Struktur Dewan Gubernur BI
Peraga 2. Struktur Dewan Gubernur BI
Sumber: www.bi.go.id Sumber: www.bi.go.id
Apabila Bank Indonesiaingin menjadi bank sentral yang independen dan menerapkan CBG dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya maka sebaiknya sistem ini diubah. Bank Indonesia dapat merancang sistem penganggaran baru yang lebih independen dengan menggunakan dasar pelbagai macam best practices yang disesuaikan dengan tatanan politik dan undang-undang yang melandasinya. Alternatif lainnya, Bank Indonesia dapat juga mengadopsi mekanisma penganggaran bank sentral di negara lain yang dianggap lebih baik dan lebih independen yang tentunya disesuaikan dengan sistem ekonomi yang dianut di Indonesia, misalnya saja sistem anggaran dari Reserved Bank of Australia (RBA) yang hanya membutuhkan persetujuan dari Gubernur RBA atau sistem Anggaran dari Central Bank of Bahrain yang sudah sepenuhnya independen dengan pertanggungjawaban pada saat diaudit.
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat menjadi lebih independen lagi apabila beroperasi tanpa menggunakan modal dari pemerintah.Hal ini memungkinkan untuk dilakukan mengingat Bank Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bank umum maupun dengan perusahaan lainnya.
Karakteristik bank umum menuntut bank umum untuk mempunyai likuiditas jangka pendek yang tinggi. Bank umum harus mampu memenuhi permintaan penarikan dana dari nasabah seketika itu juga saat nasabah
meminta. Penarikan ini tidak bisa ditunda seperti halnya perusahaan manufaktur yang menunda pembayaran terhadap pemasoknya saat mengalami kekurangan kas (cash shortages). Hal inilah yang mendorong pembuat kebijakan, yaitu Bank Indonesia untuk menetapkan cadangan wajib minimum di bank umum.
Sementara itu, bank sentral tidak membutuhkan cadangan berupa modal dalam jumlah yang banyak dan bahkan bank sentral dapat tetap beroperasi dengan normal meski dengan cadangan modal nol. Cadangan modal yang dimaksud dalam konteks ini adalah modal yang berasal dari pemerintah dan laba ditahan. Hal ini dikarenakan bank sentral mempunyai kemampuan untuk menciptakan likuiditas domestik sehingga bank sentral dianggap sebagai obligor handal dan oleh karenanya tidak membutuhkan modal sebagai jaminan dalam melakukan pinjaman. Bank of Canada dan Bundesbank bahkan telah membuktikan bahwa mereka dapat beroperasi dengan modal nol tanpa menimbulkan dampak material pada
kebijakan maupun profitabilitasnya. 43
b. Akuntabilatas
Prinsipini menuntut bank sentral untuk mempertanggungjelaskan kinerjanya secara transparan dan wajar. Akuntabilitas bank sentral diperlukan untuk memastikan kalau pelaksanaan kebijakan dan fungsi-fungsi yang ada sudah berjalan dengan efektif dan efisien yang berarti bahwa bank sentral telah mengelola sumber dayanya juga dengan cara yang efektif dan efisien dalam upaya pencapaian tujuannya, yaitu stabilitas harga.
Untuk memudahkan pemantauan kinerja, undang-undang bank sentral harus mewajibkan
43 Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP9783 43 Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP9783
Seringnya pengungkapan informasi mengenai kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral juga dapat membuat pemerintah sulit melakukan intervensi terhadap bank sentral tanpa diketahui oleh publik.Untuk itu pelaporan juga harus secara jelas memaparkan faktor- faktor internal maupun eksternal di luar kendali bank sentral yang mempengaruhi hasil kebijakan.
1) Akuntabilitas Bank Indonesia
Sebagai lembaga publik, Bank Indonesia wajib akuntabel atau mempertanggungjelaskan tugas dan tujuan yang dilaksanakan, otoritas yang diberikan, kondisi keuangan, dan efisiensi sumber daya yang digunakan. Terkait kondisi keuangan, Bank Indonesia mempertanggung jelaskan kinerjanya kepada masyarakat, Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, serta Pemerintah.
Saat ini, Bank Indonesia menyampaikan laporan tahunan kepada DPR dan Pemerintah pada setiap awal tahun beserta anggaran yang memuat pelaksanaan tugas dan wewenang pada tahun sebelumnya serta rencana kebijakan, penetapan sasaran, dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang tahun yang akan datang. Bank Indonesia juga wajib menyampaikan laporan triwulanan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR dan Pemerintah. Lagi-lagi, akuntabilitas yang dimiliki oleh Bank Indonesia belum didukung oleh CBG yang baik dikarenakan persetujuan terhadap laporan pelaksanaan tugas dan
wewenang harus dievaluasi dan disetujui oleh DPR.
2) Supervisory Board
Salah satu isu terkait independensi bank sentral adalah bagaimana bank sentral dapat menjaga keseimbangan antara independensi dengan akuntabilitas.Seperti yang disebutkan dalam undang-undang tentang bank sentral, tugas bank sentral adalah menjaga kestabilan harga. Hal ini otomatis membuat bank sentral mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan yang dibutuhkan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Wewenang ini harus diimbangi dengan akuntabilitas agar tidak muncul “negara di dalam negara.”
Saat ini, undang-undang tentang bank sentral tengah ditinjau ulang di berbagai negara terutama terkait dengan topik bagaimana cara menyeimbangkan independensi dan akuntabilitas bank sentral. Konsep supervisory board yang telah digunakan di beberapa negara dianggap sebagai salah satu opsi yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Supervisory Board dibentuk untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi bank sentral, serta memberikan counterbalance (penyeimbang) terhadap independensi yang dimiliki bank sentral. Konsep supervisory board di tiap negara juga berbeda-beda, tergantung pada hukum dan lingkungan politiknya.
Supervisory board harus memahami tugas dan fungsinya dengan baik, seperti (1) tidak boleh ikut campur dan mempengaruhi kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral, dan (2) dapat menjaga kerahasiaan bank sentral. Keharusan untuk menjaga kerahasiaan ini dapat bertentangan dengan tujuan awal pembentukan supervisory board, yaitu meningkatkan transparansi dan Supervisory board harus memahami tugas dan fungsinya dengan baik, seperti (1) tidak boleh ikut campur dan mempengaruhi kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral, dan (2) dapat menjaga kerahasiaan bank sentral. Keharusan untuk menjaga kerahasiaan ini dapat bertentangan dengan tujuan awal pembentukan supervisory board, yaitu meningkatkan transparansi dan
komunikasi yang terbuka antara Bank Indonesia
lingkup kerahasian bank sentral harus selalu
dengan masyarakat sangat dibutuhkan.
dinilai dan dievaluasi ulang.
Transparansi juga dibutuhkan karena pasar dan pelaku ekonomi membutuhkan informasi
c. Transparansi
untuk mengelola ekspektasi terhadap arah
Tranparansi bank sentral mengacu pada
kebijakan bank sentral. Hal inilah yang
kegiatan yang dilakukan oleh bank sentral
mendorong Bank Indonesia untuk senantiasa
sebagai pemegang otoritas moneter untuk
transparan mengkomunikasikan berbagai
menyediakan informasi bagi publik sehingga
macam kebijakan yang diambilnya kepada
publik dapat menerima keputusan tersebut
masyarakat. Transparansi dilakukan kepada
beserta alasan yang mendasarinya. Transparansi
berbagai pihak seperti parlemen, pemerintah,
merupakan prekondisi untuk menciptakan
pasar, para pemerhati bank sentral, dan media
akuntabilitas. 44
massa. Komunikasi yang Bank Indonesia lakukan dapat berupa pengumuman maupun
Sebagaimana telah juga disebutkan sebelumnya
penjelasan-penjelasan mengenai sasaran inflasi
terdapat juga beberapa penelitian terkait
ke depan, analisis Bank Indonesia terhadap
dengan transparansi bank sentral ini.
perekonomian, kerangka kerja, dan langkah-
Diantaranya oleh Eijffinger dan Hoebrichts
langkah kebijakan moneter yang telah akan
yang menunjukkan bahwa semakin banyak
ditempuh, kerangka kerja, dan langkah-
transparansi yang dilakukan maka tingkat
langkah kebijakan moneter yang telah dan
inflasi akan semakin rendah dan juga
akan ditempuh, jadwal Rapat Dewan Gubernur
diperlukan lebih sedikit stabilisasi atas supply
(RDG), serta hal-hal lainnya yang ditetapkan
shock. Claessens dkk.menunjukan bahwa
oleh Dewan Gubernur.
transparansi yang rendah merupakan cerminan dari rendahnya tingkat corporate governance.
Komunikasi kebijakan dapat dilakukan dalam
Survey yang dilakukan oleh Fry dkk terhadap
bentuk siaran pers, konferensi pers, publikasi
94 bank sentral juga menunjukan bahwa
TinjauanLaporan Kebijakan Moneter yang
74 dari responden menganggap bahwa
memuat latar belakang pengambilan keputusan,
transparansi merupakan komponen kerangka
maupun penjelasan langsung dan diskusi
kebijakan moneter yang vital dan sangat
kepada masyarakat luas, media massa, pelaku
penting. Namun yang menarik adalah hasil
ekonomi, analis pasar dan akademisi. Media
temuan penelitian oleh De Haan dan
komunikasinya dapat berupa publikasi Tinjauan
Amtenbrink yang menyatakan bahwa Bank
Kebijakan Moneter, Laporan perekonomian
sentral di European Central Bank (ECB)
Indonesia, Laporan Triwulan DPR RI, dan Siaran
mendapat peringkat tinggi dari indikator
Pers Kebijakan Moneter.
pengungakapan, namun bukti menunjukkan bahwa pasar keuangan tidak menganggap
Kewenangan bank sentral untuk mengambil
ECB tranparan.
keputusan kebijakanmoneter diberikan oleh legislatif sehingga wewenang ini juga dapat
Dalam konteks Bank Indonesia, agar kebijakan
diambil setiap saat dengan undang-undang.
moneter dapat berjalan dengan baik maka
Legislatif hanya akan memberikan kepercayaannya apabila bank sentral dapat membuat kebijakan moneter yang beralasan
dan dapat diterima serta dapat menjalankan
44 Amtenbrink, Lot.cit 44 Amtenbrink, Lot.cit
sentral dalam mendanai pengeluarannya sendiri. 48
penting bagi bank sentral untuk memaparkan
Jika politisi dapat mempengaruhi bank sentral
aktivitas-aktifivasnya agar mendapat dukungan
dalam penyusunan dan penggunaan anggarannya,
politik dan publik dalam menjalankan tugasnya
maka dikatakan bahwa bank sentral tidak
untuk menjaga stabilitas harga. Komunikasi
mempunyai kemandirian keuangan.
yang terbuka dan langsung dengan legislatif sangatlah penting dalam pengelolaan bank
Policy independence menyangkut seberapa besar
sentral
ruang gerak dari bank sentral dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kemandirian
3. Pentingnya Kemandirian Bank Indonesia
kebijakan ini dapat dibagi dua, yakni, goal
dalam Pencapaian Tujuan Bank Indonesia
independence dan instrument independence. 49
Bank sentral dikatakan tidak memiliki personal
Goal independence menyangkut seberapa besar
independence jika ada otoritas lain (pemerintah
kemandirian bank dalam menentukan tujuan bank
danatau parlemen), yang menunjuk atau memilih
sentral, sedangkan instrument independence
anggota-anggota dalam kepemimpinan bank
menyangkut mengenai ada tidaknya atau seberapa
sentral, dapat melakukan tekanan politik secara
besar keharusan bank sentral untuk mendapatkan tidak langsung kepada anggota-anggota tersebut. 45 persetujuan pemerintah danatau parlemen dalam
Hal seperti ini dapat dilakukan, misalnya, dengan
memilih sarana yang dipilih untuk mencapai
memberhentikan atau tidak memperpanjang
tujuannya.
jabatan dari salah satu atau beberapa anggota pimpinan bank sentral. Dalam bentuk lain, tidak
Sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan
adanya personal independence adalah, misalnya,
akhir dan pertanggungjawaban final tentang
adanya perwakilan dalam kepemimpinan bank
kebijakan moneter, kemandirian bank sentral
sentral dan prosedur penunjukan pimpinan bank
berlawanan dengan akuntabilitas demokratis. 50
sentral. 47
Dalam masyarakat yang demokratis, De Haan dan Eijffinger menyatakan bahwa bank sentral
Financial Independence atau sering dikenal dengan
seharusnya tidak memiliki goal independence baik
budgetary independence adalah kemandirian bank
eksplisit maupun implisit. 51 Meskipun mekanisme pengenyampingan mengurangi independensi bank sentral, tetapi dapat meningkatkan akuntabilitas demokratis, sebagaimana tanggung jawab final
45 Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems
dari kebijakan moneter berada pada tangan politisi
Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and the Federal Rerserve System, Routledge Taylor Francis Group, London and New York, Hal.,
yang dipilih secara demokratis.
33-35 46 Misalnya, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 menentukan
Ada tiga bentuk akuntabilitas bank sentral yakni: 52
bahwa Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur-Direktur meskipun masa jabatan yang bersangkutan belum berakhir; (a) karena
1. Keputusan tetang definisi eksplisit dan
meninggal dunia; (b) karena melakukan sesuatu atau bersikap yang
pemeringkatan dari tujuan-tujuan moneter
merugikan Bank Indonesia atau yang bertentangan dengan kepentingan Negara; (c) karena sesuatu hal yang menyebabkan ia tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan wajar; (c) atas permintaan sendiri.
47 Lihat misalnya Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968
48 Lihat Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy
yang menentukan bahwa Bank Indonesia dalam menjalankan tugas
Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan Studies in Banking
pokoknya adalah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris, Hal., 15
Ayat (2) dari pasal tersebut kemudian menentukan bahwa Pemerintah
49 De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, loc.cit.
dibantu oleh Dewan Moneter.Pasal 10 dari undang-undang tersebut
50 Loc.cit.
menentukan bahwa Dewan moneter terdiri dari tiga orang anggota, yaitu Menteri-menteri yang membidangi Keuangan dan Perekonomian
51 Loc.cit.
serta Gubernur Bank Indonesia.
