Sumbangan Filsafat Postmodernisme terhadap Kurikulum dan Pembelajaran

E. Sumbangan Filsafat Postmodernisme terhadap Kurikulum dan Pembelajaran

Sumbangan posmodernisme terhadap kurikulum dan pembelajaran mencakup tujuan pembelajaran, kurikulum yang dikembangan, proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Berikut ini penjelasannya, yakni:

1. Tujuan Pembelajaran

Pendidikan adalah usaha pendewasaan manusia, atau dengan bahasa lain pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Perkembangan pendidikan menyesuaikan dengan perkembangan jaman, dimulai dari periode premodern, periode modern, hingga sekarang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kita telah memasuki periode postmodern (Anonim, 2013).

Periode posmodernisme ditandai dengan beberapa kecenderungan sebagai berikut: (1) Kecenderungan menganggap klaim tentang realitas (diri-subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dan lainnya) sebagai konstruksi semiotis, artifisial, dan ideologis; (2)

Skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang substansi objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas); (3) Realitas dapat ditangkap dan dikelola dengan banyak cara, serta dengan banyak sistem (pluralitas); (4) Paham tentang sistem sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan jaringan , relasionalitas ataupun proses yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis; (5) Cara pandang yang melihat segala sesuatu dari sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memadai. Segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah posmodernisme sendiri harus dimengerti bukan sebagai oposisi, melainkan dalam relasinya dengan modernisme ); (6) Melihat secara holistik berbagai kemampuan lain selain rasionalitas, misalnya emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan lainnya; serta; (7) Menghargai segala hal lain yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern, misalnya kaum perempuan, tradisi lokal, agama (Anonim, 2013).

Kurikulum yang merupakan bagian dari pendidikan mendapatkan pengaruh dari ketiga periode tersebut. Kurikulum yang merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan di era postmodern lebih cenderung untuk melihat ukuran keberhasilan pendidikan berdasar pada narasi yang open-ended, karena eksistensi manusia tidak dapat direduksi secara positif-kuantitatif, hitam atau putih (lulus atau tidak lulus). Ini juga cenderung bersifat desentralistik yang memperhatikan kenyataan-kenyataan lokal, termasuk di dalamnya nilai dan budaya lokal-tradisional yang selama ini mengalami marjinalisasi.Konkretnya, setiap daerah, bahkan setiap sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan keadaan daerah masing-masing dan kemampuan peserta didik yang ada (Anonim, 2013).

Dalam proses pembelajarannya, orientasi yang digunakan tidak lagi teacher-centered learning atau student-centered learning, tetapi lebih berupa teacher-student learning together. Ini berarti tidak lagi menggunakan apa yang disebut oleh Paulo Freire sebagai banking sistem. Kemudian, sama halnya dengan pendidikan yang memiliki hubungan keharusan dengan filsafat, pengetahuan juga memiliki hubungan keniscayaan dengan nilai, budaya, dan terus- menerus mengalami perubahan (Anonim, 2013).

Para pemikir postmodern mengikuti teori Thomas Kuhn (1970) melalui karyanya Struktur dari Revolusi Ilmiah, dimana teori ini digunakan untuk mendukung keyakinan bahwa komunitas global akan masuk kepada pengertian baru yang radikal dari terhadap politik, seni, ilmu-ilmu, teologi, ekonomi, psikologi, budaya dan pendidikan. Dengan teori Kuhn ini, penulis postmodern menamakannya sebagai perubahan paradigma karena nilai kemanusiaan itu telah berpindah kepada wilayah baru dimana mereka mengenal adanya perluasan konsep atas diri mereka sendiri (Anonim, 2013).

