MACAM-MACAM I’JÂZ AL-QUR’ÂN

C. MACAM-MACAM I’JÂZ AL-QUR’ÂN

Dalam menjelaskan macam-macam I’jâz al-Qur’ân ini para ulama berbeda dalam penjelasannya. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing, di antaranya yaitu: Dr. Abd Razzâq Naufal, dalam kitabnya al-I’jâz al-‘Adadi lil

21 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirâsat..., h. 22 22 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirâsat..., h. 22-23

Qur’an al-Karim menerangkan bahwa I’jâz al-Qur’ân itu ada 4 macam, sebagai berikut:

a) Al-I’jâz al-Balâghi, yaitu kemukjizatan segi sastra Balâghahnya, yang muncul pada masa peningkatan mutu satra.

b) Al-I’jâz al-Tasyri’i, yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya, yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syariat Islam.

c) Al-I’jâz al-Ilmi, yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.

d) Al-I’jâz al-‘Adadi, yaitu kemukjizatan segi kuantiti atau matematis/statistic, yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi canggih sekarang.

Imâm al-Khaththâbi (wafat 388 H) dalam buku al-Bayân fi I’jâz al-Qur’ân mengatakan, bahwa kemukjizatan al-Qur’ân itu terfokus pada bidang keBalâghahan

saja. Dengan kata lain, beliau menganggap bahwa I’jâz al-Qur’ân itu hanya satu macam saja intinya, yaitu hanya al-I’jâz al balaghi. Sebab, kemukjizatan al-Qur’ân itu hanya terdiri dari segi Balâghahnya saja, sekalipun dengan lafal dan maknanya sama. Maksudnya dengan susunan uslub yang demikian itu bisa mencakup kefasihan lafal, kebaikan susunan, dan keindahan makna.

Banyak juga ulama lain yang sepaham dengan Imam al-Khaththabi ini, yang mengorientasikan I’jâz al-Qur’ân pada bidang Balâghah saja, di antaranya seperti: Imam Ali ibn Îsa al-Rummany (wafat 384 H.) yang menulis kitab al-Nukat fi I’jâz al- Qur’âni al-Balaghi dan Syekh Musthafa Shâdiq al-Râfi’i yang mengarang kitab I’jâz al-Qur’ân wa al-Balâghat al-Nabawiyyat. Hal ini jelas menunjukkan bahwa I’jâz balaghi merupakan kajian yang patut mendapatkan perhatian khusus.

Muhammad Ismail Ibrâhim dalam buku yang berjudul al-Qur’ân wa I’jâzuhu al-Ilmi mengatakan, orang yang mengamati al-Qur’ân dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Sebab, kitab al-Qur’ân itu berkaitan erat sekali dengan bermacam- macam disipilin ilmu dan pengetahuan, baik ilmu-ilmu lama maupun ilmu-ilmu baru.

Di dalam kitab tersebut beliau mendiskripsikan berbagai ayat yang menunjukkan kemukjizatan al-Qur’ân yang ilmiah dan relevansinya, mengapa mukjizat Nabi Muhammad itu berupa al-Qur’ân dan mengapa al-Qur’ân itu merupakan mukjizat yang terbesar baginya.

Dari uraian di atas tentang macam-macam I’jâz al-Qur’ân dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya al-Qur’ân memuat dua aspek utama dalam kemu’jizatannya, yaitu dari segi bahasanya dan isi kandungannya.

Kemu’jizatan al-Qur’ân dari segi bahasa, tentu hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang memahami bahasa Arab saja. Hal ini akan kontradiksi dengan satu pernyataan bahwa kemu’jizatan al-Qur’ân bersifat universal. Oleh karenanya, bagi

yang mau mendalami isi pemikiran al-Qur’ân, maka kemu’jizatannya dapat diketahui dari aspek kandungannya.