52 Loc.cit.
2. Transparansi dalam kebijakan monoter yang
29ormat
3. Siapa yang harus memberikan pertanggung-
jawaban final kebijakan moneter Dalam akuntabilitas demokratis, politisi terpilih
harus menentukan defnisi eksplisit dan peringkat tujuan-tujuan dari kebijakan moneter. Transparansi dalam kebijakan moneter dicapai apabila badan pengambil keputusan dalam bank sentral diminta untuk mengumumkan berita acara rapat dan atau mengapa suatu keputusan telah diambil. Dalam pertanggungjawaban akhir dari kebijakan monoter, terdapat tiga hal yang krusial, yakni: hubungan bank sentral dengan parlemen, mekanisme pengenyampingan, dan prosedur pemecatan gubernur bank sentral.
Mengenai hubungan bank sentral dengan parlemen, menurut kehendak akuntabilitas demokratis seharusnya terdapat keharusan yuridis bank sentral untuk melaporkan dan atau menjelaskan policy action-nya dan sebaliknya bank sentral mempunyai kesempatan untuk menjelaskan kebijakannya. Parlemen juga harus mendapatkan kesempatan untuk menilai kinerja bank sentral.
Logika dari hubungan tersebut adalah karena kebijakan moneter ditetapkan oleh politisi. Dalam konstruksi ini, politisi diberi kewenangan untuk merubah peraturan yang menyangkut independensi bank sentral agar bank sentral memenuhi kebijakan moneter yang ditetapkan oleh parlemen. Sehubungan dengan hal ini, De Haan dan Eijffinger menyatakan bahwa: “It has been argued in the context of national central banks in general that Parliament always holds the ultimate responsibility for monetary policy since it can change the legal basis of the Central Bank.” Dengan demikian, lembaga yang menetapkan kebijakan moneter (dalam hal ini parlemen) harus mempunyai 29ormative29 untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut dijalankan (oleh bank sentral) sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan hal ini, De Haan dan Eijffinger mengatakan bahwa: “Indeed, the mere threat of a change of the law may induce even independent central banks to ensure that monetary policy will in general be in accordance with the wishes of elected politicians.” Dengan demikian, jika parlemen telah menetapkan kebijakan moneter, maka bank sentral harus mempunyai akuntabilitas demokratis yang tinggi. Sebaliknya jika goal independence yang dimiliki oleh bank sentral adalah tinggi, maka akuntabilitas demokratisnya lebih rendah. Tinggi rendahnya akuntabilitas secara umum dapat diukur dari materi yang harus di-“jelaskan” maupun dari seberapa besar kewenangan pihak yang meminta penjelasan untuk menggunakan haknya sewaktu- waktu. Akuntabilitas berupa kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulan tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai evaluasi kinerja tentu dipandang lebih rendah tingkatannya dibandingkan dengan kewajiban (juga) untuk menyampaikan penjelasan secara lisan maupun tertulis selama diminta oleh pihak evaluator.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, dengan memperhatikan isi Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 jo. Pasal
8, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, maka dapat dikatakan bahwa secara yuridis Bank Indonesia mempunyai goal independence yang memadai. Pasal 7 Ayat (1) undang-undang Bank Indonesia tersebut menyatakan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam mencapai tujuan tersebut, Pasal 8 Ayat (1) undang-undang Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Goal independence tersebut diperkuat dengan Pasal 9 undang-undang Bank Indonesia, yang melarang campur tangan pihak lain dan sekaligus mewajibkan Bank Indonesia untuk menolak dan atau mengabaikan campur tangan tersebut.
Goal independence Bank Indonesia dibatasi oleh dua hal, yakni keharusan Bank Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian (Pasal 7 Ayat (2) undang- undang Bank Indonesia) dan memperhatikan sasaran laju inflasi dalam menetapkan sasaran- sasaran moneter (Pasal 10 Ayat (1) huruf a undang- undang Bank Indonesia).
Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 mewajibkan Bank Indonesia untuk menyampaikan laporan tahunan secara tertulis kepada DPR mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang dilakukan pada tahun yang lalu maupun rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenangnya untuk tahun yang akan datang. Diantara laporan tahunan yang harus diserahkan kepada DPR, Bank Indonesia wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR (dan Pemerintah) setiap tiga bulan (triwulanan) (Pasal 58 Ayat (2) undang-undang Bank Indonesia). Kewajiban pelaporan perencanaan dan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia kepada DPR tersebut merupakan input bagi DPR dalam rangka penilaian kinerja Bank Indonesia (Pasal 58 Ayat (3) undang-undang Bank Indonesia). Memperhatikan isi Pasal 58 Ayat (1), (2) dan (3) tersebut, secara teoritis akses DPR terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dengan kebijakan moneternya tampak telah cukup memadai. Artinya, check and balances antara pembuat kebijakan moneter (Bank Indonesia) dan pihak yang memberikan penilaian kinerja (DPR) dicerminkan dengan baik.
Isi dari Pasal 58 Ayat (3) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004 menunjukkan tingginya tingkat akuntabilitas demokratis Bank Indonesia. Ayat (3) dari pasal ini menyatakan bahwa dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, termasuk dalam rangka penilaian terhadap kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan secara lisan
danatau tertulis. Mempertimbangkan perlunya Bank Indonesia mendapatkan pengawasan dari DPR dalam menjalankan tugasnya tampaknya isi pasal ini merupakan pasal yang memadai bagi DPR untuk “setiap waktu” dapat meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Akan tetapi perlu diingat bahwa adalah Bank Indonesia yang mempunyai kemandirian dalam bidang penentuan kebijakan moneter (goal independence). Dalam hal ini jika dihubungkan dengan pendapat De Haan dan Eijffinger tersebut di atas bahwa sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan akhir dan pertanggungjawaban final tentang kebijakan moneter, kemandirian bank sentral berlawanan dengan akuntabilitas demokratis maka keberadaan Ayat (3) tersebut dapat dipandang berlebihan. Esensi dari akuntabilitas demokratis adalah parlemen perlu sarana yuridis yang dapat memastikan bahwa kebijakan moneter “yang ditetapkannya” dapat “dilaksanakan” oleh bank sentral. Manakala bank sentral itu sendiri yang menentukan kebijakan monerter maka dapat dipandang kurang seimbang apabila pengawasan parlemen sampai pada tingkat sebagaimana dimuat dalam Ayat (3) Pasal 58 undang-undang Bank Indonesia tersebut di atas.
Dampak dari muatan Pasal 58 Ayat (3) undang- undang Bank Indonesia tersebut adalah bahwa DPR dapat melakukan intervensi terhadap kebijakan jangka pendek yang dibuat oleh Bank Indonesia. Disamping hal ini menjadi tidak terlalu efisien, hal ini juga dapat mengarah kepada pengutamaan kepentingan di luar kepentingan
tujuan moneter Bank Indonesia. 53 Dampak lebih
buruk dapat terjadi jika makna dari Ayat (3) pasal tersebut menyangkut mengenai penganggaran
53 Bandingkan dengan pendapat Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge University Press, New York., pp. 34-46
Bank Indonesia.Jika hal ini terjadi maka bukan
1) Australia
tidak mungkin DPR berdasarkan Ayat (3) pasal
The Reserve Bank of Australia adalah bank sentral
tersebut ikut campur tangan terhadap pelaksanaan
Australia berdasarkan Act No.4 of 1959 tentang
anggaran kebijakan Bank Indonesia yang seharusnya
Reserve Bank Act sebagaimana diubah terakhir
hanya wajib dilaporkan (tanpa harus dimintakan
Act No.82 of 2010. Bank ini dipimpin seorang
persetujuan) DPR. Padahal sebagaimana dengan
gubernur dan seorang wakil gubernur. Gubernur
jelas dirumuskan dalam Pasal 60 undang-undang
adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
Bank Indonesia bahwa anggaran operasional wajib
manajemen dari the Reserve Bank of Australia.
mendapatkan persetujuan DPR (Ayat (3)), tetapi
Gubernur ditunjuk oleh Menteri Keuangan dalam
anggaran kebijakan hanya wajib “dilaporkan”
masa jabatan 7 (tujuh tahun) dan dapat dipilih
kepada DPR.
kembali sepanjang in good behavior 54 .
4. Perbandingan Kemandirian Penganggaran
Secara normative di dalam pengelolaan the Reserve
Bank Sentral di Berbagai Negara
Bank of Australia terdapat Board of Bank yang
Untuk menentukan kemandirian penganggaran
terbagi atas 2 (dua) kamar, yaitu Reserve Bank
yang mungkin dapat diterapkan oleh Bank
Board dan Payment System Board. Reserve Bank
Indonesia di masa yang akandatang, penelitian
Board bertanggung jawab atas kebijakan moneter
ini coba melihat proses penganggaran yang
dan perbankan, serta tanggung jawab lainnya
diterapkan di beberapa negara.Sebagaimana
selain tanggung jawab yang didelegasikan kepada
telah disebutkan sebelumnya, pilihan dijatuhkan
the Payment System Board; sedangkan the Paymet
pada negara-negara di bawah ini, didasarkan
System Board mempunyai tanggung jawab
pada keberagamanan sistem pemerintahan yang
mengenai sistem pembayaran dari the Reserve
dianut oleh negara-negara ini Australia adalah
Bank of Australia. Lebih lanjut, kedua board ini
negara yang menganut sistem pemerintahan
harus secara bersama-sama melakukan
parlementer; sedangkan Filipina menggunakan
kewenangan 55 :
sistem pemerintahan presidensil. Korea Selatan
a. the stability of the currency of Australia;
berbeda dengan kedua kelompok negara
b. the maintenance of full employment in
sebelumnya, karena Korea Selatan adalah salah
Australia; and
satu negara yang menganut sistem pemerintahan
c. the economic prosperity and welfare of the
hybrid.
people of Australia.
Keberanekaragaman sistem pemerintahan dipilih
Namun, kedua board ini sebenarnya hanyalah
karena Indonesia tidak sepenuhnya menganut
pengelompokan dalam proses pengambilan
sistem presidensil dalam sistem pemerintahannya,
kebijakan, sebab keduanya secara bersama-sama
namun juga terdapat feature parlementer dalam
beranggotakan gubernur the Reserve Bank of
sistemnya. Oleh karena itu, pilihan perbandingan
Australia.
dengan negara-negara di atas digunakan agar
The Reserve Bank Board terdiri atas 56 :
dapat melihat pola-pola yang dilakukan dalam
a. the Governor;
proses penganggaran dalam berbagai sistem
b. the Deputy Governor;
pemerintahan yang ada saat ini. Berikut adalah uraian dari setiap negara sebagaimana disebutkan di atas.
54 Lihat Article 24 the Reserve Bank Act 1959. 55 Lihat Article 10 section (2) the Reserve Bank Act 1959. 56 Lihat Article 14 section (1) the Reserve Bank Act 1959.
c. the Secretary to the Department of the
pemerintahannya, Korea Selatan, selain memiliki
Treasury; and
presiden sebagai kepala negara dan kepala
d. 6 other members, who shall be appointed in
pemerintahan 58 , juga terdapat perdana menteri 59
writing by the Treasurer in accordance with
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
this section.
pemerintahan sehari-hari. Selain kedua jabatan eksekutif tersebut, dalam sistem Korea Selatan
The Payment System Board beranggotakan 57 :
juga ada parlemen (National Assembly), yang
a. the Governor;
memegang kekuasaan legaslatif dan merupakan
b. 1 (one) representative of the Reserve Bank of
representasi dari rakyat 60 .
Australia;
c. 1 (one) representative of Australian Prudential
Berkaitan dengan bank sentral, Bank of Korea di
Regulation Authority (APRA);
pimpin oleh seorang gubernur yang melaksanakan
d. up to 5 (five) other members.
manajemen dan kebijakan yang ditetapkan oleh the Monetary Policy Committee. The Monetary
Lima anggota lain di atas akan ditunjuk secara
Policy Committee tersebut adalah organ yang
tertulis oleh menteri keuangan.
mempunyai kewenangan tertinggi dalam struktur Bank of Korea, khususnya dalam menetapkan
Dengan keanggotaan dan pola penunjukannya,
kebijakan 61 . Committee ini beranggotakan
terlihat sangat jelas bahwa the reserve bank of
Gubernur Bank of Korea, Senior Deputy Gubernur
Australia mempunyai keterkaitan yang erat dengan
Bank of Korea, seorang anggota yang
pemerintah, khususnya menteri keuangan. Hal ini
direkomendasikan oleh Minister of Strategy and
wajib dilaksanakan karena adanya kewajiban untuk
Finance, seorang anggota yang direkomendasikan
selalu dilakukan kerjasama antara pemerintah dan
oleh Gubernur Bank of Korea, seorang anggota
the reserve bank of Australia.
yang direkomendasikan oleh Ketua Komisi Keuangan National Assembly, seorang anggota
Berkaitan dengan penganggaran, dalam the reserve
yang direkomendasikan oleh Ketua Kamar Dagang
bank act 1959, sama sekali tidak disinggung
dan Industri, dan seorang anggota yang
mengenai proses penganggaran the Reserve Bank
direkomendasikan oleh Ketua Perhimpunan
of Australia. Meskipun demikian dan berkaitan
Bank 62 . Seluruh anggota the Monetary Policy
dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di
Committee, termasuk gubernur yang juga
Australia, penganggaran harus tetap melalui
menjabat sebagai ketua committe; kecuali senior
persetujuan parlemen. Hal ini disebabkan karena
deputy gubernur, diangkat oleh presiden setelah
parlemen adalah pemegang purse power terhadap
mendapatkan persetujuan dari the National
seluruh belanja yang akan dilakukan oleh lembaga-
Assembly 63 .
lembaga federal, termasuk bank sentral.
