Elit Politik TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Proses rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik harus melalui mekanisme demokrasi sehingga partai politik berhak mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat. Sesuai dengan undang – undang partai politik dan pemilihan umum, sistem pemilihan anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten Kota menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.

2.4. Elit Politik

Kata “elit” selalu menarik perhatian , justru karena ia sering diartikan sebagai “orang-orang yang menentukan”. Kata elit, sebagaimana dilacak T.B. Bottomore, telah digunakan sejak abad ketujuh belas untuk menggambarkan barang-barang dengan kualitas yang sempurna, penggunaan kata itu kemudian diperluas untuk merujuk kelompok-kelompok sosial yang unggul, misalnya unit- unit militer kelas satu atau tingkatan bangsawan yang tinggi.” Oxford English Dictionary 1823 , kemudian memasukkan entri “elit” merujuk pada eksistensi kelompok-kelompok sosial. Pendekatan elit dalam studi ilmu sosial memang tidak kebal dari kritik namun sangat membantu menjelaskan fenomena struktur sosial, khususnya struktur kekuasaan seperti bentuk piramida. Para elit adalah mereka yang berada dalam puncak piramida itu, mereka yang punya pengaruh dan menentukan. Mereka “bukan orang biasa” justru karena posisi dan pengaruhnya itu. Dalam konteks pengaruh kekuasaan, para elit penentu kebijakan dan struktur sosial masyarakat, Bottomore 2006, 6 menemukan konsep Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008. keseimbangan sosial social equilibrium , yang apabila direfleksikan dengan dinamika politik, sebagai bagian dari dinamika sosial lebih luas. Elit akan sangat terkait dengan upaya menuju tercapainya kondisi keseimbangan politik political equilibrium . Hal ini, segera mengingatkan pada prinsip demokrasi ‘checks and balances’. Pada prinsipnya, setiap individu punya kesempatan untuk mengembangkan secara penuh kualitas-kualitas nalar dan perasaan yang dimilikinya sebagai seorang manusia, dalam suatu hubungan yang tanpa paksaan dengan orang lain. Artinya, semua individu berhak berprestasi, menaiki anak tangga, menjadi elit. Sejak era reformasi hingga saat ini, para elit Indonesia, khususnya elit politiknya, masih sering memperoleh kritik dan sorotan tajam dari berbagai kalangan. Ketidakmandirian, pragmatisme yang terlampau kentara, kritisisme yang melemah, hingga orientasi kekuasaan an sich, merupakan sejumlah kritik yang menonjol. Di alam demokrasi, lontaran-lontaran kritik itu hadir secara terbuka. Para elit politik itu kerap menjadi bulan-bulanan kritik dan demonstrasi, ketika mereka dianggap gagal memperjuangkan aspirasi publik. Mengenai kajian elit ini, Pareto selalu cenderung untuk memberikan penekanan yang lebih kuat pada pemisahan antara elit yang memerintah dan non – elit. Sementara itu, Mosca adalah yang mengamati secara lebih menyeluruh Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008. komposisi elit itu sendiri, khususnya dalam masyarakat-masyarakat demokratis modern. Secara tegas, Robert H Lauer 2003, 346 mengatakan dalam masyarakat demokratis terdapat bermacam-macam elit, yang terpenting adalah elit politik disusul organisatoris, intelektual, seniman, moralis dan elit agama. Para penganut teori modernisasi mengatakan elit sangat penting peranannya dalam perkembangan masyarakat dan selalu mendorong perubahan di dalam masyarakat sedang membangun. Sedikitnya 6 peranan penting elit bagi pembangunan yakni sebagai administrator, agitator, pemersatu, penyebar, propaganda idiologi dan broker politik. Pendapat lainnya dari Sofian Effendi 1992, 646 yang secara sederhana memberi batasan tentang elit lokal adalah kelompok kecil yang biasanya oleh masyarakat tergolong disegani, dihormati, kaya dan berkuasa. Kelompok elit tersebut kerapkali dinyatakan sebagai kelompok minoritas superior, yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan mengendalikan aktivitas perekonomian dan sangat dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan terutama keputusan-keputusan yang berdampak kuat dan berimbas luas terhadap tatanan kehidupan. Mereka tidak hanya ditempatkan sebagai pemberi legitimasi tetapi lebih daripada itu adalah panutan sikap dan cermin tindakan serta senantiasa diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama. Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008. Secara khusus Czudnowski yang dikutip Riswandha Imawan 1997, 42 – 43 mengisyaratkan 7 variabel yang menentukan penampilan kerja performance elit politik yakni: 1. Social Background. Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga dimana seseorang calon elit dibesarkan. Misalnya, dalam berbagai penelitian, terbukti adanya konsistensi tingkah laku elit yang lahir atau dibesarkan di kalangan keluarga berpandangan liberal, akan cenderung berpikir demokratis. Demikian pula, orang yang besar dari kalangan kelas menengah ke bawah cenderung untuk bersikap merakyat egaliter dibanding mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas. 2. Political Socialization. Sosialisasi politik yang diterima seseorang, terbukti sangat efektif membentuk persepsi politiknya. Melalui sosialisasi politik, seseorang mengetahui tugas-tugasnya ataupun isu- isu yang harus dilaksanakan oleh satu kedudukan politik. 3. Initial Political Activity. Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik seseorang calon elit selama ini. Idealnya memang seseorang calon elit pernah aktif dalam satu organisasi politik ataupun kegiatan politik secara individual. Sebab orang tersebut menjadi terbiasa dengan bekerja sama serta proses tukar menukar pendapat yang menjadi ciri utama mekanisme kerja dalam satu dewan perwakilan rakyat. 4. Apprenticeship. Magang merupakan cara paling efektif untuk mengenalkan calon elit terhadap peran politik yang dikehendaki. Dengan cara ini, calon elit mengerti benar mekanisme kerja satu norma-norma yang berlaku di lingkungan kerja yang diminatinya. Namun, jeleknya, reputasi calon elit dapat “tenggelam” bila kualitas elit yang digantikan lebih baik. Sering calon elit sulit untuk melepaskan diri dari bayang-bayang pendahulunya. 5. Occupational Variables. Faktor ini menunjuk kepada pentingnya calon elit memiliki tambahan peningkatan kemampuan serta pengalaman kerja disamping pemenuhan syarat formal seperti kepastian intelektual. 6. Motivations. Asumsi dasar yang digunakan oleh pakar politik adalah: orang termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal, Pertama, harapan ekspektasi atas penghargaan pribadi personal reward . Kedua, orientasi mereka terhadap tujuan bersama collective goals . Namun dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa seorang elit hampir selalu menggabungkan kedua motif ini bahkan yang banyak terjadi adalah elit memanipulasi tujuan pribadi personal needs menjadi kepentingan masyarakat public objectives . Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008. 7. Selection. Dalam ilmu politik dikenal adanya mekanisme rekrutmen politik. Dalam rekrutmen terbuka, syarat serta prosedur untuk menampilkan seseorang tidak harus datang dari kalangan partai sendiri. Cara ini memberi kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya serta sangat komperatif Bila ditinjau dari segi politik, otonomi daerah telah diperluas dari otonomi administratif ke otonomi politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Keterlibatan secara seimbang antara politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan akan mampu melandasi realisasi otonomi daerah secara komprehensif sehingga dapat menjamin otonomi sesungguhnya yang mampu memberi dampak positif bagi pertumbuhan daerah. Dalam menjalankan tugasnya terutama yang berhubungan dengan rakyat yang diwakilinya, para elit politik harus penuh dalam kehidupan solidaritas dengan rakyat. Seiring dengan tujuan pemekaran untuk mempercepat kesejahteraan rakyat, Affan Gafar mengatakan bahwa, Pembangunan masyarakat harus diinterpretasikan sebagai proses pembentukan masyarakat yang memberi kemampuan kepada para warganya untuk mengaktualisasikan potensi, prakarsa dan kreativitasnya, menumbuhkan keefektifan politik political efficacy untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terutama sekali mengenai hal-hal yang menyangkut masyarakatnya dan membatasi hubungan dependensi terhadap elit dan birokrasi. Memang harus diakui, perjuangan untuk memberhasilkan ‘agenda’ lanjutan tidaklah mudah dan mungkin saja tidak cukup dengan kapasitas elit politik lokal sehingga perlu menggandeng kelompok lain yang tumbuh ditengah masyarakat. Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008. Kapasitas para elit politik dimaksudkan bukanlah mengedepankan posisi tawar menawar position bargaining atau memposisikan penolakan terhadap peluang-peluang yang mungkin dikembangkan dalam memberhasilkan pemekaran daerah tapi sebagai pendukung prakarsa yang mengoptimalkan potensi khas lokal. Pangihutan Sirumapea : Pemekaran dan Munculnya Elit Politik Lokal di Kabupaten Samosir. USU e-Repository © 2008.

BAB III METODE PENELITIAN