Konflik Elit Lokal Dalam Pemekaran Kecamatan Blang Jerango di Kabupaten Gayo Lues
KONFLIK ELIT LOKAL DALAM PEMEKARAN KECAMATAN BLANG
JERANGO DI KABUPATEN GAYO LUES
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
DISUSUN OLEH :
NASRULLAH
Nim. 090901005
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
(2)
ABSTRAK
Indonesia sebagai negara republik dan negara kesatuan yang menganut asas
desentralisasi di dalam penyelenggaraan pemerintahan memberikan kesempatan
dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Salah
satu produk dari otonomi daerah yaitu terbentuknya daerah - daerah baru melalui
pemekaran. Terjadinya pemekaran di Kecamatan Blang Jerango merupakan wujud
rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerataan pelayanan dan pembangunan.
Maka, kondisi ini dijadikan oleh aktor yaitu para elit politik, untuk melakukan
pemekaran. Seiring dengan terjadinya pemekaran di Kecamatan Blang Jerango
maka menimbulkan konflik antar elit yang berpengaruh di Kecamatan Blang
Jerango, yang didasari dengan tujuan - tujuan tertentu. Hal ini menjadi perhatian
tersendiri bagi peneliti untuk meneliti konflik elit lokal dalam Pemekaran di
Kecamatan Blang Jerango, Kabupaten Gayo Lues.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme
konflik elit lokal dalam pemekaran Kecamatan Blang Jerango. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus atau
case study.
Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain
dengan observasi, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah terjadinya pemekaran di
Kecamatan Blang Jerango menyebabkan timbulnya konflik perebutan Kekuasaan.
Pada awalnya tujuan para elit memekarkan Kecamatan Blang Jerango adalah
untuk mensejahterakan masyarakat. Namun, setelah Kecamatan Blang Jerango
berhasil dimekarkan, para elit justru disibukkan dengan perebutan posisi camat di
kecamatan yang baru dengan berujung pada konflik horizontal. Tindakan -
tindakan yang dilakukan oleh para elit yang berkonflik antara lain, saling
menjelek - jelekkan satu sama lain, mengklaim bahwa diri masing - masing pantas
menduduki kursi camat karena menganggap dirinya banyak berkontribusi dalam
proses pemekaran, serta melakukan lobi kepada sekretaris bupati agar diunjuk
menjadi camat di Kecamatan Blang Jerango.
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah -Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul :
‘
’
KONFLIK ELIT LOKAL DALAM PEMEKARAN KECAMATAN
BLANG JERANGO DI KABUPATEN GAYO LUES’’
guna memenuhi syarat
untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menghadapi berbagai hambatan, hal
ini disebabkan oleh keterbatasan wawasan penulis, kurangnya pengalaman serta
sedikitnya wacana yang menyangkut bahan penelitian yang ditemukan oleh
peneliti. Akan tetapi, atas berkah-Nya semua hambatan tersebut dapat dilalui,
sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Hal ini tak luput dari keluarga
dan teman - teman yang selalu memberikan motivasi dan dorongan serta doa.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
serta dalam membantu penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada :
1.
Bapak Prof. Dr. Badaruddin,M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sumatera Utara.
2.
Ibu Dra. Lina Sudarwati,M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas
ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
3.
Bapak Drs. Muba Simanihuruk,M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi
dan dosen wali serta dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, pemikiran, saran, evaluasi, serta
motivasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
4.
Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi Departemen Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara Khususnya
Departemen Sosiologi.
5.
Teristimewa buat keluarga yaitu kedua orang tua penulis, bapak dan ibu yang
selalu memberikan perhatian yang besar, mendidik dan selalu membimbing
(4)
penulis dengan serius semenjak kecil hingga saat ini dengan penuh rasa kasih
sayang dan selalu memanjatkan doa - doa yang tiada hentinya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga dengan bang junaidi, kak Seri
Minta, bang Syaparuddin, Seri wahyuningsih yang sangat penulis sayangi.
Terimakasih atas doa dan dukungannya.
6.
Buat Risman Sitompul Sos’09, terimakasih atas segala kontribusi dan
motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7.
Bapak M.Nasir, Bapak Abd.Karim, Bapak M.Kasim Ibrahim, Bapak Abd.
Manap, dan para tokoh Agama di Kecamatan Blang Jerango terimakasih atas
segala bantuannya.
8.
Seluruh teman - teman kos, Rabudin, Jul, Nia, Nanda dan teman lainnya, tetap
semangat dalam hidup ini. Somoga angin kesuksessan berada disekitar kita.
9.
Buat seluruh teman -
teman stambuk Sos’09 dan juga komunitas JC yang selalu
kompak dan membantu satu sama lain. Thank you very much.
10.Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan skripsi ini. Akan
tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan dari kesempurnaan
skripsi ini.
Medan, Juni 2015
Penulis
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah ... 1
1.2
Perumusan Masalah. ... 6
1.3
Tujuan Penelitian ... 6
1.4
Manfaat Penelitian ... 6
1.5
Defenisi Konsep ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Elit ... 9
2.2 Teori Konflik ... 10
2.3 Teori Pemekaran Wilayah ... 12
2.4 Pemekaran Kecamatan ... 16
2.5 Pemerintahan Daerah. ... 18
2.6 Pelayanan Publik ... 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ... 24
3.2 Lokasi Penelitian ... 24
3.3 Unit Analisis Dan Informan... 24
3.3.1 Unit Analisis ... 24
3.3.2 Informan... 25
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 25
3.4.1 Data Primer ... 25
(6)
3.5 Interpretasi Data ... 26
3.6 Jadwal Penelitian ... 27
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28
4.1.1 Sejarah Kabupaten Gayo Lues dan Kecamatan Blang Jerango ... 28
4.1.1.1 Sejarah Terbentuknya Kabupaten Gayo Lues... 28
4.1.1.2 Letak Geografis Gayo Lues ... 34
4.1.1.3 Topografi dan Morpologi Wilayah Kabupaten Gayo Lues ... 35
4.1.1.4 Pemerintahan Kabupaten Gayo Lues ... 37
4.1.1.5 Sosial dan Budaya Masyarakat Gayo Lues... 38
4.2.1.1 Sejarah Kecamatan Blang Jerango ... 39
4.2.1.2 Letak dan Luas Kecamatan Blang Jerango ... 41
4.2.1.3 Pemerintahan Kecamatan Blang Jerango ... 41
4.1.4 Struktur Organisasi Pemerintahan Kecamatan Blang Jerango ... 42
4.2.1.4 Jumlah Penduduk Kecamatan Blang Jerango Dirinci Per Desa ... 44
4.2.1.5 Persentase Jumlah Keluarga di Kecamatan Blang Jerango ... 45
4.2.1.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ... 46
4.2.1.7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis ... 47
4.2.1.8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 47
4.2.1.9 Sarana dan Prasarana Kecamatan Blang Jerango... 48
4.2.1.10 Sarana dan Prasarana Ibadah... 48
4.2.1.11 Sarana dan Prasarana Pendidikan ... 49
4.2 Profil Informan ... 50
(7)
4.3.2 Identifikasi Sejarah Pemekaran Kecamatan Blang Jerango ... 69
4.3.3 Proses Terbentuknya Panitia Pemekaran Kecamatan ... 74
4.3.4 Proses Penysunan Raperda ... 75
4.3.5 Argumentasi Pemekaran Wilayah Kecamatan... 80
4.3.6 Penyebab Terjadinya Konflik Elit Dalam Pemekaran Kecamatan ... 83
4.3.7 Bentuk Konflik Elit Yang Terjadi Pasca Pemekaran Kecamatan Blang
Jerango... 88
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 94
5.2 Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Pegawai Kantor Kecamatan Blang Jerango Kategori PNS dan Honorer... 41
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Dirinci Perdesa ... 44
Tabel 4.3 Komposisi Keluarga di Kecamatan Blang Jerango Tahun 2013 ... 45
Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 46
Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 47
Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 47
Tabel 4.7 Sarana Ibadah ... 49
(9)
ABSTRAK
Indonesia sebagai negara republik dan negara kesatuan yang menganut asas
desentralisasi di dalam penyelenggaraan pemerintahan memberikan kesempatan
dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Salah
satu produk dari otonomi daerah yaitu terbentuknya daerah - daerah baru melalui
pemekaran. Terjadinya pemekaran di Kecamatan Blang Jerango merupakan wujud
rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerataan pelayanan dan pembangunan.
Maka, kondisi ini dijadikan oleh aktor yaitu para elit politik, untuk melakukan
pemekaran. Seiring dengan terjadinya pemekaran di Kecamatan Blang Jerango
maka menimbulkan konflik antar elit yang berpengaruh di Kecamatan Blang
Jerango, yang didasari dengan tujuan - tujuan tertentu. Hal ini menjadi perhatian
tersendiri bagi peneliti untuk meneliti konflik elit lokal dalam Pemekaran di
Kecamatan Blang Jerango, Kabupaten Gayo Lues.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme
konflik elit lokal dalam pemekaran Kecamatan Blang Jerango. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus atau
case study.
Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain
dengan observasi, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah terjadinya pemekaran di
Kecamatan Blang Jerango menyebabkan timbulnya konflik perebutan Kekuasaan.