Selain the Monetary Policy Committee, manajemen
2) Korea Selatan
sehari-hari the Bank of Korea dilaksanakan oleh
Sedikit berbeda dengan Jepang, Korea Selatan adalah salah satu negara yang menerapkan sistem pemerintahan hybrid. Dikategorikan sebagai sistem
58 Lihat Chapter IV Section 1 Article 66 of the South Korea Constitution.
pemerintahan hybrid, karena dalam sistem
59 Lihat Chapter IV Section 2 Article 86 of the South Korea Constitution. 60 Lihat Chapter IIIArticle 40 of the South Korea Constitution. 61 Lihat Chapter II Section 1 Article 12 of the Bank of Korea Act. 62 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 of the Bank of Korea Act.
57 Lihat Article 25A the Reserve Bank Act 1959.
63 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 (3) of the Bank of Korea Act.
seorang Gubernur, Seorang Deputy Senior Gubernur
Dalam melaksanakan kewenangannya, di dalam
dan paling banyak 5 (lima) deputy gubernur 64 .
struktur the Bangko Sentral ng Pilipinas dibentuk
Gubernur Bank of Korea diangkat oleh presiden
the Bangko Sentral Monetary Board, yang
atas persetujuan the National Assembly, sedangkan
beranggotakan 7 (tujuh) orang anggota, yaitu
deputy senior gubernur direkomendasikan oleh
gubernur bank sentral, yang juga berkedudukan
gubernur dan diangkat oleh presiden. Berbeda
sebagai ketua dari board tersebut, 1 (satu) wakil
halnya dengan para deputy, sebab mereka diangkat
dari pemerintah, dan 5 (lima) orang dari pihak
dan diberhentikan oleh gubernur.
swasta yang ditunjuk oleh presiden 69 .
Dalam melaksanakan tugasnya, para pimpinan
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya the
the Bank of Korea menggunakan anggaran yang
board dibantu oleh manajemen the Bangko Sentral
ditetapkan oleh the Monetary Policy Committee 65 .
ng Pilipinas, yang dipimpin oleh seorang gubernur
Namun khusus yang berkaitan dengan gaji, yang
dan paling banyak 3 orang deputy gubernur. Lebih
ditetapkan oleh presiden, tetap harus dimintakan
lanjut, Sama dengan mekanisme penunjukan
persetujuan kepada Minister of Strategy and
deputy senior gubernur the Bank of Korea, para
Finance. Konsep penganggaran ini sangat
deputy gubernur the Bangko Sentral ng Pilipinas
dimungkinkan karena dalam the monetary policy
diangkat oleh gubernur atas persetujuan the
committee telah berbaur para anggota eksekutif
board 70 .
dan 35ormative35. Konsekuensinya, penganggaran tidak lagi harus diajukan secara mandiri kepada
Dalam melaksanakan fungsinya, the Bangko
the national assembly sebab assembly telah
Sentral ng Pilipinas menggunakan anggaran yang
memiliki wakil dalam committee; sama halnya
ditetapkan oleh the board berdasarkan usulan
dengan pihak eksekutif. Oleh karenanya, sangat
yang disampaikan oleh gubernur 71 . Konstruksi ini
wajar jika proses penganggaran the Bank of Korea
dimungkin secara ormative, karena tingkat
terlihat cukup sederhana jika dibandingkan dengan
independensi yang dimiliki oleh the Bangko Sentral
proses penganggaran yang diterapkan pada proses
ng Pilipinas cukup besar. Namun tetap saja berada
penganggaran Bank Indonesia.
di bawah pengawasan dari the congress, sebab gubernur diwajibkan untuk bertanggung jawab
3) Filipina
dalam penggunaan anggaran yang diperuntukan
Filipina memberikan kewenangan bank sentralnya
bagi the Bangko Sentral ng Pilipinas.
kepada the Bangko Sentral ng Pilipinas 66 . Dalam
melaksanakan fungsinya sebagai bank sentral,
5. Proses Penganggaran yang Tepat bagi Bank
the Bangko Sentral ng Pilipinas diberi kewenangan
Indonesia
policy directions in the areas of money, banking,
Berdasarkan uraian dari negara-negara di atas,
and credit 67 . Yang mana kewenangan tersebut
cukup jelas terlihat bahwa kemandirian
mempunyai tujuan akhir untuk maintain price
penganggaran dapat dilakukan sebab telah terjadi
stability conducive to a balanced and sustainable
mixed atau pembauran antara pihak-pihak
growth of the economy 68 .
eksekutif dan legislaif dalam sebuah board atau komisi di bank sentral. Dengan pembauran ini,
64 Lihat Chapter III Section 1 Article 32 of the Bank of Korea Act. 65 Lihat Chapter VII Section 1 Article 98 (2) of the Bank of Korea Act. 66 Lihat Chapter I Article I Section 2 of the Republic Act No.7563.
69 Lihat Chapter I Article II Section 1 of the Republic Act No.7563.
67 Lihat Chapter I Article I Section 3 of the Republic Act No.7563.
70 Lihat Chapter I Article III Section 21 of the Republic Act No.7563.
68 Ibid.
71 Chapter I Article II Section 15(d) of the Republic Act No.7563 71 Chapter I Article II Section 15(d) of the Republic Act No.7563
yang terbaik untuk tetap menjaga independensi
secara langsung kepada parlemen atau legislatif
Bank Indonesia dan juga untuk menekan
sebagai pemegang kekuasaan keuangan negara;
kemungkinan politisasi dalam proses pelaksanaan
tetapi persetujuan telah diberikan melalui wakil
kewenangan bank Indonesia.
yang mereka tunjuk atau yang mereka tugasi untuk duduk dalam board di bank sentral. Oleh
E. PENUTUP
karena itulah, tidak mengherankan jika proses penganggaran yang dilakukan terlihat sederhana
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam bab-bab
dan nirpolitik, sebab telah ada pembauran dalam
terdahulu untuk memberikan jawaban atas
board yang merupakan lembaga tertinggi dalam
permasalahan yang telah ditentukan, berikut ini adalah
bank sentral.
kesimpulan dan rekomendasi terkait permasalahan- permasalahan yang telah ditentukan:
Kembali kepada kemungkinan kemandirian penganggaran bagi Bank Indonesia, sebenarnya
1. Kesimpulan
hal tersebut di atas sangatlah terbuka untuk diterapkan di Indonesia. Bahkan melalui Undang-
a. Bahwa terdapat peluang normatif untuk
Undang Nomor 23 Tahun 1999, kewenangan
memberikan kemandirian penganggaran pada
kemandirian penganggaran yang dimiliki oleh
Bank Indonesia. Hal tersebut karena adanya
Bank Indonesia jauh lebih besar jika dibandingkan
norma terbuka yang diberikan oleh UUD
dengan negara-negara di atas.
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 23D, mengingat Pasal ini tidak
Kemungkinan ini secara konstitusional sangat
menentukan sampai derajat mana kemandirian
terbuka dan sangat bergantung pada will dari
dan indipendensi yang dapat diberikan kepada
pembentuk undang-undang untuk dapat
Bank Sentral. Oleh karenanya, kemungkinan
diterapkan di Indonesia. Namun jika menginginkan
ini secara konstitusional sangat terbuka dan
pola sebagaimana diterapkan oleh negara-negara
sangat bergantung pada will dari pembentuk
pada sistem parlementer di atas, dapat saja Badan
undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat
Supervisi Bank Indonesia dilebur menjadi bagian
dan Presiden), untuk menginterpretasikan
dari sebuah dewan tertinggi dalam struktur Bank
sejauh mana ketentuan Pasal 23D tersebut.
Indonesia. Dengan begitu, secara tidak langsung DPR sudah mempunyai wakil dalam struktur
b. Pembentukan Supervisory Board merupakan
Bank Indonesia, sehingga dalam menentukan
salah opsi yang dapat mendukung implementasi
anggarannya, cukup dimintakan persetujuan pada
kemandirian Bank Indonesia, termasuk dalam
dewan tersebut. Akan tetapi, kemungkinan ini
bidang penganggaran. Melalui opsi ini, maka
juga memiliki kelemahan. Kelemahan utamanya
proses penggaran tidak lagi dimintakan secara
adalah politisasi dalam pelaksanaan fungsi bank
langsung ke DPR sebagai pemegang kekuasaan
sentral karena tidak dapat dihindari bahwa dengan
keuangan negara, mengingat persetujuan
memasukannya DPR dalam struktur Bank Indonesia,
telah diberikan oleh DPR melalui wakilnya yang
pengaruh politik akan sangat terasa dalam
ditugasi untuk duduk di Board bank sentral-
langkah-langkah yang dapat diambil oleh Bank
dalam ini Bank Indonesia. Supervisory Board
Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya.
dibentuk untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi bank sentral serta memberikan
Pada sisi lainnya, mekanisme penganggaran yang
counterbalance (penyeimbang) terhadap
saat ini diterapkan mungkin adalah mekanisme
indipendensi yang dimiliki oleh bank sentral.
2. Rekomendasi
a. Mengingat bahwa interpretasi ketentuan Pasal
23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat terbuka, maka Bank Indonesia sebaiknya berperan lebih aktif dan progressif untuk menyakinkan DPR bahwa kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral.
b. Selain point pertama tersebut di atas, ada
baiknya Bank Indonesia menginisiasi pihak- pihak terkait, antara lain, pakar hukum perbankan, hukum tata negara, pakar hukum administrasi negara, ekonom, pelaku usaha perbankan, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk dapat memberikan sejauh bana batasan interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bersifat terbuka tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan atau memperoleh pemahaman dari para pakar dari berbagai kalangan terkait batasan interpretasi Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Bank Indonesia mempunyai gambaran pendapat dari berbagai pakar terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, A., Skully, M., Wickramanayake, J. 2006, “Determinants od Central Bank Independence and Governance: Problems
and Policy Implications”. JOAAG, 1 (1), 47-67 Amtenbrink, Fabian, 2004, “The Three Pillars of Central bank Governance-Towards a Model Central Bank Law or a Code
of Good Governance. Working Paper, International Monetary Fund (IMF)”, tersedia di: http:www.imf.orgexternalnplegsem2004cdmflengamtenb.pdf
Aziz, Harry Azhar, 2011, “Governance dan Akuntabilitas Bank Indonesia”, Available at :
http:pekikdaerah.wordpress.com20110208governance-dan-akuntablitas-bank-indonesia Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and
the Federal Rerserve System, Routledge Taylor Francis Group, London and New York. Barro, Robert, and David Gordon, 1983, “Rules, Discretion, and Reputation in a Model of Monetary Policy”. Journal of
Monetary Economics, 12(1), 101–21. Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are
primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge University Press, New York.
Claessens, S. J. P. H Fan. 2002, “Corporate governance in Asia: A survey. International Review of Finance”, 3( 2), 71-103. Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E, 2007, “The Evolution of Central Bank Governance around the World”. Journal
of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90. De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, The Democartic Accountability of the European Central Bank: A Comment
on Two Fairy-tales, dalam Journal of Common Market Studies, Vol. 38. No. 3. Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats, 2006, “How Transparent Are Central Banks?”, European Journal of Political
Economy, 22(1), 1–21. Fry, M. J, Goodhart, C. A. E. Almeida, A, 1996, Central Banking in Developing Countries: Objectives, Activities and
Independence, Routledge, London. Freidman, Milton dan Charles E.A. Goodhart, 2003, Money, Inflation, and the Constitutional Position of the Central Bank,
the Institute of Economic Affairs, London. Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for
International Economics. Http:www.bi.go.id
Kydland, Finn, and Edward Prescott. 1977. Rules Rather than Discretion: The Inconsistencyof Optimal Plans. Journal of
Political Economy 85(3), 473–90. Lybek, Tonny. 2004. Central Bank Autonomy, Accountability, and Governance: Conceptual Framework. Working Paper,
International Monetary Fund (IMF). Tersedia di: http:www.imf.orgexternalnplegsem2004cdmflenglybek.pdf Lybek, T. dan Morris, J. 2004. Central Bank Governance: A Survey of Board and Management. Working paper, Internatioanl
Monetary Fund (IMF) Nomor 04226. Tersedia di :http:www.ksri.orgbbsfilesresearch02wp04226.pdf Ribeiro, Fausto de Andrade. 2002. Central Bank: Independence, Governance and Accountability. Working paper, Minerva
Program, The George Washington University. Tersedia di: http:www.gwu.edu~ibiminervaFall2002Fausto.Ribeiro.pdf
Oritani, Yoshiharu. 2010. Public Governance of Central Banks: an Approach from New Institutional Economics. Working
Paper, Bank For Internatioanl Settlements. Tersedia di: http:www.kisc.meiji.ac.jp~oritaniHomepage2005BISFINAL.pdf
Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP9783 Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan
Studies in Banking and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris.
Peraturan:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Nomor XMPR1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901)
Bank of Japan Act (Act No.89 of June 18, 1997) Constitution of the People’s Republic of Bangladesh. The Bangladesh Bank Order 1972 (President’s Order No.127 of 1972) sebagaimana diubah terakhir 10 Maret 2003. The South Korea Constitution. The Bank of Korea Act.
PENERAPAN CUSTOMER DUE DILIGENCE ATAS RESOLUSI DK PBB NOMOR 1267 GUNA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
Oleh :
Dr. Go Lisanawati SH, M.Hum
Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Abstrak
Penerapan prinsip ketaatan dan kepatuhan bank pada aturan yang berlaku bagi bank merupakan salah satu hal yang penting di dalam upaya perwujudan rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme.
Berdasarkan sifat dan karakteristik perpindahan uang untuk kegiatan pendanaan terorisme yang cepat membutuhkan kecermatan dan ketepatan dari Bank untuk mampu mengenali dan dengan kemudian melakukan pembekuan atas dana tersebut. Hal tersebut sejalan dengan diimplementasikannya Resolusi Dewan Keamanan
PBB Nomor 1267 oleh semua negara sebagai suatu bentuk perwujudan rezim pemberantasan pendanaan terorisme. Penerapan prinsip ketaatan tersebut dapat dilaksanakan melalui penerapan Customer Due Diligence.
