkin dikembangkan dalam memberhasilkan pemekaran daerah tapi sebagai pendukung prakarsa yang mengoptimalkan potensi khas lokal.


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Dalam tesis ini, Penulis akan menggunakan jenis penelitian deskriptif analisis yang memberikan gambaran tentang suatu kejadian melalui analisis dengan bantuan data dan informasi maupun keterangan yang dihimpun dari lapangan.

Melalui penelitian deskriptif analisis ini diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang sedang terjadi di daerah penelitian melalui analisis penulis. 3.2. Definisi Konsep

Guna membantu pemahaman terhadap penelitian ini, Penulis menggunakan definisi konsep yakni;

a. Desentralisasi adalah pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara administratif kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan.

b. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(54)

1. Pemekaran adalah pembentukan daerah dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

2. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

d. Elit politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik ( kekuasaan ) di lembaga legisltaif yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. .

e. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih elit politik secara demokratis.

3.3. Informan

Untuk mendapatkan gambaran dan keterangan lengkap dalam menunjang keberhasilan penelitian ini, Penulis menggunakan teknis wawancara dengan terlebih dahulu menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada para informan.

Informan kunci yang akan diwawancarai penulis adalah beberapa pimpinan partai politik yang mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Samosir antara lain PDI Perjuangan, Partai Golongan Karya ( Golkar ), Partai Penegak Demokrasi Kebangsaan ( PPDK ), Partai Persatuan Daerah ( PPD ), Partai Demokrat, Partai Perhimpunan Indonesia Baru ( PPIB ) dan Partai Karya Peduli Bangsa ( PKPB ).


(55)

Informan kunci ini dinilai sudah cukup mewakili para pimpinan partai politik yang mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Samosir, baik sebagai partai politik lama dan partai politik pendatang baru.

3.4. Jenis Data

Untuk mendukung penelitian ini akan digunakan data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh peneliti melalui wawancara secara langsung kepada informan.

Dan data sekunder adalah data atau keterangan yang diperoleh peneliti dari institusi resmi mengenai kondisi kemasyarakatan daerah penelitian dan hasil – hasil Pemilu Lesgilatif pada Tahun 2004 lalu dari Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kabupaten Samosir.

3.5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan mengambil lokasi di Kabupaten Samosir sebagai daerah otonom baru yang diresmikan melalui Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2003.

3.6. Analisis Data

Setelah data diperoleh peneliti dari lapangan, kemudian digunakan sebagai bahan menganalisa secara kualitatif dengan terlebih dahulu melakukan langkah klasifikasi dan pengolahan data primer maupun data sekunder.


(56)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Kabupaten Samosir

Kabupaten Samosir diresmikan melalui UU Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sebelumnya, wilayah Samosir hanya 6 kecamatan namun menjelang pemekaran menjadi 9 kecamatan yakni Kecamatan Pangururan, Kecamatan Harian Kecamatan Simanindo, Kecamatan Palipi, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onan Runggu, Kecamatan Sianjur Mula – Mula, Kecamatan Ronggur Ni Huta dan Kecamatan Sitio-tio. Sembilan kecamatan tersebut terdiri dari 117 kelurahan dan desa dengan jumlah luas wilayah 1.419 km 2 yang dihuni 130.078 jiwa penduduk.

Tuntutan pemekaran kabupaten tersebut merupakan aspirasi dan kemauan politik masyarakat Samosir dengan memperhatikan persyaratan antara lain kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah .

Aspirasi dan kemauan politik tersebut ditandai dengan adanya pernyataan - pernyataan masyarakat baik melalui ornop ( organisasi non- politik ), organisasi - organisasi politik dan lainnya yang disampaikan kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir ( Tobasa ).


