Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan (Food Handler) di Lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2014

(1)

FOOD HANDLER)

DI LINGKUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2014

Oleh :

OLIVIA MONICA D 110100205

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan (Food Handler) di Lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2014. Nama : Olivia Monica D

NIM : 110100205

Pembimbing, Penguji I,

(dr. Sunna Vyatra Hutagalung, MS) (dr. Tetty Aman Nasution, M.Med,Sc.) NIP. 198104032006042002 NIP. 197001091997022001

Penguji II,

(dr. Lita Feriyawati, M.Kes) NIP. 197002082001122001

Medan, Desember 2014 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,SpPD,KGEH) NIP.195402201980111001


(3)

ABSTRAK

Infeksi nematoda usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena prevalensinya masih tinggi yaitu sekitar 45-65%. Penularan infeksi cacing dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler). Untuk memenuhi kebutuhan energi setiap hari, banyak mahasiswa dan dosen yang mengkomsumsi makanan yang dijajakan oleh pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan

(food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional (potong lintang) yang dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU, Medan pada bulan September 2014. Sampel penelitian adalah 25 orang pedagang makanan yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi kecacingan diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Modifikasi Kato-Katz. Observasi juga dilakukan untuk memperoleh data pendukung perihal kondisi perilaku dan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian infeksi kecacingan.

Pada penelitian ini, terdapat 1 orang (1/25) pedagang makanan yang terinfeksi dengan jenis cacing yang menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides. Pedagang makanan yang terinfeksi berjenis kelamin perempuan dan berusia di antara 18-40 tahun. Berdasarkan hasil lembar observasi didapati pedagang makanan yang terinfeksi memiliki perilaku host dan faktor lingkungan yang “Buruk”.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan adalah 4%. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan pedagang makanan.

Kata kunci: angka kejadian, nematoda usus, pedagang makanan, Fakultas Kedokteran USU


(4)

ABSTRACT

Intestinal nematode infection remains a public health problem in Indonesia because of its prevalence is still high at 45-65%. Transmission of helminth infection is assisted by food traders. To meet the energy needs every day, many students and professors who consume foods sold by food traders in the Faculty of Medicine, USU. The purpose of this study is to determine how much the incidence of intestinal nematode infections in food traders (food handler) in the Faculty of Medicine, USU.

This study is a descriptive study with cross-sectional approach conducted in the Faculty of Medicine USU, Medan in September 2014. Samples were 25 food traders are selected according to the criteria of inclusion and exclusion criteria through total sampling technique. Data of helminth infections is taken as the primary data through laboratory feces tests Modified Kato-Katz technique. Observation were also made to support regarding behavior and environmental conditions that affect the incidence of helminth infection.

In this study, there was only one food trader (1/25) were infected, with a type of helminth that infects is Ascaris lumbricoides. Infected food trader is female and aged between 18-40 years. Based on the results of the observation sheet was found that infected food traders host behavior and environmental factors is "Bad".

From these results, it can be concluded that the incidence of intestinal nematode infections in the food trader is 4%. Awareness in maintaining their own health and the environment, as well as periodic health examination needs to be done to improve food trader’s health quality.

Keywords: incidence, intestinal nematode, food traders, Faculty of Medicine, USU


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat dan kesehatan yang telah Ia berikan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian tepat pada waktunya. Judul yang dipilih adalah “Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan (food handler) di Lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2014”, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pembelajaran semester VII di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penulisan karya ilmiah ini, peneliti telah mendapat bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. dr. Sunna Vyatra Hutagalung, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada peneliti, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. dr. Tetty Aman Nasution, M.Med, Sc. dan dr. Lita Feriyawati, M.Kes selaku dosen penguji I dan II yang sudah meluangkan waktu dan pemikiran untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

3. Orang tua peneliti, Dr. Ir. Binsar Situmorang, M.Si, MAP dan Rumondang Pangaribuan, SE yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun material kepada peneliti.

4. Saudara kandung peneliti, Dian C. Anggara, S.Mn, MBA, Carina Shelia, S.Ked dan Jeffrey Fernando Abram yang telah banyak memberikan motivasi dan masukan kepada peneliti.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa pendidikan.


(6)

6. Teman-teman peneliti, Ira, Ncus, Regina, Deasy, Ibrena, Helena, Yandi dan Dedek yang telah banyak memberikan saran dan bantuan kepada peneliti selama penelitian.

Peneliti menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan akibat keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang berarti guna menyempurnakan penelitian ini.

Akhirnya, peneliti mengharapkan semoga karya ilmiah ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, bangsa dan negara, serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Desember 2014 Peneliti,

OLIVIA MONICA D NIM. 110100205


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda ... 5

2.2. Jenis Nematoda Usus... ... 5

2.3. Epidemiologi Infeksi Nematoda Usus ... 6

2.4. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus ... 7 2.5. Jenis Nematoda Usus yang ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted


(8)

2.5.1. Ascaris lumbricoides

2.5.1.1. Siklus Hidup ... 9

2.5.1.2. Gejala Klinis... 11

2.5.1.3. Diagnosa ... 11

2.5.2. Trichuris trichuira 2.5.1.1. Siklus Hidup ... 12

2.5.1.2. Gejala Klinis... 13

2.5.1.3. Diagnosa ... 13

2.5.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (Hookworm) 2.5.1.1. Siklus Hidup ... 14

2.5.1.2. Gejala Klinis... 15

2.5.1.3. Diagnosa ... 15

2.6. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus ... 15

2.7. Transmisi Infeksi Nematoda Usus oleh Pedagang Makanan (food handler)... ... 18

2.8. Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa 2.8.1. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi ... 19

2.8.2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas... ... 19

2.9. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Nematoda Usus ... 19

2.10. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus 2.10.1. Pemberian obat cacing... ... 20

2.10.2. Pendidikan kesehatan (Edukasi) ... 21


(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 22

3.2. Defenisi Operasional... 22

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ... 26

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 27

4.5. Metode Analisis Data ... 28

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 29

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 28

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel... 28

5.1.2.1. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Jenis Kelamin 28 5.1.2.1. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Usia ... 29

5.1.3. Hasil Analisis Data ... 29

5.1.3.1. Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus ... 29

5.1.3.2. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Cacing Nematoda Usus ... 30

5.1.3.3. Deskripsi Hasil Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner... 32

5.1.3.3.1. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Observasi ... 32

5.1.3.3.2. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner ... 34

5.1.3.3.3. Skor Hasil dari Lembar Observasi dan Lembar Kuisoner dan Kategori Pedagang Makanan ... 35


(10)

5.1.3.3.4. Deskripsi Hasil Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi.. 37 5.2. Pembahasan ... 39 5.2.1. Hasil Penelitian ... 39 5.2.2. Lembar Observasi ... 40

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 43 6.2. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor JUDUL Halaman

2.1 Jenis Soil Transmitted Helminths 6

2.2 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides 10

2.3 Siklus Hidup Trichuris trichiura 12

2.4 Siklus Hidup Hookworm 14

2.5 Kerangka Teori Transmisi Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan (Food Handler)

18

3.1 Kerangka Konsep 22

5.1 Hasil Pemeriksaan Mikroskopis (perbesaran 10X) pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi (Positif)


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Jenis Cacing Penyebab Utama Infeksi Nematoda Usus di Seluruh Dunia

7

2.2 Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing 17 5.1 Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan

Jenis Kelamin

28

5.2 Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan Usia

29

5.3 Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Infeksi Cacing Nematoda Usus

30

5.4 Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Cacing Nematoda Usus

31

5.5 Distribusi Frekuensi Jawaban Pedagang Makanan pada Item Observasi Perilaku Host dan Faktor Lingkungan

32

5.6 5.7

5.8

5.9

Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner Skor Hasil dari Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner Pedagang Makanan