1. Kemu’jizatan al-Qur’ân dari Aspek Kebahasaan (al-I’jâz al-Balâghi)

Pakar-pakar bahasa menetapkan bahwa seseorang dinilai berbahasa dengan baik apabila pesan yang hendak disampaikannya tertampung oleh kata atau kalimat yang dia rangkai.

artinya sebaik-baik pembicaraan adalah yang singkat tetapi mencakup, demikian bunyi suatu ungkapan. 23

Kalimat yang baik adalah yang tidak bertele-tele tetapi tidak pula singkat sehingga mengaburkan pesan. Selanjutnya kata yang dipilih tidak asing bagi pendengaran atau pengetahuan lawan bicara, dan harus pula mudah diucapkan serta

tidak “berat” terdengar di telinga. Kata مُسْتَشْزَرَتا (mustasyzirat) – mÎsalnya- dinilai berat karena bergabungnya sekian banyak huruf yang harus diucapkan dari

tempat yang berbeda-beda (makhraj al-huruf). Boleh jadi kata demi kata mudah diucapkan –saat berdiri sendiri- tetapi ketika dirangkai ia menjadi kalimat yang sulit

23 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ân: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 1997), cet. I, h. 115 23 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ân: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 1997), cet. I, h. 115

Di sisi lain harus pula diperhatikan sikap lawan bicara. Boleh jadi dia meragukan kandungan pembicaraan Anda, atau sekadar menduga atau boleh jadi juga telah meyakini sebelumnya atau belum memiliki ide sama sekali tentang apa yang akan Anda sampaikan. Tingkat dan keadaan lawan bicara seperti yang dikemukakan ini harus menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun kata atau kalimat Anda. Dan

yang tidak kurang pentingnya adalah kesesuaian ucapan Anda dengan tata bahasa. 25 Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa yang digunakan oleh al-Qur’ân

adalah bahasa Arab. Kenyataan ini diakui sendiri oleh al-Qur’ân di dalam Q.S. an

Nahl/16: 103 yang sekaligus membantah bahwa al-Qur’ân diajarkan oleh seorang a’jam kepada Nabi Muhammad. Dan bagaimanapun juga bahasa tersebut telah terintegrasi ke dalam bahasa Arab.

Sisi inilah yang –diakui ataupun tidak- yang pertama kali ditampilkan oleh al- Qur’ân kepada masyarakat Arab pada lima belas abad yang silam dalam konteks mu’jizat dan keistimewaan al-Qur’ân. Pada saat itu, yang dihadapkan pada mereka bukanlah dari segi-segi yang lain, seperti isyarat ilmiyah ataupun pemberitaan- pemberitaan ghaib. Hal ini mungkin dikarenakan oleh keahlian dan kebanggaan yang dimiliki masyarakat Arab saat itu, yaitu bahasa dan sastra Arab. Dalam konteks inilah kemudian I’jâz al-Qur’ân menemukan bentuknya, dimana tantangan yang dÎsampaikan oleh al-Qur’ân tidak dapat mereka lawan dan mereka ladeni.

Aspek kemu’jizatan al-Qur’ân dari aspek bahasanya telah diakui oleh banyak tokoh dan ulama dimana mereka sekaligus juga tidak dapat menandinginya. Apakah aspek kebahasaan itu terletak pada keseimbangan dalam bilangan kata-kata yang dipergunakan al-Qur’ân sebagaimana ditemukan oleh Abd al-Razzâq Naufal, apakah terletak pada konsistensi pemakaian jumlah huruf pembuka surah dalam surah yang bersangkutan sebagaimana yang ditemukan oleh Rasyad Khalifah, ataukah terletak

24 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ân..., h. 116 25 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ân…, h. 116 24 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ân..., h. 116 25 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ân…, h. 116

Al-Râzi, penulis Mafatih al-Ghaib menyatakan bahwa kefasihan bahasa, keindahan susunan kata, dan pola-pola kalimat al-Qur’ân amatlah luar biasa. Sementara itu Qhâdi Abû Bakar dalam I’jâz al-Qur’ân menyatakan bahwa memahami kemu’jizatan al-Qur’ân dari sisi keindahan bahasa jika dibandingkan dengan syair dan satra Arab, amatlah sukar ditandingi. Abû Hasan Hazim al- Quthajâni menyatakan bahwa keluarbiasaan al-Qur’ân itu antara lain terlihat dalam

konsistensi, kefasihan bahasanya, dan keindahan susunan kalimatnya. Bahkan al- Qur’ân amat sempurna dilihat darisemua segi. Bahkan Bundâr ibn Husein al-Fârisi,

seorang ilmuwan dan sastrawan dari Persia menyatakan bahwa tingkat kefasihan dan keindahan bahasa al-Qur’ân di luar jangkauan kemampuan manusia. Walaupun demikian, bukanlah mustahil bagi manusia untuk mempelajari dan mendalami sisi kebahasaan al-Qur’ân.