Sebelumnya paling tidak ada dua perubahan paradigma dari sejarah manusia.Pertama, perpindahan dari keterasingan komunitas nomadic pemburu dan pengumpul kearah masyarakat feudal dengan pendukung sistem negara kota dan pertanian. Kedua, perpindahan dari adanya suku-suku dan masyarakat feudal ke industrial kapitalis berpegang teguh kepada ekonomi dalam teknologi ilmiah, penggunaan sumber daya yang berlimpah, perkembangan sosial, pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berpikir rasional.Pertama tadi dinamakan periode Pre Modern atau revolusi neolitik dari tahun 1000 SM sampai 1450 M. Dan yang kedua, disebut Periode Modern atau Revolusi Industri sekitar tahun 1450 M sampai 1960 M. Pada periode Neolitik berkarakter pada perubahan yang lambat dan konsepnya berakar pada mitos dan budaya aristokratis dengan gaya yang artistik. Periode Industri berkarakter pada waktu, yang mendominasi gaya masyarakat borjuis. Pergantian paradigma postmodern berusaha melakukan perubahan masa lampau, dan konsep menjadi lebih baik dengan hadirnya beragam budaya dan beragam ekspresi dan ini disebut Revolusi Informasi Global (Anonim, 2013).

Tentu ada beberapa perpindahan atau perubahan dalam kurun waktu 500 tahun, untuk melihat dan menantang dominasi dari hasil konsep modern sebuah budaya, waktu dan ekonomi. Pada awal abad ke-19, Romantics dan Luddities mungkin suatu tipe yang sama. Bagaimanapun, perubahan yang terjadi, sebelumnya tetap melihat kembali keberadaan masa premodern.Sudut pandang pemahaman zaman postmodern itu berbeda-beda, karena hal tersebut

lebih dari sekedar perpindahan anti modern. Postmodernisme melihat secara lebih dari apa-apa saja yang kurang pada modernisasi sesuai konsep baru kemasyarakatan, dilihat dari budaya, bahasa dan kekuatan (Anonim, 2013).

Pendek kata, postmodernisme menginginkan dunia menjadi organisme atau makhluk hidup daripada menjadi mesin, bumi sebagai rumah ketimbang berfungsi sebagai hak milik atau benda saja, dan setiap orang akan saling bergantung daripada terkucil dan hidup menyendiri. Konsep postmodern menyatakan tidak hanya bidang tertentu yang terlibat pada perpindahan masa ini, tetapi juga ada perubahan dramatis dalam pemikiran dimana akan memperkaya kesadaran akan postmodernisme (Anonim, 2013).

Adapun menurut Arif (2015), tujuan pendidikan adalah agar generasi yang akan mendatang mampu mengenai, mempelajari kenyataan ini, dan mampu mengubahnya. Tanpa pengetahuan yang objektif berarti akan terjadimanipulasi terhadap realitas. Tanpa itu yang akan lahir adalah generasi cuek, permisif,malas dan mengikutimaknanya sendiri. Padahal otonomi makna adalah jitos karena tidak tercipta dengan sendirinya. Postmodernisme memiliki asumsi yang hampir sama dengan pendidikan liberalis, yaitu menekankan individualisme dengan menganggap bahwa setiap individu memiliki makna yang berbeda-beda. Karenanya hal itu membawa konsekwensi dalam dunia pendidikan antara lain :

1) Seluruh kegiatan belajar mengajar bersifat relatif. Pengalaman personal melahirkan pengetahuan personal, dan seluruh pengetahuan dengan demikian merupakan keluaran dari pengalaman/perilaku personal sehubungan dengan sejumlah kondisi objektif tertentu. Inilah prinsip relativitasme psikologis.

2) Begitu subjektivitas (yakni sebuah rasa kesadaran personal yang diniatkan, yang semakin berkembang ke arah sebuah sistem diri yang mekar secara penuh atau disebut juga kepribadian), meuncul dari proses-proses perkembangan personal, seluruh tindakan belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat subjektif. Artinya ia sebagian besar diatur oleh yang volisional dan karenanya merupakan perhatian yang bersifat pilih-pilih atau selektif (Landasan subjektivisme).

