SEJARAH I’JÂZ AL-QUR’ÂN

B. SEJARAH I’JÂZ AL-QUR’ÂN

Sepeninggal Rasulullah, perasaan akan ketidak mampuan orang-orang Arab menandingi al-Qur’ân tetap ada dalam diri mereka. Hingga tiba masa daulah

Abbasiyah, orang-orang Arab semakin banyak melakukan interaksi dengan orang- orang non Arab, bahasa merekapun mulai membaur. Interaksi di antara mereka menjadikan lemahnya kemampuan berbahasa mereka. Hal ini menyebabkan sebagian banyak dari umat Islam tidak mengetahui sebagian makna-makna al-Qur’ân, sehingga mereka butuh kepada pemahaman sebagian uslub-uslub al-Qur’ân. Dari sinilah mulailah muncul usaha untuk menjelaskan bahasa al-Qur’ân dan uslubnya.

Orang yang pertama kali menulis I’jâz al-Qur’ân ialah Abû Ubaidah (wafat 208 H) dalam kitab majaz al-Qur’ân. Diriwayatkan bahwa Abû ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (W. 206 H) berkata: “Saya kirim surat kepada al-Fadl ibn Rabi’ penguasa Bashrah ketika itu untuk keluar dari Bashrah pada tahun 188 H, saya pergi

ke Baghdad. Saya minta izin agar diperbolehkan masuk ke istana sulthan, kemudian masuk seorang yang berpakaian layaknya ulama dan punya wibawa. Ia duduk di

sampingku kemudian ia berkata: “Saya rindu kepadamu, bolehkah saya bertanya tentang suatu hal”, saya katakan: “silahkan”. Allâh ta‘âla berfirman:

biasanya janji dan ancaman kita dapat mengetahui, yang ini saya tidak tahu. Saya katakan: “Sesungguhnya Allâh menurunkan al-Qur’ân sesuai dengan bahasa orang Arab, bukankah Imru’ al-Qais pernah mengatakan:

Mereka tidak melihat adanya ghaul, akan tetapi ketika perkara ghaul ini menakutkan mereka maka ia sebutkan dalam syair sebagai ancaman. Penanya tersebut memahami hal itu. Abû ‘Ubaidah kemudian berniat untuk menulis tentang al-Qur’ân pada masalah-masalah seperti ini. Sehingga sekembalinya ia ke Bashrah ia menulis kitab

Majâz al-Qur’ân. 19 Majâz yang dimaksud oleh Abû ‘Ubaidah bukan lawan dari hakikat akan tetapi pengertian Majâz di sini adalah tafsir dan ta’wil tentang ayat-ayat al-Qur’ân.

19 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirasat fi al-Balâghah al-‘Arabiah (Tarikhuha - al Fashahah wa al-Balâghah – Abwab min ‘ilm al Ma’âni), (Kairo: al-Azhâr University, 1994), h. 18-19

Semakin ke belakang semakin banyak permasalahan yang timbul seputar makna al-Qur’ân, sehingga memaksa para ulama untuk terus mengkaji makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’ân dan membentengi al-Qur’ân dari mereka yang ingin menyelewengkan makna al-Qur’ân. Dari sinilah muncul kajian-kajian yang mendalam tentang keindahan bahasa al-Qur’ân.

Lalu disusul oleh al-Farrâ’ (wafat 207 H) yang menulis Ma’âni al-Qur’ân. Kemudian disusul Ibnu Quthaibah (W. 276 H.)yang mengarang kitab Ta’wîlu Musykil al-Qur’ân, al-Nukat fi I’jâz al-Qur’ân karya Ali ibn Îsa al-Rummâni (W. 387 H.), I’jâz al-Qur’ân karya al-Khaththâbi (W. 388 H.), I’jâz al-Qur’ân karya al Baqillâni (W. 403 H.), Talkhish al-Bayân fi Majaz al-Qur’ân karya Syarif al-Wadha

dan masih banyak lagi karya-karya yang lainnya. 20 Karya-karya mereka ini menjadi pijakan bagi ulama-ulama yang datang

setelahnya dan dengannya mereka dapat mengembangkan dasar-dasar dan permasalahan yang ada. Sehingga akhirnya muncul pada pertengahan abad ke lima seorang ulama yang dapat menghimpun permasalahan-permasalahan Balâghah yang ada di dalam al-Qur’ân dengan banyak menambahkan permasalahan baru. Beliau adalah al-Imâm Abd al-Qâhir al-Jurjani yang menulis dua karya yang sangat fenomenal dalam hal Balâghah yaitu “Dala-il al-I’jâz” dan “Asrar al-Balâghah”.

Dalam kitab Dala-il I’jâz beliau sebutkan makna-makna lafazh dalam kajian ilmu nahwu sesuai dengan tujuan dan maksud perkataan. Beliau juga menjelaskan macam-macam kalimat ditinjau dari beberapa segi. Abd al-Qahir al-Jurjani dalam kitab Dalail I’jâz juag membantah bahwa kitab-kitab yang ada sebelumnya bukan secara khusus mengupas tentang ilmu I’jâz al-Qur’ân, melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya kitab tersebut. Sedangkan dalam kitab Asrâr al-Balâghah beliau banyak mengupas tentang ilmu Bayân, mulai dari macam-macamnya dan beberapa

20 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirasat…., h. 20 20 Fauzi al-Sayyid Abd Rabbih, Dirasat…., h. 20

Dua kitab inilah yang menjadi rujukan bagi ulama-ulama setelahnya. Sebut saja Abû Ya’qub al-Sakaki (W. 626 H.) yang menulis tentang permasalahan- permaslahan yang rumit dalam ilmu Balâghah. Karenanya, Yahya ibn Hamzah al- ‘Alawi (W. 749 H.) mengatakan: “Orang yang pertama kali menulis tentang ilmu ini (al-Balâghah) menjelaskan kaidah-kaidahnya, dalil-dalil dan faidahnya, menyusun

macam-macamnya adalah Syekh al-‘Alim yang cerdas Abd al-Qâhir al-Jurjâni”. 22 Kemudian muncul al-Khatib al-Qazwini (W. 739 H) dengan Talkhis al-Miftahnya dan

ulama-ulama lainnya. Berbeda dengan Dr. Subhi Sholeh dalam kitabnya Mabahits fi Ulumil Qur’an

yang mengatakan bahwa orang yang kali pertama membicarakan I’jâz al-Qur’ân adalah al-Jâhidh (wafat 255 H), ditulis dalam kitab Nuzhumul Qur’an. Hal ini seperti diisyaratkan dalam kitabnya yang lain, al-Hayawan. Lalu disusul Muhammad ibn Zaid al-Wâsithi (wafat 306 H) dalam kitab I’jâz al-Qur’ân, yang banyak mengutip isi kitab al-Jâhidh tersebut di atas. Kemudian dilanjutkan al-Rummâni (wafat 384 H) dalam kitab al-I’jâz, yang isinya mengupas segi-segi kemukjizatan al-Qur’ân. Lalu disusul oleh al Qadhi Abû Bakar al-Baqillâni (wafat 403 H) dalam kitab I’jâz al- Qur’ân, yang isinya mengupas segi-segi keBalâghahan al-Qur’ân, dÎsamping segi- segi kemukjizatannya. Kitab ini sangat populer. Kemudian disusul Abd al-Qâhir al- Jurjâni (wafat 471 H) dalam kitab Dala-il I’jâz dan Asrar al Balâghah.