Formulasi Media dan Kondisi Hidrolisis Enzimatik

18 pemurnian terlebih dahulu. Hal ini diperkuat dari penampakan fisik minyak ikan hasil samping pengalengan ikan lemuru yang berwarna kuning keemasan, jernih, dan berbau segar khas minyak ikan. Faktor umur minyak ikan juga berpengaruh terhadap jumlah asam lemak bebas dalam minyak ikan. Hasil pengujian bilangan asam menunjukkan bahwa minyak ikan yang digunakan masih relatif segar atau merupakan minyak hasil samping dari proses pengolahan ikan lemuru terbaru. Minyak ikan belum mengalami proses penyimpanan yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah asam lemak bebasnya. Bilangan penyabunan adalah jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Tiga molekul KOH akan bereaksi dengan satu molekul minyak. Besar bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul minyak. Minyak yang terdiri dari asam lemak berantai panjang memiliki bobot molekul lebih tinggi. Besar bilangan penyabunan dan berat molekul minyak berbanding terbalik Ketaren, 2005. Bilangan penyabunan minyak ikan yang diujikan adalah 184,38948 mg KOHg minyak. Bilangan penyabunan ini lebih kecil dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak ikan yang digunakan dalam penelitian Octavia 2010 yaitu sebesar 204,81 mg KOHg minyak. Nilai bilangan penyabunan minyak ikan ini nantinya digunakan untuk menghitung besarnya tingkat hidrolisis minyak ikan. Pada pengukuran bilangan asam dan bilangan penyabunan pada lampiran 1 digunakan faktor pengali sebesar 56,1 untuk KOH dan 39,9 untuk NaOH. Faktor pengali tersebut adalah besar bobot molekul larutan yang digunakan untuk titrasi dalam pengukuran bilangan asam. Pada pengujian bilangan asam dan bilangan penyabunan minyak ikan pada penelitian ini menggunakan larutan KOH, sehingga digunakan faktor pengali sebesar 56,1. Kadar FFA Free Fatty Acid merupakan ukuran kualitas minyak ikan dan dinyatakan dalam FFA atau angka asam. Angka keasaman merupakan salah satu indikator penting penentuan mutu minyak goreng. Kadar FFA minyak ikan yang diujikan adalah sebesar 1,36. Nilai kadar minyak ikan ini lebih kecil dari kadar minyak ikan yang digunakan dalam penelitian Octavia 2010 sebesar 1,49. Hal ini menunjukkan bahwa minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan minyak ikan kualitas cukup baik dan proses hidrolitik yang terjadi masih relatif kecil.

4.2 Penggandaan Skala Hidrolisis Enzimatik

4.2.1 Formulasi Media dan Kondisi Hidrolisis Enzimatik

Proses hidrolisis enzimatik menggunakan lipase Aspergillus niger pada produksi omega-3 dari minyak ikan lemuru mula-mula dilakukan pada skala kecil. Proses hidrolisis enzimatik skala kecil dilakukan pada penelitian Octavia 2010, dimana hidrolisis enzimatik dilakukan dalam skala terkecil laboratorium dengan basis minyak ikan sebesar 4 gram dengan penambahan pelarut heksana, penambahan air 5 vv minyak, dan buffer pH 5 pada suhu 45 o Penggandaan skala hidrolisis enzimatik dalam penelitian ini dilakukan di laboratorium dengan menggunakan shaker waterbath dan batang pengaduk. Penggunaan shaker waterbath bertujuan untuk menciptakan suhu lingkungan optimum bagi enzim untuk bekerja menghidrolisis minyak ikan dan C selama 48 jam. Penggandaan skala hidrolisis enzimatik untuk produksi omega-3 dilakukan pada skala 5 kali, 10, kali, 20 kali, dan 50 kali. Penggandaan skala ini dilakukan untuk mempelajari faktor-faktor pendukung penggandaan skala dan pengaruhnya terhadap rendemen omega-3 yang dihasilkan. Studi dan konsep ini lebih lanjut dapat dipergunakan untuk meningkatkan produksi omega-3 dalam skala komersil atau skala industri. 