Kata Kunci: Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Resolusi 1267, Customer Due Diligence
PENDAHULUAN
value itu adalah untuk perwujudan masyarakat yang adil dan makmur, dan tercapainya kesejahteraan seluruh
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
rakyat Indonesia. Kerangka kebijakan kriminal yang harus
pendanaan terorisme sama pentingnya dengan
dituju adalah dikriminalisasikannya pendanaan terorisme
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana lainnya
sebagai suatu tindak pidana, mengingat sifat dan hakikat
yang mengingat sifat dan hakikatnya muncul menjadi
yang sama berbahayanya dengan terorisme itu sendiri.
tindak pidana yang membahayakan negara dengan
Mengenai social policy ini, Kongres PBB ke-7 di Milan
sifatnya yang trans boundaries. Sama halnya dengan
mengenai “National Development and the prevention
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme,
of crime” menegaskan sebagai berikut:
pendanaan terorisme juga harus dicegah dan diberantas dengan sekuat tenaga. Saat ini sedang dilakukan
Crime prevention as a part of social policy
dilakukan usul untuk segera mengundangkan rancangan
21. The criminal justice system, besides being an
Undang Undang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
instrument to effect control and deterrence, should also contribute to the objective of maintaining peace and
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini tidak
order for equitable social and economic development,
terlepas dari berbagai aspek yang melandasi, yaitu aspek
redressing inequalities and protecting human rights. In
filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis. Ditinjau
order to relate crime prevention and criminal justice to
dari sudut filosofis, maka perlu dipahami bahwa dalam
national development targets, effort should be made to
rangka mewujudkan ultimate value, yang merupakan
secure the necessary human and material resources,
tujuan dari social policy, maka perlu diadakan suatu
including the allocation of adequate funding, and to
kebijakan kriminal atas pendanaan terorisme. Ultimate
utilize as much as possible all relevant institutions and utilize as much as possible all relevant institutions and
Aspek yuridis yang dijadikan landasan berpijak untuk dilakukannya kriminalisasi adalah adanya Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut sebagai UU Terorisme), Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut sebagai UU TPPU), serta Undang Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Ratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.
Aspek sosiologis yang melandasi adalah adanya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 tanggal 15 Oktober 1999, yang secara khusus menghendaki dilakukannya pembekuan seketika atas asset-asset yang berasal dari individual terrorist ataupun organisations terrorist baik yang merupakan afiliasi dengan Taliban, Al-Qaeda, maupun dengan Usama Bin Laden. Dengan demikian harus dilakukan pencegahan sedini mungkin mengenai kemungkinan penggunaan dana-dana hasil kegiatan terorisme untuk dipakai kembali membiayai kegiatan terorisme. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 (2001) juga menghendaki dilakukannya prevent and suppress the financing of terrorist act. Selain itu juga diterapkannya international best practices melalui rekomendasi-rekomendasi dari The Financial Action Task Force.
Terkait dengan keberadaan kedua resolusi tersebut, maka perbankan memiliki peranan dan tanggung jawab yang tidak kalah besar di dalam upaya pencegahan dan pendanaan terorisme. Perbankan harus tanggap di dalam upaya pembekuan aset-aset terorisme sebagaimana dikehendaki oleh resolusi tersebut, sekaligus harus aktif di dalam mengupayakan pencegahan dipergunakannya aset-aset tersebut untuk mendanai kegiatan terorisme. Namun demikian untuk menjembatani pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme dapat dilakukan dari berbagai sudut, dengan menggunakan aturan- aturan hukum yang sudah ada, maupun bentuk regulasi-
regulasi lainnya. Tulisan ini akan membahas bagaimana penerapan prinsip Customer Due Diligence oleh Perbankan dapat berperan aktif di dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1267 dan Resolusi No. 1373
Rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme menghendaki diadakannya suatu akselerasi di berbagai bidang dan semua komponen manusia pelaksananya. Tindak pidana pendanaan terorisme sejauh ini dianggap kurang penting dibandingkan dengan tindak pidana itu sendiri. Namun demikian pandangan tersebut ternyata harus bergulir, dan akhirnya tiba pada suatu pemahaman yang komprehensif bahwasanya pendanaan terorisme itu sama berbahayanya dengan tindak pidana terorisme.
Hal tersebut dapat dipahami dari ketentuan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267, dalam pertimbangannya menjelaskan:
Deploring the fact that the Taliban continues to provide safe haven to Usama bin Laden and to allow him and others associated with him to operate a network of terrorist training camps from Taliban-controlled territory and to use Afghanistan as a base from which to sponsor international terrorist operations,...
Insists that the Afghan faction known as the Taliban, which also calls itself the Islamic Emirate of Afghanistan, comply promptly with its previous resolutions and in particular cease the provision of sanctuary and training for international terrorist and their organizations, take appropriate effective measures to ensure that the territory under its control is not used for terrorist installations and camps, or for the preparation of organizations of terrorist acts against other States or their citizen, and cooperate with efforts to bring indicted terrorist to justice..
Berdasarkan penjelasan tersebut dipahami bahwa ada kepentingan yang sama besarnya untuk melakukan Berdasarkan penjelasan tersebut dipahami bahwa ada kepentingan yang sama besarnya untuk melakukan
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 merupakan
pendanaan atasnya. Mengenai Resolusi tersebut,
resolusi yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak
dijelaskan oleh wikipedia sebagai berikut:
pidana terorisme. Resolusi 1373 dalam penjelasannya menegaskan bahwasanya tindak pidana terorisme itu
United Nations Security Council Resolution 1267, adopted
harus diberantas dengan berbagai cara karena telah
unanimously on 15 October 1999, after recalling
mengancam keamanan dan perdamaian internasional,
resolutions 1189 (1998), 1193 (1998) and 1214 (1998)
yang dapat dilakukan melalui upaya-upaya
on the situation in Afghanistan, the council established
pengorganisasian, penghasutan, pembantuan maupun
a sanctions regime to cover individuals and entities
turut serta di dalam tindak pidana terorisme. Secara
associated with Al-Qaida, Osama bin Laden andor the
lengkap penegasan tersebut adalah:
Taliban wherever located...
Reaffirming the need to combat by all means, in
The regime has since been reaffirmed and modified by
accordance with the Charter of the United Nations,
a dozen further UN Security Council Resolutions. It caused
threats to international peace and security caused by
dire hardship to the people of Afghanistan under the
terrorist acts...
Taliban regime at a time when they were heavily reliant on international food aid, while failing to satisfy any of
Reaffirming the principle established by the General
its demands. Since the US of Afghanistan in 2001, the
assembly in its declaration of October 1970 (resolution
sanctions have been applied to individuals and
2625 (XXV)) and reiterated by the Security Council in its
organizations in all parts of the world 1 .
resolution 1189 (1998) of 13 August 1998, namely that every State has the duty to refrain from organizing,
Penekanan dari Resolusi 1267 adalah upaya pembekuan
instigating, assisting or participating on terrorist acts in
seketika atas setiap dana dan aset keuangan lainnya
another State or acquiescing in organized activities within
atau sumber-sumber ekonomis dari individu dan entitas
its territory directed towards the commission of such
yang berkaitan dengan Al-Qaeda, Usama bin Laden,
acts...
danatau Taliban. 2 Point 4 huruf b dari Resolusi 1267
tersebut mengatur:
Tujuan dari resolusi tersebut adalah untuk mencegah dan memberantas kelompok teroris dengan berbagai
Freeze funds and other financial resources, including
cara, mengingat bahwa tindak pidana terorisme muncul
funds derived or generated from property owned or
dan menjelma menjadi tindak pidana serius menurut
controlled directly or indirectly by the Taliban, or by any
hukum dan peraturan domestik, sekaligus mengancam
undertaking owned or controlled by the Taliban, as
dunia internasional. Mengingat keseriusan tersebut perlu
designated by the committee established by paragraph
diimbangi dengan ancaman pidana sebagaimana
6 below, and to ensure that neither they nor any other
mestinya. Melalui resolusi ini, dipahami bahwa ada 4
funds or financial resources so designated are made
(empat) kewajiban dari negara-negara peserta yaitu
available, by their nationals or by any undertaking owned
meliputi:
or controlled, directly or indirectly by the Taliban, except
a. Prevent and suppress the financing of terrorist acts;
as may be authorized by the Committee on a case-by-
b. Criminalize the willful provisions or collection, by any
case basis on the grounds of humanitarian need.
means, directly or indirectly, of funds by their nationals or in their territories with the intention that the funds should be used, or in the knowledge that they are to
be used, in order to carry out terrorist acts;
1 Diakses dari http:en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012
c. Freeze without delay funds and other financial assets
2 Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9 Februari 2011, h.10
or economic resources of persons who commit, or or economic resources of persons who commit, or
bin Laden, the Taliban and other individuals, groups,
facilitate the commission of terrorist acts; of entities
undertakings and entities, associated with them, for
owned or controlled directly or indirectly of such
ongoing and multiple criminal terrorist acts). Perihal yang
persons and entities, including funds derived or
dimaksud dengan Persons atau Entities, dijelaskan oleh
generated from property owned or controlled directly
Peter Scott, sebagai berikut:
or indirectly by such persons and associated persons and entities;
Persons or entities identified by the resolutions as being
d. Prohibit their nationals or any persons and entities
subject to financial sanctions are:
within their territories from making any funds, financial assets or economic resources or financial or other
RES 12671333 (now RES 1988)
related services available, directly or indirectly, for the
• Al-Qaida;
benefit of persons who commit or attempt to commit
• Individuals, groups, undertakings and entities
or facilitate or participate in the commission of terrorist
associated with them, as referred to in the list created
acts, of entities owned or controlled, directly or
pursuant to RES 1267.
indirectly, by such persons and of persons and entities acting on behalf of or at the direction of such persons.
RES 12671333 (now RES 1989) • The Taliban;
Selain itu negara-negara harus melaksanakan kewajiban
• Individuals, groups, undertakings and entities
lainnya, yang meliputi:
associated with them, as referred to in the list created
a. Deny safe haven to those who finance, plan, support,
pursuant to RES 1989, i.e UNSC itself designates who
or commit terrorist acts, or provide safe havens;
is subject to the measure
b. Prevent those who finance, plan, facilitate or commit
terrorist acts from using their respective territories for
RES 1373
those purposes against other States or their citizens;
Persons or entities identified by the resolution as being
c. Ensure that any person who participates in the
subject to financial sanctions are:
financing, planning, preparation or perpetration of
- Persons who commit, or attempt to commit, terrorist
terrorist acts or in supporting terrorist acts is brought
acts or participate in or facilities the commission of
to justice and ensure that, in addition to any other
terrorist acts;
measures against them, such terrorist acts, including
- entities owned or controlled directly or indirectly by
assistance in obtaining evidence in their possession
such persons;
necessary for the proceedings;
- persons and entities acting on behalf of, or at the direction of, such persons and entities 3 .
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh para teroris (baik individual maupun kelompok) membutuhkan
Memahami hal tersebut, maka sesungguhnya dapat
perpindahan yang sifatnya cepat, aman, dan dalam
disimpulkan adanya beberapa kategori yang dimaksud
jumlah yang cukup besar. Salah satu caranya adalah
sebagai orang atau perusahaan yang termasuk sebagai
melibatkan lembaga perbankan untuk dapat melakukan
pelaku tindak pidana terorisme, yaitu:
pendanaan terorisme.
- Setiap orang, siapapun, baik yang berupa orang perseorangan, kelompok, maupun organisasi, yang
Resolusi No. 1904 DK PBB menghukum Al-Qaida, Usama
melakukan atau mencoba melakukan, atau
bin Laden, dan Taliban, maupun teroris perseorangan, organisasi teroris, maupun pihak-pihak yang berhubungan dengan teroris tersebut, untuk dilaksanakannya berbagai
3 Peter Scott. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan
tindak pidana terorisme (condemned Al-Qaida, Usama
dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26–
28 September 2011 28 September 2011
hasil kejahatan maka dapat diyakini bahwa pelaku tindak
khusus dimaksudkan adalah Al-Qaida, Usama bin
pidana asal akan jera, dan lama kelamaan akan dapat
Laden, dan Taliban, meliputi pula orang-orang yang
menghentikan tindak pidana asal. Oleh karenanya sangat
termasuk di dalamnya;
dibutuhkan instrumen-instrumen terkait dengan upaya
- Perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh
pembekuan sampai dengan perampasan aset hasil
orang-orang yang dimaksudkan sebelumnya.
kejahatan. Pendekatan follow the money ini dipergunakan
- Orang atau perusahaan lain yang bertindak mewakili
dalam keadaan sebagai berikut:
kepentingan orang atau perusahaan lain yang
- Follow the money dapat menghubungkan kejahatan
dimaksudkan sebelumnya.
dengan pelaku intelektual;
- Follow the money merupakan alat untuk asset recovery 5
Pendekatan Follow the Money dalam Pendanaan Terorisme
Melalui penjelasan tersebut dapat dimaknakan bahwa melalui pendekatan follow the money diharapkan dapat
Standar internasional sebagaimana dimaksud di dalam
memberantas aset-aset maupun sumber-sumber
the Financial Action Tasks Force Recommendation (The
ekonomis yang dihasilkan dari hasil illegal maupun legal,
FATF Recommedations) tentang International Standards
tetapi dipergunakan untuk mendanai kegiatan terorisme.
on Combating Money laundering and the Financing of Terrorism and Proliferation, menghendaki agar
Pendanaan Teroris (Terrorist Financing) itu sendiri dapat
dilakukannya kriminalisasi atas pendanaan terorisme.
meliputi 2 hal, yaitu:
Kriminalisasi tersebut tidak saja meliputi pendanaan atas
- Funding specific terrorist operations
tindak pidana terorisme, tetapi juga pendanaan oleg
- Broader organisational costs to develop and maintain
organisasi teroris maupun teroris individu (terrorist
an infrastructure of organisational support and to
organisation and individual terrorist) yang tidak harus
promote the ideology of a terrorist organisation 6
dihubungkan dengan suatu kegiatan tertentu dari teroris.
