Pokok-pokok Perubahan
III. Pokok-pokok Perubahan
Realisasi untuk persetujuan roll over PLN Jangka Panjang danatau roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang dapat disesuaikan dengan jatuh tempo per tranche. Dengan demikian, apabila realisasi PLN Bank pada awalnya dilakukan secara bertahap (dalam beberapa tranches), maka realisasi perpanjangan PLN tersebut dapat melampaui 3 (tiga) bulan dari tanggal persetujuan roll over sesuai dengan jatuh tempo masing- masing tranche pinjaman tersebut.
1431DPNP
31 Oktober 2012
1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya
Peraturan Bank Indonesia No. 1412PBI2012 tanggal 15 Oktober 2012 dan dalam rangka menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan penyampaian Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini adalah
menyempurnakan pedoman penyusunan laporan dan petunjuk teknis aplikasi laporan khususnya terkait dengan laporan-laporan sebagai berikut:
1. proyeksi arus kas.
2. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank yang meliputi:
a. bancassurance;
b. reksadana; dan
c. produk keuangan luar negeri.
3. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking.
4. structured products.
5. pejabat eksekutif.
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
6. jaringan kantor
7. laporan keuangan publikasi Bank
8. tenaga kerja perbankan
3. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 1 November 2012.
1432DPM
7 November 2012
1. Repo SBSN Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah merupakan instrumen
yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk penambahan likuiditas Bank dalam rangka Operasi Moneter Syariah (OMS) atau ekspansi moneter.
2. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah menggunakan akad al
bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUSUUS kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN.
3. Repo SBSN OPT Syariah dapat dilakukan pada setiap hari kerja Bank
Indonesia dengan jangka waktu Repo SBSN OPT Syariah paling singkat
1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari.
4. Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui mekanisme lelang, baik lelang
fixed rate tender maupun variable rate tender.
5. BUSUUS dapat mengikuti Repo SBSN OPT Syariah untuk kepentingan
sendiri, dengan memenuhi syarat :
a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;
b. tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan OMS;
c. memiliki rekening giro di Sistem BI-RTGS; dan
d. memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.
6. BUSUUS dapat mengajukan penawaran Repo SBSN OPT Syariah secara
langsung danatau melalui Lembaga Perantara.
7. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing,
dan pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. Lembaga Perantara Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran untuk kepentingan BUSUUS dan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang.
8. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut :
a. SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek;
b. tercatat dalam Rekening Surat Berharga di BI-SSSS;
c. tidak sedang diagunkan; dan
d. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Repo SBSN.
9. Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Repo SBSN OPT Syariah
melalui BI-SSSS paling lambat sebelum window time, pelaksanaan lelang antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB.
10. Pengajuan penawaran Repo SBSN OPT Syariah antara lain meliputi:
a. nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan, untuk lelang dengan metode fixed rate tender; atau
b. nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dan Marjin Repo SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.
11. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Repo SBSN OPT Syariah setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang maupun secara keseluruhan.
12. Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut:
a. first leg BUSUUS wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang direpokan dalam jumlah yang cukup untuk setelmen first leg.
b. second leg • setelmen second leg dilakukan secara otomatis di BI-SSSS pada
tanggal Repo SBSN OPT Syariah jatuh waktu (second leg), sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut off warning Sistem BI- RTGS.
• BUSUUS wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah
yang cukup untuk setelmen second leg.
13. Dalam hal BUSUUS tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second leg, Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright.
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
14. Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban setelmen, BUSUUS dikenakan sanksi :
a. sanksi teguran tertulis;
b. kewajiban membayar sebesar 0,01 (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. dalam hal BUSUUS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUSUUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan
d. sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada transaksi first leg.
1433DPbS
27 November 2012
1. Latar belakang
Sebagaimana pada perbankan konvensional, pertumbuhan pembiayaan kepemilikan rumah (KPR iB) yang terlalu tinggi pada perbankan syariah dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank yang memiliki eksposur pembiayaan properti yang besar. Demikian pula untuk pembiayaan kendaraan bermotor (KKB iB) bahwa pembiayaan KKB iB yang terlalu ekspansif dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank.
Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan peningkatan peran perbankan syariah dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional melalui pembiayaan yang produktif maka sebagaimana yang telah diberlakukan untuk perbankan konvensional, perbankan syariah perlu menetapkan kebijakan terkait denganpembiayaan KPR iB dan KKB iB. Kebijakan dalam pembiayaan KPR iB dan KKB iB pada perbankan syariah dilakukan dengan tetap memperhatikan karakteristik produk perbankan syariah termasuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
2. Pokok-pokok ketentuan
a. Produk pembiayaan KPR iB
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
1) Pengaturan pembiayaan KPR iB hanya diberlakukan untuk pembiayaan
KPR iB untuk rumahbangunan tipe 70 ke atas dan tidak termasuk KPR iB dalam rangka pelaksanaan program perumahan yang ditetapkan pemerintah.