Pada awalnya tujuan para elit memekarkan Kecamatan Blang Jerango adalah
untuk mensejahterakan masyarakat. Namun, setelah Kecamatan Blang Jerango
berhasil dimekarkan, para elit justru disibukkan dengan perebutan posisi camat di
kecamatan yang baru dengan berujung pada konflik horizontal. Tindakan -
tindakan yang dilakukan oleh para elit yang berkonflik antara lain, saling
menjelek - jelekkan satu sama lain, mengklaim bahwa diri masing - masing pantas
menduduki kursi camat karena menganggap dirinya banyak berkontribusi dalam
proses pemekaran, serta melakukan lobi kepada sekretaris bupati agar diunjuk
menjadi camat di Kecamatan Blang Jerango.
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara republik dan negara kesatuan yang menganut
asas desentralisasi di dalam penyelenggaraan pemerintahan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Pemberian otonomi kepada daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia esensinya telah terakomodasikan dalam pasal 19 UUD 1945 yang
intinya bahwa membagi daerah Indonesia atas daerah besar (provinsi) dan daerah
provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil (Yudhoyono, 2001). Dengan
demikian UUD 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah.
Pemerintah Orde Baru menetapkan realisasi otonomi daerah melalui
Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dengan konsep otonomi yang nyata dinamis
dan bertanggungjawab. Sebagai konsekuensi di dalam salah satu bagian
undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa otonomi lebih merupakan kewajiban
dari pada hak, maka kontrol pemerintah pusat terhadap daerah menjadi sangat
ketat. Akibatnya muncul keresahan di daerah terhadap komitmen pemerintah
pusat untuk melaksanakan desentralisasi. Di tengah-tengah kondisi tersebut pada
pasca orde Baru untuk menjawab tuntutan otonomi yang lebih baik muncul
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (telah direvisi dengan uu No. 32 Tahun
(11)
25 Tahun 1999 (telah direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004) tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. walaupun
undang-undang tersebut masih diwarnai dengan beberapa kelemahan dan menjadi sorotan
kritis dari masyarakat, namun masih ada rasa optimisme karena makna otonomi
itu sebenarnya adalah pengakuan pentingnya kemandirian.
Salah satu produk dari otonomi daerah yaitu terbentuknya daerah - daerah
baru melalui pemekaran. Dalam era otonomi daerah sekarang ini banyak
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pemerintah. Masa transisi sistem
pemerintahan dari UU No.1 Tahun 1945 sampai pada UU No.32 Tahun 2004
membawa perubahan yang mendasar sehingga memberikan peluang pada daerah
yang memiliki sumber daya alam dan wilayah yang luas untuk dimekarkan
menjadi beberapa wilayah, hal ini dimaksudkan agar mobilisasi dan percepatan
proses pertumbuhan dan pembangunan dapat menyentuh serta menjangkau
segenap aspek kehidupan masyarakat hingga ke daerah - daerah terpencil. Banyak
daerah - daerah terpencil yang belum terjangkau pembangunan secara maksimal,
begitu juga dari sisi pelayanan terhadap masyarakat, maka dengan diperkecilnya
wilayah administratif tentu akan memperpendek rentang kendali pemerintah.
Kabupaten Gayo Lues merupakan hasil pemekaran di Provinsi Aceh yang
berasal dari Kabupaten Aceh Tenggara. Kabupaten ini di resmikan berdasarkan
UU No.4 Tahun 2002 pada tanggal 10 April 2002. Kabupaten yang berada di
gugusan pegunungan bukit barisan. Sebagian besar wilayahnya merupakan area
Taman Nasional Gunung Leuser yang telah dicanangkan sebagai warisan dunia,
kabupaten ini merupakan kabupaten yang paling terisolasi di Aceh. Setelah
(12)
reformasi 1999 telah terjadi 13 kali pemekaran di Provinsi Aceh sehingga jumlah
kabupaten-kota telah mencapai 23 kabupaten/kota.
Peningkatan jumlah penduduk dan volume kegiatan pemerintah dan
pembangunan di wilayah kabupaten Gayo lues, maka untuk memperpendek
rentang kendali tugas roda pemerintahan dan pemerataan pembangunan serta
peningkatan pelayanan kepada masyarakat yang berdaya guna dan berhasil guna
dipandang perlu diadakan pemekaran kecamatan di Wilayah Kabupaten Gayo
Lues. Pemekaran yang ada di Kecamatan Blang Jerango terjadi pada tahun 2004,
yang merupakan Kecamatan yang dimekarkan dari Kecamatan Kuta Panjang.
Kecamatan Blang Jerango sendiri merupakan salah satu wilayah yang
berada di Kabupaten Gayo Lues yang meliputi wilayah Kampung Penosan,
Penosan sepakat, Gegarang, Peparik gaib, Tingkem, Sekuelen, Akul, Ketukah,
Blang jerango, dan Peparik dekat. Wilayah Kecamatan Blang Jerango semula
merupakan bagian dari Wilayah Kecamatan Kutapanjang. Dengan dibentuknya
Kecamatan Blang Jerango maka luas wilayah Kecamatan Kutapanjang dikurangi
dengan wilayah Kecamatan Blang Jerango.
Terjadinya pemekaran di Kecamatan Blang Jerango merupakan wujud rasa
ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerataan pelayanan dan pembangunan.
Maka, kondisi ini dijadikan oleh aktor yaitu para elit politik, untuk melakukan
pemekaran. kesempatan pemekaran diberikan oleh pemerintah yang disambut baik
oleh masyarakat. Salah satu tujuan pemekaran kecamatan adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan melalui percepatan pertumbuhan demokrasi
(13)
penjelasan Syaukani dkk (2003: 175 - 177), yaitu pembangunan tradisi politik
yang lebih sesuai dengan kultur setempat demi menjamin tampilnya
kepemimpinan pemerintahan yang berkualitas tinggi dengan tingkat akseptabilitas
yang tinggi pula. Dengan demikian pemilihan pemimpin daerah termasuk pada
tingkat Kecamatan diberikan peluang seluas - luasnya untuk memunculkan
seorang pemimpin yang diharapkan lebih sesuai dengan budaya setempat demi
tercapainya kesejahteraan bersama. Peluang ini diberikan sejak proses awal dan
tahap sosialisasi hingga tahap pemilihan secara langsung. Apalagi menurut
undang - undang No.32 tahun 2004 pengganti undang - undang tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, telah memungkinkan semua pimpinan daerah di
pilih secara langsung melalui proses pemilihan kepala daerah .
Suatu tim peneliti dari Bank Dunia (
World Bank
) dalam studinya telah
memetakan beberapa faktor pendorong atau penyebab tingginya keinginan elit -
elit lokal di Indonesia pada era reformasi untuk memekarkan daerah. Faktor -
faktor tersebut adalah
1.
Motif untuk efektivitas dan efesiensi administratif pemerintahan
mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, dan pembangunan
daerah yang tertinggal.
2.
Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa,agama,urban - rural,
tingkat pendapatan)
3.
Adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh undang - undang (UU) bagi
daerah
–
daerah pemekaran dengan DAU (Dana Alokasi Umum), bagi
hasil (
revenue sharing
) dari sumber daya alam (SDA) dan non – SDA, dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
(14)
4.
Motif politik ekonomi (
beruaucratic and political rent seeking
) para elit
lokal dan pusat.
Seiring dengan terjadinya pemekaran di Kecamatan Blang Jerango maka
timbullah pertentangan atau konflik antara elit-elit yang berpengaruh di daerah
tersebut, yang didasari dengan tujuan-tujuan tertentu. Elit lokal adalah salah satu
aktor yang menjadi sumber struktural yang mampu melakukan perubahan
dimasyarakat. Perubahan - perubahan yang ada dimasyarakat disebabkan oleh
adanya kelompok - kelompok strategis dimasyarakat dan pada akhirnya juga akan
membawa perubahan kembali bagi kelompok - kelompok strategis yang sudah
ada. Kelompok strategis disini adalah golongan atau elit yang memiliki pengaruh
di wilayah tersebut. Tidak hanya satu elit atau golongan yang terlibat dalam
pemekaran wilayah, tapi juga banyak elit terkait. Setiap elit memiliki peranan
didalam pemekaran Kecamatan dimana memiliki gagasan - gagasan, kepentingan,
ideologi dan tujuan tersendiri didalam pemekaran wilayah tersebut. Beragam cara
dilakukan oleh setiap elit yang terlibat untuk membuat gagasan mereka tercapai.
Para penganut konflik dalam ilmu sosial menyakini bahwa penyebab utama
konflik ialah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan dalam masyarakat
yang memunculkan diferensiasi kepentingan. Kepentingan tersebut biasanya
dimiliki oleh seorang/kelompok yang mempunyai tujuan salah satunya untuk
berkuasa di wailayah tertentu. otoritas politik tertentu. Pada saat kepentingannya
itu bertentangan dengan kelompok yang memiliki kepentingan lainnya maka akan
terjadi konflik.