19 menghasilkan omega-3, khususnya EPA dan DHA. Shaker waterbath dioperasikan pada suhu 50 o C. Penggunaan suhu tersebut didasarkan pada suhu optimum hidrolisis enzimatik yang diperoleh dari penelitian Octavia 2010 dan wadah yang digunakan pada proses hidrolisis enzimatik. Hasil penelitian Octavia 2010 menyatakan bahwa suhu optimum hidrolisis enzimatik adalah 45 o C. Pada penggandaan skala hidrolisis, wadah yang digunakan adalah wadah gelas berbentuk silinder. Untuk menaikkan dan menjaga suhu minyak ikan sebagai substrat pada suhu 45 o C, maka shaker waterbath harus diset pada suhu 50 o C. Panas pada air dalam shaker waterbath akan merambat secara konveksi. Panas akan tertahan akibat adanya hambatan dari bahan gelas pada wadah yang digunakan, sehingga dibutuhkan suhu lebih tinggi untuk mencapai suhu kesetimbangan guna memanaskan minyak ikan pada suhu 45 o C. Perbedaan suhu bagian luar dan bagian dalam wadah gelas tidak boleh lebih dari 27 o C dan pemanasan harus dilakukan secara perlahan-lahan. Hal ini dikarenakan konduktivitas panas gelas 30 kali lebih kecil dari konduktivitas panas besi konduktivitas besi sebesar 80.4 W·m −1 ·K −1 . Hasil pengujian menunjukkan pemanasan minyak ikan lemuru dalam wadah gelas pada suhu 50 o C dapat menaikkan suhu minyak menjadi 45 o Minyak ikan dipanaskan guna memberikan kondisi optimum bagi enzim untuk bekerja. Lipase Aspergillus niger bekerja secara optimum pada suhu 45 C. o Pada proses pemanasan, minyak diletakkan dalam wadah gelas bertutup. Penggunaan wadah gelas bertujuan untuk mencegah terpaparnya minyak dengan udara yang mengandung oksigen. Wadah dari bahan gelas dianggap mewakili tangki reaktor curah berbahan kaca, dimana bahan ini merupakan bahan yang sesuai untuk melakukan proses hidrolisis secara enzimatik. Pemilihan wadah berbahan gelas didasarkan pada karakteristik gelas yang menguntungkan, seperti sifat kedap air, gas, dan bau, inert tidak bereaksi atau bermigrasi ke dalam bahan, sesuai untuk bahan yang mengalami proses pemanasan, transparan isi dan proses yang terjadi dapat terlihat, rigid kaku, dan kuat. Gelas jenis pyrex tahan terhadap suhu tinggi. Daya tahan gelas pada umumnya mencapai 1,5 x 10 C. Pemanasan minyak ikan dilakukan dengan media perantaraan air atau tanpa kontak langsung dengan sumber panas. Pemanasan menyebabkan tiga macam perubahan kimia pada minyak dan lemak, yaitu terbentuknya peroksida dalam asam lemak tidak jenuh, peroksida berdekomposisi menjadi persenyawaan karbonil, dan polimerisasi oksidasi sebagian Ketaren, 2005. Dekomposisi minyak dapat terjadi pada proses pemanasan bahan yang terpapar udara. Reaksi yang terjadi pada permukaan minyak akan berbeda dengan reaksi pada bagian tengah minyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kimia pada minyak yang dipanaskan antara lain durasi waktu pemanasan, suhu, akselerator oksigen atau hasil-hasil proses oksidasi, dan komposisi serta posisi campuran asam lemak yang terikat pada molekul trigliserida Ketaren, 2005. Pemanasan minyak pada kondisi terbuka terpapar udara menyebabkan senyawa karbonil dalam minyak bertambah selama proses pemanasan. Asam lemak jenuh murni dapat terhidrogenasi dan membentuk senyawa tidak jenuh pada suhu tinggi dengan akselerator oksigen. Asam lemak jenuh yang terkonversi menjadi senyawa tidak jenuh dengan rantai pendek ikut terbuang bersama dengan hasil kondensasi. 