Penafsiran Surat al-Dhuhâ

B. Penafsiran Surat al-Dhuhâ

1. Sebab-sebab Turunnya Surat al-Dhuhâ

Para mufassir sepakat bahwa latar belakang turunnya surah ini adalah keterlambatan turunnya wahyu kepada Rasûlullâh. Keadaan ini dirasakan berat oleh Rasûlullâh, sampai-sampai ada yang mengatakan, “Muhammad telah ditinggalkan

7 M. Quraisy Shihab, Tafsir al- Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. I, h. 318

8 Al-Thabrussi, Majma’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dâr Al-Fikr, tt), juz. 10, h. 337

Tuhannya dan dibenci-Nya.” Meskipun demikian, para mufassir berbeda pendapat dalam beberapa hal: 9

Menurut satu riwayat, Rasûlullâh mengadu kepada istrinya Sayyidah Khadijah tentang terputusnya wahyu. Beliau berkata, “ Sesungguhnya Tuhanku telah meninggalkan aku dan membenciku.” Khadijah berkata, “Tidak! Demi dia yang mengutusmu dengan kebenaran, Allâh tidak memulai kemulian ini kepadamu kecuali dia ingin menyempurnakannya untukmu.” Maka turunlah ayat,” Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu.”

Riwayat yang lain mengakatan bahwa sesungguhnya si pembawa kayu bakar, Ummu Jamîl, istri Abû Lahablah yang mengatakan, “Wahai Muhammad, aku tidak melihat setanmu kecuali dia telah meninggalkanmu.” Riwayat yang lainnya mengatakan: Sesungguhnya orang-orang musyriklah yang berceloteh, “Dia telah dibenci Tuhannya dan ditinggalkan-Nya.” Ini adalah riwayat al-Bukhâri, Muslim, al- Tirmîdzi, al-Nasâ’i dan Ibn Mâjah.

Mayoritas ulama tafsir menyebutkan bahwa sebab vakumnya wahyu dikarenakan suatu ketika orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasûlullâh tentang ruh, Dzul Qarnain dan Ashâb al-Kahfi. Kemudian Rasûl mengatakan: “Saya kabari kalian besok”, tan mengatakan insya Allâh. Kemudian wahyu tidak turun lagi untuk beberapa waktu lamanya. Zaid ibn Aslam mengatakan: “Sebab vakumnya wahyu adalah adanya anak anjing milik Hasan dan Husain di kediaman Rasûl”. Ketika Jibrîl

9 Lihat kembali pendapat-pendapat ini di dalam tafsir-tafsir: Al-Thabari, Tafsîr al-Thabari, (kairo: Dâr Hajar, 2001), juz. 24, h. , Abû Hayyan, al-Bahr Aal-Muhîth (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983),

Jilid 8, h. 485

dan gambar”. 10 Para mufassir berbeda pendapat lamanya wahyu tidak turun. Ibn Juraij

mengatakan selama 12 hari. Al-Kalbi mengatakan selama 15 hari. Ibn Abbâs mengatakan selama 25 hari. Dan al-Suddi dan Muqâtil mengatakan selama 40 hari. 11

2. Munasabah Surat al-Dhuhâ Dengan Surat-surat Lainnya

Al-Alusi menyebutkan dalam tafsir tentang munasabah surat al-Dhuhâ dengan surat sebelumnya dengan menyebutkan bahwa pada surat sebelumnya disebutkan

’s+ø?F{$# $pκâ:¨Ζyfã‹y™uρ

dan Rasûlullâh Muhammad adalah penghulu orang-orang yang bertaqwa maka dilanjutkan pada surat al-Dhuhâ ayat yang menyebutkan ni’mat Allâh bagi orang yang bertaqwa.

Dr. Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa surat al-Dhuhâ mempunyai kaitan dengan surat al-Lail dalam dua segi:

1. Surat al-Lail diakhiri dengan janji dari Allâh kepada orang-orang yang bertaqwa di akhirat, karenanya dalam surat al-Dhuhâ Allâh mempertegas janji tersebut pada Nabi-Nya yaitu dalam firman-Nya:

10 Fakhruddin Al-Razi, al- Tafsîr al-Kabîr, h. 210 11 Fakhruddin Al-Razi, al- Tafsîr al-Kabîr, h. 210

#©yÌ÷tIsù y7•/u‘ y‹ÏÜ÷èムtt∃öθ|¡s9uρ

Maknanya: “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas”.