Merujuk pada pendapat tersebut di atas dapat dipahami
Interpretative note atas rekomendasi mengenai tindak
bahwa area pendanaan terorisme itu sangat luas, yang
pidana pendanaan terorisme tersebut sebenarnya
dapat dipergunakan oleh siapapun yang akan
mengingatkan kepada negara-negara agar menjadikan
mempergunakan dana tersebut untuk mengembangkan
pendanaan terorisme sebagai salah satu tindak pidana
maupun mendukung terlaksananya ideologi dari
asal dari pencucian uang. Untuk itu pendekatan yang
organisasi teroris tersebut.
dapat dipergunakan adalah sama dengan pendekatan yang dipakai di dalam tindak pidana pencucian uang.
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dalam Perspektif Terkait dengan hal tersebut, David Shannon 4 Tindak Pidana Pencucian Uang
memaksudkan bahwa: Following the money is at the heart of combating the financing of terrorism.
Secara hakikat, yang dimaksud dengan tindak pidana pendanaan terorisme merupakan tindak pidana sebagai
Pendekatan follow the money pada hakikatnya
suatu bagian dalam pelaksanaan kegiatan terorisme.
meletakkan prinsip bahwasanya yang harus dirampas adalah harta kekayaan hasil kejahatan, tidak semata- mata pada pelakunya. Dengan dikuasainya harta kekayaan
5 Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19 Februari 2011, h. 3
4 David Shannon. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards
6 Tim Goodrick. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”,
and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of
Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney,
Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011
Australia, 26 – 28 September 2011, h.2
Hal tersebut sebenarnya dapat dilihat dari derivatif ketentuan pasal-pasal yang ada di dalam UU Terorisme. Ketentuan Pasal 11 UU Terorisme menentukan: “..., setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme...”. Berdasarkan hal tersebut, nyatalah bahwa penyediaan dana ataupun pengumpulan dana tersebut dilakukan secara sengaja atau patut diduganya akan dipergunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Ketentuan Pasal 12 UU Terorisme mengatur: “..., setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan...”. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU Terorisme ini dipahami pula bahwasanya kegiatan pendanaan terorisme dilakukan sebagai upaya untuk melaksanakan kegiatan terorisme. Bentuk kesalahan yang nampak dari rumusan mengenai pendanaan terorisme tersebut diwujudkan dalam suatu bentuk kesengajaan, ataupun kealpaan yang diperberat (culpa lata).
Ketentuan selanjutnya adalah Pasal 13 huruf a UU Terorisme, yang menentukan: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan: a. Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme”. Tindak pidana yang dimaksudkan di sini adalah tindak pidana perbantuan, yang dapat diberikan dengan memberikan kemudahan kepada pelaku tindak pidana, yaitu yang dapat berupa memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya.
Merujuk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam UU Terorisme tersebut dipahami sesungguhnya pendanaan terorisme merupakan bagian penting dari kegiatan terorisme itu sendiri. Di samping UU Terorisme, pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan UU TPPU. Pasal 2 ayat (2) UU TPPU
menentukan: “Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan danatau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan dengan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n” (tindak pidana terorisme, red). Ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU TPPU menunjukkan bahwasanya tindak pidana pendanaan terorisme menjadi sama berbahayanya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri, sehingga patut diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai tindak pidana asal, yang dapat saja menghasilkan suatu tindak pidana lanjutan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya dapat dipahami bahwasanya tindak pidana pendanaan terorisme merupakan sumber munculnya proceeds of crime, yang pastinya adalah merupakan sumber yang tidak sah. Tindak pidana pendanaan terorisme sendiri dapat dihasilkan dari sumber pendanaan yang legal maupun yang illegal. Berdasarkan uang atau harta kekayaan atau barang yang diperolehnya tersebut, diupayakan untuk disembunyikan asal usul sumbernya, demi membiayai atau mendukung atau melaksanakan kegiatan terorisme. Diupayakan serapi mungkin untuk menghindari terkuaknya asal usul dana terorisme tersebut.
Ketentuan Special Recommendation II of FATF menegaskan: Terrorist financing offences should extend to: - Funds from legitimate or illegitimate sources. - Funds that were not actually used to commitattempt
a terrorist act, and are not linked to a specific terrorist act. - The financing of terrorist acts, terrorist organisations and individual terrorist that are located in the same or a different country from the terrorist financier
Melalui ketentuan Special Recommendation II of FATF tersebut, maka pendanaan terorisme itu haruslah diperluas, meliputi: - Dana-dana (termasuk di dalamnya semua properti)
yang digunakan untuk pendanaan terorisme yang diperoleh dari sumber-sumber yang sah dan yang tidak sah.
- Dana-dana tersebut yang walaupun pada
kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan kegiatan terorisme tertentu.
- Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang
dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris perseorangan, yang dilakukan di tempat yang sama maupun di tempat uang berbeda dari penanggung- jawab di bidang keuangan dari kegiatan terorisme itu sendiri.
Dengan diperluasnya pemahaman mengenai dana, maka haruslah didekati dengan pendekatan Follow the money yang juga diberlakukan kepada tindak pidana pencucian uang. FATF pada bulan Februari 2012 telah mengeluarkan suatu standar baru terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang sebelumnya diatur di dalam Special Recommendation of FATF, yaitu dalam International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism Proliferation. Berdasarkan standar tersebut, dinyatakan bahwa:
Combating terrorist financing is a very significant challenge. An effective AMLCFT (Anti Money LaunderingCounter Financing of Terrorism, red) system, in general, is important for addressing terrorist financing, and most measures previously focused on terrorist financing are now integrated throughout Recommendations, therefore obviating the need for special recommendations. However, there are Recommendations that are unique to terrorist financing, which are set out in Section C of the FATF Recommendation
Dengan mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme itu sendiri, maka menjadi sangat relevan apabila kegiatan tersebut harus dicegah bahkan diberantas. Cara berpikir yang harus dimiliki guna mengkriminalisasikan pendanaan terorisme ini adalah dengan merujuk kembali pada adanya Ultimate Value dari Social Policy, yaitu demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, dan demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, tertib dan aman. Scott Burkard menambahkan bahwasanya Terrorist Financing itu dijelaskan dalam konteks:
- All terrorism activities require funding. - Amounts involved can be small or large. - All fundraising activities opportunities for investigations
and disruption. - Raising funds through local criminal activity brings
terrorist into contact with petty criminals motivated by greed not ideology 7 .
Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya pencegahan pendanaan terorisme menjadi suatu hal yang sangat signifikan dilaksanakan.
Customer Due Diligence sebagai Instrumen Pencegahan Pendanaan Terorisme
Salah satu instrumen yang dapat dipergunakan untuk mencegah adanya pendanaan terorisme adalah melalui instrumen-instrumen mengenali nasabah. Prinsip Know Your Customer yang kemudian dikukuhkan dengan prinsip Customer Due Diligence sekaligus pelaksanaan Enhance Due Diligence bagi pihak-pihak yang dikategorikan sebagai high risk customer, dengan high economic profile ataupun tergolong sebagai Politically Exposed Persons (PEPs).
International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism Proliferation, yang merupakan instrumen baru dari ketentuan 9 Special Recommendation of the FATF, pada hakikatnya dipakai sebagai suatu standar baru bagi standar pengawasan kepatuhan atas tindak pidana-tindak pidana yang terkait dengan pencucian uang, pendanaan terorisme, maupun proliferation. Instrumen pengenalan nasabah dan pengguna jasa menjadi instrumen utama yang harus dapat dijadikan sebagai sarana terdepan (the first resort) untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang maupun pendanaan terorisme. Secara teori antara Customer Due Diligence dan Enhance Due Diligence terdapat perbedaan. Yang dimaksud dengan Customer Due Diligence merupakan identifikasi
7 Scott Bruckard. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26–
28 September 2011.
dan verifikasi atas informasi dan dokumen pelapor,
Financial institutions should be required to apply each of
sementara Enhance Due Diligence pada dasarnya
the CDD measures under (a) to (d) above, but should
merupakan verifikasi yang lebih ketat terhadap calon
determine the extent of such measures using a risk-based
pengguna jasa yang berisiko tinggi. Customer Due
approach (RBA)
Diligence dijelaskan sebagai: Financial institutions should be prohibited from keeping
Berdasarkan penjelasan dari FATF new recommendation
anonymous accounts or accounts in obviously fictitious
tersebut dapat dipahami bahwasanya mekanisme Due
names.
Diligence merupakan suatu keharusan bagi penyedia jasa keuangan. Mekanisme ini dianggap sebagai suatu
Financial institutions should be required to undertake
mekanisme penghati-hati, mengingat bahwa kesulitan
customer due diligence (CDD) measures when:
yang mungkin timbul berikut dengan ancamannya akan
(i). establishing business relations;
membuat penyedia jasa keuangan berhadapan dengan
(ii). carrying out occasional transactions: (i). above the
ketentuan hukum. Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman
applicable designated threshold (USDEUR 15,000);
paling tidak menggaris bawahi dalam sebuah konteks:
or (ii) that are wire transfers in the circumstances
“The Law is rather a coercive method of social control:
covered by the interpretative Note to
It demands both the attention and compliance of those
Recommendation 16;
to whom its regulations are directed”. 8 Persinggungan
(iii). there is a suspicion of money laundering or terrorist
antara hukum dengan etik sangat tipis, yang kemudian
financing;
menuntut kepatuhan pihak-pihak yang terikat dan terkait
(iv). the financial institution has doubts about the veracity
dengan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan, dan
or adequacy of previously obtained customer
secara keseluruhan bagi seluruh masyarakat. Untuk
identification data
memenuhi persyaratan memaksa, sebetulnya dapat teratasi dengan adanya kepatuhan. Dengan demikian
The CDD measures to be taken are as follows:
tidak perlu diberikan suatu sanksi apabila dari subjek
(a). Identifying the customer and verifying that customer’s
hukum memiliki etika dan kesadaran untuk patuh.
identity using reliable, independent source documents,
Namun demikian hukum adalah hukum, di mana hukum
data or information.
harus mengandung suatu sanksi yang bersifat untuk
(b). Identifying the beneficial owner, and taking reasonable
memaksa kepatuhan subjek hukum tersebut. KYC dan
measures to verify the identity of the beneficial owner,
CDD, berikut juga EDD pada akhirnya menjadi suatu
such that the financial institution is satisfied that it
keharusan yang harus ditaati di tengah pergulatan dan
knows who the beneficial owner is. For legal persons
pergolakan munculnya berbagai jenis tindak pidana
and arrangements this should include financial
serius, bersifat transnasional, dan extra ordinary yang
institutions understanding the ownership and control
memang harus dicegah dan ditanggulangi. Instrumen
structure of the customer;
ini sama pentingnya dengan upaya penegakan hukumnya.
(c). Understanding and, as appropriate, obtaining
information on the purpose and intended nature of
FATF Recommendation lebih lanjut menyatakan:
the business
Financial Institutions should be required to verify the
(d). Conducting ongoing due diligence on the business
identity of the customer and beneficial owner before and
relationship and scrutiny of transactions undertaken
during the course of establishing a business relationship
throughout the course of that relationship to ensure
or conducting transactions for occasional customers.
that the transactions being conducted are consistent with the institution’s knowledge of the customer, their business and risk profile, including where
8 necessary, the sources of funds. Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An
Introduction to Jurisprudence. Westview Press, London, p. 20
Countries may permit financial institutions to complete the verification as soon as reasonably practicable following the establishment of the relationship, where the money laundering and terrorist financing risks are effectively managed and where this is essential not to interrupt the normal conduct of business.
Where the financial institution is unable to comply with the applicable requirements under paragraph (a) to (d) above (subject to appropriate modification of the extent of the measure on a risk-based approach), it should be required not to open the account, commence business relations or perform the transaction; or should consider making a suspicious transactions report in relation to the customer.
These requirements should apply to all new customers, although financial institutions should also apply this Recommendation to existing customers on the basis of materiality and risks abd should conduct due diligence on such existing relationships at appropriate times.
Penjelasan dari FATF Recommendation di atas menegaskan kembali bagaimana kebutuhan dan keharusan pelaksanaan mekanisme CDD menjadi suatu mekanisme untuk mencegah kemungkinan terancamnya sistem keuangan dari resiko besar yang meliputinya, termasuk pada munculnya tindak pidana. Resiko itu adalah berupa munculnya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tindak pidana-tindak pidana tersebut semakin lama semakin menguat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang harus dicegah sedini mungkin. CDD dipandang sebagai suatu mekanisme yang harus diperkuat dan dilaksanakan secara patuh dan ketat, dengan sebuah dimensi pemahaman kritis akan fungsi dan peruntukannya yang memang dewasa ini berkembang menjadi alat hal yang sangat penting terkait dengan pencegahan berkembangnya tindak pidana yang menggunakan jasa dari penyedia jasa keuangan.
Tindak pidana tersebut pada hakikatnya rentan atas disalahgunakannya oleh orang-orang yang memiliki kedudukan secara politis menjadi salah satu pihak yang dianggap patut diwaspadai karena posisinya yang rentan
dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dimilikinya secara sah. Pihak-pihak dalam posisi ini disebut sebagai suatu Politically Exposed Persons (PEPs), yang dalam posisi ini dapat berposisi sebagai nasabah, ataupun pemilik. Guna mengatasi kemungkinan disalahgunakannya penyedia jasa keuangan berikut berbagai fasilitas yang diberikan oleh sektor keuangan, maka FATF Recommendation, sebagaimana diejahwantahkan dalam UU TPPU, menegaskan perlunya dilaksanakan mekanisme Enhance Due Diligence (EDD) sebagai suatu mekanisme tambahan untuk nasabah-nasabah khusus dan berbagai aktifitasnya.