(15)
yang berpengaruh untuk memperebutkan kedudukan atau jabatan. Dinamika
politik era kampanye desentralisasi dan otonomi daerah menunjukkan kesulitan
untuk terlepas dari konflik kepentingan. Konflik kepentingan di ruang perebutan
akses ekonomi, politik seringkali berujung pada konflik antara elit yang ingin
berkuasa. Konflik ini terjadi dikarenakan adanya pihak yang pro dan kontra
terhadap pemekaran tersebut. Konflik yang terjadi disini lebih ke konflik laten
dimana konfliknya bersifat tersembunyi, merupakan pertentangan yang tertutup
antara elit yang terjadi konflik dalam memperebutkan kepentingannya.
Berdasarkan penjelasan diatas peneliti merasa tertarik untuk meneliti Konflik Elit
Lokal dalam Pemekaran Kecamatan Blang Jerango di Kabupaten Gayo Lues.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar betakang diatas, maka perumusan masalah
yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Konflik Elit Lokal
dalam Pemekaran kecamatan Blang Jerango.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian
ini adalah Untuk mengetahui bagaimana Mekanisme Konflik Elit Lokal dalam
Pemekaran Kecamatan Blang Jerango di Kabupaten Gayo Lues.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi
mahasiswa khususnya bagi mahasiswa Sosiologi serta dapat memberikan
kontribusi bagi ilmu sosial, masyarakat, dan pemerintah serta diharapkan dapat
(16)
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya,
terutama Sosiologi.
2.
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis
karya ilmiah khususnya yang berhubungan dengan konflik Elit Lokal dalam
Pemekaran Kecamatan Blang Jerango di Kabupaten Gayo Lues. Hasil penelitian
ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk memahami mekanisme
Konflik Elit Lokal dalam Pemekaran Kecamatan Blang Jerango di Kabupaten
Gayo Lues sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas pada umumnya dan
masyarakat Gayo Khususnya.
1.5. Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian
ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan dapat menyederhanakan
pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang
berkaitan satu dengan yang lainnya.
1. Pertarungan memiliki arti kita menghadapi lawan yang nyata, yang hadir,
kendati mungkin kita tidak menyadari atau tidak mengakui kehadirannya, di
dalam kata tarung tersirat juga pengertian bahwa lawan itu harus kita hadapi untuk
jangka waktu yang cukup panjang
2. Elit lokal adalah orang orang yang memiliki pengaruh besar di suatu cabang
kehidupan dalam tingkat lokal. Adapun elit-elit yang dimaksud disini adalah
Camat, Mantan camat, Mantan anggota DPRD, Tokoh agama, Tokoh adat.
(17)
3. Pemekaran daerah menurut Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun
2004 menyatakan pemekaran lebih, sesuai persyaratan yang ditentukan
undang-undang berlaku yang harus dipenuhi dan telah mencapai batas usia minimal
penyelenggaraan.
4. Kecamatan adalah sebuah pembagian administratif negara indonesia di bawah
daerah tingkat II. Sebuah kecamatan dipimpin oleh seorang camat dan dipecah
kepada beberapa kelurahan dan desa-desa
(18)
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Elit
Vilfredo Pareto (1848 - 1923) menggunakan kata elit untuk menjelaskan
adanya ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial
(T.B. Bottomore, 1996). Pareto percaya bahwa dalam setiap masyarakat
diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan
bagi kehidupan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka
yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan terbaik.
Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang - orang yang berhasil
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Lebih jauh, Paretto dalam
Bottomore (1996) membagi kelas elit kedalam dua kelas yaitu pertama, elit yang
memerintah (
governing elite
) yang terdiri dari individu - individu yang secara
langsung dan tidak langsung memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan.
Kedua, elit yang tidak memerintah (
non - governing elite
). Jadi menurutnya,
dalam lapisan masyarakat memiliki dua lapisan, lapisan yang rendah dan lapisan
yang tinggi yang dibagi menjadi dua, elit yang memerintah dan elit yang tidak
memerintah.
Tak jauh berbeda dengan Pareto, Gaetano Mosca (1858 - 1941)
memberikan gagasan tentang elit bahwa dalam semua masyarakat selalu muncul
dua kelas, yaitu kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas yang
menguasai jumlahnya lebih sedikit, melaksanakan semua fungsi politik,
(19)
dikuasai jumlahnya lebih banyak, diperintah, dan dikendalikan oleh kelas yang
memerintah dengan cara yang masa kini kurang lebih legal diktatorial dan kejam
(T.B.Battomore, 1996). Mosca percaya bahwa yang membedakan karakteristik
elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali
kelas yang memrintah tersebut hilang kepercayaan dan orang
–
orang yang diluar
kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala
kemungkinan bahwa kelas berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh
penguasa yang baru. Kemudian, Bottomore (1996) menegaskan baik Preto,
maupun Mosca, keduanya memusatkan kajiannya pada elit dalam artian kelompok
orang yang secara langsung menggunakan atau berada dalam posisi memberikan
pengaruh yang sangat kuat terhadap penggunaan kekuatan politik.
Skema konseptual yang telah diwariskan oleh Pareto dan Mosca mencakup
gagasan
– gagasan umum bahwa setiap masyarakat ada dan harus ada suatu
minoritas yang menguasai anggota masyarakat lain. Minoritas itu adalah adalah
kelas politik atau elit yang memerintah yang terdiri dari mereka yang menduduki
jabatan - jabatan komando politik dan secara lebih tersamar, mereka yang dapat
langsung mempengaruhi keputusan - keputusan politik. Dalam perspektif Pareto
maupun Mosca, elit menunjuk kepada sesuatu yang memerintah menjalankan
fungsi – fungsi sosial yang penting, dan mewakili dari sebagian dari nilai
– nilai
sentral masyarakat. (Yusron,2009)
2.2. Teori Konflik
Permasalahan konflik sosial sangatlah konfleks untuk dibahas karena
berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan manusia. Konsep konflik itu sendiri
(20)
telah banyak diungkapkan dan dirumuskan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam
kajian sosiologis misalnya, Coser dalam Poloma,1999 : 108) mengatakan bahwa
konflik adalah suatu bentuk interaksi yang bersifat instrumental sebagai upaya
untuk pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial supaya dapat
memperkuat identitas kelompok masing-masing sehingga tidak lebur kedalam
dunia sosial di sekelilingnya.
Berbeda dengan pandangan Coser yang berpijak pada paradigma
sosiologis, Maka dalam kajian antropologi, Persudi Suparlan (1999 : 7)
Mengatakan bahwa konflik adalah sebuah perjuangan individu atau kelompok
untuk memenangkan suatu tujuan yang diinginkan. Artinya setiap individu atau
kelompok mempunyai kepentingan yang ingin di capai melalui persaingan dan
perjuangan. Dalam perjuangan memperebutkan kepentingan tersebut, kadang kala
terjadi konflik antar individu atau kelompok karena mereka menempuh cara-cara
yang dipandang melanggar aturan.
Sedangkan William Chang (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan
bagian dari kehidupan umat manusia yang tidak pernah dapat diatasi sepanjang
sejarah umat manusia. Sepanjang manusia masih hidup hampir mustahil untuk
menghilangkan konflik dimuka bumi ini. Konflik antar individu atau antar
kelompok merupakan bagian dari sejarah kehidupan umat manusia. Berbagai
macam keinginan dan perbedaan pandangan dapat menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik dalam masyarakat. Walaupun pandangan Chang tersebut adalah
benar, tetapi tidak berarti kita harus pasrah membiarkan masyarakat saling
menyerang dan membunuh antara satu dengan yang lainnya. Sebagai seorang
(21)
ilmuan sudah barang tentu kewajiban untuk senantiasa berupaya mengantisipasi
munculnya potensi dalam masyarakat.
Dalam kondisi sosial politik dan ekonomis indonesia yang kacau seperti
dewasa ini, setiap individu atau kelompok manusia senantiasa berjuang keras
untuk memenuhi keinginan, memperoleh sumber penghidupan yang memadai,
baik melalui sektor pertanian, perdagangan maupun melalui jabatan strategis
dalam pemerintahan. Dengan demikian, terjadilah persaingan atau kompetisi yang
ketat dan terkadang berupaya menghalalkan segala cara untuk mencapai
keinginannya. Upaya-upaya yang demikian sudah barang tentu bertentangan
dengan nilai dan norma sosial politik dan ekonomi yang berlaku dalam
masyarakat. Dengan demikian terjadilah akumulasi ketidakpuasan antara mereka
dan pada akhirnya menjelma menjadi potensi konflik dalam masyarakat.
2.3. Teori Pemekaran Wilayah
Sejarah pemekaran wilayah di indonesia sudah ada sejak Era perjuangan
kemerdekaan (1945-1949) kala itu indonesia memiliki 8 Propinsi yaitu sumatera,
Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku
dan sunda kecil. Pada masa itu pula, indonesia mengalami perubahan wilayah
akibat kembalinya belanda untuk menguasai indonesia dan sejumlah negara
-negara boneka”di bentuk Belanda dalam wilayah -negara Indonesia.
Hal ini terus berlanjut dengan di hadirkannya berbagai landasan
konstitusional produk politik penting yang memiliki kapasitas untuk membingkai
hubungan antara Jakarta dan daerah-daerah dalam keserasian dan keseimbangan.