5 kgcm 2 Wadah dilengkapi tutup untuk mencegah kontaminasi bahan selama proses pemanasan. Air sebagai penghantar panas ketika dipanaskan akan mencapai titik didih dan titik uap pada suhu tertentu. Air yang berubah menjadi uap dapat mengkontaminasi minyak ikan dalam wadah jika wadah berada dalam keadaan terbuka. Uap air ini akan menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis pada minyak dan lebih lanjut menimbulkan ketengikan pada minyak ikan. Pencegahan hidrolisis oleh air perlu dilakukan karena proses utama yang akan diterapkan adalah hidrolisis menggunakan katalis enzim. Selain reaksi hidrolisis, kontaminasi pada wadah terbuka dapat berupa terjadinya reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi terjadi akibat sejumlah gas oksigen mengisi ruang dalam wadah dan berikatan dengan . Daya tahan gelas dipengaruhi oleh komposisi, ketebalan, dan bentuk wadah gelas. 20 asam lemak dari minyak. Hal ini menyebabkan penurunan mutu minyak ikan yang akan digunakan karena minyak akan terkonversi menjadi asam lemak bebas. Pada wadah terbuka, kotoran dan debu ringan yang melayang diudara dapat masuk ke dalam wadah dan mengkontaminasi minyak. Kontaminasi ini akan berpengaruh pada kinerja enzim. Selama proses pemanasan, pelarut organik ditambahkan ke dalam minyak. Penambahan pelarut organik dalam minyak bertujuan untuk menciptakan lingkungan hidrofobik bagi enzim dan menekan terjadinya reaksi hidrolisis oleh air. Pelarut organik yang ditambahkan adalah heksana yang bersifat non polar hidrofobik dengan nilai log P 3,5. Penambahan pelarut heksana ke dalam minyak ikan akan membuka lid enzim dan meningkatkan daya larut substrat menuju sisi aktif enzim, sehingga memudahkan terjadinya reaksi hidrolisis. Krienger et al. 2004 menyatakan bahwa stabilitas protein enzim akan lebih baik dan meningkat pada penggunaan pelarut organik hidrofobik dengan nilai log P antara 2 sampai 4. Pelarut heksana mudah menguap dan memiliki bau yang sangat tajam. Wadah gelas bertutup menekan proses penguapan heksana. Secara terpisah larutan enzim disiapkan dengan cara melarutkan sejumlah enzim dalam larutan buffer. Buffer yang digunakan adalah buffer sitrat fosfat. Buffer sitrat fosfat dibuat dalam kondisi asam. Buffer ini memiliki pH 5 dengan tujuan menciptakan lingkungan yang asam bagi proses hidrolisis secara enzimatis. Penelitian yang dilakukan oleh Octavia 2010 menunjukkan bahwa lipase Aspergillus niger memberikan hasil terbaik pada hidrolisis dengan menggunakan media pH 5. Pernyataan ini diperkuat oleh Petersen et al. 2001 yang menyatakan bahwa lipase dari Aspergillus niger akan aktif pada kondisi lingkungan yang asam dengan aktivitas optimum pada pH 4,5-6,5. Titik isoelektrik lipase Aspergillus niger berada pada pH 4,1. Lipase Aspergillus niger yang diproduksi oleh Amano Pharmaceutical Manufacturing Co. memiliki aktivitas enzim sebesar 12.000 U, suhu proses 30-40 o Air dibutuhkan untuk mengaktifkan sisi aktif enzim yang bersifat hidrofilik. Air diperlukan untuk integritas tiga dimensi struktur molekul enzim. Setelah air ditambahkan, larutan enzim dimasukkan ke dalam wadah berisi minyak. Penelitian yang dilakukan Octavia 2010 menyatakan penambahan air minimum pada hidrolisis minyak ikan lemuru menggunakan lipase Aspergillus niger adalah 5 vv. Air yang ditambahkan ke dalam minyak yang diperkaya pelarut organik akan membentuk lapisan tunggal monolayer dan menutup permukaan enzim. Air menjaga agar lipase dapat mengaktifkan sisi katalitiknya dan memelihara struktur alaminya. Struktur alami enzim diperlukan untuk terjadinya proses migrasi asil ke arah pembentukan produk berupa omega-3. Hal ini sesuai dengan pernyataan Turner et al. 2003 bahwa kondisi lingkungan hidrofobik aktivitas katalitik enzim tertinggi diperoleh pada penggunaan air kurang dari 10 vv larutan. C, dan pH 4,5-6,5 seperti tertera pada label kemasan. Aktivitas enzim sebenarnya diasumsikan sama dengan aktivitas enzim pada