Keindahan uslub al-Qur’ân benar-benar membuat orang Arab pada waktu itu kagum dan terpesona. Tidak sedikit orang yang masuk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad pada masa itu hanya karena kagum dan ketika mendengar bacaan al-Qur’ân. Di antara aspek kebahasaan itu, sesuai dengan ilmu Balâghah dan sejarah sastera Arab ialah: tasybih, isti’ârah, majaz kinâyah dan matsal. Penjelasan tentang masing-masing istilah tersebut akan penulis paparkan pada pembahasan tentang ilmu Balâghah dan pembagiannya.

2. Kemu’jizatan al-Qur’ân dari aspek isi kandungan

Para ulama membagi kemu’jizatan al-Qur’ân dari segi isi kandungannya menjadi 4 bagian, yaitu: al-I’jâz al-Tasyri’i, al-I’jâz al-Ghaibi, al-I’jâz al-Ilmi dan al- I’jâz al-‘Adadi.

1. Al-I’jâz Al-Tasyrî’i

Tentang aspek ajaran ini mungkin sudah menjadi maklum bahwa al-Qur’ânlah sumber dari ajaran Islam, baik itu aqidah, syari’ah dan mu’amalah. Aspek inilah yang kemudian bisa jadi sisi I’jâz al-Qur’ân yang sulit tertandingi oleh apa dan siapapun. Bagi mannâ’ al-Qatthân, al-Qur’ân merupakan dustur tasyri’ paripurna yang menegakkan kehidupan manusia di atas konsep yang paling utama. Dan kemukjizatan dari segala aspeknya ini akan terus eksis untuk selamanya. Dan tidak seorangpun dapat mengingkari bahwa al-Qur’ân telah memberikan pengaruh besar yang telah

merubah wajah sejarah dunia. 26

2. al-I’jâz al-Ghaibi

Ada beberapa bagian tertentu dalam al-Qur’ân yang menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kecuali Allâh, yaitu menyangkut pemberitaan-pemberitaan ghaib, baik kisah-kisah masa lalu yang luput dari penelitian sejarah ataupun peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Banyak peristiwa masa lampau yang disampaikan oleh al-Qur’ân dalam wujud kisah- kisah yang terkadang sudah tidak hidup lagi dalam cerita-cerita rakyat Arab saat itu dan tidak mungkin ditemukan secara keseluruhan dalam kajian-kajian kesejarahan. Keistimewaan ini ditegaskan dalam al-Qur’ân

È≅ö6s% ⎯ÏΒ y7ãΒöθs% Ÿωuρ |MΡr& !$yγßϑn=÷ès? |MΖä. $tΒ ( y7ø‹s9Î) !$pκÏmθçΡ É=ø‹tóø9$# Ï™!$t7/Ρr& ô⎯ÏΒ šù=Ï?

š⎥⎫É)−Fßϑù=Ï9 sπt6É)≈yèø9$# ¨βÎ) ( ÷É9ô¹$$sù ( #x‹≈yδ

Maknanya: Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak

26 Mannâ’ al-Qatthân, Mabahits fi Ulûm al-Qur’ân, (tt: Mansyurât al-‘Ashr al-Hadits, 1973), h. 280

(pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Hûd/11: 49)

Ayat di atas turun dalam konteks pemberitaan kisah Nabi Nûh dan para pengikutnya yang menyelamatkan diri dari musibah banjir besar sebagai cobaan bagi para penentang dakwahnya. Al-Qur’ân juga mengisahkan Nabi-nabi lain, seperti Nabi Ibrâhim, Ismail, Luth, Ya’qub, Yusuf, Mûsa, Hârun dan Nabi-Nabi lainnya yang sudah tentu akan kesulitan bagi umat manusia untuk mengetahuinya tanpa adanya wahyu. Tidak hanya itu, al-Qur’ân juga mengungkapkan kisah tenggelamnya Fir’aun dan diawetkan badannya yang kemudian terbukti dengan penemuan-penemuan ilmiah

(Q.S. Yûnus/10: 90-92) 27 , peristiwa Ashhâbu al-Kahfi (Q.S. al Kahfi/18: 17-22), peristiwa kaum ‘Ad dan Tsamud dan lain sebagainya. Rangkaian-rangkaian kisah

dalam al-Qur’ân diungkapkan untuk menguraikan ajaran-ajaran keagamaan serta menggambarkan akibat-akibat yang menentangnya. Kisah tersebut bukanlah suatu yang fiktif, tetapi dapat diyakini sebagai sesuatu yang pernah terjadi. Bahkan terkadang kisah-kisah tersebut dapat membantu penelitian-penelitian keilmuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Anggara yang penelitian antropologinya terbantu dengan adanya kisah Nabi Nûh di mana dengannya ia melakukan rekontruksi

historis asl-usul manusia. 28 Di samping itu, al-Qur’ân juga mengangkat dan memberitakan kejadian-

kejadian yang akan terjadi dimasa mendatang baik di dunia ataupun di akhirat. Lebih mengejutkan lagi, informasi yang disampaikan al-Qur’ân yang nantinya akan terjadi kemudian terbukti oleh perjalanan sejarah. Seperti kasus Q.S. al-Rum/30: 1-4 yang mengatakan bahwa kerajaan Romawi Timur (Byzantium) akan dikalahkan umat