Menurut Gie bahwa undang - undang pertama yang dihasilkan adalah
(22)
memberikan kekuasaan politik kepada daerah-daerah untuk menentukan arah
politik lokal masing-masing. Kemudian, UU berikutnya diarahkan secara
langsung untuk mencapai sebuah format hubungan pusat
–daerah yang ideal yakni
UU No 22 Tahun 1948, UU No .32 Tahun 1956, UU No 1 Tahun 1957, perpu No.
6 Tahun 1959 dan perpu No. 5 Tahun 1960 (Cormelis Lay, 2001 : 140).
Sejumlah penelitian yang lebih serius mengungkapkan hasrat-hasrat yang
tampaknya sparatis’sekaligus di ikuti oleh hasrat yang sama kuatnya untuk
menjadi bagian dari format negara kesatuan yang ada. Tidak mengherankan bila
penelitian Sjamsuddin pada tahun 1999 tentang Aceh , misalnya, sampai pada satu
kesimpulan bahwa apa yang terjadi disana adalah pemberontakan kaum
republican, jauh dari hasrat untuk memisahkan diri. (Lay, 2001 142)
Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat berbagai gerakan sparatis lebih
sebagai tindakan koreksi guna memaksa jakarta melakukan perubahan mendasar
format hubungan jakarta-daerah ketimbang sebuah hasrat pemisahan diri yang
memang dalam setiap gerakan separatis (Kahin, 1989).
Sulit di pastikan mengapa pemekaran wilayah yang terjadi semenjak
bergulirnya Otonomi daerah sering berakhir dengan kekerasan atau konflik.
Terkadang hasil dari pemekaran memunculkan kesenjangan kesejahteraan
masyarakat di wilayah yang akhirnya dibagi dua. Ada beberapa faktor yang
diduga telah menjadi penyebab mengapa konflik sering muncul ketika pemekaran
wilayah.
(23)
komitmen mayoritas warga, bukan semata-mata itikad ditingkat elit. Sadu
wasistiono mengatakan bahwa rencana pemekaran wilayah yang terus menembus
dalam era otonomi daerah ini, harus benar-benar diarahkan demi semakin
mendekatnya fungsi pelayanan birokrasi pemerintah daerah terhadap rakyatnya.
Karena tanpa hal itu, persepsi yang mengaitkan wacana pemekaran wilayah
sekedar euforia otonomi yang semata terkait dengan logika kekuasaan. Sadu
menambahkan bahwa setidaknya ada beberapa bagian untuk mengukur kelayakan
pemekaran wilayah yakni batas wilayah dan jumlah penduduk, potensi ekonomi,
sumber daya alamnya serta sumber daya manusianya (Pikiran rakyat 2004).
Batas wilayah, hal ini diyakini sebagai faktor penting dalam setiap usulan wacana
pemekaran wilayah, kemungkinan seperti ini harus tetap di amati karena beberapa
daerah yang dimekarkan selalu diperhadapkan oleh persoalan-persoalan
prosedural dari persyaratan pemekaran wilayah. Selain itu jika pemekaran wilayah
tidak melalui kajian yang tepat dan cermat serta komperehensif maka usulan
tersebut bisa saja di tunda. Alasannya adalah bahwa tujuan pemekaran wilayah
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menghindari
terjadinya sentimen-sentimen etnisitas. Misalnya terjadi konflik antara daerah
dalam perebutan
resources
didalam satu kawasan.
Potensi ekonomi. Di dalam konsep otonomi daerah, pemekaran wilayah
harus bisa memberikan peluang yang sama terbuka untuk mengembangkan
kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi
ekonomi didaerahnya. Hal ini sangat penting, karena setiap daerah yang di
mekarkan akan membebani keuangan negara. Bahkan tidak jarang pendapatan asli
(24)
daerah (PAD) semakin mengalami penurunan setelah terjadinya pemekaran
wilayah.
Sumber daya alam, pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada
daerah untuk sumber daya alamnya (SDA) akan dengan cepat menderivasi
keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Akan tetapi akan dibayar secara sangat mahal dalam jangka panjang.
Lalu eksploetasi SDA bisa saja akan mencapai sebuah fase tanpa kendali, kecuali
sebuah kesadaran baru secara sungguh-sungguh dikalangan pengambil
kebijaksanaan di daerah-daerah pemilik SDA.
Sumber daya manusia; Salah satu aspek penting yang sangat menentukan
kinerja pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah pengembangan
kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Selain itu kompetensi dan profesionalisme pemerintah daerah perlu dibangun dan
peningkatan kemampuan pemda sangat bermanfaat dalam pembangunan daerah
terutama untuk mengembangkan investasi dan menciptakan iklim usaha yang
kondusif. Oleh karena itu dibutuhkan sumber daya manusia yang sesuai
kompetensi dan profesionalisme untuk memberikan kontribusi positif bagi daerah
yang dimekarkan.
Kondisi sosial politik; Banyak daerah yang dimekarkan ternyata tidak
melihat berdasarkan pertimbangan potensi ekonomi daerah yang dimiliki. Akan
tetapi pertimbangan politis selalu menjadi ancaman utama bagi daerah yang
dimekarkan. Hal itu disebabkan adanya segelintir elit yang semata-mata bertujuan
(25)
kekuasaan dibungkus dengan wacana keinginan untuk pelayanan birokrasi yang
efisien demi terjadinya pemekaran wilayah. ( Riadi, 2004 :205-207).
2.4. Pemekaran Kecamatan
Wacana Pemekaran Wilayah didasari oleh undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang pemerintah Daerah, pada pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa daerah
dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah. Norton dikutif dari Muluk
(2007) mengungkapkan bahwa penataan batas ini berkaitan dengan efisiensi
ekonomi dan efektivitas demokrasi. Pertimbangan efisiensi ekonomi yang
menjadi dasar bagi penentuan batas daerah meliputi beberapa hal:
a)
Biaya perjalanan dan komunikasi yang rendah.
b)
Sejauh mana pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan finansial, tanah
dan sumber daya lainnya dari dalam daerahnya sendiri sehingga meminimalkan
ketergantungan ekonomi.
c)
Meminimalkan biaya akibat aktivitas suatu daerahnya yang
ber-spill over.
d)
Mempasilitasi kolaborasi dan koordinasi di antara pelayanan beberapa jenis
yang diberikan.
e)
Menyesuaikan wilayah dengan bagian swasta, sukarela, dan publik beserta
kepentingan terkait untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi guna
kepentingan bersama.
Syarat pemekaran kecamatan berpedoman dari undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dipertegas dengan keputusan dalam
Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tentang pedoman pembentukan kecamatan yang
tercantum didalamnya syarat pemekaran kecamatan pada Pasal 3, yaitu:(a) jumlah
(26)
penduduk (b) luas wilayah (c) jumlah desa atau kelurahan. Ada beberapa tujuan
dibentuknya sebuah daerah baru atau dilakukannya pemekaran wilayah menurut
peraturan pemerintah No.129 Tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan
kriteria pemekaran dan pembentukan dan penggabungan daerah yaitu:
a.
Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b.
Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.
c.
Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah.
d.
Percepatan pengelolaan potensi daerah.
e.
Peningkatan keamanan dan ketertiban.
f.
Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Pemekaran merupakan istilah Indonesia untuk menyebut subdivisi
distrik-distrik dan Provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif
baru. Di Amerika Serikat istilah pemekaran “
redistricting”
yaitu pembentukan
kembali distrik-distrik dan menyangkut politik pemilihan (Bernart, 2002:25).
Penggunaan istilah pemekaran tersebut tidak mengarah keluar dari sebuah sistem
Negara melainkan menambah subsistem dari Negara. Istilah pemekaran di
Indonesia lebih kongkrit di gunakan karena merujuk pada pemisahan dari tingkat
Provinsi menjadi Kabupaten atau dari Kabupaten menjadi Kecamatan.
Diskursus tentang pemekaran wilayah sudah mengkristal dan menjadi ide
dengan cepat di kalangan masyarakat Indonesia. Isu tersebut terus menggelinding
dalam zona politik lokal. Harus diakui bahwa ide tersebut muncul tidak terlepas
dari keinginan kuat masyarakat dan elit politik untuk mengadakan perubahan
dalam usaha untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya.
(27)
2.5. Pemerintahan Daerah
Berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik
Indonesia. Sejak berlakunya undang-undang Republik indonesia Nomor 22 Tahun
1999 tentang pemerintah daerah yang selanjutnya diubah dengan undang-undang
Republik indonesia Nomor 32 tahun 2004, diharapkan dapat memberikan dampak
nyata yang luas terhadap peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat ke daerah yang memungkinkan adanya ruang
bagi daerah untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik berkualitas
yang efesien dan efektif. Dalam desentralisasi tujuan yang ingin di capai adalah
pemberian pelayanan publik.
Menurut Kaho (1988 : 12) terdapat keuntungan yang diperoleh dalam
sistem desentralisasi antara lain
a.
Mengurangi bertumpunya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b.
Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutukan tindakan
yang cepat, daerah tidak perlu menunggu intruksi lagi pemerintahan pusat.
c.
Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan
dapat segera dilaksanakan.
d.
Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensiasi) yang
berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teritorial, dapat
(28)
lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan atau keperluan dan keadaan
khusus daerah.
e.