label. Lipase Aspergillus niger berbentuk serbuk kecokelatan dalam kemasan botol gelas berwarna gelap. Tiap botol berisi 10 gram enzim dengan aktivitas 12.000 U. Lipase Aspergillus niger dilarutkan dalam buffer pH 5 dan dilakukan proses pencampuran dengan pengadukan secara manual. Enzim yang dicampurkan ke dalam buffer pada mulanya akan menggumpal dan setelah mengalami pengadukan akan menjadi larutan yang homogen. Pencampuran enzim dan buffer membutuhkan ketepatan dan waktu yang relatif lama. Ketepatan dibutuhkan untuk memastikan enzim telah larut dan homogen dengan buffer. Enzim yang tidak tercampur dengan baik akan membentuk gumpalan berukuran kecil. Hal ini akan menurunkan kinerja enzim. Waktu yang dibutuhkan untuk melarutkan enzim adalah relatif lama, khususnya untuk menjamin enzim benar-benar tercampur dan larut dalam buffer. Pengujian dilakukan dengan dua cara penambahan air. Penambahan air pertama dihitung berdasarkan volume minyak dan buffer 5 vv minyak dan buffer. Penambahan air kedua dihitung berdasarkan volume minyak 5 vv minyak. Tingkat hidrolisis minyak ikan dengan penambahan air 21 5 vv minyak dan buffer pada penggandaan skala 5 kali adalah sebesar 14,5504. Tingkat hidrolisis minyak ikan dengan penambahan 5 vv minyak pada penggandaan skala 5 kali adalah sebesar 11,9367. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan air sebesar 5 vv dihitung berdasarkan volume minyak dan buffer. Penambahan air kurang dari batas minimum menyebabkan proses hidrolisis tidak berjalan secara maksimal. Hal ini dikarenakan air dalam jumlah sedikit tidak dapat menutup keseluruhan permukaan enzim dan sisi katalitik enzim tidak teraktivasi secara optimal. Pembilasan dengan gas nitrogen dilakukan pada akhir persiapan hidrolisis enzimatik. Oksigen terperangkap dan mengisi ruang dalam wadah berisi minyak ikan. Keberadaan oksigen dapat merugikan selama proses hidrolisis berlangsung. Oksigen dapat menyebabkan terjadinya oksidasi. Oksigen dapat bereaksi dengan minyak ikan dan mengubah karakteristik minyak, khususnya pada flavor minyak ikan dan produk hidrolisis. Pembilasan dilakukan dengan cara mengalirkan sejumlah gas nitrogen ke dalam media yang telah disiapkan. Nitrogen akan berpenetrasi dan mengisi ruang dalam wadah. Nitrogen tidak bereaksi dengan media, sehingga tidak menimbulkan perubahan yang tidak menguntungkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jegtvig 2013 bahwa pembilasan dan pengisian gas nitrogen juga diterapkan pada proses pengemasan bahan pangan. Cara ini telah banyak dilakukan karena mampu menjaga cita rasa produk pangan yang dikemas dan produk aman untuk dikonsumsi. Hidrolisis enzimatik minyak ikan untuk menghasilkan omega-3 dilakukan pada kondisi kultur curah, dimana bahan masuk pada satu tahapan dan keluar pada tahapan akhir. Oksigen dapat menyebabkan reaksi oksidasi yang tidak diinginkan pada minyak ikan. Penggandaan skala hidrolisis enzimatik minyak ikan lemuru dilakukan secara bertahap mulai dari penggandaan 5 kali hingga 50 kali. Parameter yang diamati pada penggandaan skala antara lain pengaruh rasio diameter wadah dan diameter pengaduk serta kecepatan pengadukan. Desain penggandaan skala hidrlosis enzimatik minyak ikan lemuru untuk produksi omega-3 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Desain penggandaan skala hidrolisis enzimatik Skala Volume Total ml Diameter Wadah m Diameter Pengaduk m Kecepatan Pengadukan rpm 5 52,76 0,06 0,052 200 10 105,52 0,06 0,052 210 20 211,05 0,06 0,052 250 50 527,62 0,11 0,052 500 Hidrolisis enzimatik pada minyak ikan lemuru berlangsung selama 48 jam dalam kondisi kultur curah. Pada akhir hidrolisis, metanol ditambahkan ke dalam wadah. Jumlah metanol yang ditambahkan sama dengan jumlah heksana yang digunakan. Metanol berfungsi menghentikan kerja enzim, sehingga proses hidrolisis enzimatik terhenti. Produk hasil hidrolisis enzimatik harus dipisahkan terlebih dahulu dari larutan dengan cara pemisahan dalam corong pemisah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. 