2. Setelah Allâh menyebutkan dalam surat sebelumnya; ’s+ø?F{$# $pκâ:¨Ζyfã‹y™uρ

Maknanya: “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling bertakwa dari neraka itu” (Q.S. al-Lail: 17)

Rasûlullâh adalah orang yang paling bertaqwa, maka Allâh lanjutkan dengan penyebutan ni’mat-ni’mat-Nya kepada Rasûlullâh Muhammad dalam surat al-

Dhuhâ. 12 Lebih jelas Said Hawwa merinci kaitan ayat-ayat yang terdapat dalam surat

al-Dhuhâ dengan ayat-ayat yang terdapat pada surat-surat lain, di antaranya: pertama,

surat al-Lail diakhiri dengan ﻰﺽﺮﻳ فﻮﺴﻟو maka pada surat al-Dhuhâ disebutkan

firman Allâh tentang Nabi-Nya ﻰﺽﺮﺘﻓ ﻚﺑر ﻚﻴﻄﻌﻳ فﻮ ﺴﻟو , kedua, dalam surat

al-Lail disebutkan ﻰﻟوﻷاو ةﺮﺥﻶﻟ ﺎﻨﻟ نإو maka disebutkan dalam surat al-Dhuhâ

ﻰﻟوﻷا ﻦﻡ ﻚﻟ ﺮﻴﺥ ةﺮﺥﻶﻟو , ketiga, disebutkan dalam surat al-Lail ﻰﻄﻋأ ﻦﻡ ﺎﻡﺄﻓ ﻰﻘﺕاو , ﻰآﺰﺘﻳ ﻪﻟﺎﻡ ﻲﺕﺆﻳ يﺬﻟا , dalam surat al-Dhuhâ disebutkan ﺮﻬﻘﺕ ﻼﻓ ﻢﻴﺘﻴﻟا ﺎﻡﺄﻓ

12 Dr Wahbah Zuhaili, Al- Tafsîr al-Munîr h. 279-280

3. Tafsir Surat al-Dhuhâ

y7©9 ×öy{ äοtÅzEζs9uρ ∩⊂∪ 4’n?s% $tΒuρ y7•/u‘ y7t㨊uρ $tΒ ∩⊄∪ 4©y√y™ #sŒÎ) È≅ø‹©9$#uρ ∩⊇∪ 44©y∏‘Ò9$#uρ

∩∉∪ 3“uρ$t↔sù $VϑŠÏKtƒ x8ô‰Égs† öΝs9r& ∩∈∪ #©yÌ÷tIsù y7•/u‘ y‹ÏÜ÷èムt∃öθ|¡s9uρ ∩⊆∪ 4’n<ρW{$# z⎯ÏΒ

∩®∪ öyγø)s? Ÿξsù zΟŠÏKuŠø9$# $¨Βr'sù ∩∇∪ 4©o_øîr'sù WξÍ←!%tæ x8y‰y`uρuρ ∩∠∪ 3“y‰yγsù ~ω!$|Ê x8y‰y`uρuρ ∩⊇⊇∪ ô^Ïd‰y⇔sù y7În/u‘ Ïπyϑ÷èÏΖÎ/ $¨Βr&uρ ∩⊇⊃∪ öpκ÷]s? Ÿξsù Ÿ≅Í←!$¡¡9$# $¨Βr&uρ

1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,

2. Dan demi malâm apabila telah sunyi (gelap),

3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.

4. Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)

5. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.

6. Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?

13 Sa’id Hawwa, al-Asâs fi al-Tafsîr, (Kairo: Dâr as Salam, 1999), cet. V, Juz. 11, h. 6566

7. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk.

8. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan.

9. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.

10. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.

11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.

