Etika Birokrasi Pemerintahan

C. Etika Birokrasi Pemerintahan

Herbert A. Simondalam Harbani Pasolongmengatakan bahwa birokrasi sinonim dengan organisasi berskala besar yang memiliki prinsip-prinsip, pembagian tugas yang jelas, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, efisiensi. Sedangkan menurut R.G. Francis dan R.C. Stone bahwa birokrasi mengacu pada model pengorganisasian yang terutama dimana disesuaikan untuk menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi besar dan kompleks.

Birokrasi diisi oleh aparat pemerintah yang biasannya disebut pegawai negeri. Pegawai negri yang baik harus memiliki atau memenuhi persyaratan antara lain; Jujur, cakap, mengabdian kepada kepentingan umum, memiliki pengetahuan mendalam tentang kondisi Negara, kemampuan untuk selalu sibuk dan produktif. Sementara Peter

Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi | 287

Blau dalam Harbani Pasolong mengatakan bahwa birokrasi adalah organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi sekaligus menyarankan agar istilah ini digunakan secaranetral untuk mengacu kepada aspekaspek administrasi dari organisasi. Dengan cara demikian diharapkan tujuan-tujuan organisasi dapat dicapai dengan stabil.

Pendapat lain, disampaikan oleh Peter Leonard yang mengatakan bahwa administrasi sebagai bentuk organisasiyang rasional dan melaksanakan tugas-tugas berdasarkan penerapan manajemen ilmiah. Berdasarkan beberapa pendapat diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa administrasi negara adalah seluruh aktivitas pemerintah yang dilakukan oleh aparaturnya/birokrasi untuk mencapai tujuan negara yang sudah ditetapkan dalam berbagai proram dan kebijakan-kebijakan publik. Dengan demikian tercapai tidaknya pelayanan publik tergantung profesionalitas dan kompetensi birokrasinya. Terdapat beberapa azas dalam pelayanan publik diantaranya:

(1) Transparan, pelayanan terbuka secara umum untuk semua orang yang memerlukan pelayanan dan mudah diakses;

(2) Akuntabel, pelayanan yang dilakukan harus memenuhi syarat-syarat yang dapat dipertanggung jawabkan, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;

(3) Kondisional, layanan publik harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan pelanggan dan mengacu pada efektivitas dan efesiensi;

(4) Partisipatif, berusaha mendorong peran serta masyarakat dengan memper hatikan aspirasi dan harapan masyarakat pengguna jasa layanan termasuk dengan tidak membeda-bedakan gender, status ekonomi dan sosial masyarakat.

Etika diperlukan oleh penyelenggara pemerintahan dan negara termasuk birokrasi agar mampu menjalankan fungsinya dengan tulus, jujur dan berpihak pada kepentingan rakyat/masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dinegara demokrasi. Pelayan publik (public services) merupakan kewajiban yang melekat dari lembaga pemerintah untuk memberikan pelayanan. Namun pelayan publik yang dilakukan birokrasi pemerintah sampai saat ini belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Disamping pelayanan publik kewajiban negara dan pemerintah memberi kan perlindungan terhadap rakyat dan pembangunan untuk menjamin rakyat/masyarakat terlindung dan terjamin dalam aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Birokrasi pemerintah seringkali terkontaminasi kekuasaan dalam menjalankan fungsinya, karena tidak kompeten dan profesional serta sistem karir birokrasi yang bergantung pada kekuasaan.

Rohr (1989), pakar masalah etika dalam birokrasi, yang menggunakan etika dan moral dalam pengertian yang kurang lebih sama, meskipun untuk kepentingan pembahasan lain, misalnya dari sudut filsafati, memang ada perbedaan. Rohr menyatakan: For the most part, I shall use the words “ethics” and “morals” interchangeably. Altough there may be nuances and shades of meaning that differentiate these words, they are derived etymologically from Latin and Greek words with the same meaning. Berbagai kepustakaan dan kamus menunjukkan kata etika berasal dari Yunani

288 | Modul Pelatihan Pratugas Pendamping Desa 288 | Modul Pelatihan Pratugas Pendamping Desa

Walaupun etika administrasi sebagai subdisiplin baru berkembang kemudian, namun masalah kebaikan dan keburukan sejak awal telah menjadi bagian dari pembahasan dalam administrasi. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep hirarki dan birokrasi sebagai profesi, mencoba menunjukan birokrasi yang baik dan benar. Begitu juga upaya Wilson untuk memisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsep manajemen llmiah dari Taylor dapat dipandang sebagai upaya ke arah itu. Cooper (1990) justru menyatakan bahwa nilai-nilai adalah jiwa dari administrasi negara. Sedangkan Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948) menyatakan siapa yang mempelajari administrasi berarti mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktikkan administrasi berarti mempraktikan alokasi nilai-nilai.

Darwin (1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat. Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.