22 Gambar 9. Pemisahan produk dalam corong pemisah Proses pemisahan dalam corong pemisah menyebabkan larutan terbagi menjadi dua lapisan. Lapisan bawah berwarna kecokelatan, cair, dan keruh. Lapisan atas berwarna kekuningan, semi padat, dan mengapung. Lapisan bagian bawah terdiri dari larutan buffer, air, heksana, dan metanol. Lapisan atas terdiri atas asam lemak hasil hidrolisis dan sedikit heksana yang masih terikat. Lapisan bawah harus dipisahkan dari produk. Hasil pemisahan akan menyisakan lapisan atas yang semi padat seperti pada Gambar 10. Gambar 10. Lapisan atas yang telah terpisah Lapisan atas merupakan produk hidrolisis yang mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh. EPA dan DHA menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Keberadaan omega-3 dalam hasil hidrolisis baru dapat diketahui setelah melakukan analisa dengan menggunakan alat Gas Chromatography Mass Spectrofotometry GC-MS. Produk yang akan dianalisa masih mengandung sejumlah pelarut organik heksana. Heksana dapat dipisahkan dengan menguapkannya pada suhu diatas 69 o C. Suhu 69 o C merupakan titik didih heksana. Pada penggunaan dalam jumlah kecil, heksana dapat diuapkan dengan cara diangin-anginkan atau dibiarkan dalam keadaan terbuka diudara. Namun, pada penggunaan dalam jumlah besar heksana harus dipisahkan dengan proses evaporasi pada suhu diatas titik didihnya. Heksana bersifat mudah terbakar, sehingga pada saat diuapkan harus dijauhkan dari sumber api untuk 23 mencegah timbulnya api yang berdampak pada kebakaran. Produk yang telah terpisah sepenuhnya dari heksana dianalisa dengan dua uji, yaitu analisa bilangan asam dan GC-MS. 4 .2.2 Pengaruh Ratio DtDi dan Kecepatan Pengadukan terhadap Bilangan Asam Bilangan asam merupakan analisa pada minyak untuk mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam minyak yang telah dihidrolisis. Penggandaan skala dilakukan untuk meningkatkan produk hidrolisis yang diinginkan yaitu berupa omega-3 khususnya EPA dan DHA. Keberhasilan hidrolisis pada minyak dapat diketahui dari nilai bilangan asam. Hidrolisis yang berjalan baik akan meningkatkan jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Hidrolisis mengubah minyak menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Semakin tinggi nilai bilangan asam dari produk hidrolisis yang diujikan, maka semakin banyak asam lemak bebas yang terbentuk. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa proses hidrolisis enzimatik berjalan dengan baik. Pengaruh penggandaan skala terhadap bilangan asam produk yang dihasilkan disajikan dalam Gambar 11. Gambar 11. Kurva pengaruh ratio DtDi terhadap bilangan asam Berdasarkan Gambar 11, ratio DtDi mempengaruhi peningkatan bilangan asam produk hidrolisis. Asam lemak bebas terbentuk dari pemotongan rantai panjang asam lemak pada posisi 1,3 untuk menghasilkan asam lemak omega-3 yang diinginkan. Data menunjukkan hidrolisis enzimatik yang dilakukan pada skala 10 kali dengan ratio DtDi 1,1538 meningkatkan bilangan asam produk dari 71,4921 mg KOHg minyak menjadi 133,722 mg KOHg minyak. Peningkatan nilai bilangan asam juga ditunjukkan pada hidrolisis skala 20 kali dengan ratio DtDi sebesar 1,1538 yaitu sebesar 157,2958 mg KOHg minyak. Namun, penurunan bilangan asam terjadi