Tinjauan Umum mengenai Perbankan

c. Macam-macam Bank

Macam-macam bank antara lain (Munir Fuady, 2003: 15):

1) Bank Sentral;

2) Bank Komersial;

3) Bank Umum;

4) Bank Perkreditan Rakyat (BPR);

5) Bank Investasi (Investment Bank);

6) Bank Devisa;

7) Bank Korporat (Corporate Banking);

8) Bank Retail (Retailed Banking);

9) Bank Syariat (Bank Bagi Hasil); dan

10) Bank Pembangunan Daerah.

commit to user

a. Pengertian Nasabah

Nasabah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang menjadi langganan suatu bank karena uangnya diputarkan melalui bank itu (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 1996:933). Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer).

Dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Perbankan, nasabah adalah “pihak yang menggunakan jasa bank”. Yang dimaksud nasabah oleh undang-undang ini adalah:

1) Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

2) Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

Dalam penelitian hukum ini, nasabah yang dimaksud oleh penulis adalah nasabah debitur. Hal ini dikarenakan sengketa yang timbul biasanya antara nasabah debitur dengan pihak bank. Sedangkan untuk nasabah penyimpan tidak banyak sengketa yang terjadi dan diselesaikan melalui lembaga mediasi perbankan.

commit to user

Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dan bank terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu: (Munir Fuady, 2003: 100-102)

1) Hubungan Kontraktual

Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dan pihak debitur (peminjam dana). Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUHPerdata tentang kontrak (buku ketiga).

Sedangkan untuk nasabah deposan atau nasabah nondebitur-nondeposan, tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur untuk kontrak jenis ini dalam KUHPerdata, lazimnya hanya diatur dalam bentuk kontrak yang sangat simpel. Itu pun, sama seperti untuk kontrak kredit, diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku), yang biasanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah, dimana pihak bank sering kali lebih diuntungkan.

2) Hubungan Nonkontraktual

Ada 6 (enam) jenis hubungan hukum antara bank dan nasabah selain dari hubungan kontrakual sebagaimana disebutkan di atas, yaitu (Munir Fuady, 2003: 102-104):

a) Hubungan fidusia (Fiduciary Relation);

b) Hubungan Konfidensial;

c) Hubungan Bailor-Bailee;

d) Hubungan Principal-Agent;

commit to user

f) Hubungan Trustee-Beneficiary.

Disamping itu, adanya kewajiban bank untuk menyimpan rahasia bank, yang sebenarnya hal tersebut tidak pernah diperjanjikan sama sekali, juga mengindikasikan bahwa hubungan antara nasabah dan bank tidak sekadar hubungan kontraktual semata-mata. Dalam hal ini ada semacam amanah yang diemban oleh pihak perbankan untuk kepentingan nasabahnya.

c. Mekanisme Perlindungan Nasabah

Beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan nasabah bank adalah sebagai berikut (Munir Fuady, 2003: 104-107):

1) Pembuatan peraturan baru

2) Pelaksanaan peraturan yang ada

Peraturan tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank yang bersangkutan.

3) Perlindungan nasabah deposan lewat Lembaga Asuransi Deposito

Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata dapat juga membawa hasil yang positif. Asuransi deposito dengan nilai tinggi didasarkan pada risiko dari pinjaman atau kredit bank dimana tingkat risiko tersebut dapat diamati (Douglas W. Diamond dan Philip H. Dybvig, 2008: 57).

commit to user

Adalah salah satu cara agar bank tersebut kuat dan qualified sehingga dapat memberikan keamanan bagi nasabahnya. Undang-undang perbankan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi apabila suatu bank akan didirikan berupa persyaratan dalam hal-hal sebagai berikut:

a) susunan organisasi;

b) permodalan;

c) kepemilikan;

d) keahlian di bidang perbankan; dan

e) kelayakan rencana usaha.

5) Memperketat pengaturan di bidang kegiatan bank

Ketentuan yang menyangkut kegiatan bank banyak juga yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk melindungi pihak nasabah, antara lain:

a) Ketentuan mengenai permodalan, antara lain mengenai kecukupan modal atau yang disebut juga dengan Capital Adequate Ratio (CAR) yang diukur dari persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).

b) Ketentuan mengenai manajemen. Merupakan penilaian kualitatif mengenai manajemen terhadap manajemen permodalan, manajemen kualitas aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas.

c) Ketentuan mengenai kualitas aktiva produktif. Diukur tingkat kemampuan pengembaliannya dengan kategori lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet.

d) Ketentuan mengenai likuiditas. Sering kali dilakukan pengukuran lewat Cash Ratio atau Minimum Reserve

commit to user

yang biasanya terjadi karena adanya tindakan yang disebut mismatch.

e) Ketentuan mengenai rentabilitas. Sering diukur dengan cara penilaian kuantitatif melalui rasio perbandingan laba selama 12 (dua belas) bulan terakhir terhadap volume usaha dalam periode yang sama (Return on Assets atau RAA), dan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode 1 (satu) tahun.

f) Ketentuan mengenai solvabilitas.

g) Ketentuan mengenai kesehatan bank. Sering digunakan sebagai ukuran adalah:

(1) Capital, Assets quality, Management quality, Earnings,

and Liquidity (CAMEL). (2) Posisi Devisa Netto (Net Open Position) dengan tujuan untuk menghindari risiko nilai tukar (exchange rate risk ).

