Perbedaan Filsafat Plato dan Aristoteles

1. Perbedaan Filsafat Plato dan Aristoteles

Sistem ajaran filosofi klasik baru yang dianggap sebagai masa keemasan filsafat dibangun oleh Plato dan Aristoteles berdasarkan ajaran Socrates tentang pengetahuan dan etik filosofi alam yang berkembang sebelum Socrates. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Pemikiran-pemikiran Socrates diikuti oleh Plato sedangkan Plato sendiri juga diikuti oleh Aristoteles.

Namun begitu dalam beberapa hal ternyata banyak perbedaan dari ketiganya meskipun sebagian yang lain ada juga yang sama dan penjadi penerus dari pemikiran sebelumnya. Socrates sama sekali tidak menuliskan sesuatu tentang filsafat maupun yang lainnya, banyak pengetahuan kita tentang filsuf itu justru muncul dalam karya-karya Plato yang diteruskan oleh muridnya Socrates. Pertentangan Plato dan Aristoteles selain karena adanya perbedaan usia yang cukup signifikan juga karena dalam beberapa hal pemikiran banyak yang berbeda.

Meskipun demikian selain bertentangan, Plato dan Aristoteles juga saling melengkapi satu sama lain. Aristoteles adalah salah seorang tokoh Filosofi Yunani yang terkenal pada zamannya hingga saat ini, sebelumnya muncul Plato yang merupakan gurunya sendiri. Sebagai murid, Aristoteles ingin melanjutkan pemikiran gurunya namun dalam kenyataan selanjutnya Aristoteles mempunyai konsepsi pemikiran yang berbeda dengan gurunya sendiri. Pemikiran Aristoteles hampir setara dengan gurunya sendiri, Plato dan melebihi gurunya tersebut dalam bidang etika maupun epistemologi(Lavine, 2002: 25).

Plato memiliki kelebihan dalam hal kepelaporan, memang Aristoteles yang menghasilkan jawaban-jawabannya, tetapi Platolah yang berhasil menemukan pertanyaan-pertanyaan dasar yang seharusnya dipertanyakannya sejak semula bersama Plato dan

Socrates, Aristoteles adalah tokoh filsafat yang sangat penting bagi dunia.

Signifikansi Aristoteles disebabkan pemikirannya yang lengkap dan luas tentang semua hal, mulai dari moral, estetika, logika, sains, politik hingga metafisika.Filsafat politik Aristoteles pada umumnya merupakan suatu tinjauan terhadap berbagai jenis Negara, dan bagaimanakah cara terbaik untuk menjalankannya. Pemahamannya mengenai politik benar-benar sangat mendalam. Kenyataan inilah yang akhirnya membuat ia menerapkan suatu sikap pragmatis sebagai sesuatu yang betul-betul bertolak belakang dengan pendekatan idealistik Plato. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya.

Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri, idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda (Achmadi, 1995: 60).

Selama bertahun-tahun Aristoteles benar-benar menentang filsafat Plato secara mendasar. Namun teori metafisikanya tetap saja adaptasi dari metafisika Plato. Jika Plato memandang bentuk-bentuk sebagai idea-idea yang memiliki keberadaan sendiri, maka Aristoteles menganggap bentuk-bentuk lebih sebagai esensi yang mewujud dalam substansi dunia dan bentuk-bentuk tersebut tidak memiliki keberadaannya sendiri.

argumen untuk menghantam teori Idea Plato namun hal itu ternyata malah menghantam habis teori universalnya sendiri. Sebagai akibatnya teori-teori Plato yang telah dimodifikasi dalam bentuk doktrin Aristotelian menjadi begitu dominan didalam perkembangan filsafat abad pertengahan (Poedjiadi, 2001: 19).

Aristoteles memandang tinggi puisi dengan menyatakannya lebih memiliki nilai dibanding sejarah, karena lebih besifat filosofis. Sejarah hanya berurusan dengan kejadian-kejadian tertentu (particular), sedangkan puisi lebih dekat kepada yang universal. Dalam hal ini ia bertentangan dengan dirinya sendiri dan lebih menampakkan pandangan Plato.

Dengan kecintaannya terhadap segala sesuatu yang bersifat matematis dan abstrak, Plato tampaknya sangat erat dengan kehidupan seperti itu, namun Aristoteles menentang pendekatan matematis terhadap moral. Sungguh tak mungkin untuk mengkalkulasikan hal-hal tentang kebaikan. Kebajikan moral memang merupakan suatu keadaan yang terdapat diantara dua ekstrem, tapi hal ini lebih tergantung pada kodrat seorang pribadi dan situasi yang melingkupinya (Lavine, 2002: 29).

Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedangkan menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya.

Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan (Lavine, 2002: 30).

Aristoteles sama seperti Plato, berusaha menemukan prinsip universal atas pengetahuan. Berbeda dengan Plato yang menyatakan bahwa yang universal adalah yang melampaui benda partikular dan bersifat prototipe atau exemplar, menurut Aristoteles, yang universal ditemukan dalam setiap yang partikular. Aristoteles menyebutnya sebagai esensi, atau inti benda-benda. Hal inilah yang membedakan Aristoteles yang realis dari Plato yang idealis.

Aristoteles dikenal sebagai peletak dasar logika, dia adalah seorang ahli metafisika yang hampir setara dengan gurunya sendiri, Plato dan melebihi gurunya tersebut dalam bidang etika maupun epistemology, Plato memiliki kelebihan dalam hal kepelaporan, memang Aristoteles yang menghasilkan jawaban-jawabannya, tapi Platolah yang berhasil menemukan pertanyaan-pertanyaan dasar yang seharusnya dipertanyakannya sejak semula.

Teori Plato tentang ide-ide tersebut, mengandung sekian kesalahan yang cukup jelas. Kendati demikian, pemikiran itu pun menyumbangkan kemajuan penting dalam filsafat, sebab inilah teori pertama yang menekankan masalah universal, yang dalam berbagai bentuknya, masih bertahan hingga sekarang. Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato, dapat kita simpulkan adanya

Plato ada pada pendapat bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan) dalam diri seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.

Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional- deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada ( being ) dan mengada (menjadi, becoming ) (Poedjiadi, 2001: 27).

Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.

Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan(Abidin, 2011: 135).

Aristoteles mengemukakan kritik yang sangat tajam atas pendapat Plato tentang ide-ide, yang ada ialah manusia ini dan manusia itu, jadi manusia konkret saja. Tetapi Ide manusia tidak terdapat dalam kenyataan. Hal yang sama berlaku juga untuk ide segitiga dan semua ide lain. Tetapi aristoteles menyetuji anggapan Plato bahwa ilmu pengetahuan berbicara tentang yang umum dan tetap. Ilmu pasti tidak berbicara tentang ini atau itu tetapi segitiga pada umumnya.Filsafat politik Aristoteles pada umumnya

Kenyataan inilah yang akhirnya membuat ia menerapkan suatu sikap pragmatic sebagai sesuatu yang betul-betul bertolak belakang dengan pendekatan idealistic Plato. Aristoteles dan Plato keduanya dipandang sebagai dua tokoh yang mewarnai filsafat dan bahkan pencetus dan peletak dasar dan ketentuan-ketentuannya. Perbedaan yang ada pada keduanya hanya pada system yang digunakan dan juga karena usia yang berbeda pada masa yang sama (Sudarsono, 1993: 44).