pada skala hidrolisis 50 kali dengan ratio DtDi sebesar 2,1154 yaitu sebesar 81,3834 mg KOHg minyak. Pada hidrolisis skala 5, 10, dan 20 kali menggunakan wadah dengan ukuran diameter yang sama, sedangkan pada penggandaan skala 50 kali digunakan wadah dengan diameter yang berbeda. Diameter wadah pada penggandaan skala 50 kali sebesar 0,11 m. Diameter ini lebih besar dua kali 24 lipat dibandingkan dengan diameter wadah pada penggandaan skala yang lebih kecil 0,06 m. Perubahan ukuran diameter wadah tidak disertai dengan perbesaran ukuran diameter batang pengaduk. Pada penggandaan skala 5, 10 dan 20 kali berlaku persamaan 1.1 : = = 1,1538 1.1 Nilai 1,1538 menunjukkan rasio diameter propeller dengan 3 pisau dan diameter wadah. Pada hidrolisis skala 50 kali, rasio diameter propeller dan diameter wadah adalah sebesar 2,1154. Hal ini menunjukkan ukuran diameter batang pengaduk yang digunakan tidak proporsional pada wadah yang lebih besar. Diameter wadah yang semakin besar tidak disertai dengan peningkatan diameter propeller, sehingga pada saat proses pengadukan berlangsung terbentuk vortex pada cairan. Vortex adalah cekungan pada permukaan media yang terbentuk pada bagian tengah tangki yang disebabkan oleh adanya gaya tangensial. Vortex menyebabkan aliran tangki bersifat horizontal, sehingga pencampuran tidak dapat berlangsung dengan baik. Terbentuknya vortex menyebabkan proses hidrolisis tidak dapat berjalan dengan baik. Pada skala lebih besar hidrolisis enzimatik minyak ikan lemuru dengan lipase Aspergillus niger untuk produksi omega-3 dapat dilakukan dalam reaktor kaca. Reaktor kaca dapat dilengkapi dengan baffle untuk mencegah terbentuknya vortex. Hal ini sesuai dengan pernyataan Edwards dan Baker 1992 yang menyebutkan bahwa baffle digunakan untuk mencegah terbentuknya vortex pada cairan yang memiliki kekentalan rendah. Hidrolisis skala 5, 10, dan 20 kali menunjukkan hasil yang berbeda meskipun menggunakan wadah dengan ukuran diameter yang sama. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari kecepatan pengadukan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12. Gambar 11. Kurva pengaruh kecepatan pengadukan terhadap bilangan asam Hidrolisis skala 5 kali dilakukan pada kecepatan pengadukan 200 rpm, sementara hidrolisis skala 10 kali dilakukan pada kecepatan 210 rpm. Nilai bilangan asam pada hidrolisis skala 10 kali lebih besar dari hidrolisis skala 5 kali. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kecepatan 25 pengadukan mempengaruhi proses hidrolisis. Semakin tinggi kecepatan pengadukan media pada kondisi proporsional semakin banyak asam lemak bebas dan gliserol yang terbentuk. Hidrolisis skala 20 kali menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan hidrolisis skala 5 dan 10 kali. Kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 250 rpm. Perubahan kecepatan akan berlaku apabila terjadi perubahan ukuran diameter pengaduk impeller atau propeller mengikuti persamaan 1.2 dan persamaan 1.3. V tip = 2π N D i atau 1.2 Ni 1 3 Di 1 2 = Ni 2 3 Di 2 2 1.3 dimana, Vtip = kecepatan propeller rpm N = kecepatan stirrer rpm D i i = propeller = diameter impeler m 1 = kondisi awal 2 = kondisi penggandaan Pada hidrolisis skala sebesar 5, 10, dan 20 kali tidak terjadi perubahan ukuran diameter pengaduk, melainkan terjadi perubahan kecepatan pengadukan. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan sebesar 250 rpm pada rasio diameter pengaduk dan diameter wadah sebesar 1,1538 merupakan kecepatan optimal hidrolisis enzimatik minyak ikan untuk produksi omega-3 dalam skala yang lebih besar.

4.2.2 Pengaruh Ratio DtDi terhadap Tingkat Hidrolisis