Dengan adanya desentralisasis teritorial, daerah otonom dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di
seluruh wilayah Negara, sedangkan yang kurang baik dapat di batasi pada
suatu daerah tertentu saja oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan.
f.
Mengurangi kemungkinan kesewenangan-wenangan dari pemerintah pusat.
Adanya desentralisasi menimbulkan adanya otonomi daerah. Di dalam
undang-undang No.22 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa otonomi daerah adalah
wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kemudian direvisi menjadi undang-undang 32 Tahun 2004
yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan perundang-undangan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemeberdayaan dan
peran serta masyarakat dalam hal tersebut. Di samping itu melalui otonom luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
perinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keaneka ragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(29)
Menurut Kaho (1989 : 60) Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
otonomi daerah adalah fktor pertama yaitu manusia pelaksaannya harus baik
adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Manusia sebagai subjek dalam aktivitas pemerintahan. Faktor kedua adalah
keuangan yang baik, istilah keuangan disini mengandung arti setiap hak yang
berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah
uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan
peraturan yang berlaku. Faktor ketiga adalah peralatan yang cukup dan baik.
Pengertian peralatan disini adalah setiap benda atau alat dapat dipergunakan untuk
memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Faktor keempat adalah
organisasi dan manajemen yang baik. Organisasi yang dimaksudkan adalah
organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang terdiri dari satuan-satuan
organisasi beserta segenap pejabat, kekuasaan, tugasnya dan hubungannya satu
sama lain, dalam rangka mencapai sesuatu tujuan tertentu.
2.6. Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya dari pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti barang, jasa dan pelayanan
administrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pengertian umum pelayanan
publik menurut keputusan Menteri pendaya gunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
selanjutnya dinyatakan bahwa penyelenggara pelayanan publik adalah intansi
pemerintah.
(30)
Suryono (2001 : 54) menyebutkan terdapat lima perinsip dalam pelayanan
publik yaitu:
a.
Akseptibilitas
Setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau oleh pengguna layanan, tempat,
jarak dan sistem pelayanan harus sedapat mungkin dekat dan mudah di jangkau
oleh pengguna layanan.
b.
Kontinuitas
Setiap jenis pelayanan harus secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan
kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut.
c.
Teknitalitas
Proses pelayanan harus ditangani oleh tenaga yang benar-benar memahami
secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan, dan
kemantapan sistem, prosedur, dan instrumen pelayanan.
d.
Profitabilitas
Peroses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan
efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi
pemerintahan maupun masyarakat luas.
e.
Akuntabilitas
Proses, produk, dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, karena aparat pemerintah itu pada
hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada
masyarakat.
(31)
Dalam keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan
publik terdapat sepuluh perinsip pelayanan umum yaitu:
a)
Kesederhanaan: prosedur pelayanan publik tidak terbelit - belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan.
b)
Kejelasan: 1) persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik. 2) unit
kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan
pelayanan publik. 3) rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
c)
Kepastian waktu: pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang sudah ditentukan.
d)
Akurasi: produk pelayanan publik diterima dengan benar tepat dan sah.
e)
Keamanan: proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum.
f)
Tanggung jawab: pemimpin penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang
ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan.
g)
Kelengkapan sarana dan prasarana kerja: peralatan kerja dan pendukung
lainnya yang memadai termasuk penyedia sarana teknologi, telekomunikasi
dan informatika.
h)
Kemudahan akses: tempat dan lokasi sarana dan prasarana pelayanan yang
memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan
teknologi telekomunikasi dan informasi.
(32)
i)
Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan: pemberi pelayanan harus bersikap
disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j)
Kenyamanan: Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, bersih rapi lingkungan yang indah dan sehat, serta
dilengkapi dengan fasilitas - fasilitas pendukung pelayanan.
(33)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah penelitian kualitatif
dengan pendekatan studi kasus atau
case study.
Penelitian kualitatif adalah metode
yang bermaksud untuk memahami apa yang dialami oleh subjek penelitian secara
holistic (Maleong, 2006). Dengan menggunakan penelitian kualitatif peneliti akan
memperoleh informasi atau data secara lengkap dan mendalam mengenai Konflik
Elit Lokal dalam Pemekaran Kecamatan Blang Jerango di Kabupaten Gayo Lues.
Metode kualitatif digunakan karena penelitian ini menggambarkan fenomena yang
terjadi.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Blang Jerango Kabupaten Gayo
Lues. Adapun alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena lokasi tersebut
merupakan tempat terjadinya konflik Elit Lokal dalam Pemekaran Kecamatan
sehingga memudahkan peneliti untuk mencari informan.
3.3. Unit Analisis dan Informan
3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis data adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai
subjek penelitian (Arikunto, 1996:2). Adapun yang menjadi unit analisis dalam
penelitian ini adalah beberapa Pejabat pemerintah yang berwenang dan Kelompok
Masyarakat yang berada di Kecamatan Blang Jerango.
(34)
3.3.2. Informan
Informan adalah orang - orang yang menjadi sumber informasi dalam
penelitian. Informan penelitian merupakan subjek yang memahami informasi
Objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek
penelitian (Bungin, 2007:76). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini
adalah Camat, mantan Camat, mantan anggota DPRD, tokoh adat, tokoh agama di
Kecamatan Blang Jerango.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian ,karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan mendapatkan
data yang memenuhi standar yang telah ditetapkan. ( Sugiyono, 2005:62 )
3.4.1. Data Primer
Teknik pengumpulan data primer adalah peneliti melakukan kegiatan
langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data - data yang lengkap dan
berkaitan dengan masalah yang akan di teliti. Adapun teknik pengumpulan data
ini dilakukan dengan cara:
1.
Observasi atau Pengamatan
Adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2007:115).
Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya
(35)
2.
Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada orang - orang
yang menjadi informan dari penelitian ini biasa disebut dengan metode
interview
guide
yakni, aturan - aturan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk
memperoleh data yang diperlukan. Metode pengumpulan data dengan wawancara
yang dilakukan berulang - ulang kali dan membutuhkan waktu yang cukup lama
bersama informan dilokasi penelitian (Bungin, 2007:108). Wawancara mendalam
yang dimaksud adalah percakapan yang sifatnya luas terbuka dan tidak baku.
3.4.2 Data Sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data yang
dilakukan melalui penelitian studi kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung
data diperoleh buku - buku ilmiah, tulisan ilmiah, laporan penelitian yang
berkaitan dengan topik penelitian yang dianggap relevan dan keabsahan dengan
masalah yang diteliti.
3.5 Interpretasi Data
Dalam Penelitian Kualitatif peneliti dapat mengumpulkan banyak data
baik dari hasil wawancara, observasi maupun dari dokumentasi. Data tersebut
semua umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan, oleh karena itu perlu
diseleksi dan dibuat kategori - kategori. Data yang telah diperoleh dari studi
kepustakaan juga terlebih dahulu di evaluasi untuk memastikan relevansinya
dengan permasalahan penelitian. Setelah itu data dikelompokkan menjadi satuan
yang dapat dikelola, kemudian dilakukan interpretasi data mengacu pada tinjauan
pustaka. Sedangkan hasil observasi dinarasikan sebagai pelengkap data penelitian.
(36)
Akhir dari semua proses ini adalah penggambaran atau penuturan dalam bentuk
kalimat-kalimat tentang apa yang telah diteliti sebagai dasar dalam pengambilan
kesimpulan - kesimpulan.
3.6 Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Bulan ke -
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
Pra Proposal
2
ACC Penelitian
3
Penyusunan Proposal
penelitian
4
Seminar Proposal
Penelitian
5
Revisi Proposal
Penelitian
6
Penelitian Lapangan
7
Pengumpulan dan
Analisa Data
8
Bimbingan Skripsi
9
Penulisan Laporan
Akhir
(37)
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1.1. Sejarah Kabupaten Gayo Lues dan Kecamatan Blang Jerango
4.1.1.1. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Gayo Lues
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, daerah Gayo dan Alas
secara resmi dimasukkan ke dalam kerajaan Aceh. Gayo dan Alas dibagi atas
beberapa daerah yang disebut kejurun. Kepada kejurun diberikan sebuah bawar,
pedang (semacam tongkat komando) sebagai pengganti surat keputusan. Daerah
Gayo dan Alas dibagi atas delapan kejuruan. Enam di Gayo dan dua ditanah Alas.
Di Gayo yaitu Kejuruan Bukit, Lingge, Syiah Utama, Patiambang, Bebesan dan
Abuk, ditanah Alas, Batu Mbulan dan Bambel. Kejuruan Patiambang
berkedudukan di Penampakan, dengan luas daerah seluruh Gayo Lues dengan 55
kampung. Kepala pemerintahan dipegang Kejuruan dengan dibantu 4 orang Reje,
yaitu Reje Gele, Bukit, Rema dan Kemala, dan delapan Reje Cik yaitu : Porang,
Kutelintang, Tampeng, Kemala Derna, Peparik, Penosan, Gegarang dan Padang.