Kategori Pedagang Makanan dan Faktor Lingkungan berdasarkan Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner Distribusi Tabulasi Silang Kategori Perilaku dan Faktor Lingkungan Pedagang Makanan dengan Infeksi Kecacingan di Lingkungan Fakultas Kedokteran USU tahun 2014

33 35 36 36 5.10 5.11

Deskripsi Hasil dari Lembar Observasi Perilaku Host dan Faktor Lingkungan pada Pedagang Makanan yang

Terinfeksi (Positif)

Deskripsi Hasil dari Lembar Kuisioner Perilaku Host dan Faktor Lingkungan pada Pedagang Makanan yang Positif

37


(13)

DAFTAR SINGKATAN

USU : Universitas Sumatera Utara STH : Soil Transmitted Helminths


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian

Lampiran 4 Informed Consent

Lampiran 5 Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner

Lampiran 6 Data Induk

Lampiran 7 Output Hasil Penelitian Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian


(15)

ABSTRAK

Infeksi nematoda usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena prevalensinya masih tinggi yaitu sekitar 45-65%. Penularan infeksi cacing dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler). Untuk memenuhi kebutuhan energi setiap hari, banyak mahasiswa dan dosen yang mengkomsumsi makanan yang dijajakan oleh pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan

(food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional (potong lintang) yang dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU, Medan pada bulan September 2014. Sampel penelitian adalah 25 orang pedagang makanan yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi kecacingan diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Modifikasi Kato-Katz. Observasi juga dilakukan untuk memperoleh data pendukung perihal kondisi perilaku dan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian infeksi kecacingan.

Pada penelitian ini, terdapat 1 orang (1/25) pedagang makanan yang terinfeksi dengan jenis cacing yang menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides. Pedagang makanan yang terinfeksi berjenis kelamin perempuan dan berusia di antara 18-40 tahun. Berdasarkan hasil lembar observasi didapati pedagang makanan yang terinfeksi memiliki perilaku host dan faktor lingkungan yang “Buruk”.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan adalah 4%. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan pedagang makanan.

Kata kunci: angka kejadian, nematoda usus, pedagang makanan, Fakultas Kedokteran USU


(16)

ABSTRACT

Intestinal nematode infection remains a public health problem in Indonesia because of its prevalence is still high at 45-65%. Transmission of helminth infection is assisted by food traders. To meet the energy needs every day, many students and professors who consume foods sold by food traders in the Faculty of Medicine, USU. The purpose of this study is to determine how much the incidence of intestinal nematode infections in food traders (food handler) in the Faculty of Medicine, USU.

This study is a descriptive study with cross-sectional approach conducted in the Faculty of Medicine USU, Medan in September 2014. Samples were 25 food traders are selected according to the criteria of inclusion and exclusion criteria through total sampling technique. Data of helminth infections is taken as the primary data through laboratory feces tests Modified Kato-Katz technique. Observation were also made to support regarding behavior and environmental conditions that affect the incidence of helminth infection.

In this study, there was only one food trader (1/25) were infected, with a type of helminth that infects is Ascaris lumbricoides. Infected food trader is female and aged between 18-40 years. Based on the results of the observation sheet was found that infected food traders host behavior and environmental factors is "Bad".

From these results, it can be concluded that the incidence of intestinal nematode infections in the food trader is 4%. Awareness in maintaining their own health and the environment, as well as periodic health examination needs to be done to improve food trader’s health quality.

Keywords: incidence, intestinal nematode, food traders, Faculty of Medicine, USU


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang

Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus. Cacing nematoda usus bersifat kosmopolit terutama ditemukan pada daerah yang lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis, dimana telur dan larva cacing lebih dapat berkembang (de Silva et al., 2003 ; Bethony et al., 2006).

Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliki prevalensi tinggi infeksi cacing di dunia (de Silva et al., 2003). Di Indonesia, infeksi cacing masih merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih tinggi yaitu kurang lebih 45-65%, bahkan di wilayah tertentu yang memiliki sanitasi lingkungan buruk, panas dan kelembaban tinggi prevalensi infeksi cacing bisa mencapai 80% (Ali, 2007).

Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia adalah yang ditularkan melalui tanah atau disebut ”Soil Transmitted Helminths (STH)”. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)adalah infeksi pada manusia yang disebabkan oleh cacing nematoda parasit yang ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi melalui kontak langsung dengan telur parasit atau larva yang berada di tanah (Bethony et al., 2006).

Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths

(STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Empat jenis Soil Transmitted Helminths (STH) yang paling sering menginfeksi adalah

roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), dan

hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan

Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim dingin (Srisari G., 2006).


(18)

Berdasarkan laporan terakhir diperkirakan infeksi Ascaris lumbricoides

sebesar 1,221 miliar, Trichiuris trichiura 795 juta (de Silva et.al, 2003). Infeksi dengan Trichiuris trichiura dan Ascaris lumbricoides secara tipikal diderita pada anak-anak berusia 5-10 tahun, semakin bertambah usia akan menurun dan menetap pada usia dewasa. Profil yang berbeda terjadi pada infeksi cacing tambang dengan intensitas maksimum sampai usia 20-25 tahun(Hotez et al., 2006).

Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) memberikan dampak yang cukup luas. Infeksi STH dapat memperburuk status nutrisi dan menganggu proses kognitif sehingga dapat menurunkan produktifitas penderita dan menurunkan sumber daya manusia (WHO, 2010 ; Depkes RI, 2006). Infeksi STH lebih menyebabkan ketidakmampuan (disability) dibandingkan kematian, beban yang ditanggung masyarakat diukur menggunakan disability-adjusted life years

(DALY) sebagai bagian dari Global Burden of Disease (GBD) (Pullan, Jennifer, Rashmi, dan Simon, 2014). Infeksi cacing tambang menyebabkan hilangnya DALY lebih besar dibandingkan infeksi cacing lainnya. Pengukuran DALY karena cacing tambang masih tetap menurunkan estimasi dari beban sesungguhnya akibat anemia defisiensi zat besi dan kurang energi protein. Anemia defisiensi zat besi diperkirakan menimbulkan kehilangan 12 juta DALY setiap tahunnya dan merupakan masalah gangguan nutrisi terbesar di dunia ( Hotez et al., 2006).

Penularan infeksi cacing salah satunya dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler). Pedagang makanan adalah seseorang yang

Penularan infeksi cacing pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu penularan secara langsung melalui telur cacing yang menempel pada kuku atau tangan yang telah tercemar oleh tanah dengan tinja manusia, ataupun makanan yang telah tercemar telur cacing yang dibantu transmisi dengan angin atau vektor seperti lalat atau serangga, sehingga masuk ke mulut kemudian tertelan dan penularan melalui larva cacing yang menembus kulit yang ditularkan dengan berjalan tanpa alas kaki di tanah yang terkontaminasi.


(19)

seorang tenaga kerja yang bertugas untuk memproses bahan makanan untuk dimasak menjadi makanan (koki atau juru masak) ataupun orang yang berperan sebagai food handler untuk menyajikan makanan kepada pembeli. Tanpa disadari banyak pedagang makanan (food handler) yang terinfeksi cacing merupakan

carrier asymptomatic dimana mereka secara tidak sengaja dapat menularkan kecacingannya kepada para pembeli melalui makanan yang telah terkontaminasi oleh tangan yang terinfeksi telur cacing.

Soil Transmitted Helminth (STH) yang dapat menginfeksi manusia dengan penularan melalui tangan hanya roundworm (Ascaris lumbricoides) dan

whipworm (Trichuris trichiura

Fakultas Kedokteran USU adalah tempat dimana mahasiswa dan dosen setiap harinya beraktivitas dalam kegiatan belajar-mengajar. Mahasiswa rata-rata menghabiskan waktu untuk kuliah dan praktikum minimal enam jam setiap harinya. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, banyak mahasiswa dan dosen yang mengkomsumsi makanan yang dijajakan oleh pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU, dimana tempat tersebut belum pernah dilakukan penelitian yang berhubungan dengan infeksi yang ditularkan melalui pedagang makanan (food handler).