3) Hampir mirip kalangan eksistesialis, subjektivitas bertindak sesuai dengan kehendak (dengan mencari perujudan tujuan- tujuan atau sasaran-sasaran personal). Kehendak itu (dalam keadaan apapun) berfungsi melalui pilihan, yakni identifikasi

4) Secara umum individu yang secara eksistensial otentik adalah orang yang bernafsu memiliki komitmen terhadap sebuah sistim nilai (nilai/kehendak) yang dirumuskan dengan baik dan yang secara kognitif memiliki perlengkapan. Disisi lain kaum eksistensialis tampaknya secara mendasar terserap dalam sebuah gaya hidup yang mana individu didorong untuk memperdalam konflik dengan cara menekankan kondisi- kondisi-keadaan yang terang/jernih secara eksistensialis, komitmen terhadap penyelesaian aktif atas persoalan-persoalan yang besar dan luas serta intelektualitas yang dipandang sebagai hal-hal yang perlu bagi penciptaan sekaligus penyelesaian masalah ketidak-bermaknaan.

5) Kaum postmodernisme sangat peduli pada problem-problem dan pemecahan masalah. Namun mereka lebih condong melihat problem-problem sebagai kesempatan-kesempatan untuk menjadi sepenuhnya hidup(yakni untuk menjadi sadar secara aktif), dan bukan sebagai kesulitan-kesulitan sementara yang ditaklukan (Arif, 2015).

Dari penjelasan diatas maka dapat di ketahui bahwa cara pandang postmodernisme terhadap tujuan pendidikan adalah bahwa tujuan pendidikan bukanlah mengubah realitas, melainkan mencari makna atau mengubah makna tiap-tiap murid, mungkin juga guru. Padahal, kita tahu makna yang dianggap menyenangkan atau baik bagi murid belum tentu hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan.Misalnya, murid sangat merasakan makna hidup ketika dia menghindar dari jam pelajaran bahasa Inggris karena selain gurunya menjengkelkan perlajaran ini juga dianggap paling sulit.Bukankah makna semacam ini bukan hanya harus dijauhkan dari murid tersebut, melainkan juga harus dienyahkan dari dunia pendidikan (Arif, 2015).

2. Kurikulum yang Dikembangkan

Kurikulum pendidikan postmodern akan memberikan argumen atas asumsi bahwa interpretasi secara sejarah harus diarahkan secara jelas ketepatannya bagi keilmuan dan ada nilai yang dominan bagi paradigma modern. Postmodernisme bisa dengan bebas untuk memilih sumber, inovatif, melakukan perbaikan, kritikan, penilaian subjektif akan interpretasi sejarah.

Pengembangan kurikulum pada era postmodern akan memberikan argumen terhadap pendekatan tradisional atas logika positivisme modern kepada pelajaran sejarah sebagai sebuah peristiwa yang perlu dipelajari. Kurikulum postmodern akan mendorong refleksi autobiograpikhal,

yang didapat, memperbaiki hasil interpretasi dan mengerti secara kontekstual. Pengetahuan dipahami sebagai ketertarikan refleksi manusia, adanya nilai yang dianut, ada aksi yang dibangun secara sosial (Anonim, 2013).

menjelaskan

pengamatan

Termasuk sejarah kurikulum tidak begitu terlibat dengan pertanyaan epistemologi tradisional dimana pertanyaannya itu mendekati gabungan antara pengetahuan sosiologi. Sejarah kurikulum dengan kata lain, berkonsentrasi secara kritis dengan apa yang akan diambil untuk dijadikan pengetahuan tentunya sesudah ada kepastian waktu dan tempat, daripada hanya membicarakan benar atau valid. Pertanyaan fundamental harus ditempatkan dalam sejarah kurikulum, kemudian dalam hal ini akan tampak perbedaan antara mereka yang pergi ke sekolah dan yang tidak ke sekolah, lalu perkembangan sosial akan dibangun dalam pemahaman yang berbeda, kemudian akan ada kepastian dalam pemahamannya (Anonim, 2013).

Kurikulum juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan nilai.Hubungan antara sosial kemasyarakatan dan kurikulum adalah hubungan timbal balik. Pada teks The Post Modern Condition , Lyotard (1924-1998) menantang apapila ada dugaan secara total dan argumen mengenai Post Modernisme tidak dapat dipisahkan dari adanya ketidakpercayaan atau keraguan terhadap metanaratif. Bagi Lyotard (1924-1998), metanaratif adalah sekumpulan naratif dan sejarah filosofinya. Lyotard(1924-1998) menyimpulkan, metanaratif modern menolak kekhususan, kemungkinan atau hal yang kebetulan, ironi, dan perbedaan (Anonim, 2013).