27 Untuk lebih lengkapnya baca Maurice Bucaile, Bible, Qur’an, dan Sains Modern, terj. (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), h. 19

28 Azyumardi Azra (ed.) Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân, h. 124-125, Umar Anggara adalah dosen Universitas Gajah Mada yang melakukan penelitian rekontruksi historis keragaman etnis

manusia. Uraiannya dÎsajikan dalam makalahnya yang diberi judul “Kisah Sejarah Purba Dalam al- Qur’ân”. Menurutnya, keragaman etnis umat manusia berasal dari keturunan Nabi Nûh, yaitu Sam yang menjadi nenek moyang bangsa Arab dan Persia, Ham yang menjadi nenek moyang manusia Afrika, Yafat atau sebagian menyebutnya Yafis yang menjadi nenek bangsa Arrya di Eropa dan Asia Tengah.

Islam. Pernyataan al-Qur’ân ini kemudian menjadi kenyataan historis yaitu pada tahun 622 M bangsa Romawi kembali dapat mengalahkan Persia. 29 Dan masih

banyak lagi terdapat beberapa informasi futuristik di dalam al-Qur’ân, baik yang telah terbukti ataupun yang belum.

Al-Qur’ân menyebutkan kota Iram yang pernah ada pada masa Nabi Hûd. Melalui penelitian yang sangat mahal, kota tersebut baru dapat ditemukan pada Februari 1992 di sebuah gurun di Arabia Selatan, pada kedalaman 183 meter di bawah permukaan pasir.

3. Al-I’jâz al -‘Ilmi

Muhammad Ismail Ibrâhim dalam buku yang berjudul al-Qur’ân wa I’jâzuhu al-Ilmi mengatakan, orang yang mengamati al-Qur’ân dengan cermat, mereka akan

mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai ilmu. Ilustrasi ajaran-ajaran al-Qur’ân menyoroti banyak hal yang ada dalam kehidupan alam ini, baik mengenai proses terjadinya alam, makanisme kehidupan makhluk-makhluknya termasuk

manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. 30

Kita mengetahui bahwa pada saat itu bangsa Arab merupakan bangsa yang dikenal sangat lemah tradisi tulis bacanya, maka kemudian mereka disebut sebagai bangsa yang ummy. Ketika al-Qur’ân diturunkan dan memberikan akan berbagai bidang keilmuan, bagi masyarakat saat itu merupakan sesuatau yang baru dan belum mereka kenal, sedangkan Muhammad sendiri tidak akan mungkin dapat menyusunnya karena memang tidak memiliki latar belakang budaya yang mendukung rumusan dan ilustrasi yang sedemikian hebatnya. Di sinilah salah satu kekuatan yang dimiliki oleh kitab suci yang dinamakan al-Qur’ân.

Penelitian dan kajian tentang isyarat-isyarat al-Qur’ân terhadap ilmu pengetahuan terus dilakukan para ilmuwan muslim, paling tidak menjadikan al- Qur’ân sebagai salah satu bahan awal atau sumber inspirasi untuk terus

29 Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân., h. 127-128 30 Muhammad Ibrâhim Ismail, al-Qur’ân wa I’jâzuhu al-Tasyri’i, (Kairo: Dâr al Fikr al Arabi,

1978), h. 17 1978), h. 17

dalam Q.S. al Baqarah/2: 173), ilmu pertanian (seperti pemanfaatan bumi sebagai lahan produktif yang dalam al-Qur’ân terdapat dalam Q.S. al Hijr/15: 19), hidrologi