1. Ayat pertama: ©y∏‘Ò9$#uρ

Surat al-Dhuhâ ini dimulai dengan qasam (sumpah) dengan huruf wâwu. Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa, sumpah al- Qur’ân ini mengandung makna pemuliaan terhadap muqsam bih (obyek yang digunakan untuk bersumpah).

Qasam (sumpah) dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa untuk menjelaskan makna-makna dengan penjelasan indrawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih (obyek yang dijadikan sumpah) dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelususri sumpah-sumpah al-Qur’ân seperti yang terdapat dalam surat al-Dhuhâ, kita menemukan adanya laftah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindra, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai

Dengan demikian, al-Qur’ân al Karim, dengan sumpahnya “ waktu subuh ketika mulai terang dan menyingsing”, “siang ketika terang-benderang”, dan “malam ketika hampir meninggalkan gelapnya yang menutupi dan telah berlalu”, menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi- meteri cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknâwi (abstrak) dengan yang hissi

(kongkrit) ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah al-Qur’ân dengan wâwu. 15

Di antara hikmah sumpah dengan waktu dhuhâ dan malam ketika telah sunyi adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Fakhr al-Râzi. 16 Keduanya

menyebutkan seakan-akan Allâh mengatakan bahwa waktu itu berjalan saat demi saat, waktu malam dan siang, kemudian meningkat: sekali saat malam bertambah dan siang berkurang, dan pada kali lain terjadi sebaliknya. Pertambahan itu bukan karena kemarahan. Pengurangan itu bukan karena kebencian, tetapi ada hikmahnya. Demikian pula halnya dengan risalah penurunan wahyu yang terjadi sesuai dengan kemaslahatan, sekali diturunkan pada kali lain ditahan. Penurunannya juga bukan karena kemarahan dan penahanannya bukan karena kebencian.

14 ‘A’isyah Abdurrahmân Bintu sy Syâti‘, al-Tafsîr al-Bayâni lil al-Qur’ân al-Karîm, (juz Awwal), (Kairo: Dâr al Ma’arif, 1990), cet. VII, h. 51

15 ‘A’isyah Abdurrahmân Bintu sy Syâti‘, al-Tafsîr al-Bayâni…, h. 52 16 Fahruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, juz. 8, h. 418

Senada dengan itu, ketika orang-orang kafir menuduh bahwa Tuhan telah meninggalkan dan benci kepada beliau, karena untuk meyakinkan bahwa hal tersebut tidaklah terjadi Allâh mengawali surat al-Dhuhâ dengan sumpah.

Waktu dhuhâ adalah permulaan siang ketika matahari naik dan memancarkan sinarnya. Dikatakan juga bahwa yang dimaksudkan dengan waktu dhuhâ adalah siang hari. Mereka yang menafsirkan dhuhâ dengan siang hari keseluruhan membandingkannya dengan firman Allâh:

βr& #“tà)ø9$# ã≅÷δr& z⎯ÏΒr&uρr& ∩®∠∪ tβθßϑÍ←!$tΡ öΝèδuρ $\G≈uŠt/ $uΖß™ù't/ ΝåκuÏ?ù'tƒ βr& #“tà)ø9$# ã≅÷δr& z⎯ÏΒr'sùr&

tβθç7yèù=tƒ öΝèδuρ ©Y∏àÊ $uΖß™ù't/ Νßγu‹Ï?ù'tƒ

Maknanya: Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malâm hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu siang hari ketika mereka sedang bermain? Dhuhâ pada ayat di atas adalah siang hari.

Bahasa mendefinisikan Dhuhâ sebagai waktu tertentu di siang hari, dan dengan itu pula dinamakan Shalat Dhuhâ karena ia dilakukan pada waktu tersebut. Unta yang disebut al Dhahiyah adalah unta yang minum pada waktu Dhuhâ. Jika mereka mengatakan dhuha fulan ghanamah, maka kalimat ini berarti si fulan