), infeksi hookworm tidak dapat menginfeksi manusia melalui penularan dengan tangan namun pada penelitian ini juga akan dipaparkan angka kejadian infeksi telur hookworm pada pedagang makanan (food handler), dimana pemeriksaan infeksi STH dilakukan dengan menggunakan feses sebagai sampel dan dilakukan pemeriksaan secara kualitatif dengan metode Modifikasi Kato Katz.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan


(20)

1.3. Tujuan penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui distribusi pedagang makanan (food handler) yang terinfeksi nematoda usus berdasarkan usia dan jenis kelamin.

2. Untuk mengetahui distribusi jenis nematoda usus yang menginfeksi pedagang makanan (food handler).

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor host dan lingkungan terhadap infeksi kecacingan pada pedagang makanan (food handler).

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain :

1. Pedagang makanan (food handler) meningkatkan kesadaran dalam pencegahan infeksi danmenyadari dampak dari infeksi tersebut.

2. Mahasiswa dan dosen Fakultas Kedokteran USU mengetahui mengenai kejadian infeksi nematoda usus dan dapat mencegah terjadinya infeksi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

3. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi tentang infeksi nematoda usus.

4. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang infeksi nematoda usus, terutama yang berkaitan dengan penyebaran infeksi nematoda usus melalui pedagang makanan (food handler).


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda

Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi.

2.2. Jenis Nematoda Usus

Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus. Nematoda usus sering disebut sebagai cacing gilig, di antara filum yang lain , filum ini mempunyai anggota terbanyak baik jenis maupun individunya.

Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia adalah yang ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths ”. Empat jenis Soil Transmitted Helminths (STH) yang paling sering menginfeksi adalah roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), dan

hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan

Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim dingin (Srisari G., 2006). Namun STH yang hanya dapat dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler) melalui kontaminasi tangan adalah


(22)

Gambar 2.1. Jenis Soil Transmitted Helminths (STH) (Soedarto, 1991)

2.3. Epidemiologi Infeksi Namatoda Usus

Data WHO menyebutkan lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia menderita kecacingan. Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliki prevalensi tinggi infeksi cacing di dunia (de Silva et.al., 2003). Di Indonesia, infeksi cacing masih merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih tinggi yaitu kurang lebih 45– 65%, bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang memiliki sanitasi lingkungan buruk, panas, dan kelembaban tinggi prevalensi infeksi cacing bisa mencapai 80% (Ali, 2007).


(23)

Cacing penyebab utama di seluruh dunia

Penyakit Perkiraan populasi yang terinfeksi (juta)

Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221

Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

Infeksi cacing tambang 576-740

Strongyloides stercoralis Infeksi cacing benang

(threadworm)

30-100

Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28% Sumber : Bethony dkk, 2006

Tabel 2.1. Jenis Cacing Penyebab Utama Infeksi Nematoda Usus di Seluruh Dunia

2.4. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus

Faktor host dan lingkungan merupakan faktor resiko infeksi cacing pada manusia diantaranya :

1. Faktor individu a. Genetik

Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen yang dapat mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil pemindain terakhir tentang genom memberikan gambaran kemungkinan adanya kromosom 1 dan 13 untuk mengendalikan Ascaris lumbricoides (Hotez et al., 2006).

b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri)

Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya. Pedagang dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).

Menurut Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan


(24)

memakai alat seperti sendok dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang, tangan yang kotor dan kuku jari tangan kotor yang telah terinfeksi telur cacing akan tertelan ketika makan (Onggowaluyo, 2002) .

c. Perilaku

Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing yang tinggi. Selain itu, perilaku manusia yang seringkali kurang memperhatikan pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan terhadap terjadinya infeksi cacing (Hotez et al., 2006).

d. Faktor sosial

Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko terinfeksi cacing (Hotez et al., 2006).

2.Faktor Lingkungan a.Iklim dan Suhu

Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan telur Ascaris lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur Trichuris trichiura pada suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus adalah 28-32°C, sedangkan

Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C (Sutanto, 2008).

b.Tanah

Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari cahaya matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2 μm, mampu menyerap air dan mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan basah dapat saling lengket dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan cacing tambang karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya (Suriptiastuti, 2006).


(25)

c. Sinar matahari

Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar matahari langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari (Brown, 1979).

d. Angin

Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan telur cacing bersama debu (Brown, 1979).

2.5. Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted Helminth)

2.5.1. Ascaris lumbricoides

2.5.1.1. Siklus Hidup

Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat dilihat pada gambar berikut ini :


(26)

Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Dikutip dari :

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Ascariasis: Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:

Keterangan :

1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 per hari, yang akan keluar bersama feses. 2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu di tanah.

3. Perkembangan telur tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum: lembab, hangat, tempat teduh).

4. Telur infektif tertelan.

5. Telur masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mukosa usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru.


(27)

6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam tubuh (Albert, 2006).

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

2.5.1.2. Gejala Klinis

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu, cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif (Sutanto, 2008).

Diagnosa dengan menemukan telur di dalam tinja. Selain itu, diagnosis dapat pula dibuat apabila cacing dewasa yang keluar sendiri baik melalui mulut, hidung, maupun tinja (Srisari G.,2006).


(28)

2.5.2. Trichuris trichiura

2.5.2.1. Siklus Hidup

Gambar 2.3. Siklus Hidup Trichuris trichiura

Dikutip dari :

Gambaran umum siklus hidup cacing Trichuris trichiura dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:

Keterangan :

1. Manusia merupakan hospes perantara cacing ini. Telur yang telah dibuahi keluar bersama tinja.

2.Awalnya telur mengandung dua sel selanjutnya membelah menjadi multiseluler,

kemudian menjadi embrio.


(29)

matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

4. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. 5. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. 6. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari sebanyak 3000-20.000 butir. Cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. Jangka hidup (life span) selama 4-6 tahun, bahkan dapat juga menginfeksi sampai 8 tahun (Srisari G, 2006).

Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannnya dapat terjadi perdarahan. Selain itu, cacing ini mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris trichuira yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.

Infeksi berat Trichuris trichuira sering disertai infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala (Sutanto, 2008).

2.5.2.2. Gejala Klinis

2.5.2.3.Diagnosa

Diagnosa parasit ini dengan ditemukannya telur pada pemeriksaan tinja (Sutanto, 2008).


(30)

2.5.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (hookworm)

2.5.3.1. Siklus Hidup

Gambaran umum siklus hidup cacing hookworm dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.4. Siklus Hidup Hookworm

Dikutip dari :

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:

Keterangan :

1. Telur dikeluarkan oleh hospes bersama tinja

2. Setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rhabditiform. 3. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva

filariform.

4. Larva filariform dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Larva filarform dapat menembus kulit menginfeksi manusia.


(31)

Daur hidupnya sebagai berikut :

Telur → larva rhabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiler darah → jantung kanan → paru → bronkus → trakea → laring → usus halus. (Srisasi G., 2006)

1) Stadium Larva

Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.

2) Stadium Dewasa

Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan gizi penderita (Ferum dan Protein). Tiap cacing Ancylostoma duodenale menyebabkan kehilangan darah 0,08-0,34 cc sehari, sedangkan Necator americanus 0,005-0,1 cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer pada infeksi berat. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun (Srisasi G., 2006).

2.5.3.2. Gejala Klinis

2.5.3.3. Diagnosa

Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Untuk membedakan spesies Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilakukan biakan tinja dengan cara Harada-Mori (Srisasi G., 2006).


(32)

2.6. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi nematoda ususberupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO, 2012).

Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing (Swierczynski, 2010).

Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation method), Metode Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz.

Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing. .

Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing.

Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki


(33)

sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses) (Glinz et al., 2010). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Klasifikasi intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat. Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2. - Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing (WHO, 2012)

No. Klasifikasi Jenis cacing (telur)

Cacing gelang Cacing cambuk Cacing tambang

1. Ringan 1 - 4.999 1 – 999 1 - 1.999

2. Sedang 5.000 - 49.999 1.000 - 9.000 2.000 - 3.999

3. Berat ≥50.000 ≥10.000 ≥4.000

(sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses)

Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara kualitatif dengan Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau negatif cacing pada feses . Angka kejadian infeksi cacing dapat berupa seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.

Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematoda lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.


(34)

2.7. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia oleh Pedagang Makanan (Food Handler)

Gambar 2.5. Kerangka Teori Transmisi Infeksi Nematoda Usus oleh Pedagang Makanan (food handler)

Perilaku / Hiegine Perorangan Pedagang

Makanan (food handler) yang buruk

Pedagang makanan

(food handler)

terinfeksi nematoda usus sebagai karier

asimtomatis

Sanitasi Lingkungan yang buruk

oleh agen :

-Ascaris lumbricoides - Trichuris trichiura

Telur cacing mengkontaminasi tangan atau menempel pada kuku pedagang makanan (food handler)

Pedagang makanan (food handler): - Mengolah makanan - Memasak makanan - Menyajikan makanan

kepada pembeli

Makanan terinfeksi oleh telur cacing melalui kontaminasi tangan

atau kuku pedagang

Makanan dikomsumsi oleh pembeli, telur cacing ikut tertelan bersama dengan

makanan Pedagang makanan

(food handler) tidak mengambil makanan

menggunakan alat seperti sendok atau

sarung tangan

Pembeli terinfeksi Nematoda Usus


(35)

2.8. Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa

2.8.1. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi

Cacing yang menginfeksi manusia membutuhkan makanan untuk hidupnya, semakin banyak cacing yang ada semakin banyak makanan yang dibutuhkan. Dengan demikian, adanya cacing dalam perut mengakibatkan berkurangnya zat gizi yang diserap oleh usus untuk kebutuhan hidup manusia, sehingga mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan gizi. Dengan menurunnya status gizi seseorang, akan mengakibatkan menurunnya daya tahan sehingga lebih mudah untuk terserang penyakit (Hadidjaja, 2005).

2.8.2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas

Menurut penelitian Rukwono (1972), infeksi cacing menurunkan prestasi kerja dan daya tahan tubuh. Selain itu, infeksi cacing dapat mengganggu proses kognitif manusia sehingga dapat menurunkan produktifitas penderita dan menurunkan sumber daya manusia (WHO, 2010; Depkes RI, 2006).

2.9. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi di lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan adalah 1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan menggunting kuku secara rutin.

2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan kurangi intensitas memegang makanan dengan menggunakan tangan.

3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir terlebih dahulu.

4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan menggunakan sabun.


(36)

5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk memakai alas kaki.

2.10. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus

2.10.1. Pemberian obat cacing

Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi cacing di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pirantel pamoat (10 mg / kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram).

Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk mengeluarkan infeksi cacing adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun albendazole dan mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat perbedaan penggunaanya dalam klinik. Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis tunggal. Sebaliknya, albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis. Obat cacing benzimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan. Pirantel pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris , walaupun pirantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis.

Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari


(37)

pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja.

2.10.2. Pendidikan Kesehatan (Edukasi)

Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi nematoda usus, tujuannya adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi kecacingan. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya pengendalian infeksi cacing dan terjadinya reinfeksi (Suriptiastuti, 2006).

2.10.3. Sanitasi

Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan infeksi kecacingan, tetapi supaya intervensi ini efektif harus mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas. Lagipula bila digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif (Suriptiastuti, 2006).


(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, kerangka konsep penelitian ini adalah:

Keterangan gambar :

: variabel yang dilakukan penelitian

: variabel yang diamati dengan menggunakan lembar observasi dan dinilai dengan lembar kuisioner

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus padaPedagang Makanan

(Food Handler)

Pedagang Makanan

(food handler)

Pemeriksaan Laboratorium Feses secara Kualitatif dengan Teknik Modifikasi Kato Katz Faktor Host


(39)

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Pedagang makanan (food handler)

Pedagang makanan adalah seorang tenaga kerja yang bertugas untuk memproses bahan makanan untuk dimasak menjadi makanan (koki atau juru masak) ataupun pedagang yang hanya berperan sebagai food handler untuk menyajikan makanan kepada pembeli yang berjualan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

Batas-batas pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU :

1. Kantin lama Fakultas Kedokteran USU 2. Kantin Internasional (kantin baru) 3. Kantin gedung Abdul Hakim

4. Pedagang kaki lima yang berjualan di depan Fakultas Kedokteran USU dan di samping pintu 1 USU

5. Pedagang kaki lima yang berjualan di dekat gedung Abdul Hakim.

3.2.2. Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan (Food Handler)

Angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan adalah jumlah kejadian infeksi cacing yang hidup dalam usus (nematoda usus) yang menginfeksi pedagang makanan (food handler), yang berhubungan dengan penularan melalui tangan dari pedagang makanan (food handler) ke pembeli yaitu cacing Ascaris lumbricoides dan Trichiuris trichiura dibagi dengan jumlah populasi pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

Pada penelitian ini juga akan dipaparkan angka kejadian infeksi telur

hookworm pada pedagang makanan (food handler) walaupun infeksi hookworm


(40)

Pada penelitian ini, data infeksi nematoda usus diambil sebagai data primer dengan melakukan pemeriksaan feses. Seorang pedagang makanan (food

handler) dinyatakan terinfeksi nematoda usus apabila ditemukan telur cacing pada pemeriksaan feses.

Alat ukur : sampel feses

Cara ukur : pemeriksaan laboratorium feses dengan pemeriksaan kualitatif dengan Teknik Modifikiasi Kato Katz

Skala pengukuran : ordinal

Hasil ukur : terinfeksi : jika ditemukan telur pada pemeriksaan feses

tidak terinfeksi : jika tidak ditemukan telur pada pemeriksaan feses

3.2.3. Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner

Observasi dan kuisioner dilakukan untuk memperoleh data pendukung perihal kondisi perilaku dan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

Alat ukur : Lembar Observasi mencakup 8 item observasi dan Lembar Kuisioner mencakup 6 pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku host dan faktor lingkungan.

Skor 1 untuk setiap jawaban Ya dan 0 untuk jawaban Tidak, dengan total skor sebanyak 14 dari 14 item observasi dan kuisioner.

Cara ukur : Observasi dan Kuisioner Skala pengukuran : Ordinal

Hasil ukur :

Menurut Pratomo dikategorikan atas baik, sedang dan buruk, dengan definisi sebagai berikut:

a. Baik, apabila skor jawaban responden >75% dari nilai tertinggi b. Sedang, apabila skor jawaban responden 40%-75% dari nilai tertinggi c. Buruk, apabila skor jawaban responden <40% dari nilai tertinggi


(41)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional (potong lintang), dimana pengukuran variabel hanya dilakukan satu kali pada satu saat. Penelitian ini mendeskripsikan angka kejadian infeksi cacing nematoda usus pada pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 di lingkungan Fakultas Kedokteran USU, Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pedagang di lingkungan Fakultas Kedokteran USU yang berjumlah 25 orang.

Kriteria inklusi penelitian adalah :

1. Pedagang makanan (food handler) yang berjualan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.

2. Pedagang makanan (food handler) yang bersedia menjadi sampel penelitian dengan menandatangani informed consent dan bersedia dilakukan pemeriksaan feses.