(seperti arus air yang dapat digunakan untuk energi dan tranportasi yang dalam al- Qur’ân terdapat dalam Q.S. Ibrahim/14: 32), demografi (seperti bagaimana mempersiapkan kelahiran anak dengan sebaik-baiknya dengan larangan berhubungan seks di saat haidh yang dalam al-Qur’ân terdapat dalam Q.S. al baqarah/2: 222), ekonomi dan perniagaan (seperti tata cara aturan perniagaan yang baik yang dalam al- Qur’ân terdapat dalam Q.S. al Ra’d/13: 28), sosiologi (seperti bagaimana bersosialÎsasi dengan lingkungan sosial yang dalam al-Qur’ân terdapat dalam Q.S. Ali Imran/3: 112) antropologi dan arkeologi (seperti penemuan kota Iran yang sampaikan oleh al-Qur’ân dalam Q.S. al Farj/89: 6 dan 8), pengembangan riset (seperti signifikasi kegiatan penelitian dan kajian pengetahuan yang dalam al-Qur’ân terdapat dalam Q.S. al Ghasyiyah/88: 17-20).

Al Zarqâni menyebutkan dua di antara I’jâz ’ilmi dalam al-Qur’ân yaitu pada surat al-Nur ayat 43 :

ßlãøƒs† šXôŠtθø9$# “utIsù $YΒ%x.â‘ …ã&é#yèøgs† §ΝèO …çμuΖ÷t/ ß#Ïj9xσム§ΝèO $\/$ptx ©Åe÷“ム©!$# ¨βr& óΟs9r& ts?

â™!$t±o„ ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/ Ü=ŠÅÁãŠsù 7Štt/ .⎯ÏΒ $pκÏù 5Α$t7Å_ ⎯ÏΒ Ï™!$uΚ¡¡9$# z⎯ÏΒ ãΑÍi”t∴ãƒuρ ⎯Ï&Î#≈n=Åz ô⎯ÏΒ

Ì≈|Áö/F{$$Î/ Ü=yδõ‹tƒ ⎯ÏμÏ%öt/ $uΖy™ ߊ%s3tƒ ( â™!$t±o„ ⎯¨Β ⎯tã …çμèùÎóÇtƒuρ Artinya: “Tidaklah kamu melihat bahwa Allâh mengarak awan, Kemudian

mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih- tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allâh (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan

seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan”. (al-Nur: 43) Dalam ayat ini Allâh menyebutkan sebagian dari proses terjadinya awan, hujan dan kilat. Betapa menakjubkan proses ilmiyah yang disebutkan oleh ayat di atas.

Dan surat al-Qiyamah ayat 4: ∩⊆∪ …çμtΡ$uΖt/ y“Èhθ|¡Σ βr& #’n?tã t⎦⎪͑ω≈s% 4’n?t/ ∩⊂∪ …çμtΒ$sàÏã yìyϑøgªΥ ⎯©9r& ß⎯≈|¡ΡM}$# Ü=|¡øts†r&

Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna”. (al-Qiyâmah: 3-4) Dalam ayat ini Allâh ingin menunjukkan kepada kita bahwa Ia mampu untuk membangkitkan kembali manusia kelak pada hari kiamat. Sebagaimana Ia mampu menciptakan manusia dari tidak ada menjadi ada, maka lebih mudah bagi-Nya untuk membangkitkan kembali tulang belulang yang sudah punah karena sebelumnya tulang-tulang itu pernah ada. Kemudian pada ayat selanjutnya Ia menyebutkan Artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna”. (al-Qiyâmah: 3-4) Dalam ayat ini Allâh ingin menunjukkan kepada kita bahwa Ia mampu untuk membangkitkan kembali manusia kelak pada hari kiamat. Sebagaimana Ia mampu menciptakan manusia dari tidak ada menjadi ada, maka lebih mudah bagi-Nya untuk membangkitkan kembali tulang belulang yang sudah punah karena sebelumnya tulang-tulang itu pernah ada. Kemudian pada ayat selanjutnya Ia menyebutkan

4. Al-I’jâz Al -‘Adadi

a. Kosistensi Pemakaian Huruf Yang Menjadi Pembuka Surah

Sisi ini ditemukan oleh seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Rasyâd Khalifah. Dia memperlihatkan keajaiban yang dimiliki oleh al-Qur’ân sekaligus membuktikan otentisitasnya. Dalam surah-surah yang diawali dengan potongan- potongan huruf, maka jumlah huruf dalam potongan-potongan itu dapat dibagi

dengan bilangan 19 yang merupakan jumlah huruf dalam basmalah. Misalnya kata nun dalam surah al-Qalam terulang sebanyak 133 kali, yakni 7x19, ya dan sin sebagai

pembuka surah Yasin terulang sebanyak 285 kali, yakni 15x19 dan sebagainya. Bahkan semua kata yang terhimpun dalam basmalah pun dapat dibagi habis dengan

19, kata ism terulang sebanyak 19 kali, Allâh terulang sebanyak 2698 kali, yakni 142x19, al-Rahman sebanyak 57 kali, yakni 3x19 dan al-Rahim sebanyak 114 kali,

yakni 6x19. 31 Dari sini kemudian ia beralih pada keseimbangan-keseimbangan yang lain.