Petunjuk yang jelas adalah petunjuk yang tampak dalam semua pemakaian kata itu secara konkret pada materinya. Misalnya, dhâhiyah adalah langit yang terbuka dan tampak jelas, dan dari sini dikatakan bahwa apa yang tampak dan jelas

dinamakan juga dengan istilah dhahiyah. Dan kata dhahahiyyah dan mudhhah adalah istilah bagi daerah yang selalu disinari matahari. Dan dhaha al thariq artinya jalan yang tampak dan jelas. Mereka mengatakan orang yang muncul dari arah sinar matahari dengan dhaha, dhahwan, dhuhuwwan dan dhuhiyyan; seperti halnya mereka mengatakan orang yang kena sinar matahari dengan dhaha. Sebagaimana disebutkan :

Fulan terkena sinar matahari. 17 Dala surat Thâha ayat 119 disebutkan:

∩⊇⊇®∪ 4©ysôÒs? Ÿωuρ $pκÏù (#àσyϑôàs? Ÿω y7¯Ρr&uρ

Maknanya: “Dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalâm nya”.

17 Al-Thabari, Tafsîr al-Thabari, h. 481

Al-Imâm al-Thabari bahwa makna yang benar dari kata dhuhâ adalah sinar matahari atau siang hari. 18 Sedangkan dhahya’ adalah kuda yang kelAbû.

Al-Râghib dalam mufradâtnya mengatakan dhuhâ adalah waktu membentangnya matahari, atau ia adalah “permulaan siang ketika matahari naik dan tampak kekuasaanya”, seperti yang dikatakan al naisAbûri di dalam Gharibnya.

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik benang merah bahwa kata dhuhâ berkenaan dengan waktu baik itu menunjukkan seluruh siang atau hanya sebagian waktu siang. Tapi yang jelas kedua makna menunjukkan waktu di mana terdapat sinar

matahari yang begitu terang dan jelas. Hal ini menunjukkan bahwa wahyu yang diterima oleh Rasûl benar-benar secara terang dan jelas datangnya dari Allâh. Dan ketidak hadiran wahyu tidak ada kaitannya dengan apa yang dituduhkan oleh sebagian orang tapi itu merupakan kehendak Allâh semata.

2. Ayat kedua: ©y√y™ #sŒÎ) ≅ø‹©9$#uρ

Kata al-Lail adalah waktu yang terbentang dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Keadaan malam dari segi kegelapan dan keremangan berbeda dari satu saat ke saat yang lain. Pada ayat di atas Allâh tidak sekadar bersumpah dengan malam secara mutlak, karena permulaan malampun dapat dapat dicakup oleh kata tersebut, dan kita semua tahu bahwa pada permulaan malam masih ditemukan

18 Al-Thabari, Tafsîr al-Thabari, h. 435

Sajâ menurut Zamakhsyari adalah tenang dan tak bergerak kegelapannya, dan dikatakan maknanya adalah tenangnya manusia dan suara pada saat itu. 20

Sebagaimana al NaisAbûri membolehkan jika makna Sajâ adalah tenangnya manusia di adalamnya, sehingga isnâd (penyandaran) di sini bersifat majâzi. 21 Al A’sya

mengatakan:

Maka apalah dosa kita apabila bergelombang laut anak paman kalian Sedangkan lautmu tenang tidak menganggu binatang-binatang kecil yang meyelâm di air Syair di atas adalah bagian dari syair hijâ’ (ejekan) yang ditujukan kepada ‘Alqamah ibn ‘Ulatsah. Yang dimaksud dengan anak paman kalian adalah ‘Amir ibn al-Thufail. Dalam syair rajaz disebutkan:

Alangkah indahnya sinar rembulan dan malâm yang hening Dan jalan-jalan yang datar bagaikan kain yang halus

19 Quraiys Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. I, h. 328

20 Al-Zamakhsyâri, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqâwil fi wujuh al-Ta’wil, (Kairo: Maktabah wa Mathba’ah al-Bâbi al-Halabi, tt), juz. 4, h. 219