2) Pembiayaan KPR iB dengan akad Murabahah atau Istishna dikenakan
ketentuan batasan Financing to Value (FTV) paling tinggi 70 artinya jumlah pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank syariah paling banyak sebesar 70 dari nilai agunan yang diserahkan nasabah. Agunan dalam hal ini adalah rumahbangunan yang dibiayai bank.
3) Pembiayaan KPR iB dengan skim Musyarakah Mutanaqisah (MMQ)
dipersyaratkan adanya batasan penyertaan (sharing) kepemilikan rumahbangunan pada saat awal oleh bank syariah ditetapkan paling tinggi 80 dari nilai rumahbangunan, atau dengan kata lain nasabah diharuskan melakukan penyertaan (sharing) kepemilikan awal paling rendah 20 nilai rumahbangunan.
4) Pembiayaan KPR iB dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
(IMBT) dipersyaratkan adanya uang jaminan (deposit) yang harus diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah paling rendah 20 dari nilai rumahbangunan. Uang jaminan tersebut nantinya akan diperhitungkan sebagai pembayaran atas pembelian rumah bangunan pada saat akad IMBT jatuh tempo dalam hal nasabah mengambil opsi untuk membeli rumahbangunan yang menjadi obyek IMBT. Dalam hal nasabah tidak mengambil opsi untuk membeli rumah bangunan yang menjadi obyek IMBT, maka uang jaminan tersebut akan dikembalikan kepada nasabah.
b. Produk pembiayaan KKB iB
Pembiayaan KKB iB pada perbankan syariah dipersyaratkan adanya uang muka (down payment) dari nasabah yaitu:
Ketentuan
Keterangan
Uang muka paling rendah
untuk pembelian kendaraan bermotor
25 roda dua atau roda 3.
Uang muka paling rendah
untuk pembelian kendaraan bermotor
30 roda empat untuk keperluan non produktif.
No. Peraturan
Uang muka paling rendah
untuk pembelian kendaraan bermotor
20 roda empat atau lebih untuk keperluan produktif, yaitu bila memenuhi salah satu syarat :
1) merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; atau
2) diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional usaha yang dimiliki.
3. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk
KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 3 tersebut di atas dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.
4. Sanksi pelanggaran:
a. Bank Indonesia meminta BUS atau UUS untuk menghentikan kegiatan
produk KPR iB danatau KKB iB apabila melanggar ketentuan butir
IV.C, butir V.B, butir V.D, dan butir VI.B Surat Edaran ini.
b. BUS atau UUS yang tidak menghentikan kegiatan produk KPR iB
danatau KKB iB sesuai permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 1017PBI2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
5. BUS atau UUS yang telah memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
penyaluran KPR iB danatau KKB iB sebelum Surat Edaran ini berlaku, wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur KPR iB danatau KKB iB serta menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal
31 Maret 2013.
No. Peraturan
Tanggal
Ringkasan
6. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk
KPR iB dan uang muka (down payment) untuk KKB iB tidak berlaku untuk KPR iB dan KKB iB yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya Surat Edaran ini.
7. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 27 November 2012, sedangkan
ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB mulai berlaku pada tanggal 1 April 2013.
1434DASP
27 November 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan untuk meningkatkan aspek
perlindungan konsumen pengguna Kartu Kredit di Indonesia serta mendukung praktek pemberian Kartu Kredit yang lebih memperhatikan manajemen risiko pemberian kredit.
2. Materi pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup:
a. penetapan batas maksimum suku bungan Kartu Kredit yang wajib
diterapkan oleh Penerbit Kartu Kredit, yaitu sebesar 2,95 (dua koma sembilan puluh lima persen) per bulan atau 35,40 (tiga puluh lima koma empat puluh persen) per tahun;
b. batas maksimum suku bunga Kartu Kredit tersebut berlaku baik untuk
transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai; dan
c. penegasan bahwa Bank Indonesia dapat mengubah batas maksimum
suku bunga Kartu Kredit tersebut dengan mempertimbangkan, antara lain:
1) indikator perekonomian seperti BI rate;
2) struktur biaya Kartu Kredit yang meliputi biaya dana (cost of fund),
biaya operasional dan pengelolaan risiko kredit oleh Penerbit (risk premium); danatau
3) praktek suku bunga yang dikenakan oleh Penerbit.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku secara efektif pada 1 Januari
No. Peraturan
Latar Belakang Pengaturan :
Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No. 1414PBI2012 tanggal 18 Oktober 2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. SE ini mewajibkan bank untuk menyampaikan informasi berkala mengenai kondisi Bank secara menyeluruh, sehingga dapat meningkatkan transparansi kondisi keuangan Bank kepada publik dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Penyesuaian SE ini juga diselaraskan dengan implementasi Pilar
3 Basel II mengenai market discipline.