Financial institutions should be required, in relation to foreign politically exposed persons (PEPs) (whether as customer or beneficial owner), in addition to performing normal customer due diligence measures, to: (a). Have appropriate risk management systems to
determine whether the customer or the beneficial owner is a politically exposed person;
(b). Obtain senior managemnet approval for establishing
(or continuing, for existing customers) such business relationships;
(c). Take reasonable measures to establish the source of
wealth and source of funds; and (d). Conduct enhanced ongoing monitoring of the business
relationship. Financial institutions should be required to take reasonable
measures to determine whether a customer or beneficial owner is a domestic PEP or a person who is or has been entrusted with a prominent function by an international organisation. In cases of a higher risk business relationship with such persons, financial institutions should be to apply the measures referred to in paragraphs (b), (c), and (d). The requirements for all types of PEP should also apply to family or close associates of such PEPs.
Memperhatikan ketentuan di atas sesungguhnya memahami tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan pendanaan terorisme dan money laundering, merupakan tindak pidana yang sangat complicated dan rumit. Pendanaan terorisme selalu dipandang sama jahat Memperhatikan ketentuan di atas sesungguhnya memahami tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan pendanaan terorisme dan money laundering, merupakan tindak pidana yang sangat complicated dan rumit. Pendanaan terorisme selalu dipandang sama jahat
Sebagaimana dimaksudkan dalam Interpretative Note to recommendation about Terrorist Financing Offence, karakteristik tindak pidana pendanaan terorisme yang harus diperhatikan adalah: - Terrorist financing offences should extend to any
person who willfully provides or collects funds by any means, directly or indirectly, with the unlawful intention that they should be used, or in the knowledge that they are to be used, in full or in a part: (a). To carry out a terrorist act(s); (b). By a terrorist organization; or (c). By an individual terrorist.... .
- Terrorist financing offences should apply, regardless
of whether the person alleged to have committed the offence(s) is in the same country or a different country from the one in which the terrorist(s) terrorist organization(s) is located or the terrorist act(s) occurredwill occur.
Melalui karakteristik tersebut sesungguhnya dapat dipahami bahwa permasalahan financing of terrorism sangat membutuhkan perhatian dan keseriusan yang lebih, khususnya terkait dengan terancamnya kehidupan dan integritas semua rakyat. Dengan krakteristiknya yang tumbuh sebagai extra ordinary crime dan transnational organized crime, financing of terrorism telah menjadi sesuatu yang hars dicegah dan diberantas.
Kewajiban Freezing Without Delay and Without Prior to Notice Oleh Penyedia Jasa Keuangan
The New FATF Recomendation mewajibkan setiap negara untuk memberlakukan penjatuhan sanksi keuangan (targeted financial sanctions) atas kelompok-kelompok teroris maupun teroris perorangan, sebagaimana dimaksudkan dalam Resolusi DK PBB No. 1267 (1999) berikut resolusi-resolusi lainnya yang terkait, dan Resolusi DK PBB No. 1373 (2001). Lebih lanjut melalui rekomendasi
ini, negara dapat melakukan suatu upaya-upaya pencegahan yang khusus dan unik untuk menghentikan perputaran dana maupun aset lainnya dari para kelompok teroris, dan penggunaan dana-dana dan aset-aset tersebut oleh kelompok teroris.
Penyedia Jasa Keuangan diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menentukan mengenai orang perorangan maupun lembaga keuangan ataupun badan-badan yang mendukung pelaksanaan kegiatan terorisme, misalnya sebagaimana yang dimaksud sebelumnya, seperti Al-Qaida, The Taliban, Usama bin Laden. Menindaklanjuti hal tersebut perlu diimbangi dengan proses listing dan delisting. Hal ini yang harus selalu diperhatikan oleh pihak Penyedia jasa keuangan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian.
Salah satu hal yang harus dikerjakan dan diperhatikan oleh Penyedia Jasa Keuangan adalah terkait dengan upaya bagaimana menyelamatkan negara dari kemungkinan untuk dipergunakannya dana-dana yang dihasilkan dari tindak pidana ataupun kegiatan legal yang dipakai untuk mendukung kegiatan terorisme. Hal tersebut adalah terkait dengan upaya undue delay atas harta kekayaan yang didapatkan dari tindak pidana pendanaan terorisme tersebut. Upaya undue delay sangat diperlukan terkait perpindahan dana terorisme yang sangat cepat dan tidak terlihat secara fisik. Selain itu pemanfaatan dana tersebut dapat dicegah pemanfaatannya secara lebih dini.
Berdasarkan Ketentuan UNSCR 1373 ditegaskan bahwasanya setiap negara haruslah mempunyai peraturan maupun prosedur untuk beberapa hal yang dirasakan diperlukan untuk melakukan pembekuan atas aset-aset kekayaan teroris yang didapatkan melalui pendanaan terorisme. Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:
Countries are required to have laws and procedures to:
1. Freeze the funds and their assets of terrorist and associated persons and entities without delay and without prior notice to targets (e.g through domestic listing mechanism or through criminal justice procedures); this involves both a domestic decision- 1. Freeze the funds and their assets of terrorist and associated persons and entities without delay and without prior notice to targets (e.g through domestic listing mechanism or through criminal justice procedures); this involves both a domestic decision-
freeze the funds of those designated.
2. Receive from other countries requests to take UNSCR
1373 freezing action;
3. Examine such requests (i.e promptly determine
whether reasonable grounds or a reasonable basis exists to initiate a freezing action); and
4. Take action to freeze assets in response to the request,
if appropriate, without delay and without prior notice to targets.
Mendasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksudkan di atas harus diikuti dengan kemampuan Penyedia Jasa Keuangan untuk tidak salah di dalam menelaah dana- dana apa saja yang masuk dan keluar dari rekening seseorang yang tentunya harus memiliki kemampuan untuk memahami apakah rekening tersebut terindikasi dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan pendanaan terorisme ataukah tidak. Ketentuan dalam UNSCR 1373 jelas menghendaki adanya sensitivitas dari penyedia jasa keuangan untuk mampu mengenali dengan baik siapa customer yang melakukan transaksi menggunaan jasa pada bank tersebut.
Hasil analisis terhadap perputaran masuk dan keluarnya dana dari nasabahnya tersebut, yang apabila terindikasi dipergunakan untuk pendanaan terorisme, maka Penyedia Jasa Keuangan, dalam hal ini bank, wajib melakukan pembekuaan dana tanpa menunda dan tanpa pemberitahuan. Hal tersebut merupakan kewajiban dari bank. Penciptaan mekanisme Freezing without delay dan without prior to notice membawa kepada suatu dimensi berpikir munculnya rezim baru yang disebut sebagai Extraordinary Regime, yang oleh David Shanon dijelaskan sebagai berikut:
An extraordinary regime:
1. Requires an indefinite freeze to be possible, even in
the absence of a prosecution
2. May include administrative and or judicial process
1. Must not be reliant on having to prove or
investigate a TF (Terrorist Financing, red) offence to keep funds frozen
2. Must involve a direct obligation on financial institutions and those who hold assets to freeze without undue delay 9
Rezim extraordinary ini tentunya dibangun berdasarkan suatu pemahaman akan hakikat dan eksistensi tindak pidana pendanaan terorisme yang telah bersifat transnational organized dan sama berbahaya serta jahatnya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri. Berdasarksn rezim inilah harus dibangun suatu mekanisme pencegahan dan pengawasan secara ketat dalam kegiatan transaksi dari nasabah yang ditengarai dipakai dalam kegiatan terorisme. Untuk itu perlu diperkuatnya pengoperasionalisasian standar-standar pengenalan nasabah, Customer Due Diligence, dan Enhance Due Diligence.
Kesimpulan
Rezim extraordinary yang dipahami dalam keterkaitannya dengan tindak pidana pendanaan terorisme menempatkan kemampuan dan kemauan dari penyedia jasa keuangan untuk dapat mengoperasionalisasikan dengan tepat dan bijak setiap standar-standar pengenalan akan nasabah beserta dengan transaksi yang dilakukan dari, dalam, dan melalui institusi bank. Kecermatan bank di dalam mengenali nasabah dan transaksi yang dilakukannya akan membawa pada adanya upaya untuk mengantisipasi semakin meluasnya dan cepatnya pendanaan terorisme. Upaya lain yang dituntutkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk dilakukan adalah upaya melakukan pembekuan atas aset atau kekayaan orang-orang ang diduga, dindikasi, dan diidenifikasikan terlibat dalam kegiatan pendanaan terorisme tanpa ada kewajiban untuk menunda-nunda maupun memberikan peringatan terlebih dahulu. Hal tersebut sesungguhnya didasarkan dari pemahaman akan sifat dan hakikat dari tindak pidana pendanaan terorisme, dantindak pidana terorisme itu sendiri. Dengan demikian Indonesia akan daat menjadi negara yang mendukung upaya-upaya pencegahan tindak pidana pendanaan terorisme, sebagaimana ditegaskan
9 David Shannon, Op.Cit, p. 20 9 David Shannon, Op.Cit, p. 20
DAFTAR PUSTAKA
Bruckard, Scott. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study
Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 Goodrick, Tim. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism
Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 http:en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012 Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan
Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19 Februari 2011
Murphy, Jeffrie G., and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence. Westview Press,
London Scott, Peter. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study
Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 Shannon, David. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam
Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011 Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9
Februari 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
IMPLEMENTASI HUKUM PEMBANGUNAN DALAM SISTEM PERBANKAN DI INDONESIA
Oleh : Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H. 1
Abstrak
Di Indonesia dengan pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti dilakukan pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses pembentukan Undang-Undang harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan Undang-Undang tersebut, apabila perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif. Lebih lanjut menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum tersebut dalam kenyataan.
Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembaharuan atau pembangunan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu, dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Untuk itu salah satu upaya penting dalam sistem perbankan nasional di Indonesia diperlukan konsep pengembangan dan pembaharuan Hukum Perbankan Nasional melalui perbaikan dan perubahan Undang-Undang Perbankan dengan memperhatikan perangkat hukum yang berlandaskan pada perumusan aturan hukum yang tidak saja melihat hukum sebagai suatu perangkat aturan akan tetapi juga didasarkan pada hukum sebagai sarana yang dapat mengikuti perubahan dan perkembangan kondisi masyarakat baik dalam kegiatan sosial politik, maupun ekonomi dan kegaiatan perbankan.
1. Pendahuluan
yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi
Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan
dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga
bermasyarakat di dalam semua aspek kehidupan,
dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi
baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik,
tersebut akan sering terjadi. Namun demikian
budaya, pendidikan dan yang cukup penting adalah
berdasarkan pengalaman umat manusia sendiri,
fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan
peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga
ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum
tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia
sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi
yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas
Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Bandar Lampung dan saat ini juga sebagai Ketua Pusat Studi Hukum Perbankan Universitas Bandar Lampung (PSHP-UBL).
tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak
Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu praktis dengan menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu dengan alasan karena sifatnya sebagai ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri. Obyek telaahannya juga berkenaan dengan tuntutan berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuatan publik. 2
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi.
Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara
hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia menghendaki dua hal; Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi politik hokum, seringkali pembentukan hukum, khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan harapan-harapan tersebut. Sebagai faktor yang menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena banyak kepentingan yang berkembang di seputar pembentukan hukum. Politik hukum yang berkembang berupa adanya tarik menarik antara kepentingan nasional dan asing, sehingga hukum yang dapat dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan menjadi sia-sia karena yang dikedepankan justru kepentingan asing yang dominan.
Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi di dunia internasional sedikit banyak telah menggambarkan adanya polarisasi dalam artian substansi permasalahan di bidang hubungan ekonomi sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan oleh Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara- negara maju. Upaya pengaturan baik secara global melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat dengan WTO), regional melalui berbagai kerjasama sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama bilateral ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai penyimpangan dari norma-norma yang telah disepakati.
Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala merumuskan suatu peraturan perundang-undangannya senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan nasional (national interests). Untuk dapat mencapai hal demikian, maka faktor politik hukum akan sangat menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran ini menjadi sarana yang cukup efektif.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan politik hukum dalam konteks hukum sangat memegang peranan yang sangat strategis. Melalui pendekatan politik hukum, hukum yang dibentuk
2 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm.16.
pun setidaknya akan banyak memperhatikan kepada
b. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;
kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional
c. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum
bukan berarti dimaknai dalam arti yang sempit, namun
ada, atau
kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam
d. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem
upaya memasuki dunia global.
lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.
Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah selanjutnya mengambil langkah strategis dalam upaya
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar
meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi
Kusumaatmadja, bahwa di Indonesia dengan
tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri
pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti
bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari
dilakukan pembaharuan hukum terutama melalui
pembentukan hukum tersebut. Dengan kenyataan
perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses
tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam
pembentukan Undang-Undang harus dapat
menjalankan orientasi politik hukum lebih
menampung semua hal yang erat hubungannya
mengedepankan pembentukan instrumen-instrumen
(relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak
hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut.
diatur dengan Undang-Undang tersebut, apabila perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan
2. Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan
suatu pengaturan hukum yang efektif. 4 Selanjutnya
Nasional.
dijelaskan bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum sebagai suatu
Pembangunan yang dilaksanakan Indonesia
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
merupakan pembangunan yang menyeluruh dalam
kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus
semua sektor. Untuk itu diharapkan semua lapisan
pula mencakup lembaga (institutions) dan proses
masyarakat ikut berperan serta dalam pembangunan.
