ILMU MA’ÂNI

B. ILMU MA’ÂNI

Ilmu Ma’âni yaitu ilmu yang digunakan untuk menjaga kekeliruan dalam menyampaikan makna yang dikehendaki oleh orang yang berbicara untuk disampaikan ke hati pendengarnya, atau ilmu yang membantu mengungkapan suatu kalimat agar cocok dengan tuntutan keadaan, dengan mencakup salah satu tujuan

Balâghah yang dapat diketahui melalui rangkaian kalimatnya dan qarinah-qarinah yang meliputinya. Kajian Ma’âni meliputi: kalâm khabar dan kalâm insyâ’, Qashr, Fashal dan Washal, Musawah, Ijâz dan Ithnâb.

a. Kalâm Khabar Dan Kalâm Insyâ'

Kalam itu ada dua macam, yaitu kalâm khabar dan kalâm Insyâ’.

a. Kalâm khabar adalah kalimat yang pembicaranya dapat dikatakan sebagai orang yang benar atau dusta. 33 Bila kalimat itu sesuai dengan kenyataan, maka

pembicaranya adalah benar dan bila kalimat itu tidak sesuai dengan kenyataan, maka pembicaranya adalah dusta.Contoh kalâm khabar: ”Berpegang teguhlah pada al-Qur’ân dan mintalah nasihat kepadanya”.

Tujuan Pengungkapan Kalâm Khabar Pada pokoknya kalâm khabar itu diucapkan untuk salah satu dari dua maksud

berikut:

a. Memberi tahu kepada orang yang diajak bicara mengenai hukum yang terkandung di dalamnya, dan hukum tersebut disebut sebagai fâidatul khabar.

b. Memberi tahu bahwa si pembicara mengetahui hukum yang terkandung di dalamnya, dan hal ini disebut sebagai lâzimul fâidah. 34

Akan tetapi, terkadang kalâm khabar diucapkan untuk maksud yang lain yang dapat dipahami dari susunan kalimat. Maksud-maksud lain tersebut antara lain adalah: a. Al-Istirhâm, untuk mencari belas kasihan.

b. Izhhâr al-Dha'fi, untuk menampakkan kelemahan.

c. Izhhâr al-Tahassur, untuk menampakkan kekecewaan.

d. Al-Fakhr, untuk kesombongan.

e. Menghimbau untuk berusaha dan rajin. 35

33 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt), Cet. 10, h. 139

34 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâhah al-Wâdhihah, h. 147 35 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 147 34 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâhah al-Wâdhihah, h. 147 35 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 147

Setiap kalam, baik kalâm khabar maupun kalâm insyâ’, terdiri atas dua unsur asasi, yaitu mahkum ‘alaih dan mahkum bih. Unsur pertama disebut sebagai musnad ilaih dan unsur kedua disebut sebagai musnad sedangkan kata-kata selebihnya, selain mudhaf ilaih dan shilah, disebut sebagai Qayid. Contoh seperti perkataan Abû al- Thayyib:

Janganlah kau sambut waktumu, melainkan dengan sikap tidak putus asa

37 Selama rohmu masih menyertai badanmu. Kalâm Insyâ’ Terbagi Menjadi Insyâ’ Thalabi dan Insyâ’ Ghair Thalabi

Kalam insya' itu ada dua macam, yaitu thalabi dan ghair thalabi.

a. Kalâm Thalabi adalah kalimat yang menghendaki terjadinya sesuatu yang belum terjadi pada waktu kalimat itu diucapkan. Kalam jenis ini ada yang berupa amr (kata perintah), nahyi (kata larangan), istifham (kata tanya), tamanni (kata untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang sulit terwu

jud), dan nida' (kata seru). 38 Contoh seperti perkataan al Hasan semoga Allah meridhainya:

ﺖـْﻌَـﻨَﺹ ﺎَﻡ ِرْﺪَـﻘِﺑ ﱠﻻِإ ِءاَﺰَﺠﻟا َﻦِﻡ ْﺐُﻠْﻄَﺕ َﻻ “Janganlah engkau meminta upah kecuali sepadan dengan apa yang telah engkau lakukan”

b. Kalâm Insyâ’ Ghair Thalabi adalah kalimat yang tidak menghendaki terjadinya sesuatu. Kalam jenis ini banyak bentuknya, antara lain ta'ajjub (kata untuk menyatakan pujian), al-dzamm (kata untuk menyatakan