Kriteria eksklusi penelitian adalah:


(42)

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah seluruh anggota dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (total sampling).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, data infeksi nematoda usus pada pedagang makanan diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses rutin. Observasi juga dilakukan untuk memperoleh data pendukung perihal perilaku host dan kondisi lingkungan di lokasi penelitian.

4.4.1. Metode Pengambilan Sampel

1. Pedagang makanan yang bersedia menjadi subjek penelitian menandatangani informed consent dan diberikan botol plastik yang telah diberikan label sesuai karakteristik pedagang (nama, usia, jenis kelamin).

2. Pemberitahuan kepada pedagang waktu pengumpulan spesimen (tinja) sehari sebelumnya.

3. Pada waktu pengumpulan, pedagang mengembalikan botol yang telah berisi tinja kepada peneliti.

4.4.2. Pemeriksaan Tinja dengan Metode Modifikasi Kato Katz

4. Sampel yang dibawa dari subjek penelitian langsung dibawa ke laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran USU untuk diperiksa.

5. Sampel tinja kemudian di periksa dengan Metode Modifikasi Kato Katz.

Alat dan bahan : - sarung tangan - objek gelas - mikroskop

- kertas saring/ tissue - larutan kato

- spidol - objek glass - selofan - botol kecil


(43)

Cara kerja:

1. Pada setiap prosedur pemeriksaan harus menggunakan sarung tangan.

2. Tulislah nomor kode pada objek gelas dengan spidol sesuai dengan yang tertulis di botol plastik.

3. Pada objek gelas yang bersih dan bebas lemak diletakkan tinja sebesar biji kacang hijau, ±50-100 mg dengan menggunakan aplikator.

4. Tinja tersebut ditutup dengan selofan yang sudah direndam di dalam larutan kato.

5. Selofan ditekan-tekan perlahan-lahan dengan botol kecil sampai tinja tersebar serata mungkin di bawah selofan.

6. Sebagai patokan, sediaan yang baik bila diletakkan di atas kertas yang bertulisan, tulisan tersebut masih dapat dibaca.

7. Keringkan larutan yang berlebihan dengan kertas saring/tissue. 8. Diamkan selama 15 menit dalam suhu kamar.

9. Lalu, sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah 100 x (obyektif 10 x dan okuler 10x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (obyektif 40x dan okuler 10x).

10.Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif tiap jenis telur cacing. (Endrawati H., 2011)

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan program SPSS versi 17,0. Rancangan analisis statistik yang akan digunakan adalah analisis univariat. Analisis univariat dilakukan untuk menampilkan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel (Notoadmodjo, 2005 : 188).


(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), yang berlokasi di Jl. Dr. Mansyur No.5 Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Medan.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Subjek dalam penelitian ini terdiri dari pedagang makanan yang berada di lingkungan Fakultas Kedokteran USU. Total sampel adalah 25 orang pedagang. Sampel dipilih dengan teknik total sampling, di mana karakteristik sampel disesuaikan dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi penelitian.

Karakteristik pedagang makanan dideskripsikan berdasarkan jenis kelamin dan usia.

5.1.2.1. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU tahun 2014 berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 13 52

Perempuan 12 48


(45)

Berdasarkan tabel 5.1., distribusi jenis kelamin pedagang makanan memperlihatkan laki-laki ditemukan lebih banyak daripada perempuan pada penelitian ini. Dari 25 orang pedagang makanan, terdapat 13 orang (52%) laki-laki dan 12 orang (48%) perempuan.

5.1.2.2. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Usia

Distribusi pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU tahun 2014 berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase (%)

18-40 18 72

41-60 7 28

Total 25 100

Berdasarkan tabel 5.2., didapati bahwa jumlah pedagang makanan yang berjualan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU pada rentang usia 18-40 tahun sebanyak 18 orang (72%), dan rentang usia 41-60 tahun sebanyak 7 orang (28%).

5.1.3. Hasil Analisis Data

5.1.3.1. Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan di Lingkungan Fakultas Kedokteran USU tahun 2014

Telah dilakukan pemeriksaan mikroskopis di Laboratorium Parasitologi berdasarkan sampel feses yang didapat dari pedagang makanan di lingkungan Fakutas Kedokteran USU dan didapati hasil sebagai berikut.


(46)

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Infeksi Cacing Nematoda Usus di lingkungan Fakultas Kedokteran USU pada Tahun 2014 Infeksi Nematoda Usus Frekuensi Persentase (%)

Positif 1 4

Negatif 24 96

Total 25 100

Berdasarkan tabel 5.3., pedagang makanan yang terinfeksi nematoda usus berjumlah 1 orang dari jumlah pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU adalah 25 orang. Pedagang makanan yang terinfeksi tersebut berjenis kelamin perempuan, berada pada rentang usia 18-40 tahun. Jadi, angka kejadian infeksi nematoda usus dapat di hitung sebagai berikut :

Angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedoteran USU =

= Jumlah pedagang makanan yang terinfeksi nematoda usus (positif)

= 1/25 X 100%

x 100% Jumlah seluruh pedagang makanan (total)

= 4 %

5.1.3.2. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Cacing Nematoda Usus

Distribusi frekuensi pedagang makanan berdasarkan jenis cacing nematoda usus yang menginfeksi pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU pada tahun 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.


(47)

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Cacing Nematoda Usus

Jenis Cacing Frekuensi Persentase (%)

A.lumbricoides 1 4

T.trichiura - -

Hookworm - -

Tidak Terinfeksi 24 96

Total 25 100

Setelah dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis ditemukan jenis cacing nematoda usus yang menginfeksi pedagang makanan tersebut adalah

A.lumbricoides (lihat gambar 5.1.), tidak ada yang terinfeksi T.trichiura, ataupun

Hookworm.

Gambar 5.1. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis (perbesaran 10 X) pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi (Positif)


(48)

5.1.3.3. Deskripsi Hasil Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner Pedagang Makanan

5.1.3.3.1. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Tiap Item Observasi

Distribusi frekuensi jawaban dari tiap item observasi pada lembar observasi tentang perilaku host dan faktor lingkungan pedagang makanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Tiap Item Observasi pada Lembar Observasi

No. Item Observasi Perilaku Host dan Faktor Lingkungan

Ya Tidak

F % F %

1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh makanan

17 68 8 32

2. Menggunakan alat seperti sendok atau sarung tangan sebelum

menyentuh makanan

25 100 0 0

3. Mencuci tangan setelah membersihkan piring yang kotor,

sampah dan sisa makanan

22 88 3 12

4. Mencuci tangan setelah memegang uang

5 20 20 80

5. Menyimpan makanan bersih dan terpelihara yaitu dengan keadaan tertutup, bebas dari debu, asap

ataupun serangga

24 96 1 4

6.. Melakukan pembersihan serta desinfeksi pada peralatan makanan

sebelum dan setelah digunakan


(49)

7. Tempat mencuci tangan (maks.berjarak 10 meter) dari tempat

berjualan

21 84 4 16

8. Lokasi berjualan jauh dengan sumber pencemaran misalnya tempat

pembuangan sampah, tempat pembuangan limbah atau kondisi

tercemar lainnya.

17 68 8 32

Keterangan : F = Frekuensi

Berdasarkan tabel 5.5. pada item observasi perilaku host dan faktor lingkungan pada pedagang makanan di Lingkungan Fakutas Kedokteran USU, yang paling banyak dinilai dengan Ya yaitu item observasi nomor 2 sebanyak 100% diikuti nomor 5 yaitu sebanyak 96%. Sedangkan item observasi yang paling banyak dinilai dengan Tidak yaitu item observasi nomor 4 yaitu sebanyak 80%.