21 Abû Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith, , juz. 8, h. 485

Menurut Abû Hayyan: Sajâ al-Lail, ketika malam mundur. Dan dikatakan pula ketika malam datang. Dan al-Farrâ’ mengatakan, “ketika gelap dan tak bergerak

kegelapannya.” Sedangkan Ibn al-Arabi mengatakan ketika gelapnya memuncak.” 22 Adapun Sajâ al-Lail adalah ketenangan atau keredaan malam. Itulah yang

sesuai dengan situasi secara bayani, bukan datang atau berpalingnya malam sebagaimana dikatakan oleh para musafir. Karena Sajâ dalam konteks ayat ini sebagai pembanding dhuhâ maka Sajâ al-Lail adalah saat ketenangan dan keheningan malam, sesuai dengan apa yang dikenal bahasa Arab ketika menggunakan kalimat

tharfun sajin (pandangan yang tenang) dan bahrun sajin (laut yang tenang). Dan sajwa adalah unta yang jika diperah ia berada dalam keadaan tenang. 23

Sebagian ulama menyebutkan hikmah perbandingan al-Dhuhâ; sebagian dari waktu siang dengan Lail; malam secara keseluruhan, adalah sebagai isyarat bahwa sebagian waktu pada siang hari dapat menandingi malam secara keseluruhan dalam hal perolehan hasil. Sebagaimana Rasûlullâh apabila dibandingkan dengan yang

lainnya akan mengalahkan semua para Nabi. 24

3. Ayat ketiga: 4’n?s% $tΒuρ y7•/u‘ y7t㨊uρ $tΒ

22 Gharaib al-Qur’ân: 30/106 23 Al-Râghib al-Asfahâni, al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah wa mathba’ah

Mushtafâ al-Bâbi al-Halabi, 1961), h. 24 Fahruddin al-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr, Juz. 31 h. 207-208

Qirâ’ah dengan dâl yang di-syaddah adalah qirâ’ah Jumhur. Sebagian dari mereka membaca ma wada’aka tanpa tasydid adalah Abû Hayyan. 25 Sebagaimana

disebutkan dalam hadîts:

Maknanya: “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang ditinggalkan orang lain karena takut akan kejahatannya”. 26

Disebutkan dalam syair:

Maka apa yang mereka suguhkan untuk diri mereka Lebih bermanfaat dari pada apa yang mereka tinggalkan Di sini al-Zamakhsyâri menyebutkan bukti dari ucapan Abû al-Aswad al-

Du’ali 27 berikut ini:

Seandainya aku merasakan tentang kekasihku apa yang Terjadi padanya dalâm cintanya sehingga ia meninggalkannya Yang lain mengatakan:

25 Abû Hayyan, al-Bahr al-Muhith, juz. 8, h. 485 26 al Bukhari, al-Jâmi a- Shahih, (Kairo: Dâr al Syi’ab, 1378 H), Kitab al Adab, h. 27 Ia bernama Dhâlim ibn ‘Amr ibn Dhâlim berasal Dâri kabilah al-Dual, seorang penyair, ahli

fiqh dan hadîts. Beliau juga seorang prajurit pemberani, pernah mengikuti peperangan shiffin bersama Sayyidina Ali. Beliau adalah orang pertama kali mengarang ilmu nahwu atas perintah Ali. Wafat pada tahun 65 H.

Akan tetapi al-Jauhâri, dalam al Shihah-nya, menegaskan bahwa penggunaan lafal wada’a seperti itu kemungkinan karena terpaksa, sebab ia digunakan dalam syair. Al-Syinqithi mengatakan bahwa yang lebih tepat maknya adalah al-muwada’ah (saling berpisah) dan al-wadâ’ (perpisahan), karena dua kata tersebut didasarkan pada kecintaan dan hubungan yang erat. Sebagaimana dua orang yang saling mencintai ketika berpisah. Meskipun keduanya saling berpisah jasmaninya tapi cinta dan kasih

sayangnya tidak pernah berpisah. 28 Jadi dalam lafazh al-muwada’ah tersirat kasih sayang dan tidak akan ingkar janji.