Henry Giroux (1993), meringkaskan pendapat perspektif Lyotard (1924-1998) mengenai postmodern dengan sangat ringkas: Pendapat Lyotard (1924-1998) menghadirkan sebuah alasan dan consensus, ketika dimasukkan dengan penjelasan yang lengkap yang menyatukan sejarah, dimasukkan dengan emansipasi dan pengetahuan, dan Lyotard (1924-1998) menolak implikasi mereka sendiri dalam menghasilkan pengetahuan dan kekuatan (Anonim, 2013).

Perbincangan Kurikulum postmodern memahami sejarah secara kontekstual, multidimensional, ironik.Para pembelajar di postmodern tidak begitu mudah dalam menyederhanakan bagaimana mengajar sejarah, fakta bahwa sejarah harus dihafal.Karena hasil karya sendiri, lokal dan khusus yang begitu diperlukan untuk memahami sejarah, dan sekarang guru sudah harus mendengarkan para muridnya dan mendengarkan cerita kehidupan mereka (Anonim, 2013).

3. Kegiatan Pembelajaran

Di era postmodern ini terdapat beberapa aliran yang muncul, seperti liberalisme, progresisme, dan lainnya. Dari beberapa aliran tersebut dikemukakan dari aliran progresisme bahwa pada dasarnya proses pendidikan menyangkut dua aspek yaitu psikologi dan sosiologi. Dipandang dari aspek psikologi, pendidikan harus mampu mengetahui tenaga atau daya atau potensi yang dimiliki oleh anak didik dan kemudian harus dikembangkan keberadaannya. Dari aspek sosiologi, pendidikan merupakan sebuah kegiatan yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan masyarakat yang melingkupinya, sebab antara sekolah sebagai tempat dilakukannya proses pendidikan dan masyarakat selalu berdampingan keberadannya. Pendidikan juga merupakan sarana pembaharuan dan perbahan dalam masyarakat (agent of people cange), dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik dan seterusnya (Anonim, 2014).

Sedangkan kegiatan pembelajaran menurut aliran liberalism adalah kegiatan belajar memiliki arti yang besar jika pendidikan tersebut diarahkan oleh siswa, dan guru sebagai fasilitator yang siap sedia untuk membantu penyelesaian masalah yang dihadapi.Hal ini akan menjadi lebih baik dibandingkan dengan pembelajarn yang diarahkan oleh pendidik saja. Pendidik dalam hal ini diposisikan sebagai pengorganisisr dan penuntun kegiatan dan pengalaman belajar (Anonim, 2014).

Pelaksanaan ujian yang bersifat praktek secara langsung dalam kehiduan nyata memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan ujian biasa paper and pencils test yang banyak dilakukan di Indonesia. Selain itu persaingan antar siswa yang bersifat personal tersebut seminim mungkin dihindari, hal ini dikarenakan sikap tersebut cenderung melemahkan motivasi pada diri siswa.Penekanan dalam pembelajaran yang dilaksanakan banyak diarahkan pada afektifnya dalam hal ini motivasi dari- yang nantinya mampu

4. Hasil Belajar Siswa

Namun dalam pandangan kaum postmodernis termasuk Lyotard (1924-1998) bahwa sains ternyata tidak mampu menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua narasi besar telah muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu: kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan dapat membawa umat manusia pada kemajuan (progress).

Dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge Lyotard (1924-1998) diminta untuk menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-20 tersebut. Ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi. (Akhyar, 2007).

Adapun pendidikan dalam arti luas menurut Henderson merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir. (anonim,2013). Berkaitan dengan belajar adalah proses dimana seseorang dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Dari poses belajar sendiri didapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat fakta atau realita yang sesungguhnya dan bukan sebuah opini yang bisa berubah-ubah setiap waktu.