Tidak sedikit yang mendukung pendapat itu, namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Bahkan ada yang menilai ide tersebut adalah pengaruh dan atau pengembangan dari paham orang-orang Yahûdi yang kemudian diterima oleh

sebagian masyarakat Arab dari apa yang dinamai dengan “Hisâb Jummal.” 32

b. Keseimbangan Dalam Pemakaian Kata

Menurut Dr. Abd Razzâq Naufal dalam bukunya ‘Al-I’jâz al-‘Adadi al- Qur’ân al-Karim ada beberapa kemu’jizatan dari segi bilangan dalam al-Qur’ân, berikut diberikan contoh-contohnya:

31 Quraisy Shihab, Mu’jizat al-Qur’ân…, h. 139 32 Menurut hitungan Hisab Jummal ini orang-orang Yahûdi meramalkan kehancuran Islam,

wafatnya Nabi Muhammad, datangnya kiamat dan lain-lain.

a) Dalam al-Qur’ân kata iblis disebutkan sampai 11 kali /ayat, maka ayat yang menyuruh mohon perlidungan dari iblis itu juga disebutkan 11 kali pula.

b) Kata sihir dengan segala bentuk tasrifnya dalam al-Qur’ân disebutkan sampai

60 kali/ayat, dan kata fitnah yang merupakan sebab dari sihir itu juga disebutkan sebanyak 60 kali pula.

c) Kata musibah dengan segala bentuk tashrifnya dalam al-Qur’ân disebutkan sampai 75 kali, yang kata musibah itu sendiri disebut 10 kali. Dan dengan

jumlah 75 kali pula lafazh syukur dan semua bentuknya yang merupakan ungkapan bahagia terhindar dari musibah itu. Secara gamblang dan jelas hal ini disampaikan oleh M. Quraisy Shihab dalam

bukunya Membumikan al-Qur’ân. Di dalam buku tersebut beliau mengutip pendapat Abd al-Razzâq Naufal. Menurutnya, terdapat lima bentuk keseimbangan kosa kata

dalam al-Qur’ân, yaitu pertama, keseimbangan antara jumlah kata dengan antonimnya (seperti al-hay denga al-mawt yang masing-masing disebutkan sebanyak 145 kali), kedua, keseimbangan jumlah kata dengan sinonimnya (seperti al-hars dengan al-zira’ah yang disebutkan sebanyak 14 kali), ketiga, keseimbangan jumlah kata dengan yang menunjukkan akibatnya (seperti al-infaq dengan al-rida yangdisebutkan sebanyak 73 kali), keempat, keseimbangan jumlah dengan penyebabnya (seperti al-isyrâf dengan al-sur’ah yang disebutkan sebanyak 23 kali), dan beberapa keseimbangan lain yang bersifat khusus (seperti kata yawm yang disebutkan sebanyak 365 kali sesuai dengan jumlah hari dalam setahun, ayyâm atau yawmayni sebanyak 30 kali sesuai dengan jumlah hari dalam sebulan, dan syahr sebanyak 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun)

Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa al-Qur’ân di samping sebagai kitab hidayah ia juga kitab yang mengandung kemu’jizatan. Bukti-bukti yang menopang kemu’jizatan al-Qur’ân secara tegas dikemukakan oleh al-Qur’ân melalui tantangan-tantangan yang diajukannya kepada seluruh umat manusia. Tantangan tersebut sampai kini belum ada yang dapat menandinginya. Inilah salah satu bukti otentik kemu’jizatan al-Qur’ân.

Karena al-Qur’ân sebagai kitab hidayah bersifat universal, maka kemu’jizatannya pun tidak terbatas pada kalangan orang Arab saja. Tetapi kemu’jizatannya dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia. Hal ini dikarenakan kemu’jizatan al-Qur’ân tidak hanya terbatas pada sisi kebahasaanya saja, melainkan juga pada isi kandungannya yang meliputi berbagai aspek seperti yang telah dijelaskan. Dengan demikian kemu’jizatan al-Qur’ân selain bersifat aqliyah juga bersifat universal.