Wad’u adalah barang yang ditinggalkan, dan kadang digunakan secara fisik dalam ucapan wadi’ah (titipan) karena ia ditinggalkan di suatu tempat atau pada orang yang diharapkan dapat menyampaikan amanah. Taudi’ digunakan untuk arti

meninggalkan karena berpisah. 29 Tidak terdapat di dalam al-Qur’ân bentuk fi’il madlinya kecuali pada ayat al-

Dhuhâ. Tetapi termuat fi’il amar (kata perintah)-nya di dalam surah al-Ahzâb ayat 48: WξŠÅ2uρ «!$$Î/ 4’s∀x.uρ 4 «!$# ’n?tã ö≅2uθs?uρ öΝßγ1sŒr& ÷íyŠuρ t⎦⎫É)Ï≈uΖßϑø9$#uρ t⎦⎪ÍÏ≈s3ø9$# ÆìÏÜè? Ÿωuρ

maknanya: “ Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allâh. dan cukuplah Allâh sebagai Pelindung”.

28 Al-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân Fi Idhâhi al-Qur’ân bi al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), Juz. VIII, h.555

29 ‘A’isyah Abdurrahmân Bintusy Syâti‘, al-Tafsîr al-Bayâni…, h. 62

Dalam surah al-Dhuhâ ﻚﻋدو ﺎﻡ dalam bentuk mâdli (kata kerja lampau)

atau tetapi mengandung arti mustaqbal (masa yang akan datang). Hal ini berdasarkan ayat selanjutnya yang mengatakan: z 4’n<ρW{$# ⎯ÏΒ 7©9 ×öy{ y äοtÅzEζs9uρ, karena ia

menunjukkan kesinambungan pertolongan Allâh sampai akhirat dan Rasûl mendapatkan hal itu lebih baik dari yang pertama. Jadi apa yang ada antara keduanya

semuanya dalam pertolongan danperlindungan Tuhannya. 30 Bentuk mustaudâ’ datang dua kali dengan di-‘athaf-kan (dirangkaikan, digandengkan) dengan mustaqar di dalam surah al-An’âm ayat 98:

5Θöθs)Ï9 ÏM≈tƒFψ$# $uΖù=¢Ásù ô‰s% 3 ×íyŠöθtFó¡ãΒuρ @s)tGó¡ßϑsù ;οy‰Ïn≡uρ <§ø¯Ρ ⎯ÏiΒ Νä.r't±Ρr& ü“Ï%©!$# uθèδuρ ∩®∇∪ šχθßγs)øtƒ

Maknanya: “Dan dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah kami jelaskan tanda- tanda kebesaran kami kepada orang-orang yang Mengetahui”. Dan surah Hûd ayat 6:

’Îû @≅ä. 4 $yγtãyŠöθtFó¡ãΒuρ $yδ§s)tFó¡ãΒ ÞΟn=÷ètƒuρ $yγè%ø—Í‘ «!$# ’n?tã ωÎ) ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ⎯ÏΒ $tΒuρ ∩∉∪ &⎦⎫Î7•Β 5=≈tGÅ2

30 Al-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân…., Juz. VIII, h. 555

Maknanya: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allâh-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalâm Kitab yang nyata (Lauh mahfûzh)”.

Al-qilâ berarti kecemasan; tetapi mungkin juga berarti kecemasan fisik yang mendahului petunjuk kongkret dari materi itu, sehingga kita dapat melihatnya dengan

jelas dalam penggunaan-penggunaan kongkretnya. 31 Sebagian mengatakan bahwa kata qalâ terambil dari kata al-qalw yakni pelemparan. Seseorang atau sesuatu yang

menjadi obyek penderita dari kata tersebut (yang dilempar), seakan-akan dilempar

keluar dari hati akibat kebencian si pelempar terhadap yang bersangkutan. Dari sini kata tersebut diartikan sebagai kebencian yang telah mencapai puncaknya. 32

Para ulama tafsir mengatakan bahwa tidak disebutkannya (hadzf) kaf al- khithab karena sudah disebutkan sebelumnya. Ibnu Sayyidih menyimpulkan hal itu sebagai kebencian sangat besar yang menyebabkan seseorang meninggalkan dan menjauhinya. Di dalam al-Muhkam dia mengatakan, qalaituhu qilan artinya aku sangat membencinya dan tidak menyukainya, sehingga aku meninggalkannya. Qalâ juga berarti melupakan sebagaimana bait syair Tsa’lab:

Kosa kata ini termuat di dalam al-Qur’ân dua kali, satu pada ayat al-Dhuhâ dan satu lagi pada ayat 168 surah al Syu’arâ:

31 Al-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân…., Juz. VIII, h. 63 32 Quraiys Shihab, Tafsir al Mishbah…, h. 329

Maknanya: “Mereka menjawab: "Hai Luth, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir". Luth berkata: "Sesungguhnya Aku sangat benci kepada perbuatanmu".