36 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 139 37 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 138 38 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 170 36 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 139 37 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 138 38 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balâghah al-Wâdhihah, h. 170

seperti perkataan Al-Shimmah ibn Abdullâh:

“Demi diriku, alangkah baiknya bumi yang tinggi itu dan alangkah in- dahnya sebagai tenipat peristirahatan di musim panas dan musim

semi.” 40

b. Qashr

Qashr adalah pengkhususan suatu perkara pada perkara lain dengan cara yang khusus. 41

1. Sarana-sarana qashr yang termasyur ada empat yaitu:

a. Nafyi dan istitsna', dan maqshur 'alaihnya terdapat setelah huruf istitsna'.

b. Innamâ ( ﺎﻤﻥإ ) dan maqshur 'alaihnya adalah lafazh yang wajib disebut terakhir.

c. ‘Athaf dengan lâ ( ), bal ( ﻻ ﻞﺑ ), atau lâkin ( ﻦﻜﻟ ).

Bila ‘athafnya memakai huruf lâ, maka maqshur 'alaihnya adalah lafazh yang bertolak belakang dengan lafaz yang jatuh setelah lâ, dan bila 'athafnya itu dengan bal atau lâkin, maka maqshur 'alaihnya adalah lafazh yang jatuh setelahnya.

d. Didahulukannya lafazh yang seharusnya diakhirkan. Di sini maqshur 'alaihnya adalah lafazh yang didahulukan. 42

39 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 170 40 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 168 41 Ali al-Jârim dan Musthafa Amîn, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 217 42 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 218

Setiap qashr memiliki dua tharaf, yaitu maqshur dan maqshur 'alaih. Berdasarkan kaitan kedua tharafnya qashr dibagi menjadi dua, yaitu qashr shifat 'ala maushuf dan qashr maushuf 'ala shifat.

2. Pembagian Qashr

Berdasarkan hakikat dan kenyataan, qashr itu dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Hakiki, adalah dikhususkannya maqshur pada maqshur ‘alaih berdasarkan hakikat dan kenyataan, yaitu sama sekali maqshur tidak lepas dari maqshur ‘alaih pada yang lain. 43 Seperti:

”Pemberi Rizki hanyalah Allâh”

b. Idhafi, adalah dikhususkannya maqshur pada maqshur ‘alaih dengan

disandarkan pada sesuatu tertentu. Seperti: عﺎﺠ ُﺷ ﻦﺴﺣ ﺎﻤﻥإ ” “Hasan hanyalah seorang pemberani” 44

c. Fashal Dan Washal

Washal adalah mengathafkan satu kalimat kepada kalimat lain dengan wawu. Fashal adalah meninggalkan athaf yang demikian. 45 Masing-masing washal dan

fashal mempunyai tempat-tempat tersendiri.

1. Tempat-tempat Fashal dan Washal

A. Di antara dua kalimat, wajib di-fashal-kan dalam tiga tempat:

a. Bila di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesatuan yang sempurna, seperti halnya kalimat kedua, merupakan taukid (penguat) bagi kalimat pertama, atau sebagai penjelasannya, atau sebagai badal-nya. Dalam keadaan yang demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesinambungan yang sempurna (kamâlul ittishâl).

b. Bila di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jauh, seperti keduanya berbeda khabar dan insya'nya, atau tidak ada kesesuaian sama

43 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 219 44 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 219 45 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 230 43 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 219 44 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 219 45 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 230

c. Bila kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman terhadap kalimat pertama. Dalam keadaan demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat syibhu kamaalil ittishaal

(kemiripan kesinambungan yang sempurna). 46 Abû al-Thayyib berkata:

Waktu itu tiada lain hanyalah para penutur qasidahku. Bila aku bacakan sebuah syair, maka waktu.akan rnendendangkanmja.