(57)

Realisasi dari aspirasi masyarakat itu kemudian dituangkan melalui Surat Keputusan ( SK ) DPRD Kabupaten Tobasa Nomor 4 Tahun 2002, Surat Bupati Tobasa Nomor 1101/ Pem/2002 tertanggal 24 Juni 20002 dan Nomor 135/1187/Pem/2002 tertanggal 3 Juli 2002 yang ditujukan kepada Pempropsu perihal aspirasi masyarakat Samosir untuk membentuk Kabupaten Samosir. Melalui proses dan tahapan, pemerintah pusat mengeluarkan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Pembentukan Kabupaten Samosir ini diharapkan dapat mengejar ketertinggalan dari daerah – daerah lainnya di Indonesia atau secara khusus di Propinsi Sumatera Utara. Sebagai daerah otonom baru, Kabupaten Samosir yang merupakan salah satu daerah tujuan wisata dengan keindahan Danau Toba dan panorama alamnya harus berbenah diri untuk bisa memikirkan pembangunan daerahnya sendiri .

Secara geografis, Kabupaten Samosir berada pada 2024 – 2048 lintang utara dan 98030 – 90001 bujur timur, yang memiliki luas daerah 1.419,05 km2 . Kabupaten Samosir diapit tujuh kabupaten yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tanah Karo dan Kabupaten Simalungun, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir.

Wilayah Samosir berada di dataran tinggi dengan ketinggian 300 - 2.200 meter di atas permukaan laut sementara topografi dan kontur tanahnya beraneka


(58)

ragam yaitu datar, landai, miring dan terjal. Sementara itu, struktur tanahnya labil dan berada pada wilayah gempa tektonik dan vulkanik.

Mengingat letaknya yang berada di garis khatulistiwa, Kabupaten Samosir tergolong daerah beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17 0C-29 0C dengan rata-rata kelembaban udara 85,44%. Rata-rata tinggi daerah curah hujan yang terjadi di Kabupaten Samosir per bulannya sebesar 223 mm dengan jumlah 17 hari hujan sehingga cocok sebagai daerah pertanian. Selain itu, Kabupaten Samosir cukup dikenal oleh wisatawan asing karena keindahan Danau Toba dan merupakan salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat dan sumber pemasukan bagi kas pemerintah daerah.

Ditinjau dari segi administrasi pemerintahan, sudah cukup mendukung pembentukan Kabupaten Samosir karena 9 kecamatan tersebut terdiri dari 111 desa dan 6 kelurahan yang diantaranya 86,32 persen merupakan desa / kelurahan swadaya dan sisanya 5,98 persen merupakan desa / kelurahan swasembada.

Berdasarkan jumlah penduduk, Kecamatan Pangururan yang merupakan ibukota kabupaten, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan merupakan kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya yaitu 334,56 jiwa / km2. Kemudian Kecamatan Onan Runggu dengan tingkat kepadatan sebesar 201,54 jiwa / km2. Dan Kecamatan Harian merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan yang terkecil yaitu hanya 13,81 jiwa / km2. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.1. berikut ini :


(59)

Tabel 4.1. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan

Kecamatan Luas Wilayah

Rumah Tangga

Penduduk Kepadatan

1 2 3 4 5

1. Harian

2. Sianjur Mula-Mula 3. Nainggolan 4. Onan Runggu 5. Palipi

6. Pangururan 7. Ronggur Nihuta 8. Simanindo 9. Sitiotio 581,50 140,24 87,86 59,14 129,55 84,65 87,15 198,20 50,76 1.617 2.124 3.038 2.707 3.617 5.614 1.794 4.728 1.745 8.032 10.057 14.908 11.919 17.490 28.321 9.043 22.013 8.295 13,81 71,71 169,68 201,54 135,01 334,56 103,76 111,07 163,42

Jumlah 1.419,05 26.985 130.078 91.67

Sumber : Samosir Dalam Angka Tahun 2004

Di Kabupaten Samosir, dunia pendidikan merupakan sektor yang sangat diperhatikan pemerintah daerahnya karena dinilai merupakan faktor yang menentukan dalam meningkatkan sumber daya manusia baik dari segi kualitas dan kuantitas. Indikator dari keberhasilan sektor pendidikan salah satunya dapat dilihat dari peningkatan angka partisipasi sekolah dari tahun ke tahun yang didukung ketersediaan sarana dan prasarana yang baik dan memadai.

Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan tersebut dapat dipaparkan mulai dari tingkat sekolah dasar, SLTP, SMU dan SMK. Tingkat sekolah dasar 202 unit dengan 21.319 orang siswa, yang didukung 1.131 orang tenaga pengajar. sehingga rasionya sebesar 18,85 orang, artinya setiap satu orang guru mengajar sekitar 19 orang siswa. Sedang untuk tingkat SLTP terdapat 30 unit sekolah,


(60)

dengan 515 tenaga pengajar dan 10.101 orang siswa. Rasio murid terhadap guru dan sekolah masing-masing 20 dan 337. sementara rasio guru terhadap sekolah rata-rata 17.

Tingkat SMU ( Sekolah Menengah Umum), jumlah sekolah yang ada sebanyak 11 unit dengan 237 orang tenaga pengajar dan 4.389 orang siswa. Sementara itu, tingkat sekolah menengah kejuruan ( SMK ) , jumlah sekolah, guru dan murid masing-masing 6 unit sekolah, 130 orang tenaga pengajar dan 2.010 orang siswa. Rasio murid SMU terhadap guru dan murid sekolah masing-masing sebesar 19 dan 399. Sedangkan rasio murid SMK terhadap guru dan sekolah masing 15 dan 355. Rasio guru SLTA dan SMK terhadap sekolah masing-masing 21,55 dan 21,67.

Mengenai sumber mata pencaharian, sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat hamparan daerah pertanian, khususnya persawahan yang terhampar luas.

Pertanian menjadi sektor andalan bagi Kabupaten Samosir dalam menggerakkan roda perekonomian daerah dan sektor ini memberi kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Samosir yaitu sekitar 53,21 persen.

Kontribusi dari sektor pertanian tersebut didukung semakin lancarnya sarana dan prasarana transportasi darat yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainya. Untuk itu, program di bidang prasarana transportasi menekankan aspek pembukaan jalan yang dapat menjangkau daerah terisolir sehingga


(61)

memudahkan mobilitas penduduk dan barang dari satu daerah ke daerah lain. Selain itu, transportasi danau dengan menggunakan kapal mesin juga membantu kelancaran perekonomia ke daerah lainnya seperti Tobasa dan Simalungun.

Menurut data , PDRB Kabupaten Samosir sebesar Rp 1.102.020,35 juta, atau mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 7,85 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp 823.388,77 juta. Sementara itu, PDRB per kapita sebesar Rp 10.411.522,51 atau lebih besar dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp 9.190.232,98.

Secara rinci dapat dilihat dalam grafik 4.1. mengenai perkembangan PDRB Kabupaten Samosir Tahun 2000 – 2004.

Grafik 4.1. Perkembangan PDRB Kabupaten Samosir Tahun 2002 – 2004

2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000

2000 2001 2002 2003 2004+

East West


(62)

4.2. Proses Muculnya Calon Legislatif

Kabupaten Samosir merupakan pemekaran dari Kabupaten Tobasa ( Toba dan Samosir) yang peresmiannya sangat berdekatan dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu. Dan untuk mengetahui bagaimana proses munculnya calon legislatif, anggota legislatif dan pimpinan dewan sebagai elit politik lokal di daerah yang berpenduduk homogen Batak Toba ini akan dibahas secara mendalam dalam penelitian ini.

Untuk mendapatkan berbagai penjelasan dan data tentang permasalahan tersebut, Penulis mewawancarai beberapa pimpinan partai politik sebagai informan.