Tugas utama Reje dan Reje Cik adalah membangun daerahnya masing-masing
dan memungut pajak dari rakyat serta memilih kejuruan. Kejuruan setiap tahun
menyetor upeti kepada Sultan Aceh.
Setelah Sultan Aceh Muhammad Daudsyah menyerah kepada Belanda
pada tahun 1903, maka Gubernur Militer Aceh Van Heutsz
memutuskan untuk menaklukkan seluruh Aceh. Daerah yang belum takluk
adalah daerah Gayo Lues dan Alas. Van Heutsz memerintahkan Van Daalen
(38)
untuk menaklukkan kedua daerah tersebut. Setelah segala sesuatunya dianggap
rampung, maka pada tahun 1904 Van Daalen mulai menyerang daerah Gayo
Lues. Setelah mengalahkan Gayo Laut, Gayo Deret, akhirnya Van Daalen pun
memasuki daerah Gayo Lues di sebuah kampung yang terpencil yaitu Kampung
Kela (9 Maret 1904). Dari sinilah daerah Gayo Lues ditaklukkan benteng demi
benteng. Dimulai dengan menaklukkan Benteng Pasir (16 Maret 1904),
Gemuyung (18,19,20 Maret 1904), Durin (22 Maret 1904), Badak (4 April 1904),
Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11 Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904).
Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya
juga dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf (Pengarang Belanda)
hampir 4.000 orang rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti
Aman Linting, Aman Jata, H. Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen manyak Tri,
Dimus dan lain - lain.
Pasukan Belanda yang pergi meninggalkan Gayo Lues ke Tanah Alas
kembali lagi pada tahun 1905 untuk menyusun Pemerintahan. Untuk Gayo dan
Alas dibentuk Pemerintahan Sipil yang disebut Onder Afdeling (Kabupaten).
Onder Afdeling Gayo Lues membawahi tiga daerah yang disebut Landschap
(Kecamatan), yaitu :
- Landschaap Gayo Lues di Blang Kejeren dikepalai oleh Aman Safii
- Landschaap Batu Mbulan dikepalai oleh Berakan
(39)
Sejak 1905 - 1942 Tanah Alas tunduk ke Gayo Lues. Tahun 1926 terjadi
pemberontakan rakyat terhadap Belanda di Blang Kejeren yang dipimpin oleh
Muhammad Din, pemberontakan gagal, dapat dipadamkan dan Muhammad Din
dibuang ke Boven Digul (Irian) sedangkan kawan - kawannya dibuang ke
Cilacap, Sukamiskin dan Madura.
Pada tahun 1942 - 1945 Gayo Lues dijadikan Jepang sebagai daerah
pertahanan terakhir Jepang. Daerah ini cocok untuk pemusatan militer, untuk itu
pemuda-pemuda Gayo Lues dilatih kemiliteran dalam jumlah yang banyak
diharapkan pemuda - pemuda ini kelak sebagai pendukung militer Jepang.
Pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang antara lain adalah Muhammad Din,
Bahrin, Zakaria, Maaris, Maat, Jalim Umar, Abdurrahim, Asa, Dersat, Hasan
Sulaiman, Ahmad Aman Bedus, Hasan Tejem dan lain-lain yang kelak berjasa
dalam agresi I dan II.
Gema Proklamasi butuh waktu yang lama agar sampai ke Gayo Lues.
Namun akhirnya tercapai pada akhir September 1945. Pada tanggal 4 Oktober
1945, teks Proklamasi dibacakan kembali di Blangkejeren oleh Muhammad Din.
Pada tahum 1946 Pemerintah Aceh menetapkan daerah pedalaman menjadi satu
kabupaten (Keluhakan) yang bernama Keluhakan Aceh Tengah. Sebagai
pemimpin ibukota Kabupaten, Luhak (Bupati) memusyawarahkannya bersama
dengan pemimpin dari Takengon, Blang Kejeren dan Kutacane. Setelah diadakan
musyawarah terpilihlah Raja Abdul Wahab sebagai Luhak Aceh Tengah
sedangkan Takengon dipilih menjadi ibukota. A.R.Hajat menjadi Patih, Mude
Sedang menjadi Wedena Takengon, M. Saleh Aman Sari menjadi Wedana Gayo
(40)
Lues dan Khabar Ginting menjadi Wedana Tanah Alas. Setelah susunan
Pemerintahan terbentuk dan berjalan beberapa bulan mulailah terasa kesulitan
menjalankan roda pemerintahan mengingat hubungan Takengon - Blang
Kejeren-Kutacae sangat jauh. Atas dasar kesulitan di atas, maka sejak tahun 1957
mulailah Gayo dan Alas berjuang membentuk Kabupaten sendiri. Setelah melalui
perjuangan yang penuh liku - liku, akhirnya pada tahun 1974 Gayo dan Alas
terbentuk menjadi Kabupaten yang dinamakan Kabupaten Aceh Tenggara sesuai
dengan UU No. 4 Tahun 1974.
Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1974, maka status Kewedanaan
diganti dengan sebutan pembantu Bupati. Namun sejak tahun 1975 - 1981 status
Gayo Lues masih dalam status transisi karena Gayo Lues merupakan pusat
koordinator Pemerintahan untuk 4 Kecamatan. Baru pada tahun 1982
Kewedanaan Gayo Lues dijadikan Wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues yang
dipimpin oleh pembantu bupati. Berhubung karena keterbatasan wewenang serta
luasnya daerah yang harus dikoordinir dan lagi pula minimnya PAD Aceh
Tenggara, maka ada kesan kemajuan pembangunan Gayo Lues dianaktirikan.
Pada pertengahan tahun 90-an transportasi Gayo Lues agak mendekati titik terang
dengan berfungsinya sarana jalan. Kota Blang Kejeren dijadikan sebagai simpang
empat, yaitu : Blang Kejeren - Takengon ; Blang Kejeren - Aceh Selatan ; Blang
Kejeren - Kutacane dan Blang Kejeren - Aceh Timur. Hal ini memicu percepatan
pertumbuhan ekonomi wilayah Gayo Lues yang mendukung PMDN dan PMDA
untuk menanam modal. Faktor intern di atas ditambah lagi dengan faktor ekstern
yakni diresmikannya pembantu Bupati Simeulu menjadi Kabupaten Administratif.
(41)
Kabupaten. Hal inilah yang merangsang masyarakat Gayo Lues untuk mengikuti
jejak daerah tersebut di atas.
Atas dasar pertimbangan di atas, maka pada akhir tahun 1997 beberapa
orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk memperjuangkan Gayo Lues
menjadi Kabupaten Administratif. Untuk itu dibentuk sebuah panitia kecil yang
dinamakan Panitia Persiapan Peningkatan Status Wilayah Pembantu Bupati Gayo
Lues Blang Kejeren, Kabupaten Aceh Tenggara. Dengan susunan sebagai berikut:
Ketua : Drs. H. Maat Husin
Wakil Ketua : H. Husin Sabli
Wakil Ketua : H. Abdullah Wirasalihin
Wakil Ketua : Ak. Wijaya
Wakil Ketua : H. Syahuddin Thamin
Sekretaris : H. M. Saleh Adami
Wakil Sekretaris : Drs. Buniyamin,S
Bendahara : H. M. Yakob Mas
Dilengkapi dengan biro-biro :
Biro Keuangan : Drs. H. Saniman M. Biro Pendapatan : Drs. H. Ramli S,
MM
Biro Humas : Syaril A W.
Biro Seni Budaya : H. Ibrahim Sabri
Biro Hukum/Dok : Drs. H. M. Salim Wahab
Biro Adat : A. Rahim
(42)
Maksud dan tujuan terbentuknya panitia ini kemudian disampaikan kepada
Bupati Aceh Tenggara. Dalam hal ini, Bupati sangat setuju dan mendukung
gagasan tersebut. Selanjutnya panitia meminta Bupati agar menyurati Gubernur
dan Ketua DPRD I Aceh. Permintaan ini disanggupi Bupati dan Ketua DPRD II
Aceh Tenggara dengan mengirim surat kepada Gubernur dan Ketua DPRD Aceh.
Petinggi Aceh lalu menyurati menteri yang terkait di Jakarta termasuk pimpinan
DPR, pimpinan parpol dan lain - lain yang dirasa patut. Proses di Jakarta sedikit
agak terhambat mengingat situasi negara masih belum begitu stabil. Karena itu
Panitia serta Pemerintah Daerah Aceh Tenggara meminta masyarakat Gayo Lues
yang berdomisili di Jakarta untuk berjuang bersama - sama. Pada tahun 2000
delegasi dikirim ke Jakarta dari Aceh Tenggara untuk penjajakan dan menemui
Menteri Dalam Negri, pimpinan DPR dan Pimpinan parpol untuk mohon bantuan.