B. Di antara dua kalimat, wajib di-washal-kan dalam tiga tempat, yaitu bila:

a. Kalimat kedua hendak disertakan kepada kalimat pertama dalam hukum i’rabnya.

b. Kedua kalimat tersebut sama-sama kalam khabar atau sama-sama kalam insya’ dan bersesuaian maknanya, namun tidak ada hal-hal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.

c. Kedua kalimat tersebut berbeda khabar dan insya’nya, dan bila di-fashal-kan akan menimbulkan kesalahfahaman yang menyalahi maksud semula. 47

d. Musawah, Ijâz, Dan Ithnâb

1. Musawah Musawah adalah pengungkapan kalimat yang maknanya sesuai dengan banyaknya kata-kata, dan kata-katanya sesuai dengan luasnya makna yang

dikehendaki, tidak ada penambahan ataupun pengurangan. 48 Contoh, Allâh ta‘âla berfirman:

46 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 230 47 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 233 48 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 240

«!$# y‰ΨÏã çνρ߉ÅgrB 9öyz ô⎯ÏiΒ /ä3Å¡àΡL{ (#θãΒÏd‰s)è? 4 $tΒuρ

“Dan apa-apa yang kamu usaiiakan dan kebaikan bagi dirinm, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allâh.” (QS Al-Baqarah: 110)

2. Ijâz Ijaz adalah mengumpulkan makna yang banyak dalam kata-ka-ta yang sedikit

dengan jelas dan fasih. 49 Ijaz dibagi menjadi dua:

a. Ijaz qishar, yaitu ijaz dengan cara menggunakan ungkapan yang pendek, namun mengandung banyak makna, tanpa disertai pembuangan beberapa

kata/kalimat.

b. Ijaz hadzf, yaitu ijaz dengan cara membuang sebagian kata atau kalimat

dengan syarat ada karinah yang menunjukkan adanya lafazh yang dibuang tersebut. 50

3. Ithnâb Ithnab adalah bertambahnya lafazh dalam suatu kalimat melebihi makna

kalimat tersebut karena suatu hal yang berfaedah. 51 Seperti contoh dalam firman Allâh ta‘âla:

9öΔr& Èe≅ä. ⎯ÏiΒ ΝÍκÍh5u‘ ÈβøŒÎ*Î/ $pκÏù ßyρ”9$#uρ èπs3Íׯ≈n=yϑø9$# ãΑ¨”t∴s?

Maknanya: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril”. (QS al- Qadr: 4)

Teknik ithnab banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Dzikrul-khash ba'dal-'am (menyebutkan lafaz yang khusus setelah lafaz yang

umum). Hal ini berfaedah untuk mengingatkan kelebihan sesuatu yang khas itu.

2. Dzikrul-'âm ba'dal-khâsh (menyebutkan lafaz yang umum setelah lafaz yang

49 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 242 50 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 242 51 Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 250 49 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 242 50 Ali al-Jârim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 242 51 Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, h. 250

3. Al-Idhah ba'dal-Ibham (menyebutkan lafaz yang jelas maknanya setelah

menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas). Hal ini berfaedah mempertegas makna dalam perhatian pen-dengar.

4. Tikrar (mengulangi penyebutan suatu lafaz). Hal ini berfaedah, seperti untuk

mengetuk jiwa pendengarnya terhadap makna yang dimaksud, untuk tahassur (menampakkan kese-dihan), dan untuk menghindari kesalahpahaman karena ba- nyaknya anak kalimat yang memÎsahkan unsur pokok kali-mat yang bersangkutan.

5. I'tiradh (memasukkan anak kalimat ke tengah-tengah suatu kalimat atau antara dua

kata yang berkaitan, dan anak kali-mat tersebut tidak memiliki kedudukan dalam i'rab).

6. Tadzyil (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup maknanya). Hal ini berfaedah sebagai taukid. Tadzyil itu ada dua macam:

a. Jârin majral-mitsl (berlaku sebagai contoh) bila kalimat yang ditambahkan itu maknanya mandiri, tidak membutuhkan kalimat yang pertama.

b. Ghairu jârin majral-mitsl (bila kalimat kedua itu tidak dapat lepas dari kalimat pertama).

7. Ihtiras (penjagaan), yaitu bila si pembicara menyampaikan suatu kalimat yang

memungkinkan timbulnya kesalahpaham tersebut. 52