(50)

5.1.3.3.2. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner

Distribusi frekuensi jawaban pada lembar kuisioner tentang perilaku host dan faktor lingkungan pedagang makanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner

No. Pertanyaan Ya Tidak

F % F %

1. Mencuci tangan dengan air bersih dan mengalir

17 68 8 32

2. Mencuci tangan menggunakan sabun 14 56 11 44

3. Mencuci tangan dengan menggosok telapak tangan dan membersihkan

sela sela jari

12 48 13 52

4. Menjaga kebersihan kuku dengan memotong kuku jari secara rutin

16 64 9 36

5. Mencuci tangan setelah membuang kotoran (BAB)

25 100 0 0

6. Tidak pernah mengalami infeksi kecacingan sebelumnya

21 84 4 16

Keterangan : F = Frekuensi

Berdasarkan tabel 5.6. pada lembar kuisioner perilaku host dan faktor lingkungan pada pedagang makanan di Lingkungan Fakutas Kedokteran USU, yang paling banyak dijawab dengan Ya yaitu pertanyaan nomor 5 sebanyak 100%. Sedangkan pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan Tidak yaitu pertanyaan nomor 3 yaitu sebanyak 52%.


(51)

5.1.3.3.3. Skor Hasil dari Lembar Observasi dan Lembar Kuisoner dan Kategori Pedagang Makanan

Distribusi skor hasil dari lembar observasi dan lembar kuisioner dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.7. Skor Hasil dari Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner Pedagang Makanan Pedagang Makanan Skor Lembar Observasi Skor Lembar Kuisioner

Total Kategori

1. 3 1 4 Buruk

2. 5 2 7 Sedang

3. 3 2 5 Buruk

4. 6 6 12 Baik

5. 7 6 13 Baik

6. 8 6 14 Baik

7. 7 6 13 Baik

8. 6 5 11 Baik

9. 6 5 11 Baik

10. 6 3 9 Sedang

11. 6 2 8 Sedang

12. 5 5 10 Sedang

13. 7 5 12 Baik

14. 6 5 11 Baik

15. 7 6 13 Baik

16. 7 5 12 Baik

17. 4 1 5 Buruk

18. 6 6 12 Baik

19. 4 2 6 Sedang

20. 7 5 12 Baik

21. 6 3 9 Sedang

22. 6 3 9 Sedang

23. 7 6 13 Baik

24. 8 6 14 Baik


(52)

Adapun kategori perilaku pedagang makanan dan faktor lingkungan tentang infeksi kecacingan dicantumkan pada Tabel 5.8 berikut ini.

Tabel 5.8 Kategori Perilaku Pedagang Makanan dan Faktor Lingkungan berdasarkan Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner

Kategori N %

Baik 14 56

Sedang 8 32

Buruk 3 12

Total 25 100

Berdasarkan tabel 5.8., perilaku host dan faktor lingkungan pedagang makanan terhadap infeksi kecacingan, yaitu Baik sebanyak 14 orang (56%) pedagang, perilaku Sedang sebanyak 8 orang (32%) pedagang dan perilaku Buruk sebanyak 3 orang (12%) pedagang.

Tabel 5.9. Distribusi Tabulasi Silang Kategori Perilaku dan Faktor Lingkungan Pedagang Makanan dengan Infeksi Kecacingan di Lingkungan Fakultas

Kedokteran USU tahun 2014

No. Kategori Infeksi Kecacingan Jumlah

Terinfeksi Tidak terinfeksi

F % F % F %

1. Baik 0 0 14 56 14 56

2. Sedang 0 0 8 32 8 32

3. Buruk 1 4 2 8 3 12

Total 1 4 24 96 25 100


(53)

5.1.3.3.4. Deskripsi Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi

Hasil observasi pada lembar observasi yang dilakukan pada pedagang makanan yang terinfeksi (positif) sebagai berikut.

Tabel 5.10. Deskripsi Hasil dari Lembar Observasi Perilaku Host dan Faktor Lingkungan pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi (Positif)

No. Item Observasi Perilaku Host dan Faktor Lingkungan

Nilai Ya Tidak 1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah

menyentuh makanan

2. Menggunakan alat seperti sendok atau sarung tangan sebelum menyentuh

makanan

3. Mencuci tangan setelah membersihkan piring yang kotor, sampah dan sisa

makanan

4. Mencuci tangan setelah memegang uang

5. Menyimpan makanan bersih dan terpelihara yaitu dengan keadaan tertutup, bebas dari debu, asap ataupun

serangga

6. Melakukan pembersihan serta desinfeksi pada peralatan makanan

sebelum dan setelah digunakan

7. Tempat mencuci tangan (maks.berjarak 10 meter) dari tempat

berjualan


(54)

pencemaran misalnya tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan limbah atau kondisi

tercemar lainnya.

Tabel 5.11. Deskripsi Hasil dari Lembar Kuisioner Perilaku Host dan Faktor Lingkungan pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi (Positif)

No. Pertanyaan Jawaban

Ya Tidak 1. Mencuci tangan dengan air bersih dan

mengalir

2. Mencuci tangan menggunakan sabun  3. Mencuci tangan dengan menggosok

telapak tangan dan membersihkan sela sela jari

4. Menjaga kebersihan kuku dengan memotong kuku jari secara rutin

5. Mencuci tangan setelah membuang kotoran (BAB)

6. Tidak pernah mengalami infeksi kecacingan sebelumnya

Dari penilaian berdasarkan lembar observasi dan lembar kuisioner di atas, dapat disimpulkan bahwa pedagang makanan yang terinfeksi memiliki perilaku host dan faktor lingkungan yang Buruk (skor total jawaban dari lembar observasi dan lembar kuisioner = 5, < 40% dari nilai tertinggi).


(55)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran USU didapati bahwa pedagang makanan yang terinfeksi berjumlah 1 orang (4%) sedangkan pada 24 orang (96%) pedagang makanan lainnya tidak didapati infeksi nematoda usus. Hal ini menujukkan sebagian besar pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU sudah menjaga kesehatan dirinya dengan baik. Namun terdapat satu orang pedagang makanan (food handler) yang terinfeksi nematoda usus, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti perilaku hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah tangga, tingkat kemiskinan, kondisi alam dan geografi, dan faktor faktor lain yang juga berperan dalam kejadian infeksi kecacingan (Hotez et al., 2006).

Penyakit kecacingan mempunyai prevalensi yang tinggi dan semua umur dapat terinfeksi cacing. Berdasarkan data penilitian pada bulan Agustus tahun 1999 di Kepulauan Seribu, yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan didapati bahwa angka kejadian infeksi kecacingan di Indonesia pada usia dewasa adalah 40 – 60%. Pada penelitian ini didapati bahwa pedagang makanan yang terinfeksi berjenis kelamin perempuan dan usia pedagang makanan yang terinfeksi adalah 18-40 tahun. Pada penelitian ini didapati juga jenis cacing yang menginfeksi pedagang makanan adalah Ascaris lumbricoides.

Menurut Hotez et al. (2006), infeksi dengan Trichiuris trichiura dan

Ascaris lumbricoides secara tipikal diderita pada anak-anak berusia 5-10 tahun, semakin bertambah usia akan menurun dan menetap pada usia dewasa. Hal ini berbeda dengan infeksi Hookworm yang terjadi pada anak usia dini dan remaja kemudian meningkat populasi dewasa, menetap dan menurun dari usia 40 tahun atau lebih. Berdasarkan data infeksi kecacingan pada tahun 1970 di beberapa provinsi di Indonesia seperti Bali, Irian jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan pada usia dewasa didapati prevalensi infeksi Ascaris


(56)

lumbricoides sebanyak 50,8%, Trichuris.trichiura sebanyak 56% dan Hookworm

sebanyak 65,9% (Margono, 2001).

Namun, perbedaan karakteristik infeksi STH berdasarkan usia, jenis kelamin dan jenis cacing yang menginfeksi dapat diakibatkan oleh perbedaan dari karakteristik sampel pada tiap penelitian.