Setelah melalui proses yang agak panjang, akhirnya pada tanggal 30 Agustus
2001 DPOD menetapkan 4 Calon Kabupaten dari Aceh. Alhasil maka dinyatakan
lulus menjadi Kabupaten, sedangkan Gayo Lues dikaji ulang. Masyarakat Gayo
Lues, Pemda Aceh Tenggara, Pemda Daerah Aceh, merasa tidak puas dan
kecewa. Mereka pun lalu mengirim delegasi lagi ke Jakarta menemui Petinggi di
Jakarta termasuk Wapres. Kepada mereka dimohon dengan hormat agar Gayo
Lues dapat diluluskan menjadi Kabupaten. Akhirnya DPOD menyetujui Gayo
Lues menjadi Kabupaten dalam sidangnya pada tanggal 18 Oktober 2001. Tidak
lama kemudian pemerintah mengusulkan RUU pembentukan Kabupaten Gayo
Lues ke DPR RI. Dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 11 Maret 2002 seluruh
fraksi menyetujui Gayo Lues menjadi Kabupaten beserta 21 Kabupaten/Kota
(43)
lainya. Setelah itu masyarakat Gayo Lues mengusulkan kepada Bupati Aceh
Tenggara daftar 5 Calon Pelaksana Tugas Bupati yaitu ;
- Drs. Ramli S.
- Drs. H. Syamsul Bahri
- Drs. H. Harun Al-Rasyid
- Ir. Muhammad Ali Kasim, MM
- Drs. Abdul Gafar
Pada tanggal 2 Juli 2002 Gayo Lues beserta 21 kabupaten/kota lainnya
diresmikan oleh Mendagri Hari Sabarno sebagai sebuah Kabupaten. Pada tanggal
6 Agustus 2002 Gubernur NAD, Ir. Abdullah Puteh melantik Ir. Muhammad Ali
Kasim, MM menjadi Penjabat Bupati Gayo Lues di Kutacane. Dengan demikian
selesailah sebuah perjuangan yang suci untuk mewujudkan sebuah Kabupaten
yang dicita - citakan.
4.1.1.2. Letak Geografis Gayo Lues
Kabupaten Gayo Lues terletak pada posisi garis lintang 03º 40’26”
- 04º
16’55”LU dan garis bujur 96º 43’ 24”
-
97º 55’ 24” BT, dengan luas wilayah
5549,92 Km2 atau 10 % dari luas Provinsi Aceh secara keseluruhan. Secara
administrasi Kabupaten Gayo Lues sesuai dengan Undang - Undang Nomor 4
Tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Gayo Lues mempunyai
batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah dan
Kabupaten Aceh Timur;
(44)
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan
Kabupaten Langkat Prov. Sumatera Utara;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara dan
Kabupaten Aceh Barat Daya;
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat Daya.
Daerah Gayo Lues mencakup 57 persen dari wilayah lama Aceh Tenggara
yang terdiri dari 11 kecamatan, 25 kemukiman dan 144 desa/Kampung. Luas
Gayo Lues adalah 5.719,58 km2. Kecamatan dengan wilayah terluas adalah
Kecamatan Blangkejeren dengan luas 1139,88 km2 atau 19.92 % dari luas Gayo
Lues sedangkan kecamatan dengan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan
Putri Betung dengan luas wilayah 139 km2 atau 2.43 % ari luas wilayah
Kabupaten Gayo Lues.
4.1.1.3. Topografi dan Morfologi Wilayah Kabupaten Gayo Lues
Kabupaten Gayo Lues terletak pada ketinggian rata-rata 400 - 1.200 meter
di atas permukaan laut. Ketinggian tempat paling dominan adalah pada ketinggian
1.500-2.000 dpl atau 29,21%, sedangkan luasan terkecil berada pada ketinggian
3.000 yaitu 6.023 Ha atau sekitar 1,05%. Sedangkan berdasarkan dari
kelerengannya,sebagian besar wilayah Kabupaten Gayo Lues memiliki
kemiringan di atas 40%.
(45)
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Gayo Lues
Sumber : BPS Kabupaten Gayo Lues. 2014
Grafik 4.1. Luas Kabupaten Gayo Lues Berdasarkan Morfologi Wilayah
(46)
Luas wilayah yang memiliki kelerengan di atas 40% meliputi 43,93% dari
wilayah Kabupaten atau seluas 251.240 Ha. Sedang wilayah yang memiliki lahan
dengan kelerengan di bawah 15% hanya meliputi 15,95%. Kondisi ini membawa
konsekuensi besarnya luas wilayah Kabupaten Gayo Lues yang dapat
dikembangkan sebagai kawasan budidaya relatif terbatas.
4.1.1.4. Pemerintahan Kabupaten Gayo Lues
Sistem pemerintahan yang berlaku di Gayo Lues sama seperti wilayah
lainnya di Provinsi Aceh yakni menganut 2 (dua) sistem pemerintahan yaitu
sistem Pemerintahan Lokal (Aceh) dan Sistem Pemerintahan Nasional
(Indonesia).
Berdasarkan
penjenjangannya,
perbedaan
adalah
adanya
Pemerintahan mukim di antara Kecamatan dan Kampung. Kabupaten Gayo Lues
membawahi 11Kecamatan yaitu sebagai berikut:
1. Kuta Panjang
2. Blang Jerango
3. Blangkejeren
4. Putri Betung
5. Dabun Gelang
6. Blang Pegayon
7. Pining
8. Rikib Gaib
9. Pantan Cuaca
10. Terangun
11. Tripe Jaya
Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan yang terdiri atas
beberapa kemukiman dan dibagi atas beberapa mukim. Mukim
adalah kesatuan
masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa
Kampung
yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh
Imeum
(47)
dibagi atas kelurahan dan Kampung. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan
dengan
Qanun
Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Lurah yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Kelurahan
di Provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi Kampung
atau nama lain
adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah
Mukim
dan dipimpin
oleh
Keuchik
atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga
sendiri.
4.1.1.5. Sosial dan Budaya Masyarakat Gayo Lues
Perkembangan penduduk Kabupaten Gayo Lues dalam kurun waktu
delapan tahun terakhir memperlihatkan angka yang terus meningkat. Pada tahun
2004, penduduk di Kabupaten ini adalah sebesar 69.146 jiwa. Jumlah ini terus
meningkat secara signifikan menjadi 72045 jiwa pada Tahun 2005 dan seterusnya.
Pada Tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Gayo Lues diperkirakan telah
mencapai 81.382 jiwa. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan
Blangkejeren yang merupakan Ibukota Kabupaten Gayo Lues sebanyak 24.994
jiwa atau 30,71 %. Sedangkan jumlah penduduk terkecil berada di Kecamatan
Pantan Cuaca sebanyak 3.561 jiwa atau 4,38 %. Kemiskinan di Kabupaten Gayo
Lues diindentifikasikan sebagai kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang
disebabkan oleh kurang kondusifnya lingkungan dan daya dukungan lingkungan
terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Faktor tersebut antara lain terbatasnya
lahan pertanian yang subur, sarana dan prasaran transportasi serta berbagai
perilaku miskin, konsumtif, serta kurangnya pembentukan modal lainnya sehingga
jumlah penduduk miskin di Kabupaten Gayo Lues sangat besar. Angka
kemiskinan di Kabupaten Gayo Lues pada tahun 2006 tercatat 17.886 orang dari
(48)
jumlah penduduk 73.003 orang atau 24,5 %. Jumlah penduduk miskin terlihat
menurun dari tahun 2006-2011 di Kabupaten Gayo Lues. Tahun 2011 jumlah
penduduk miskin sebanyak 15.544 orang dari jumlah penduduk 81.382 orang atau
19,1 % dari total jumlahpenduduk.
Grafik 4.2. Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2006 - 2011
Sumber : BPS Kabupaten Gayo Lues. 2014
Tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Gayo Lues merupakan
indikator keberhasilan pembangunan yang paling sulit diukur, indikator tersebut
antara lain kondisi rumah dan fasilitas penerangan, jenis lantai, penggunaan alat
komunikasi dan informasi, tingkat pendapatan, jumlah konsumsi protein dan lain
– lain. Kesejahteraan masyarakat Kabupaten Gayo Lues dapat dilihat pada jenis
rumah dan atap yang digunakan, penggunaan WC serta sumber air minum yang
digunakan serta jenis penerangan yang digunakan.
4.2.1.1. Sejarah Kecamatan Blang Jerango
(49)
Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah
kabupaten/kota (PP.19 tahun 2008) Kedudukan kecamatan merupakan perangkat
daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai
wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh camat.
Sebelum terjadinya pemekaran di Kecamatan Blang Jerango, adanya
gejolak ketidak puasan masyarakat terhadap pelayanan dan pembangunan yang
sudah ada, pembangunan dan pelayanan yang hanya terpusat didaerah tertentu
menyebabkan ketidakpuasan dimasyarakat, kondisi ini pada awalnya mulai
dijadikan oleh aktor yaitu para elit politik, untuk melakukan pemekaran di
Kecamatan ini, kesempatan pemekaran diberikan oleh pemerintah yang disambut
baik oleh masyarakat maka pemekaran dilakukan.
Dimana Kecamatan Blang Jerango merupakan kecamatan yang
dimekarkan dari kecamatan kuta panjang pada tahun 2004, Dasar dari
pembentukan Kecamatan Blang Jerango adalah qanun kabupaten Gayo Lues No.9
tahun 2004. Ibukota kecamatan ini bernama buntul gemuyang. Kecamatan Blang
Jerango di bagi menjadi 10 desa yaitu : Desa Blang Jerango, Desa penosan, Desa
penosan sepakat, Desa gegarang, Desa peparik dekat, Desa peparik gaib, Desa
sekuelen, Desa tingkem, Desa akul dan Desa ketukah.