Petunjuk bahwa kosa kata ini berarti kebencian yang amat sangat, terlihat cukup jelas. Kebencian yang sangat itulah yang ditafsirkan oleh al-Râghib di dalam al-Mufradât di dua tempat tersebut.

Ayat di atas jelas menunjukkan perhatian dan pemeliharan Allâh terhadap Nabi-Nya. Patutlah kita cermati apa yang dikatakan oleh Ibn Hisyâm berkenaan dengan perlindungan ini; pertama, perlindungan pada masa kecil dan kedua, perlindungan pada masa dewasa. Ketika kecil ia berada dalam lindungan pamannya, bentuk perlindungannya di antaranya; apabila malam tiba dan semuanya ingin tidur, ia biarkan anak-anaknya tidur. Apabila semuanya sudah menempati tempatnya masing-masing, pamannya memindahkan salah satu putranya untuk tidur di tempat tidur Muhammad dan memindahkan Muhammad tidur di tempat anaknya. Sehingga apabila ada orang yang berniat jahat, semula ia mengetahui tempat tidurnya Muhammad di awal malam, kemudian datang pada tengah malam ingin melakukan niat jahatnya maka yang kena adalah anaknya bukan Muhammad. Sebagaimana sahabat Abû Bakar ketika menemani Rasûlullâh hijrah menuju gua, terkadang Abû Bakar berjalan di depannya dan terkadang beliau berjalan di belakangnya. Rasûl bertanya tentang hal itu, Abû Bakar menjawab: “Ketika saya ingat kalau-kalau ada

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ayat-ayat di atas seakan-akan mengajak siapapun yang menduga Nabi Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya, untuk memperhatikan keadaan matahari yang disusul dengan kehadiran malam, serta

kehadiran malam yang disusul pula dengan kedatangan siang, demikian silih berganti. Kehadiran malam tidak menjadi seseorang berkata bahwa “matahari tidak akan terbit lagi”, demikian pula sebaliknya, karena kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti itu. Nah, kalau demikian ketidakhadiran wahyu beberapa saat, tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa ia tidak akan hadir lagi atau Nabi Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya.

4. Ayat keempat: 4’n<ρW{$# z⎯ÏΒ y7©9 ×öy{ äοtÅzEζs9uρ

Al-Imâm al-Thabarâni dalam al-Ausâth menyebutkan tentang sebab turunnya ayat ini; dari Ibn Abbâs berkata: Rasûlullâh berkata:

Kemudian turunlah ayat di atas. Sanad hadîts tersebut adalah hasan. Dalam kaidah bahasa Arab kata âkhirah adalah bentuk mu’annats dari kata âkhir yang merupakan antonim dari kata awwal. Al-Laits mengatakan al-âkhir dan al-âkhirah antonim dari mutaqaddim dan mutaqaddimah. 33 Kemudian al-Qur’ân

sering menggunakannya sebagai lawan dari dunia. Makna yang pertama dari kata ini adalah “terkemudian”, sedangkan makna dunia adalah “dekat”. Apabila kata akhirat dirangkaikan dengan dâr, atau yaum, maka ia menunjukkan hari akhir. Tetapi apabila berdiri sendiri, maka ia mempunyai petunjuk yang lebih umum, termasuk di

dalamnya kesudahan, tempat kembali, atau akibat, baik di dunia maupun sesudahnya. 34

Muqatil ibn Sulaiman menyebutkan lima macam makna dari kata al-âkhirah: kiamat, surga, jahannam, kubur dan kemudian. 35 Adapun dalam surah al-Dhuhâ

dipastikan bahwa akhirat adalah hari esok yang lebih baik, diharapkan kedatangannya “bagimu”, khusus Muhammad. Allâh telah mengukuhkan kebaikan yang dijanjikan ini melalui penafian “meninggalkan” dan “kebencian”, agar bekas kevakuman wahyu

hilang dari Rasûlullâh. 36 Dalam memahami ayat al-Dhuhâ ini kita mengenal ayat-ayat serupa yang

berisi âkhirah dan dirangkaikan dengan ula dengan wawu ‘athaf, misalnya:

