PENGERTIAN I’JÂZ DAN MU’JIZAT

1. Kepribadian Nabi Muhammad

Dalam konteks ini, rasanya menarik untuk mengungkapkan apa yang dÎsampaikan oleh al-Imâm al-Ghazâli bahwa keraguan terhadap seseorang apakah dia

seorang nabi atau bukan, maka mustahil keraguan itu dapat berubah menjadi keyakinan tanpa terlebih dahulu mengetahui keadaannya baik dengan melihat secara langsung atau mendengar beritanya lewat penyampaian sejumlah orang yang menurut adat kebiasaannya mustahil bersepakat untuk berbohong (mutawâtir). Selanjutnya al- Ghazâli berkata: “Anda dapat mengetahui tanpa keraguan dan taqlid bahwa Imam Syâfi’i adalah seoarang ahli fiqh dan Galen (131-201) adalah seorang dokter bila anda memiliki pengetahuan tentang hukum Islam dan ilmu kedokteran dan mengkaji buku-bukunya. Demikian halnya bila anda mengetahui tentang arti kenabian dan membaca ayat-ayatnya serta sabda-sabdanya, anda akan mengetahui bahwa Muhammad berada pada puncak tertinggi dari kenabian. Kemudian perkuatlah keyakinan itu dengan mempraktekkan anjurannya dalam bidang ibadah dan penyucian jiwa. Jika itu dilakukan seribu kali, pasti anda akan yakin sepenuhnya

dengan keyakinan yang tidak akan dicampuri keraguan sedikitpun. 15 Siapapun yang mengkaji dan mempelajari hidupnya dan mengetahui

kesederhanaanya, pasti bukan hanya menafikan segala macam tuduhan yang ditujukan kepadanya. Tapi lebih dari itu, ia akan kagum dan yakin bahwa walaupun

15 Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, al-Munqidz min al-Dlalâl, (Kairo: al-Mishriyah, 1964), h. 69 15 Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, al-Munqidz min al-Dlalâl, (Kairo: al-Mishriyah, 1964), h. 69

Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam kaitannya antara al-Qur’ân dan kepribadian Muhammad adalah ke-ummi-an beliau. Secara sederhana dapat dipahami bahwa ummi mengandung arti tidak pandai membaca dan menulis, karena memang Muhammad dikenal sebagai orang yang tidak memiliki tradisi tulis-baca, sehingga

amat tidak mungkin beliau mengarang sendiri al-Qur’ân itu. 16 Dalam konteks ini, al- Qur’an menginformasikan mengapa Muhammad tidak pandai membaca dan menulis.

šχθè=ÏÜö6ßϑø9$# z>$s?ö‘^ω #]ŒÎ) ( šÎΨŠÏϑu‹Î/ …çμ’ÜèƒrB Ÿωuρ 5=≈tGÏ. ⎯ÏΒ ⎯Ï&Î#ö7s% ⎯ÏΒ (#θè=÷Fs? |MΖä. $tΒuρ

Artinya: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’ân) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”. (al Ankabût/29:48)

Bagaimana mungkin Nabi yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis) ini petunjuk-petunjuk dan pikiran-pikirannya dikagumi, bukan hanya oleh generasinya tetapi generasi-generasi berikutnya hingga kini, bahkan dinilai oleh banyak pakar sebagai manusia terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan?.

Bagaimana mungkin timbul ajaran Tauhid (monoteisme murni) di tengah- tengah masyarakat politeisme (kemusyrikan)? Apa yang terjadi sehingga timbul ajaran yang diperuntukkan untuk seluruh manusia sedang sebelumnya hanya terbatas pada suatu ras dan kaum? Bagaimana mungkin dikemandangkan penghormatan terhadap wanita di tengah-tengah masyarakat yang menganiaya mereka?.