5.2.2. Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner

Perilaku dan sanitasi lingkungan merupakan faktor penting terhadap kejadian infeksi kecacingan. Perilaku merupakan reaksi seseorang terhadap lingkungannya, sedangkan lingkungan merupakan suatu hal yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu. Jika lingkungan mendukung ke arah positif, maka individu akan berperilaku positif, tetapi jika lingkungan sekitar tidak kondusif, maka individu tersebut akan berperilaku kurang baik (Notoatmodjo, 2007).

Dari hasil lembar observasi perilaku host dan faktor lingkungan pada pedagang makanan di Lingkungan Fakutas Kedokteran USU, yang paling banyak dinilai dengan Ya yaitu item observasi nomor 2 sebanyak 100%, yaitu menggunakan alat seperti sendok atau sarung tangan sebelum menyentuh makanan. Dari item observasi tersebut dapat dilihat bahwa pedagang makanan melakukan usaha pencegahan penularan infeksi secara lansung dari tangan ataupun kuku yang terkontaminasi dengan telur cacing kepada pembeli (Onggowaluyo, 2002) diikuti nomor 5 sebanyak 96% yaitu menyimpan makanan bersih dan terpelihara yaitu dengan keadaan tertutup, bebas dari debu, asap ataupun serangga, hal tersebut mendukung dalam pencegahan infeksi kecacingan terutama yang transmisinya dibantu oleh vektor (serangga), dimana telur cacing dapat menempel pada kaki vektor (serangga), begitu juga halnya dengan debu yang transmisi infeksinya dibantu oleh angin (Brown, 1979). Sedangkan item observasi yang paling banyak dinilai dengan Tidak yaitu item observasi nomor 4 sebanyak 80% yaitu mencuci tangan setelah memegang uang. Menurut Stephen


(57)

dari satu orang ke orang lain sebagai alat pembayaran yang sah, dimana uang paling sering terkontaminasi oleh bakteri, jamur dan parasit lainnya, sehingga dapat membantu penularan infeksi.

Dari hasil lembar kuisioner perilaku host dan faktor lingkungan pada pedagang makanan di Lingkungan Fakutas Kedokteran USU, yang paling banyak dijawab dengan Ya pertanyaan nomor 5 sebanyak 100% yaitu mencuci tangan setelah membuang kotoran (BAB). Sedangkan pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan Tidak yaitu pertanyaan nomor 3 sebanyak 52% yaitu mencuci tangan dengan menggosok telapak tangan dan membersihkan sela sela jari. Dari kedua pertanyaan diatas hal ini dapat membantu penyebaran infeksi melalui telur cacing yang menempel pada permukaan tangan dan sela-sela jari (Onggowaluyo, 2002).

Berdasarkan lembar observasi dan lembar kuisioner perilaku pedagang makanan dan faktor lingkungan didapati bahwa pedagang makanan memiliki perilaku Baik tentang infeksi kecacingan, yaitu sebanyak 14 orang (56%), 8 orang (32%) pedagang makanan berperilaku Sedang dan 3 orang (12%) pedagang makanan berperilaku Buruk. Pada hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa kategori pedagang makanan yang Buruk dengan infeksi kecacingan (positif) mempunyai persentase lebih tinggi. Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan di Kecamatan Blang, Mangat, Kota Lhokseumawe yang mendapati bahwa kategori yang Buruk dengan infeksi positif mempunyai persentase yang lebih tinggi (Jalaluddin, 2009). Namun, hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang pada bulan Agustus 2011, didapati yang mempunyai kategori yang Baik dengan infeksi positif (54.5%) lebih banyak daripada kategori yang Sedang dan Buruk.

Perilaku dan faktor lingkungan pedagang makanan yang Buruk dalam penelitian ini belum tentu terinfeksi cacing (positif), infeksi cacing dapat juga pada pedagang makanan yang memiliki perilaku dan faktor lingkungan yang Baik dan Sedang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti perilaku


(58)

hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah tangga, tingkat kemiskinan, kondisi alam dan geografi, dan faktor faktor lain yang juga berperan dalam kejadian infeksi kecacingan (Hotez et al., 2006). Selain itu, infeksi kecacingan juga dipengaruhi oleh karakteristik penjamu seperti imunitas, status gizi, status kesehatan, usia dan jenis kelamin. Di lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi di sekitar tempat berjualan didapati anak dari pedagang makanan tersebut yang masih berusia sekolah dasar. Penularan infeksi kecacingan dapat terjadi dari ibu ke anak tapi tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi dari anak ke ibu, hal ini dikarenakan apabila dalam satu rumah ada yang terinfeksi maka orang lain dalam rumah tersebut dapat tertular infeksi akibat kontak yang terlalu kuat. Namun, pedagang makanan yang terinfeksi cacing (positif) telah diberikan pengobatan untuk pemberantasan infeksi dengan menggunakan mebendazole. Walaupun mebendazole merupakan obat broad-spectrum, obat ini sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis tunggal.


(59)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, kesimpulan penelitian ini adalah: 1. Angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah 4%. Pedagang yang terinfeksi berjumlah 1 orang, berjenis kelamin perempuan dan berada pada rentang usia 18-40 tahun.

2. Jenis nematoda usus yang menginfeksi pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah Ascaris lumbricoides. 3. Dari 25 orang pedagang makanan berdasarkan lembar observasi perilaku pedagang dan faktor lingkungan, terdapat perilaku Baik paling banyak yaitu sebanyak 14 orang (56%).

4. Perilaku pedagang makanan yang terinfeksi nematoda usus adalah Buruk.

6.2. Saran

Selama proses pelaksanaan penelitian, penulis menemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dibenahi untuk meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan, serta penelitian. Berdasarkan hal tersebut, saran penulis adalah

1. Pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara lebih membangun kesadaran untuk menjalankan hidup sehat, baik di dalam rumah, lokasi berjualan maupun di lingkungan sekitar.

2. Sebagai mahasiswa kedokteran sebaiknya memberikan edukasi kesehatan kepada pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(60)

3. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian yang lebih baik dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan variabel yang lebih bervariasi.

4. Dianjurkan lebih banyak penelitian yang berhubungan dengan infeksi kecacingan pada dewasa karena data infeksi kecacingan pada dewasa sangat minim.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Bethony, J., et al., 2006. ”Soil Transmitted Helminth Infection : Ascariasis, Trichuriasis, and Hookworm. Lancet, 367: 1521-1532. Diunduh dari:

Brown. H. 1979. Dasar Parasitologi klinis. Gramedia, Jakarta

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Ascariasis : Biology, Atlanta: Center for Disease Control and Prevention. Diunduh dari: 2014].

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Hookworm : Biology, Atlanta: Center for Disease Control and Prevention. Diunduh dari: 2014].

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis : Biology, Atlanta: Center for Disease Control and Prevention. Diunduh dari: 2014].

Dahlan, S. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan edisi ke 2. Jakarta, Salemba Medika, 2009. De Silva N., Brooker S., Bethony J. 2003. Soil transmitted helminth infections:

The Nature, Causes and Burden of the Condition. Working paper No.3, Disease Control Priorities Project. Bethesda, Maryland : Fogarty International Center, National Institute of Health

.

Diunduh dari :


(62)

Endrawati, H., 2011. Pemeriksaan Tinja Metode Kato Katz. Diunduh dari :

Glinz, D., et al., 2010. Comparing Diagnostic Accuracy of Kato-Katz, Koga Agar Plate, Ether-Concentration, and FLOTAC for Schiscosoma mansoni and Soil-Transmitted Helminths. PLoS Negl Trop Dis, 4 (7): e754 (110). Diunduh dari:

54.pdf

Hotez, P. J., et al., 2006. Helminth Infections : Soil - Transmited Helminth Infection and Schistomiasis. Dalam: Jamison, D. T., et al., ed. Diseases Control Priorities in Developing Countries. 2ndEdition. Washington (DC):World Bank, 467-481.