(3) Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau yang sering pula disebut juga Legal Lending Limit (3L) atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan kewenangan kepada Bank Sentral untuk menetapkan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) tersebut. Di samping itu, khusus untuk nasabah tertentu maka Bank Indonesia dapat juga menetapkan BMPK. Nasabah tertentu tersebut adalah: (a) pemegang saham 10% (sepuluh persen) atau lebih

dari modal setor; (b) anggota dewan komisaris; (c) anggota direksi;

commit to user

lurus atau ke samping), dewan komisaris, dan direksi;

(e) pejabat bank lainnya;perusahaan dimana di dalamnya ada kepentingan pihak pemegang saham, komisaris, direksi, pejabat bank lainnya, dan anggota keluarga dari pemegang saham, direktur, dan komisaris.

6) Memperketat pengawasan bank

Dalam menilai performa dan kondisi keuangan suatu bank, pengawas menggabungkan antara pemeriksaan on site dan off site. Selama pemeriksaan on site, pengawas mengunjungi bank untuk menilai kesehatan dan pemenuhan keuangan bank dengan hukum dan kebijakan yang terkait dengan peraturan- peraturan, untuk menaksir kualitas manajemen dan untuk menilai sistem dari pengawasan internal bank (Rebel A. Cole dan Jeffery W. Gunther, 1998: 1). Sedangkan pemeriksaan off site dilakukan dengan cara memeriksa laporan keuangan bank yang diberikan kepada pengawas.

Dalam rangka meminimalkan risiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihak otoritas, khususnya Bank Indonesia (juga dalam hal tertentu Menteri Keuangan) harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada, baik terhadap bank-bank pemerintah maupun bak swasta.

Sebagai pengawas, Bank Indonesia tidak dapat mencampuri secara langsung urusan intern dari bank yang diawasinya itu. Sebab, pengendalian bank tersebut tetap menjadi kewenangan pengurus bank tersebut.

commit to user

Sengketa berasal dari bahasa Inggris, yaitu dispute yang artinya a. sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan: perkara yang kecil dapat juga menimbulkan -- besar; daerah --, daerah yg menjadi rebutan (pokok pertengkaran); b. pertikaian; perselisihan: -- di dalam partai itu akhirnya dapat diselesaikan dengan baik; c. perkara (dalam pengadilan): tidak ada -- yang tidak dapat diselesaikan (http://www.artikata.com/arti-350210- sengketa.html) .

Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri (Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2001:26).

Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, yang telah cukup dikenal di Indonesia saat ini, melainkan juga alternatif penyelesaian sengketa lainnya, antara lain konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

a. Konsultasi

Jika melihat pada Black’s Law Dictionary, konsultasi (consultation) adalah “A conference between the counsel engaged in a case, to discuss its questions or arrange the method of conducting it ” (Henry Campbell Black,1979: 286).

commit to user

bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini berarti klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk- bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

b. Negosiasi

Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak- pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang

berbeda

dan

bertentangan (http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi). Menurut Syahrizal Abbas (Syahrizal Abbas, 2009: 9), negosiasi adalah salah satu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak setuju untuk menyelesaikan persoalan mereka melalui proses musyawarah, perundingan atau urun rembuk.

commit to user

memiliki makna dan objektif yang hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hanya saja negosiasi menurut rumusan Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut:

1) Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan

2) Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk “pertemuan langsung” oleh dan antara para pihak yang bersengketa.

Negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan (Pasal 130 HIR).

Pada umumnya proses negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak untuk melakukan pertemuan secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, pun negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu siatuasi yang sama-sama menguntungkan (win-win), dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran (concession) atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut kemudian ditungkan secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan

commit to user

Kesepakatan tertulis tersebut menurut ketentuan Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak ditandatangani, dan dilaksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran (Pasal 6 ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

c. Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Berada di tengah juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa (Syahrizal Abbas, 2009: 2).

Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) adalah/merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2).

Pasal 6 ayat (3) tesebut juga mengatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Dari literatur hukum, misalnya

commit to user

intervention; interposition; the act of a third person in intermediating between two contending parties with a view to persuading them to adjust or settle their dispute. Settlement of dispute by action of intermediary” (Henry Campbell Black, 1979: 885).

Menurut Pasal 1 angka 7 PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus (Takdir Rahmadi, 2010:12).

Sedangkan mediasi perbankan menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan adalah “merupakan alternatif penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan”.

Mediasi, dari pengertian yang diberikan, jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang bersifat netral dan tidak memihal, yang akan berfungsi sebagai mediator. Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak, dan ditunjuk oleh para pihak (secara langsung maupun melalui lembaga mediasi), mediator ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya

commit to user

suatu pihak di luar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa gunan mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik. Kesepatakan tertulis tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

Pasal 6 ayat (4) membedakan mediator ke dalam:

1) Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal

6 ayat (3)); dan

2) Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat (4)).

d. Konsiliasi

Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut.

Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa konsiliasi adalah:

commit to user

friendly, unantagonistic manner. Used in courts before trial with a view towards avoiding trial in labor disputes before arbitration” (Henry Campbell Black, 1979: 262).

Konsiliasi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan.

e. Pendapat Ahli

Pendapat ahli sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa menunjukkan bahwa arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi di antara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian. Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu masukan bagi para pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya.

Oleh karena pendapat tersebut diberikan atas permintaan dari para pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme, sebagaimana halnya suatu penunjukan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan suatu perbedaan pendapat atau perselisihan paham

commit to user

pendapat hukum ini pun bersifat akhir (final) bagi para pihak yang meminta pendapatnya pada lembaga arbitrase termaksud. Pendapat yang semacam ini termasuk dalam pengertian atau bentuk putusan lembaga arbitrase.

f. Arbitrase

Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah ”cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam hal usaha-usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang mengikat maupun perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Ini berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan pranata alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi

commit to user

menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.

Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

Putusan arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut (http://jurnalhukum.blogspot. com/2006/09/klausul-arbitrase-dan pengadilan18.html ).