33 Ibn Mandzûr, Lisan al Arab, materi ahkir 34 Al-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân…., h. 67-68 35 Dr. Mahmûd Ahmad Nahlah, Dirasât Qur’âniyah fi Juz Amma, (Beirut: Dâr al-Ulum al

Arabiyah, 1989), cet. I, h. 111 36 Al-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân…., h. 67-68

∩⊄∈∪ 4’n<ρW{$#uρ äοtÅzFψ$# ¬Tsù

Maknanya: “(Tidak), Maka hanya bagi Allâh kehidupan âkhirat dan kehidupan dunia”.

∩⊄∈∪ #’n<ρW{$#uρ ÍοtÅzFψ$# tΑ%s3tΡ ª!$# çνx‹s{r'sù

Maknanya: “Maka Allâh mengazabnya dengan azab di âkhirat dan azab di dunia” .

tβθãèy_öè? Ïμø‹s9Î)uρ ãΝõ3çtø:$# ã&s!uρ ( ÍοtÅzFψ$#uρ 4’n<ρW{$# ’Îû ߉ôϑptø:$# çμs9 ( uθèδ ωÎ) tμ≈s9Î) Iω ª!$# uθèδuρ

Maknanya: “Dan dialah Allâh, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di âkhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.

∩⊇⊂∪ 4’n<ρW{$#uρ nοtÅzEζs9 $uΖs9 ¨βÎ)uρ

Maknanya: “Dan Sesungguhnya kepunyaan kamilah âkhirat dan dunia”. Pesan yang ingin disampaikan dalam ayat ini adalah; kehidupan di akhirat lebih baik daripada kehidupan di dunia. Dan Allâh menjanjikan kepada Nabi Muhammad bahwa keadaan yang akan datang lebih baik daripada yang telah lalu.

Dan setiap hari akan bertambah kemuliaan terhadap Nabi Muhammad. 37 Kita melihat ayat al-Dhuhâ berbeda dari yang lain, karena ia khusus bagi

Muhammad. Terbukti bahwa Allâh mengkususkan dalam ayat di atas kebaikan di

37 Dr Wahbah Zuhaili, Al- Tafsîr al-Munîr….., h. 284

5. Ayat kelima: #©yÌ÷tIsù y7•/u‘ y‹ÏÜ÷èムtt∃öθ|¡s9uρ

Diriwayatkan tentang sebab turunnya ayat ini dari al-Hakim, al-Bayhaqi, al- Thabarâni dan lainnya bahwasanya Ibn Abbâs mengatakan:

Artinya: “Ditunjukkan kepada Nabi Muhammad apa yang akan disediakan untuk ummatnya bagian demi bagian maka Beliaupun senang karenanya.”

Ayat ini diawali dengan lâm al-Qasam, 38 karena setelahnya lafazh فﻮﺳ . Lâm ibtidâ’ tidak digabung dengan lafazh فﻮﺳ . Dan فﻮﺳ khusus pada fi’il dan

lâm ibtidâ’ hanya masuk pada asma’. Sebagian ulama mengatakan bahwa lam pada ayat di atas adalah lâm al ibtidâ’ yang berfungsi untuk menta’kidkan kalimat. Mubtada’nya mahdzuf, sehingga

kalau disebutkan kalimatnya secara sempurna:

Alasannya bahwa lâm tersebut bukanlah lâm qasam karena lâm qasam tidak digabungkan dengan fi’il mudhâri’ kecuali disertai dengan nun taukid. Karenanya tidak ada pilihan lain bahwa lâm tersebut adalah lâm ibtidâ’. Dan lâm ibtidâ’ tidak

38 al Qasimi,

kalimat di atas terdapat kata yang dihilangkan yaitu 39 ﺖﻥأ

. Kenapa disebutkan kata