Kendala PengeMBangan Kawasan BeriKat di indonesia

30 cakupan pengembangan kawasan khusus, yang mencakup Pulau Bintan, Karimun, Rempang, Galang. Sejarah pengembangan Pulau Batam telah dimulai pada tahun 1971. Pada tahap ini, Pulau Batam dikembangkan dengan maksud untuk dijadikan basis logistik dan operasional yang dapat mendukung industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina, terutama untuk eksplorasi minyak dan gas bumi lepas pantai. Tahapan selanjutnya dalam pengembangan Pulau Batam terjadi pada tahun 1973 ketika Keputusan Presiden No 411973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, menetapkan seluruh Pulau Batam sebagai lingkungan kerja Daerah Industri. Keppres ini juga menetapkan otoritas Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau Batam Industrial Development Authority BIDA sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam. Pada tahun 1978, seluruh wilayah Pulau Batam kemudian ditetapkan sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat Bonded Warehouse melalui Keputusan Presiden No 411978. Langkah ini diambil pemerintah sebagai usaha untuk mengembangkan industri berorientasi ekspor di Pulau Batam. Keppres 28 Tahun 1992 kemudian memperluas cakupan wilayah Bonded Zone hingga melingkupi kawasan Barelang Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang. Sejarah pengembangan industri di Pulau Batam tidak terlepas dari sejarah industri di Singapura, terutama industri elektronik. Industri elektronik di Singapura merupakan industri baru yang sedang berkembang pesat pada akhir 1960-an hingga 1970-an. Salah satu alasan strategis untuk mengembangkan industri di Pulau Batam adalah karena adanya kelangkaan tanah serta kebutuhan yang tinggi akan tenaga kerja berupah rendah untuk mendukung industri elektronik di Singapura. Hal ini menjadi dasar dari kerjasama pemerintah Indonesia dan Singapura pada tahun 1989 melalui pengembangan Batam Industrial Park Batamindo, sebagai kawasan pengolahan ekspor EPZ yang bebas pajak. Batamindo kemudian berhasil mendatangkan perusahaan multinasional, perusahaan Original Equipment Manufacturers oEMs, dan Original Design Manufacturers oDMs, serta industri-industri pendukung. Pada tingkat regional, tahun 1989 menjadi awal dikembangkannya konsep segitiga pertumbuhan ekonomi growth triangle yang melingkupi Singapura, Johor di Malaysia, dan Riau di Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan singkatan SIJoRI sejak 1994. Sejak 2003, Batam juga diproyeksikan sebagai perluasan dari produksi sektor manufaktur Singapura agar dapat mengambil keuntungan dari Singapore- United States Free Trade Agreement. Indonesia memanfaatkan momentum regional tersebut untuk melakukan pembangunan industri berbasis ekspor di Batam. Industri di Batam terbagi ke dalam dua kategori besar, yaitu industri ringan dan industri berat light and heavy industries. Industri ringan termasuk antara lain sektor manufaktur seperti elektronik, garmen, tekstil, dan plastik. Sementara, industri berat antara lain perkapalan, baja, dan industri peralatan pendukung untuk eksplorasi migas. Industri ringan, terutama elektronik, lebih mendominasi produksi dan ekspor di Batam. Semenjak krisis inansial Asia, industri berat seperti industri mesin dan peralatan pendukung migas mulai berkembang. Proporsi output manufaktur Batam yang berasal dari sektor elektronik turun dari 80 pada 1998 menjadi hanya 53 pada 2006, seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.4 . Sebagian besar industri di Batam dilakukan oleh perusahan multinasional, terutama yang berkedudukan di Singapura. Investasi asing di Batam juga didominasi oleh investor dari Singapura. Secara administratif, sejak tahun 1999, Kota Batam diberikan status Daerah otonom melalui UU No 532009. Selanjutnya, mengikuti desentralisasi yang dimulai 2001, Pulau Batam menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau yang baru terbentuk tahun 2004. Selain itu, pada dekade 2000-an, beberapa kali status