Kendati demikian, masyarakat musyrikin Arab yang menentang kerasulannya, masih banyak yang melontarkan pelecehan-pelecehan terhadap al-Qur’ân dengan

16 Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân, h. 107 16 Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân, h. 107

ÈβθãΖyϑø9$# |=÷ƒu‘ ⎯ÏμÎ/ ßÈ−/utI¯Ρ ÖÏã$x© tβθä9θà)tƒ Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang penyair yang kami

tunggu-tunggu Kecelakaan menimpanya".(Q.S. al-Thûr/52:30) 17

2. Kondisi Masyarakat Pada Saat Turunnya al-Qur’ân

Seperti diketahui bahwa mu’jizat adalah sebagai bukti atas kebenaran seorang nabi. Mu’jizat yang diberikan kepada para nabi itu biasanya disesuaikan dengan

situasi, kondisi, dan perkembngan zaman. Karena itu kita melihat Nabi Mûsa membawa mu’jizat dari Tuhan dengan melemparkan tongkatnya lalu berubah menjadi seekor ular dan memasukkan tangannya ke dalam sakunya lalu mengeluarkannya tiba-tiba tangan itu menjadi putih bercahaya. Namun, melihat yang demikian itu, Fir’aun belum juga belum juga beriman bahkan menganggapnya sihir dan memanggil tukang-tukan sihirnya untuk bertanding, yang berakhir dengan kemenangan Nabi Mûsa dan tukang sihir itu tunduk dan beriman. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân surat al A’râf: 103-126. Nabi Mûsa mendapat mu’jizat seperti itu karena pada saat itu berkembang ilmu sihir. Berbeda dengan Nabi Îsa yang hidup pada masa ilmu kedokteran berkembang. Beliau diutus oleh Tuhan sebagai utusan kepada Bani Isrâil dengan membawa mu’jizat di antaranya: mengambar burung pada sebuah tanah kemudian burung tersebut dapat hidup dan terbang, menyembuhkan orang yang buta dari lahir dan orang yang berpenyakit lepra, dan menghidupkan orang yang mati dengan kodrat Allâh.

17 Atau pelecehan-pelecehan yang lain, seperti menyebutkan kebenaran yang dibawa Muhammad merupakan informasi-informasi sihir (Q.S. Saba’/34: 43), menganggap al-Qur’ân sebagai

mitos belaka (Q.S. al-An’âm/6: 25), bahkan mereka mengatakan akan membuat karya sejenis, karena isinya hanya dogeng-dogeng klasik belaka (Q.S. al-Anfâl/8: 31). Lengkapnya dapat dibaca pada Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân, h. 107-108

š∅ÏiΒ Νà6s9 ß,è=÷zr& þ’ÎoΤr& ( öΝà6În/§‘ ⎯ÏiΒ 7πtƒ$t↔Î/ Νä3çGø⁄Å_ ô‰s% ’ÎoΤr& Ÿ≅ƒÏ™ℜuó Î) û©Í_t/ 4’n<Î) »ωθß™u‘uρ

tμyϑò2F{$# Û˜Ìö/é&uρ ( «!$# ÈβøŒÎ*Î/ #MösÛ ãβθä3u‹sù Ïμ‹Ïù ã‡àΡr'sù Îö©Ü9$# Ïπt↔øŠyγx. È⎦⎫ÏeÜ9$#

’Îû tβρãÅz£‰s? $tΒuρ tβθè=ä.ù's? $yϑÎ/ Νä3ã⁄Îm;tΡé&uρ ( «!$# ÈβøŒÎ*Î/ 4’tAöθuΚø9$# Ä©óré&uρ š⇑tö/F{$#uρ

š⎥⎫ÏΖÏΒ÷σ•Β ΟçFΖä. βÎ) öΝä3©9 ZπtƒUψ y7Ï9≡sŒ ’Îû ¨βÎ) 4 öΝà6Ï?θã‹ç/

Maknanya: “Dan (sebagai) Rasûl kepada Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): "Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allâh; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allâh; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran keRasûlanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman”. (Q.S. ’ âli Imrân: 49)

Nabi Muhammad diutus oleh Allâh sebagai Rasûl di kalangan orang-orang Arab, terutama kaum Quraisy. Bangsa Arab yang terdiri dari kabilah-kabilah itu mulai sering berkumpul dan bercampur terutama ketika mereka menjalankan ritual tahunan di Mekkah dan al-Aswaq, semacam puasat perdagangan dan forum kebudayaan. Dalam al-Aswaq ini diselenggarakan perlombaan dan diskusi sekitar karya-karya sastera, baik syair (puisi) maupun pidato. Al-Aswaq itu diadakan di beberapa tempat antara lain: ‘Ukâz, Mijânah, Dzul Majâj dan Khaibar. Syair yang

paling bagus digantungkan di atas Ka’bah, yang kemudian disebut al-Mu’allaqat. 18

18 Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), h. 330-331

Dengan cara demikian itu maka sastera Arab pada masa itu berkembang dengan pesat dan timbul sastrawan-sastrawan Jahiliyah, terutama dikalangan kabilah Quraisy yang sangat dominan.