Diunduh dari :

[Diakses 18 April 2013].

Hotez, P. J., et al., 2006. Hookworm Infection. N Engl J Med, 19(5): 47-51.

Diunduh dari [Diakses Mei 2014].

Jalaluddin. 2009. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal, Higiene dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe tersedia dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6730/1/09E01727.pdf

Margono, S.S. (2001). Review on the control of soil-transmitted helminthiases in Indonesia: the role of parasitologists. In Collected Papers on the Control of Soil-transmitted Helminthiases. Ed. Hayashi, S. pp. 169-172.

, diunduh November 2014

Natadisastra, D., Agoes R., 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.


(63)

Notoatmodjo S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Onggowoluwo J.S., 2002. Parasitologi Medik (Helmintologi) Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnostik dan Klinik, Jakarta: EGC.

Pratomo H., dan Sudarti., 1986. Pedoman Pembuatan usulan Penelitian Bidang Kesehatan Masyarakat dan KB/Kependudukan. Depdikbud, Jakarta. Sastroasmoro, S., dan Sofyan, I., 2002. Dasar-dasar Metodologi

Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto

Srisari, G., 2006. Parasitologi Kedokteran edisi ke 3. Jakarta: EGC

Diunduh dari :

HASH11e/3086d1cd.dir/doc.pdf

Supali, T., Margono, S. S., dan Abidin, S. A. N., 2008. Nematoda Usus. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P. K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi ke 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 6-25.

. [Diakses 20 Mei 2014]

Suriptiastuti, 2006. Infeksi Soil-Transmitted Helminth: Ascariasis, Trichiuriasis dan Cacing Tambang. Universa Medicina 25 (2): 84-91 [Diakses Mei 2014]

Swierczynski, G., 2010. The Search for Parasites in Fecal Specimens. Diunduh

dari:[Diakses Mei 2014]

WHO, 2012. Weekly Epidemiological Record. Geneva: 83:237–252. Diunduh dari:


(64)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Olivia Monica D

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 20 September 1994 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Komp. Taman Setia Budi Indah blok F No.64 Medan

Riwayat Pendidikan : 1. TK Fajar Medan (1997-1999) 2. SD St. Antonius II Medan (1999-2005) 3. SMP St. Thomas 1 Medan (2005-2008) 4. SMA Negeri 1 Medan (2008-2011) 5. Fakultas Kedokteran USU (2011- sekarang) Pengalaman Kepanitiaan : 1. Pantia Perayaan Natal FK USU 2012

2. Panitia Perayaan Paskah FK USU 2012-2013 3. Panitia Porseni FK USU 2013


(65)

Karya Ilmiah :

1. Karya Tulis Ilmiah berjudul : Griffithsin (GRFT) : Mikrobisida dalam tanaman tembakau (Nicotiana sp.) sebagai alternatif pencegahan transmisi HIV/AIDS di Indonesia.

Pengalaman Seminar dan Pelatihan :

1. Seminar Nasional : “Supporting the survivors and never ever giving up on Leukimia”, Scripta Research Festival (SRF) 2014 di Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Seminar Internasional : “Basic & Clinical Update on Vaccine & Occupational Health for TB and MersCov”, Scientific Project and Olympiad of Sriwijaya (SPORA) 2014 di Universitas Sriwijaya, Palembang.

3. Seminar Nasional : “Optimalisasi Derajat Kesehatan dalam Peningkatan Wawasan dan Pengetahuan TRIAD KKR : Tiga Resiko Kesehatan reproduksi Remaja : Seksualitas, HIV/AIDS, dan NAPZA” Indonesian Scientific Competiton (IDENTIC) 2014 di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Pengalaman Lomba :

1. 10 Finalis Terbaik Medical Competition bidang Respiratory System dalam acara Scientific Project and Olympiad of Sriwijaya (SPORA) tahun 2014 di Universitas Sriwijaya, Palembang.

2. 8 Besar Finalis Karya Tulis Ilmiah tingkat Nasional dalam acara

Indonesian Scientific Competiton (IDENTIC) tahun 2014 di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.


(66)

Lampiran 2. Lembar Ethical Clearence


(67)

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian


(68)

Lampiran 4.

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Umur : Pekerjaan : Alamat :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian yang berjudul

“ ANGKA KEJADIAN INFEKSI NEMATODA USUS PADA PEDAGANG

MAKANAN (FOOD HANDLER) DI LINGKUNGAN FAKULTAS

KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2014”, maka dengan ini secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan bersedia ikut berpartisipasi sebagai salah seorang responden dalam penelitian ini. Semua informasi yang berkaitan dengan identitas responden akan dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti. Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan, September 2014


(69)

Lampiran 5.

LEMBAR OBSERVASI DAN LEMBAR KUISIONER “ANGKA KEJADIAN INFEKSI NEMATODA USUS

PADA PEDAGANG MAKANAN (FOOD HANDLER) DI LINGKUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU TAHUN 2014”

Nomor Responden : I.Identitas Pedagang

1.Nama : ...

2.Umur : ... Tahun 3.Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

II. Lembar Observasi

No. Item Observasi Perilaku oleh Pedagang Makanan

Ya Tidak

1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh makanan

2. Menggunakan alat seperti sendok atau sarung tangan sebelum menyentuh makanan 3. Mencuci tangan setelah membersihkan piring

yang kotor, sampah dan sisa makanan 4. Mencuci tangan setelah memegang uang 5. Menyimpan makanan bersih dan terpelihara yaitu

dengan keadaan tertutup, bebas dari debu, asap ataupun serangga

6.. Melakukan pembersihan serta desinfeksi pada peralatan makanan sebelum dan setelah


(1)

Statistics

HasilPenelitian

N Valid 25

Missing 0

HasilPenelitian

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Positif 1 4.0 4.0 4.0

Negatif 24 96.0 96.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Statistics

O1 O2 O3 O4 O5 O6 O7 O8 N Valid 25 25 25 25 25 25 25 25

Missi ng

0 0 0 0 0 0 0 0

O1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 8 32.0 32.0 32.0

Ya 17 68.0 68.0 100.0


(2)

O2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 25 100.0 100.0 100.0

O3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 3 12.0 12.0 12.0

Ya 22 88.0 88.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

O4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 20 80.0 80.0 80.0

Ya 5 20.0 20.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

O5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 1 4.0 4.0 4.0

Ya 24 96.0 96.0 100.0


(3)

O6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 7 28.0 28.0 28.0

Ya 18 72.0 72.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

O7

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 4 16.0 16.0 16.0

Ya 21 84.0 84.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

O8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 8 32.0 32.0 32.0

Ya 17 68.0 68.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Statistics

Kategori

N Valid 25


(4)

Statistics

Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 N Valid 25 25 25 25 25 25

Missi ng

0 0 0 0 0 0

Q1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 8 32.0 32.0 32.0

Ya 17 68.0 68.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Q2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 11 44.0 44.0 44.0

Ya 14 56.0 56.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Q3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 13 52.0 52.0 52.0

Ya 12 48.0 48.0 100.0


(5)

Q4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 9 36.0 36.0 36.0

Ya 16 64.0 64.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Q5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 25 100.0 100.0 100.0

Q6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 4 16.0 16.0 16.0

Ya 21 84.0 84.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Kategori

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Buruk 3 12.0 12.0 12.0

Sedang 8 32.0 32.0 44.0

Baik 14 56.0 56.0 100.0


(6)

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Ket. Gambar (1) : Beberapa Pedagang Makanan yang Menjadi Sampel Penelitian

Ket Gambar (2) : Beberapa Sampel Feses yang dilakukan Pemeriksaan di Lab.

Parasitologi FK USU