Dalam penelitian ini, Penulis mewawancarai informan antara lain :

1. Ketua DPC PPD ( Partai Persatuan Daerah ) Ir. Oloan Simbolon yang sehari - harinya juga sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Samosir,

2. Sekretaris PPDK ( Partai Penegak Demokrasi dan Kebangsaaan ) DR. Poltak Sinaga, MSi,

3. Tumpak Situmorang, fungsionaris Partai Demokrat yang mantan Ketua Bappilu ( Badan Pemenangan Pemilihan Umum ) Partai Demokrat pada Pemilu Tahun 2004 lalu,

4. Parulian Situmorang yang fungsionaris Partai Golongan Karya ( Golkar ),


(63)

5. Ganda Tambunan yang fungsionaris PDI – Perjuangan sekaligus Ketua FPDI-P DPRD Samosir,

6. Edi Polo Hutabalian, fungsionaris Partai Patriot Pancasila,

7. Marlon Simbolon yang fungsionaris PNBK ( Partai Nasional Banteng Kemerdekaan ) ,

8. Marco Sihotang dari fungsionaris PKPB ( Partai Karya Peduli Bangsa ),

9. Lundak Sagala dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB). Para fungsionaris partai politik peserta Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu yang mendapat kursi cukup memberi respon positif terhadap beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan proses munculnya elit politik lokal di Kabupaten Samosir sebagai kabupaten pemekaran.

Dalam iklim demokrasi, Pemilu merupakan sarana yang dinilai efektif untuk melihat apakah hak memilih dan dipilih itu sudah berjalan dengan baik. Secara umum bisa digambarkan bahwa pada Pemilu Tahun 2004 lalu, jumlah pe milih terdaftar di tiga daerah pemilihan ( Dapem ) sebanyak 75. 772 orang namun hanya 225 orang calon legislatif ( 0,23 % ) yang diajukan 20 partai politik untuk memperebutkan 25 kursi.

Berdasarkan data tersebut, ternyata perbandingan jumlah pemilih dengan calon legislatif cukup mencolok padahal gaung pemekaran kabupaten cukup tinggi. Mengenai jumlah pemilih per kelurahan / desa di tiga daerah pemilihan dapat dilihat dalam tabel 4.2. berikut ini.


(64)

Tabel 4. 2. Jumlah Data Pemilih di Kabupaten Samosir pada Pemilu Tahun 2004

No. Nama Kecamatan Nama Desa Data Pemilih

( Orang )

1 2 3 4

1. Sosor Dolok 269

2. Partungko Naginjang 1,419

3. Hariara Pohan 428

4. Dolok Raja 457

5. Sampur Toba 526

1 Harian 6. Siparmahan 624

7. Turpuk Limbong 390

8. Turpuk Sagala 143

9. Turpuk Malau 274

10.Turpuk Sihotang 236

11. Janji Martahan 211

J u m l a h 4,977

1. Huta Ginjang 354

2. Singkam 377

3. Hasinggaan 736

4. Aek Sipitudai 765

5. Huta Gurgur 393

2 Sianjur Mula- Mula 6. Sianjur Mula - Mula 344

7. Boho 580

8. Siboro 620

9. Sarimarrihit 629

10. Ginolat 551

11. Bonan Dolok 454

J u m l a h 5,803

1. Tamba Dolok 878

2. Cinta Maju 1,154

3 Sitio – tio 3. Buntu Mauli 528

4. Sabulan 705

5. Holbung 455

6. Janji Raja 630

J u m l a h 4,350

1. Suhut Nihuta P 386

2. Gorat Parlombuan 917

3. Urat II 1532

4. Palipi 1199

5. Pardomuan Nauli 546

6. Hatoguan 756

4 Palipi 7. Simbolon Purba 1349


(1)