Desa - desa tersebut di mekarkan menjadi Kecamatan Blang Jerango,
alasan dimekarkannya menjadi kecamatan adalah sulitnya urusan pemerintahan
dan kuranngnya pembangunan desa.
(50)
4.2.1.2. Letak Dan Luas Kecamatan Blang Jerango
Kecamatan Blang Jerango adalah salah satu dari 11 kecamatan yang
berada di Kabupaten Gayo Lues. Luas Kecamatan Blang Jerango 516,38 Km dari
total luas wilayah Kabupaten Gayo Lues. Dari luas tersebut.
Berikut adalah letak Kecamatan Blang Jerango berdasarkan batasan
dengan kecamatan lainnya.
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantan cuaca
2.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh selatan
3.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Terangon
4.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kuta panjang
4.2.1.3. Pemerintahan Kecamatan Blang Jerango.
Tabel 4.1
Pegawai kantor Kecamatan Blang Jerango kategori PNS dan Honorer
No
Pegawai kantor kecamatan
Jumlah
Persentase
1.
Honorer
2
10%
2.
PNS
24
90%
TOTAL
26
100%
Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Blang Jerango 2014
Dalam menjalankan roda pemerintahan Kecamatan Blang Jerango, Bapak
Abd. Karim di bantu oleh beberapa orang staf. Adapun dari total 20 pegawai
kantor Kecamatan Blang Jerango, 90 persen atau 18 orang merupakan pegawai
negeri sipil sisanya 10 persen atau 2 orang merupakan tenaga honorer.Pada tahun
2013, kantor camat Blang Jerango dipimpin oleh bapak Abd. Karim S.Pd dengan
(51)
sekretaris camat bapak Abd. Rahim dan kasi pemerintahan Bapak Hasbi,
sebelumnya di duduki oleh Bapak Muhammadin.
Sumber daya manusia yang baik dan berkualitas untuk menjalankan
kegiatan pemerintahan yang sebaik - baiknya dapat tercermin dalam kualitas
pendidikan yang di selesaikan oleh para pegawai yang ada dalam organisasi
kepemerintahannya. Adapun dilihat dari tingkat pendidikan pegawai di
Kecamatan Blang Jerango, sebagian besar pegawai negeri sipil di kantor
Kecamatan Blang Jerango adalah lulusan SLTA yaitu 50 persen sedangkan
pegawai lulusan sarjana sebesar 33 persen.
4.1.4
Struktur Organisasi Pemerintahan Kecamatan Blang Jerango.
Camat
Sekretaris Kecamatan
Seksi
Ketentraman
dan Ketertiban
Seksi Kesejahteraan
Sosial
Seksi
Pemerintahan
Seksi
Pembangunan
(52)
Struktur organisasi Kecamatan Blang Jerango sangat sederhana, struktur
organisasinya adalah:
1.
Camat.
Camat membawahi seluruh jabatan yang ada dalam struktur organisasi
kecamatan.
2.
Sekretaris kecamatan.
Sekretaris kecamatan merupakan unsur staff, yang dipimpin oleh seorang
sekretaris kecamatan yang selanjutnya di sebut SEKCAM, berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada camat
3.
Seksi pemerintahan.
Seksi pemerintahan adalah unsur pelaksanaan pemerintahan kecamatan di
bidang penyelenggaraan pemerintahan, dipimpin oleh seorang kepala seksi,
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada camat.
4.
Seksi Pembangunan.
Seksi pembangunan merupakan unsur penyelenggara pemerintahan kecamatan
dibidang pembangunan,yang dipimpin oleh seorang kepala seksi, dibawah dan
bertanggung jawab kepada camat.
5.
Seksi kesejahteraan sosial.
Seksi kesejahteraan sosial merupakan unsur penyelenggara pemerintahan
kecamatan dibidang kesejahteraan sosial yaitu mengkordinasikan program
dan melaksanakan pembinaan kesejahteraan sosial.
(53)
6.
Seksi ketentraman dan ketertiban.
Seksi ketentraman dan ketertiban merupakan unsur penyelenggara
pemerintahan kecamatan dibidang ketentraman dan ketertiban, yaitu
melakuakan pembinaan ketentraman dan ketertiban wilayah, pembinaan
ideologi dan politik.
4.2.1.4. Jumlah Penduduk Kecamatan Blang Jerango dirinci Per Desa.
Tabel 4.2
Komposisi Penduduk dirinci Per Desa
Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Blang Jerango 2014
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kecamatan Blang
Jerango tercatat sebanyak 7.343 jiwa dengan rincian 3.462 jiwa berjenis kelamin
laki-laki dan sisanya 3.881 jiwa adalah perempuan. Desa penosan diketahui
menjadi desa terpadat dengan jumlah penduduk sebesar 1.895 jiwa dengan rincian
878 laki-laki dan 1.017 perempuan. Desa akul menjadi desa terdapat kedua
dengan jumlah penduduk sebanyak 1.307 jiwa. Adapun desa peparik dekat
No
Nama Desa
(1)
Jenis Kelamin
Jumlah
(4)
Seks Rasio
(5)
L
(2)
Pr
(3)
1
Penosan
878
1,017
1,895
86
2
Penosan sepakat
478
551
1,029
87
3
Gegarang
165
174
339
95
4
Peparik Gaib
493
554
1,057
87
5
Tingkem
131
134
265
98
6
Sekuelen
245
260
505
94
7
Akul
629
678
1,307
93
8
Ketukah
200
226
426
88
9
Blang Jerango
153
167
320
92
10 Peparik dekat
90
110
200
82
(54)
tercatat sebagai desa dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu sebanyak 200
jiwa.
4.2.1.5. Persentase Jumlah Keluarga di Kecamatan Blang Jerango.
Tabel 4.3
Komposisi Keluarga di Kecamatan Blang Jerango Tahun 2013
Nama Desa
(1)
Jumlah keluarga
(2)
Persentase
(%)
1
Penosan
480
24.96
2
Penosan Sepakat
263
13.68
3
Gegarang
144
7.49
4
Peparik Gaib
261
13.57
5
Tingkem
65
3.38
6
Sekuelen
130
6.76
7
Akul
303
15.76
8
Ketukah
121
6.29
9
Blang Jerango
98
5.10
10
Peparik Dekat
58
3.02
Jumlah
1.923
100
Sumber kecamatan Blang Jerango dalam angka 2014
Dari persentase jumlah keluarga di Kecamatan Blang Jerango, dapat di
ketahui bahwa dari total 1.923 keluarga yang terdapat di Kecamatan Blang
Jerango, sebanyak 480 keluarga atau 24,96 persen jumlah total keluarga
keseluruhan Kecamatan Blang Jerango, Desa Penosan merupakan jumlah
keluarga terbanyak yang ada di kecamatan ini. Sedangkan desa peparik dekat
adalah desa dengan jumlah keluarga terkecil dengan hanya terdapat 58 keluarga
atau sebesar 3,02 persen saja dari keseluruhan keluarga yang ada di Kecamatan
Blang Jerango.
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1996. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bottomore, T.B. 2009. Elit dan Masyarakat. Terj. Abdul Haris dan Sayid Umar. Akbar Tanjung Institute. Jakarta, 2006
Kaho (1989). Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Lay. Cornelis. (2000) Antara Anarki dan Demokrasi; Masalah Kekuasaan Politik di indonesia dalam jurnal ISP; Keberdayaan dan demokrasi, Gadjah Mada University Press; Yogyakarta.
__________.(2001) Otonomi Daerah dan Keindonesiaan dalam Jurnal ISP; Otonomi Lokal dan Keindonesiaan. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta.
Maleong, Lexy.2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muluk, Khairul M.R.(2007) Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang,
Bayumedia.
Syaukani, H.R., Affan Gaffar dan Ryass Rasyid. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Riadi Slamet. 2004. Analisis Pemekaran Wilayah dan Potensi Konflik di Kabupaten Donggala.
Sugyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV Alfabeta Yudhoyono, Bambang. 2001. Otonomi Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Yusron. 2009. Elite Lokal dan Civil Society : Kediri ditengah Demokratisasi.
Jakarta: Pustaka LP3ES
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Jakarta. Direktoral Jendral Otonomi Daerah.
(2)
Undang-Undang Nomor No.4 Tahun 2002 Tentang Pemekaran Kabupaten Gayo Lues
Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/72003 Tentang pedoman umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Jakarta. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Kecamatan. Jakarta. Menteri Dalam Negeri.
Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, Penghapusan, dan penggabungan Daerah. Jakarta, pemerintah republik indonesia.
Sumber Internet :
http://uilis.unsyiah.ac.id/serial/index.php?p=show_detail&id=8141 di akses pada 5 april 2014,pkl 10.00 wib
http://muhammad-ahalla-fisip12.web.unair.ac.id/adetail-78481-umum-Teori%20Elit.html di akses pada 8 desember 2014 pukul 19.00).
(3)
DOKUMENTASI
Proses wawancara bersama Bapak Muhammad Nasir (Mantan Camat).
(4)
Proses Wawancara Bersama Bapak Abd Manap (Tokoh Adat).
(5)
(6)