Pada saat dan dalam kondisi itulah Nabi Muhammad diutus Allâh dikalangan orang-orang Arab. Untuk menguatkan kerasulannya Allâh memberikan kepadanya mu’jizat yang mengungguli keindahan bahasa dan satera mereka. Mu’jizat Nabi Muhammad berbeda dengan mu’jizat nabi-nabi terdahulu dalam hal keuniversalannya.

Apa yang telah disebutkan di atas bukan berarti menyalahi informasi yang dÎsampaikan al-Qur’ân bahwa masyarakat Arab merupakan masyarakat ummiyyin.

Kata ini secara etimologi berasal dari kata ummy yang terambil dari kata umm yang secara harfiah berarti ibu. Artinya, seorang yang ummiy keadaannya sama dengan

keadaan di saat ia dilahirkan oleh ibunya dalam hal kemampuan membaca dan menulis. Masyarakat Arab pada saat itu memang dalam kondisi yang sangat minim dalam hal kemahiran tulis dan baca, terlebih pada masa awal Islam. Terdapat juga riwayat yang menyebutkan bahwa jumlah mereka yang pandai menulis tidak lebih dari belasan orang. Kelangkaan alat tulis dan ketidak mampuan menulis membuat mereka pada akhirnya mengandalkan hafalan. Maka pada saat itu hafalan menjadi tolak ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang. Namun kondisi ini tidaklah kemudian mengesankan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan. Terbukti bahwa kesusasteraan mereka mencapai puncaknya kala itu meskipun mereka hanya menampakkan kemahiran sastra mereka dalam al-Aswaq saja.

3. Masa dan Cara Kehadiran al-Qur’ân

Dalam upaya untuk lebih menjelaskan kemu’jizatan al-Qur’ân, maka mengetahui masa dan cara turunnya sangatlah berperan penting. Banyak aspek yang berperan dengan sub bahasan ini, namun yang terpenting dalam konteks pembuktian kemu’jizatan al-Qur’ân adalah kehadiran wahyu al-Qur’ân yang terkadang datang denga tiba-tiba.

Tidak jarang Nabi membutuhkan penjelasan bagi sesuatu tetapi penjelasan yang ditunggu itu tak kunjung datang. Sebagaimana halnya berhentinya wahyu setelah turunnya sepuluh surat yang diawali dengan al-Alaq, kemudian al-Qalam, al- Muddassir, al-Muzammil, al-Masad, al-Takwâr, al-A’lâ al-Nashr, al-‘Asr dan terakhir al-Fajr. Setelah saat itulah terjadi kegelÎsahan pada diri Muhammad karena kekosongan akan turunnya wahyu tersebut, terlebih lagi terjadi tekanan-tekanan dari kaum musyrik Mekkah yang mengatakan bahwa Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya dan membencinya. Tapi pada akhirnya turun pula surat ad-Dhuhâ. Paling tidak inilah salah satu bukti bahwa kehadiran wahyu al-Qur’ân bukanlah hasil perenungan dan bisikan jiwa Nabi, akan tetapi memang wahyu ilahi. Walaupun Nabi

sangat menginnginkan kehadirannya, namun jika Allâh tidak menghendakinya, tidaklah akan datang.

Diakui pula bahwa tidak jarang wahyu turun secara tiba-tiba. Misalnya kasus turunnya surat al-Isra:85 tentang ruh. Hadits tentang sabab nuzulnya ayat ini diceritakan oleh Abdullâh ibn Mas’ud sebagaimana riwayat al-Bukhâri. Paling tidak dalam konteks ini membuktikan kebenaran al-Qur’ân sebagai firman Allâh. Tidak dapat dipungkiri bahwa redaksi yang disusun secara spontan pasti mutunya lebih rendah dari pada yang disusunnya dengan berfikir terlebih dahulu. Dan penelitian para ahli dan kritikus bahasa setelah membandingkan ucapan-ucapan Nabi dengan ayat-ayat al-Qur’ân, tetap mengakui keindahan bahasa al-Qur’ân jauh melebihi keindahan dan ketelitian sabda Nabi sendiri.

Ketiga hal di atas, merupaka hal-hal yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan dalam upaya memahami kemu’jizatan al-Qur’ân. Paling tidak, bingkai tersebut dapat membantu dalam memahami I’jâz al-Qur’ân secara mudah dan komprehensif.