Terbentuknya DPRD Kabupaten Samosir periode 2004 – 2009 melalui mekanisme Pemilu Tahun 2004 lalu tentu saja membutuhkan proses yang cukup panjang mulai dari rekrutmen, seleksi para calon legislatif di masing – masing partai politik serta melakukan berbagai pendekatan untuk menarik simpati masyarakat pemilih.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Proses munculnya elit politik lokal di Kabupaen Samosir sebagai kabupaten pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) melalui Pemilu ( Pemilihan Umum ) Legislatif Tahun 2004 lalu sudah terlaksana dengan baik namun kompetisi individu anggota masyarakat ternyata lebih didominasi kolektifitas ( kelompok ) marga sebagai sumber perolehan suara untuk mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Samosir. Sementara itu, posisi partai politik pengusung calon anggota legislatif ditempatkan sebagai kenderaan politik Hasil perolehan kursi DPRD di Kabupaten Samosir pada Pemilu Tahun 2004 lalu, menunjukkan penyebaran kursi di 11 partai politik yang didominasi partai politik ‘pendatang baru ‘ dan 16 marga dari 61 marga calon legislatif di 3 daerah pemilihan (Dapem) sehingga kekhawatiran sementara pihak bahwa otonomi daerah akan memungkinkan penumpukan sumber – sumber kekuasaan di tangan segelintir orang tidaklah terjadi di Kabupaten Samosir. Dan sebagai daerah yang berpenduduk homogen dan cukup kental dengan adat istiadat, membuat faktor feodalisme dalam ikatan kekerabatan primordialisme dan patrimonialisme masih mendominasi dalam memunculkan elit politik lokal.


(3)

2. Kabupaten Samosir sebagai pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) telah memberi kesempatan yang terbuka lebar bagi masyarakat untuk menjadi elit politik lokal seperti pimpimnan partai politik, calon legislatif, anggota legislatif dan pimpinan dewan. Dengan terbentuknya Kabupaten Samosir, 20 partai politik peserta Pemilu telah berhasil mengajukan 225 calon anggota legislatif untuk memperebutkan 25 kursi di DPRD Kabupaten Samosir. Dan dari segi jumlah keanggotaan dewan, telah bertambah banyak dibanding saat masih bergabung dengan Kabupaten Toba Samosir sebab pada Pemilu Tahun 1999 lalu, wilayah Samosir hanya memperoleh jatah 10 kursi.

5.2. Saran

1. Mengingat Kabupaten Samosir sebagai kabupaten baru, hendaknya partai politik meningkatkan pendidikan politik kepada masyarakat dan para calon legislatifnya agar lebih matang berkompetisi pada Pemilihan Umum ( Pemilu ) di masa mendatang;

2. Pendidikan politik juga perlu ditingkatkan kepada para pemilih agar lebih cerdas dalam menentukan pilihannya kepada para calon yang memiliki kualitas dan popularitas serta mengetahui visi dan misi partai politik peserta Pemilu.

3. Pendekatan budaya perlu menjadi perhatian bagi partai politik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat pemilih di Kabupaten Samosir yang masih kental dengan ikatan kekerabatan “ Dalihan Na Tolu “ .


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arfani, Riza Noer, 1996. Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Bottomore, T.B. 2006. Elit dan Mayarakat, Jakarta: Akbar Tandjung Institute. Effendi, Sofyan (Ed). 1992, Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu

Sosial Dalam Pembangunan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gaffar, Afan, 2003. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Haris, Syamsuddin (Ed). 2005, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press.

Hasibuan, Albert, 1996. Titik Pandang Untuk Orde Baru, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hidayat, Syarif, 2000. Refleksi Realitas Otonomi Daerah, Jakarta: PT Pustaka Quantum.

Imawan, Riswhanda, 1997. Membedah Politik Orde Baru, Yogyakarta: Puastaka Pelajar.

Koirudin, 2005, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia: Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Malang: Averroes Press. Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka

Cipta.

Mas’oed, Mochtar, 1997. Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan, UII Press. Nurhasim, Moch (Ed). 2005, Konflik Antar Elit Politik Lokal, Jakarta: Pustaka

Pelajar.

Purwoko, Herudjati (Ed). 2004, Desentralisasi Dalam Perspektif Lokal, Salatiga: Pustaka Percik.

Salam, Dharma Setyawan, 2004. Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Jakarta: Djambatan.

Sanit, Arbi, 1993. Sistim Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(5)

Santoso, Topo (Ed). 2004, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Supriatna, Tjahya, 1996. Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Bumi Aksara.

Widjaja, H.A.W. 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Peraturan Perundang - undangan

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, 2003, Jakarta, Fokusmedia

Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, 2003, Jakarta, Fokusmedia

Undang – Undang Repubik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 2004 , Jakarta, CV Eko Jaya

Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah


(6)