(process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum
Demikian pula pembangunan dalam bidang ekonomi
tersebut dalam kenyataan. 5
diharapkan dapat menunjang pembangunan pada sektor-sektor lain dan untuk tertibnya pelaksanaan
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara
pembangunan yang tertib dan berkeadilan, maka
ketertiban dalam masyarakat. 6 Hukum bersifat
penunjang utamanya adalah pembangunan dalam
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.
bidang hukum yang mengabdi kepada kepentingan
Fungsi ini diperlukan dalam masyarakat, karena
hukum nasional.
terdapat hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan. Dalam masyarakat yang sedang
Menurut Sunaryati Hartono, pembangunan hukum
membangun, fungsi hukum harus dapat juga
dilakukan dengan terus menerus dan merupakan
membantu proses perubahan masyarakat, sehingga
proses yang tidak pernah selesai (never ending
hukum mempunyai peranan dalam proses pembaruan
process), karena setiap kemajuan akan menuntut
masyarakat.
perubahan-perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah-ubah. Makna dari pembangunan hukum tersebut, meliputi: 3
4 a. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi
baik);
Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Binacipta, Bandung, tanpa tahun, hlm.14. Lihat pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006, hlm.3.
3 CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
5 Ibid, hlm. 15.
Bina Cipta, Bandung, 1988, hlm.
6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.13.
Latar belakang konsepsi hukum sebagai alat atau
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
sarana pembaharuan disebabkan oleh beberapa hal.
pembangunan atau pembaharuan.
Pertama, adanya tanggapan bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan
Disesuaikan pada situasi dan kondisi di Indonesia,
dalam masyarakat. Kedua, telah terjadi perubahan
konsepsi law as a tool of social engineering oleh
pemikiran tentang hukum dalam beberapa dasawarsa
Mochtar Kusumaatmadja dikembangkan menjadi
terakhir. Hukum bukan hanya kaidah tetapi juga
konsepsi hukum sebagai ”sarana” pembaharuan
merupakan gejala.
masyarakat Indonesia yang lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat
Peranan hukum dalam pembangunan untuk menjamin
kelahirannya. Hal tersebut dikarenakan beberapa
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur
hal, yaitu: 8
atau hukum sebagai alat pembaruan masyarakat. 7 Perubahan yang teratur dapat dibantu oleh perundang-
a. Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam
undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi
proses pembaharuan hukum di Indonesia,
dari keduanya. Perubahan yang teratur melalui
walaupun yurisprudensi juga memegang peranan,
prosedur hukum lebih baik daripada perubahan yang
berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat
tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-
dimana teori Pound ditujukan terutama pada
mata, karena baik perubahan maupun ketertiban
peranan pembaruan daripada keputusan-
merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang
keputusan pengadilan, khususnya keputusan
sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang
Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap
Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh
kenyataan masyarakat menolak aplikasi mechanistis
Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya
dari konsepsi law as a tool of social engineering.
memperkenalkan konsep hukum baru dengan
Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan
menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai
dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang
sarana pembaruan masyarakat. Pengertian hukum
tidak banyak berbeda dari penerapan legisme
menurut teori ini tidak hanya memandang hukum
yang dalam sejarah Hukum Indonesia (Hindia
sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi
pengembangannya di Indonesia, konsepsi (teoretis)
harus pula mencakup lembaga dan proses yang
hukum sebagai alat atau sarana pembangunan
diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam
ini dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan
kenyataan.
filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan policy oriented dari Laswell dan Mc. Dougal. 9 Sifat
Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah
mekanistis nampak dengan digunakannya istilah
adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
”tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya
pembaruan atau pembangunan itu merupakan suatu
mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung
yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu,
menggunakan istilah ”sarana” daripada alat. 10
dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah
8 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.83-84. 9 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.9.
10 Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,
7 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.19 - 20.
Bandung, 2002,.hlm.73.
c. Apabila dalam pengertian hukum termasuk pula
Lebih lanjut, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan
hukum internasional kita di Indonesia sebenarnya
bahwa penggunaan hukum sebagai sarana
sudah menjalankan asas hukum sebagai alat
pembaharuan, akan lebih terasa daya kerjanya dalam
pembaruan jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan
bidang-bidang hukum yang sifatnya netral. 12 Bidang
secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan
hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah
hukum. Dengan demikian, perumusan resmi itu
untuk mengadaptasi hukum asing dan mengikuti
sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman
perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan
masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah.
tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
Perombakan hukum di bidang pertambangan
ketertiban dan kepatutan.
(termasuk minyak dan gas bumi); tindakan-tindakan di bidang hukum laut, nasionalisasi perusahaan-
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah
perusahaan milik Belanda dan tindakan lain di
Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari
bidang hukum sejak Tahun 1958 yang bertujuan
Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana
mengadakan perubahan-perubahan mendasar
pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum
merupakan perwujudan dari aspirasi bangsa
Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum
Indonesia yang dituangkan dalam bentuk hukum
nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap
dan perundang-undangan.
tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat
Berdasarkan hal tersebut di atas, walaupun secara
bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara
teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan
nasional. 13
hukum dan perundang-undangan dapat diterangkan menurut peristilahan teori masa kini yang berkembang
Beberapa masalah dalam penerapan Teori Hukum
di Eropa dan Amerika Serikat, namun hakikatnya
Pembangunan, dalam pembaharuan hukum melalui
konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan lahir
perundang-undangan, adalah kesulitan untuk secara
dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan
rasional dan pasti menetapkan prioritas yang sesuai
kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-
dengan kebutuhan masyarakat, dan untuk menyusun
faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan
hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran
bangsa Indonesia.
hukum masyarakat.
Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu
Fungsi hukum dalam pembangunan nasional, untuk
mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang
menjamin adanya kepastian dan ketertiban
berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan
digambarkan dengan ungkapan sebagai ”sarana
hukum juga harus mampu menampung semua
pembaharuan masyarakat” atau ”sarana
kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat
pembangunan” mempunyai pokok-pokok pikiran:
berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam
(1) adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan
pembangunan atau pembaruan itu merupakan suatu
sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus
yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak)
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan serta tahapan pembangunan disegala bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan
kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar 12 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.16. Lihat
pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep …..Op.cit., hlm.38-39.
pelaksanaan pembangunan. 11
13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum
11 Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undang-
Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, Bandung,
Undang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.
2008, hlm.189.
perlu; (2) hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur)
atau sarana pembangunan 14 dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan.
Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikkan dengan pembangunan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk Undang-Undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti sama dengan membentuk hukum. Pembentukan Undang-Undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata, karena itu diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas. Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian dari kehidupan hukum.
Meminjam konsep Lawrence Friedman, 15 norma
hukum adalah aspek substansial hukum. Di samping substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum. Struktur merujuk pada lembaga pembentukan dan pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum merujuk pada nilai, orientasi, dan harapan atau mimpi- mimpi orang tentang hukum. Aparatur dan model hukumlah yang harus dijadikan fokus pembangunan hukum. Artinya pembentukan, tata kelola, tata nilai, orientasi, dan mimpi-mimpi orang tentang hukum harus menjadi prioritas utama.
Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap Undang-Undang secara positif dianggap merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, namun secara empiris selalu saja terlihat cacat celahnya. Perilaku orang tidak selalu sejalan dengan norma-norma yang ada dalam Undang-Undang. Penyebabnya sangat beragam, diantaranya adalah
norma tersebut tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum 16 mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.
Pemahaman mengenai fungsi hukum dalam masyarakat sangat diperlukan, karena sebagian masyarakat menganggap hukum dan penggunaannya tidak dapat dipercaya, sementara sebagian masyarakat lain masih mendengungkan “the rule of law” dengan harapan segala sesuatu akan beres kembali dan tercapai masyarakat yang damai. Fungsi hukum dalam masyarakat dapat dijawab melalui tujuan hukum.
Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban merupakan suatu fakta obyektif yang berlaku bagi seluruh masyarakat manusia dalam segala bentuk. Hal tersebut, mengingat manusia selalu hidup di masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pemeo Romawi “ubi societas ibi ius” sangat tepat untuk menggambarkan hal ini.
Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan, sehingga harus diusahakan terwujudnya kepastian dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan tercapai suatu masyarakat yang berkehidupan teratur. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan oleh hukum, manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat masyarakat tersebut hidup. 17
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat. 18 Dalam suatu
14 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm. 13. 15 Margarito Kamis, “Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca Perubahan
UUD 1945”, 28 Maret 2007, hlm.5, melalui http:www.setneg.go.idindex.php?option=com_contenttask=view id=234Itemid=76 (12122009)
16 Ibid., hlm. 5. 17 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan.….Op.cit., hlm.
2 - 3. 18 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan….Op.cit., hlm. 8 2 - 3. 18 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan….Op.cit., hlm. 8
Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, karena ada hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Disamping itu, dalam masyarakat transisi, hukum berfungsi juga untuk membantu proses perubahan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang kemudian sebagian pasal-pasalnya diubah dan ditambah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004 dan terakhir dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia, sebagaimana Teori Hukum Pembangunan, bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, untuk itu dalam penyusunan Undang- Undang tentang Bank Indonesia tersebut merupakan sebagai produk hukum yang disepakati Pemerintah bersama DPR, dilakukan karena adanya kondisi yang mengharuskan adanya pembaharuan hukum dalam instrumen Hukum Perbankan yang memberikan kedudukan independen kepada Bank Indonesia, dengan pertimbangan penerbitan Undang-Undang tersebut adalah untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
3. Kepastian Hukum Dalam Sistem Perbankan
Nasional.
Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan, demikian sebagaimana di tegaskan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah nagara hukum (Recht staat) yang mana tindakan-tindakan pemerintah maupun lembaga-lembaga lain termasuk warga masyarakat harus berdasarkan hukum. Secara umum hukum merupakan ketentuan tata tertib yang berlaku dalam masyarakat, dimana hukum tersebut dalam pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
Keadilan dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan jiwa atau sikap. Keadilan bukanlah sesuatu yang bisa di ubah-ubah melalui logika atau penalaran, melainkan
melibatkan seluruh pribadi seseorang. 19 Roscoe Pound
menyatakan bahwa keadilan dikonsepkan sebagai hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat. Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak- banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, atau dengan kata lain semakin meluas banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan antara manusia.
Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap- tiap orang apa yang berhak ia terima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan
19 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hlm.
“Algemeene Regels” (PeraturanKetentuan umum),
iklim berusaha yang baik agar kegiatan ekonomi
dimana peraturanketentuan umum tersebut
dapat berjalan dengan pasti, aman dan efisisen, diperlukan masyarakat demi kepastian hukum. 20 dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Sasaran reformasi penegakan hukum adalah tercapainya
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin
suasana dan kepastian keadilan melalui penegakan
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena
hukum (rule of law) dan terjaganya ketertiban umum.
kepastian hukum ( peraturanketentuan umum) mempunyai sifat yaitu adanya paksaan dari luar
Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan
(sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan
ketertiban (order). Tujuan tersebut sejalan dengan
dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara
fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban
alat- alatnya, serta Sifat Undang- Undang yang berlaku
merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat. bagi siapa saja. 21 Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan objektif bagi setiap masyarakat manusia. 22
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, yang tidak mempersoalkan apakah sikap batin
Sebagian besar para ahli hukum menyatakan bahwa
seseorang itu baik atau buruk, dan yang diperhatikan
“kepastian hukum” sebagai tujuan hukum, dimana
adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian
ketertiban atau keteraturan, tidak mungkin terwujud
hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang
tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang
mempunyai sikap bathin yang buruk, akan tetapi
pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian
yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap
dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat
bathin yang buruk tersebut atau menjadikannya
dalam bentuk yang pasti pula (tertulis). 23 Kepastian
perbuatan yang nyata atau konkrit.
hukum yang dimaksud adalah kepastian yang fleksibel, bukan dalam arti dapat ditafsir secara luas,
Pada praktiknya apabila kepastian hukum di kaitkan
melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan
dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan
antisipatif. 24 Masyarakat mengharapkan adanya
satu sama lain. Hal tersebut di karenakan di suatu
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian
sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan
hukum, masyarakat akan lebih tertib. Oleh karenanya,
prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang
maka hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian
yang tujuan akhirnya adalah ketertiban masyarakat. 25
hukum. Kemudian apabila dalam praktiknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
Adanya aturan-aturan yang dibuat oleh negara
maka keadilanlah yang harus diutamakan. Alasannya
menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani
adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati
atau melakukan tindakan terhadap individu serta
nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum
pelaksanaan dari aturan tersebut menimbulkan
lahir dari sesuatu yang konkrit.
kepastian hukum. 26 Kepastian hukum mengandung
2 (dua) pengertian, yaitu: 27
Penegakkan Hukum merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dan sangat penting dalam menjaga sistem demokrasi yang berkualitas dan juga mendukung
22 Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 127. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 141.
20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm.
26 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 158.
21 R. Soeroso, Op.cit, hlm. 29.
27 Ibid.
a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat
Perundang-undangan adalah salah satu metoda dan
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan
atau tidak boleh dilakukan;
mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-
b. Adanya keamanan hukum bagi individu dari
cita yang diharapkan. Dalam praktik memang demikian
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang,
aturan yang bersifat umum tersebut individu dapat
karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
adalah terutama memberikan arah dan menunjukkan
dilakukan oleh negara terhadap individu.
jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui hukum yang dibentuknya. 29
Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-
Dunia perbankan memiliki hubungan yang sangat
kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan
erat dengan maju mundurnya perekonomian suatu
masyarakat juga menginginkan agar terdapat
negara. Jika sistem perbankan suatu negara sehat,
peraturan-peraturan yang memberikan jaminan
maka akan dapat menunjang pembangunan ekonomi.
kepastian dalam hubungan individu satu sama lain.
Sebaliknya, apabila sistem perbankan suatu negara
Dengan demikian, hukum dituntut untuk memenuhi
tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi
berbagai karya dan oleh Gustav Radbruch di dalam
pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya
hukum tersebut harus mengandung Nilai-nilai dasar.
suatu sistem perbankan yang sehat perlu terus
Adapun nilai-nilai dasar tersebut disamping berupa,
dilakukan secara berkesinambungan yang berdampak
keadilan dan kegunaan juga terdapat kepastian
pada terwujudnya kepastian hukum dalam
hukum. Selanjutnya, yang utama bagi kepastian
pelaksanaan kegiatan perbankan di Indonesia melalui hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. 28 prinsip kehati-hatian.
Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaatthe
Lembaga yang bertanggungjawab dalam mewujudkan
rule of law), sebagaimana yang telah ditegaskan
sistem perbankan nasional yang sehat adalah Bank
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4)
Sentral. 30 Kewenangan Bank Sentral dalam melakukan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Ide dasar
pembinaan dan pengawasan bank adalah sebagai
negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar
alat atau sarana untuk mewujudkan sistem perbankan
tentang ‘rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut
yang sehat, yang menjamin dan memastikan
oleh Belanda yang meletakkan dasar perlindungan
dilaksanakannya segala bentuk Peraturan perundang-
hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua
undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha
harus bersifat positif, hal tersebut berarti hukum harus
bank oleh lembaga perbankan yang bersangkutan.
dibentuk secara sadar.
Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan perbankan
Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan
nasional khususnya di dalam pelaksanaan
Perundang-undangan bukanlah hanya memberikan
perekonomian Indonesia, Bank Indonesia dapat
bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersikap lebih tegas untuk melakukan pembinaan
berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-
dan pengawasan terhadap semua lembaga perbankan
Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara
di Indonesia tanpa adanya campur tangan dari pihak
di bidang pengaturan. Selanjutnya, Peraturan
29 Endang Sutrisno, Bunga Rampai : Hukum Dan Globalisasi, Genta Press,
Yogyakarta, 2007, hlm. 104-105.
28 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.
30 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Op.cit, hlm. 164 30 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Op.cit, hlm. 164
Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Fungsi pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap lembaga perbankan nasional di Indonesia dimaksudkan untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat dengan memelihara kepentingan masyarakat dan menjaga agar perbankan dapat tumbuh secara wajar dan dapat bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Pengawasan dan penegakkan hukum (Law Enforcement) merupakan dua komponen yang tak terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka pengawasan dan law enforcement dapat berperan dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum antara lain berkaitan dengan pengaturan kepemilikan, kepengurusan, pembukaan kantor bank dan perluasan jaringan, perubahan kegiatan usaha Bank dan Badan Hukum bank, serta pencabutan izin usaha atas permintaan sendiri (pada saat ini masih merupakan kewenangan Bank Indonesia). Sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia
mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku.
Demikian pula di bidang Hukum Perdata dalam membangun sistem hukum perbankan nasional yang bertujuan untuk mengatur agar kegiatan usaha bank selaku lembaga intermediasi dapat dilakukan secara berhati-hati (prudent), aman, dan sehat, dipengaruhi oleh filosofi usaha bank sebagai intermediary institution (lembaga intermediasi) dan dianutnya doktrin dalam penyelenggaraan usaha perbankan yang sehat seperti prudent banking dan good corporate governance.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha bank secara prudent atau hati-hati, serta untuk memberikan kepatian hukum, maka otoritas perbankan harus menerbitkan peraturan terkait dengan kehati-hatian dalam pengelolaan bank dan mewajibkan bank untuk memenuhi peraturan prudential banking, terkait dengan ratio-ratio pengukuran tingkat likuiditas bank, seperti Capital Adequacy Ratio (CAR), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Kualitas Aktiva Produktif (KAP), dan Posisi Devisa Netto (PDN). 31
31 CAR adalah Modal dibagi dengan ATMR, atau rasio kecukupan modal
bank yang merupakan pembagian jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko. ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko) terdiri dari: Aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit yang melekat, dan beberapa pos dalam off balance sheet yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko kredit yang melekat. BMPK adalah: Prosentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank (lihat Pasal 1 angka (2) Peraturan Bank Indonesia No.73PBI2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum). Aktiva Produktif adalah: Penanaman dana bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, penyertaan, termasuk komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. PDN adalah: Angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing dinyatakan dalam Rupiah. (Dikutip dari Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, hlm. 30, Jakarta, 2010).
Krisis moneter Tahun 1997 - 1998 dijadikan
merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan
pembelajaran mengenai arti pentingnya suatu
ekonomi dan akan memberikan dampak yang luas
perangkat hukum yang mampu berfungsi sebagai
bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia,
landasan hukum untuk mengupayakan penyelamatan
yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan
bank bermasalah dan sebagai perangkat hukum yang
untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum
mampu memberikan kepastian kepada para nasabah
dalam perubahan ekonomi. 32 Hal tersebut juga dapat
serta meminimalkan kemungkinan terjadinya rush
diimplementasikan dalam sistem perbankan nasional,
(serbuan) terhadap individual bank serta sekaligus
dimana hukum pembangunan dalam kegiatan
berfungsi sebagai jaring pengaman bagi nasabah
perbankan menjadi suatu hal yang strategis dalam
penyimpan dana apabila suatu bank dinyatakan
menyikapi perkembangan perekonomian dunia
bermasalah dan pada akhirnya tidap dapat
khususnya dalam lingkup regional dan internasional.
diselamatkan lagi sehingga dinyatakan sebagai Bank gagal dan dicabut izin usahanya.
Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar dalam pembangunan dan peranan hukum dalam
Gejolak dalam lembaga keuangan khususnya bank,
pembangunan ekonomi tidak lain karena secara
merupakan salah satu sumber instabilitas. Oleh karena
umum pelaku ekonomi dalam memandang kegiatan
itu, krisis perbankan harus dicegah atau ditangani
perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja,
untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem
hal tersebut dapat dilihat pada kebijakan yang
pembayaran dan arus kelancaran penyaluran kredit
diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF)
dalam kegiatan perekonomian. Terkait dengan hal
dan Bank Dunia (World Bank), dirasakan telah
tersebut di atas, maka upaya membangun sistem
mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak
keuangan yang stabil memerlukan perangkat aturan
terkontrol yang kemudian terjadinya market shock. 33
hukum (legal framework) yang mampu menjadi
Liberalisasi pasar keuangan tanpa disertai peraturan
landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral
hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan
secara utuh khususnya di Indonesia.
terjadinya instabilitas ekonomi dan dapat memicu suku bunga tinggi yang pada gilirannya akan
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, dapat
menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi menengah
dijelaskan bahwa dalam upaya melakukan
ke bawah.
perkembangan pembangunan hukum ekonomi nasional, khususnya yang berkaitan dengan
Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada
pembangunan hukum perbankan, maka pembenahan
saat ini setiap negara membutuhkan suatu upaya
perangkat hukum dalam sektor perbankan di Indonesia
yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara
sangat diperlukan untuk memberikan landasan bagi
hukum, sosial, ekonomi dan politik, jika tidak bisa
terselenggaranya pembangunan hukum secara
dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan
keseluruhan. Perangkat hukum sistem perbankan
koherensi, akan berdampak pada terjadinya krisis
yang ada akan sangat berperan sebagai landasan
hukum (crisis of law). 34
dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan hukum perbankan dan hukum ekonomi secara keseluruhan serta memberikan
32 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic
kepastian hukum bagi para pengguna jasa perbankan
Development: Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference
di Indonesia. Harvard Law School, April 13-14 2003, hlm. 1.
33 Ibid.
David M. Trubek (Guru Besar dari University of
34 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study
Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of law”
of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia akan berkorelasi pula dengan peranan Hukum perbankan dalam Pembangunan Ekonomi secara keseluruhan.
Membangun indsutri perbankan yang kuat dan sehat adalah suatu prasyarat mutlak dalam perekonomian nasional, karena melalui peran intermediasi perbankan, roda perekonomian dapat digerakkan lebih cepat, sistem kuangan dapat berjalan dengan maksimal, sehingga stabilitas ekonomi juga dapat terpelihara.
Dengan demikian lembaga perbankan nasional harus dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan mengedepankan prinsip prudensialitas serta diperlukan pula arah yang jelas dalam upaya menciptakan indsutri perbankan yang sehat, kuat dan efisen. Oleh karenanya dalam implementasi kegiatan perbankan yang efektif sangat diperlukan regulasi yang efektif sebagai legal framework khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai lender of the last resort, dalam pemberian kebijakan bantuan likuiditas terhadap penyelamatan perbankan nasional sebagai upaya penyelematan perekonomian nasional sehingga tercipta kepastian hukum yang efektif sesuai dengan aturan dan norma-norma yang ada.
Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang hukum dan politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota- anggota masyarakat.
4. Penutup
Konsep Hukum Pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya memperkenalkan konsep hukum baru dengan menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana pembaruan masyarakat. Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembaharuan atau pembangunan itu merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu, dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan hukum juga harus mampu menampung semua kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan serta tahapan pembangunan disegala bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar pelaksanaan pembangunan. Penggunaan hukum sebagai sarana pembaharuan, akan lebih terasa daya kerjanya dalam bidang-bidang hukum yang sifatnya netral. Bidang hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah untuk mengadaptasi hukum asing dan mengikuti perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban dan kepatutan.
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap
Penggunaan hukum sebagai sarana pembaharuan, akan lebih terasa daya kerjanya dalam bidang-bidang hukum yang sifatnya netral. Bidang hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah untuk mengadaptasi hukum asing dan mengikuti perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban dan kepatutan.
Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara nasional.
Pengawasan dan penegakkan hukum (Law Enforcement) merupakan dua komponen yang tak terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka pengawasan dan law enforcement dapat berperan dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku:
Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London, 1979, hlm. 397. Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional,
(Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2007. Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard University Press, Cambridge, 1993. CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988. Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991. Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008. Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007. Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005. ---------------------------, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4 Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian
Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York, 2001. Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. ---------------, dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002. Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan
B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung, 2007.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta,
------------------------, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung,
1996. ------------------------, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982. Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston, 1983. Richard B. Mc. Kenzie dan Gordon Tullock, Modern Political Economy, An Introduction to Economics, Mc Graw-Hill, Inc,
New York, 1988. R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis, 1982. Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1998. Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006. Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1998.
B. Makalah, Jurnal dan Artikel Ilmiah:
Anwar Nasution, Makalah tentang Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum dan Agenda Ke Depan, dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII – BPHN, 2004. Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan
Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic Development: Critiques and Beyond” disampaikan
pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 Tahun 2003. ------------------------, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law
Journal, (Vol. 82, 1 November 2000). Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah, Jakarta, 2004 Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undang-Undang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.
Halaman ini sengaja dikosongkan
PRINSIP PARATE EXECUTIE DALAM HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI
Oleh :
Rumawi
1. Latar Belakang Masalah
Dasar Pokok-pokok Agraria (sering disebut dengan UUPA), yang semua tidak dikenal dalam hukum adat
Sebelum lahir UUHT, ada dua hak jaminan yaitu hak
maupun KUH Perdata. Hak tanggungan dapat
jaminan hipotik dan hak jaminan Credietverband.
dibebankan terhadap hak milik, hak guna usaha, dan
Hal ini disebabkan tanah masih dibedakan dari hak-
hak guna bangunan, 3 sebagaimana tercantum dalam
hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak
Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1960. Atas dasar amanat
barat yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hipotik
tersebut, terbitlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
yang diatur dalam KUH Perdata, dan hak-hak atas
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
tanah yang berasal dari konversi hak-hak Indonesia
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang
asli (adat), yang tunduk pada ketentuan-ketentuan
terkenal dengan sebutan UUHT.
Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190. 1 UUHT ditetapkan dengan pertimbangan yang mendasar,
Ketentuan-ketentuan tentang Hipotik diatur dalam
seperti yang termaktub dalam konsideransnya.
Buku II KUH Perdata dan Credietverband dalam S.
Pertimbangan tersebut meliputi pertimbangan filosofis
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-
yuridis dan filosofis sosiologi. Pertimbangan filosofi
190, sepanjang mengenai pembebanan hak
yuridis, yaitu UUHT sebagai pelaksanaan amanat Pasal
tanggungan atas hak-hak atas tanah dan benda-
51 UUPA, dan pertimbangan filosofi sosiologis 4 yaitu
benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak
pertama, bahwa ketentuan-ketentuan tentang Hipotik berlaku lagi dan diganti dengan UUHT. 2 dalam KUH Perdata dan Credietverband dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-
Hak Tanggungan merupakan suatu istiah baru dalam
190, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
hukum jaminan yang dipopulerkan dalam Undang-
kebutuhan perkembangan perkreditan dalam tata
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
ekonomi Indonesia. Kedua, untuk penyesuaian perkembangan pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah sehingga selain hak milik, hak guna usaha,
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
dan hak guna bangunan, juga hak pakai atas tanah
Jember, dan bekerja pada Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; Tulisan ini merupakan pendapat
tertentu, yang wajib didaftar dan menurut sifatnya
pribadi.
dapat dipindahkan, dapat dibebani hak tanggungan.
1 Herowati Poesoko, Kepastian Hukum Parate executie Dalam Undang- Undang Hak Tanggungan, Jurnal Yustika, Volume 10 Nomor 2 Desember 2007, hlm. 172.
3 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
2 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Pokok-Pokok Agraria; Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
4 Rachmadi Usman, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas
dengan Tanah.
Tanah, Jakarta: Djambatan, hlm. 42.
Dengan kata lain, UUHT yang disahkan dan
2. Rumusan Masalah
diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996 sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang
2.1 Apa Yang Dimaksud Pemegang Hak Tanggungan
(RUU) Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Pertama Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri
benda yang berkaitan dengan tanah. Pemerintah
Terhadap Objek Hak Tanggungan Secara Lelang?
dalam penjelasan mengenai RUU tersebut yang
2.2 Apakah Pemegang Hak Tanggungan Pertama
disampaikan oleh Menteri Negara AgrariaKepala
Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap
Badan Pertahanan Nasional tanggal 15 September
Objek Hak Tanggungan Tanpa Melalui Lelang?
1996 disebutkan untuk memenuhi tuntutan
2.3 Mengapa Dalam Praktik Parate Executie Yang
pembangunan dan melaksanakan amanat UUPA.
Diberikan Kepada Pemegang Hak Tanggungan
Dua alasan itu yang menjadi latar belakang RUU
Sulit Dilaksanakan?
tersebut. 5