Kota Administrasi Jakarta Barat :

9. Modal kelompok tani : Didasarkan atas ketersediaan modal petani umumnya 3 0 = tidak tersedia; 1 = kurang tersedia 2 = relatif tersedia 3 = cukup tersedia 1

10. Tataniaga pemasaran: Didasarkan atas

kelancaran dan ketepatanketersediaan terminal agribisnis di wilayah DKI Jakarta. 3 0 = tidak lancartersedia; 1 = kurang lancartersedia 2 = relatif lancartersedia 3 = cukup lancartersedia 1

11. Perluasan lahan UT: Didasarkan atas

rata-rata jumlah luasan lahan dan penguasaan per jenis tanaman setiap rumah tangga tanaman hotikultura. 3 0 = 10 pohon; 1 = 10-30 pohon; 2 = 31-50 pohon; 3 = 50 pohon 1

12. PDRB Pertanian: Didasarkan atas besar

PDRB terhadap setiap sektor wilayah DKI Jakarta 3 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 1

13. Harga komoditas UT: Didasarkan atas

rata-rata penjualan hasil usahatani komoditas hortikultura. 3 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 1 Catatan : Hasil skoring kondisi 20102011 Lampiran 33.Lanjutan Lampiran 34. Hasil penilaian skoring atribut dimensi sosial keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No Atribut atau faktor Status Kriteria Rata- rata skor Baik Buruk 1. Jumlah rumah tangga petani : Didasarkan atas jumlah KK rumah tangga yang sebagai pekerjaan pokok petani terhadap jumlah KK yang bergerak di UT 3 0 = 10 1 = 10 – 20 2 = 21-30 3 = 31 – 40 1 2. Pendidikan formal KK tani : Didasarkan atas persentase rata-rata pendidikan formal KK petani tahun 2010 3 0 = tidak tamat SD 1 = SDsederajat 2 = SLTPsederajat 3 = SLTAsederajat ke atas 2 3. Tingkat pengetahuan pertanian petani : Didasarkan atas rata-rata pendidikan formal bidang pertanian tahun 2010 3 0 = tidak tamat sekolah pertanian 1 = tamat SPMAsederajat 2 = sarjana pertaniansederajat 3 = pascasarjana pertanian sederajat 4. Intesitas pembinaan petani : Didasarkan atas perkiraan jumlah rumah tangga petani yang aktif secara berkala mengikutimendapatkan penyuluhan pertanian dari penyuluh. 3 0 = 25 petani 1 = 25-50 petani 2=50-75 petani aktif 3= 75 petani aktif 1 5. Pertumbuhan penduduk : Didasarkan atas laju pertumbuhan penduduk per tahun di DKI 5 tahun terakhir 3 0 = 1,5 1 = 1- 1,5 2 = 0,5-1 3 = 0,5 6. Penduduk bekerja sektor pertanian : Didasarkan atas keberadaan petani sebagai mata pencarian atau pekerjaan utama. 3 0 = 25 petani 1 = 25-50 petani 2 = 50-75 petani 3 = 75 petani 1 7. Jumlah tanggungan RT : Didasarkan atas tanggungan KK sebagai anggota keluarga petani 2 0 = 1 – 2 orang 1 = 3 – 4 orang 2 = 5- 6 orang 1 8. Tekanan penduduk terhadap lahan : Didasarkan pada pertumbuhan penduduk dan industri serta pemukiman di wilayah DKI. 3 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 2 9. Tingkat partisipasi kaum ibu dalam keg.pertanian: Didasarkan pada pertumbuhan kelompok dan kegiatan wanita tani di wilayah DKI Jakarta. 3 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = relatif tinggi 3 = sangat tinggi 2

10. Aksesbilitas modal dan pembinaan

petani: Didasarkan pada banyaknya kelompok dalam berminat melakukan pinjaman ke sumber modal 3 0 = sangat rendah 1 = relatif rendah 2 = sedang 3 = relatif tinggi 2 Catatan : Hasil skoring kondisi 20102011 Lampiran 35. Hasil penilaian skoring atribut dimensi kelembagaan keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No Atribut atau faktor Status Kriteria Rata- rata skor Baik Buruk 1. Kelembagaan penyuluhan: Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas kelembagaan penyuluhan dalam memenuhi kebutuhanpelayanan ke petani di DKI. 3 0 = tidak tersedia 1 = tersedia tetapi tidak efektif 2 = tersedia kurang efektif 3 = tersedia cukup efektif 2 2. Organisasi kaum ibu bidang kegiatan pertanian: Didasarkan atas kinerja keberadaan kelompok wanita tani KWT di DKI Jakarta 3 0 = belum ada kelompok khusus 1 = ada kelompok dan kurang efektif 2 = ada kelompok dan cukup efektif 3 = ada kelompok sangat efektif 1 3. Keberadaan otoritas pengendalian konversi lahan : Didasarkan atas ketersediaan lembaga dan efektivitas dalam pengendalian konversi lahan selain di wilayah DKI 3 0 = tidak tersedia 1 = tersedia kurang efektif 2 = tersedia relatif cukup efektif 3 = tersedia sangat efektif 2 4. Keberadaan otoritas pengendalian lingkungan : Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas instiusi pengelolaan dan pengendalian lingkungan. 3 0 = tidak tersedia 1 = tersedia tidak efektif 2 = tersedia kurang efektif 3 = tersedia cukup efektif 2 5. Kelembagaan tani : Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas kelembagaan petani Kelompok tani dan Gapoktan di DKI Jakarta 3 0 = tidak ada 1= ada kurang efektif 2 = ada cukup efektif 3 = ada sangat efektif 2 6. LSM bidang lingkungan : Didasarkan atas keberadaan dan efektivitas advokasi dan pengendalian di wilayah DKI Jakarta 3 0 = tidak ada 1 = ada dan kurang efektif 2 = ada dan cukup efektif 3 = ada dan sangat efektif 1 7. Kelembagaan sarana produksi pedagang : Didasarkan atas ketersediaan dan efektivitas kelembagaan saprodi tanaman hortikultura di wilayah DKI 3 0 = tidak tersedia 1 = tersedia kurang efektif 2 = tersedia cukup efektif 3 = tersedia sangat efektif 2 8. Efektifitas penataan ruang : Ketersediaan dan dukungan RTRW terhadap kepastian peruntukan ruang untuk fungsi budidaya tanaman. 3 0 = Tidak tersedia 1 = Tersedia kurang mendukung 2 = tersedia cukup mendukung 3 = tersedia sangat mendukung 1 9. Aturan pertanian perkotaan : Didasarkan atas ketersediaan Undang khusus, Perda atau Instruksi Gubernur yang memberikan dukungan keberlanjutan sistem budidaya pertanian khususnya untuk RTH produktif di perkotaan 2 0 = tidak tersedia 1 = tersedia kurang mendukung 2 = tersedia cukup mendukung 3 = Tersediaada

10. Peran instansi pemerintah: Didasarkan

atas program dan implementasi kebijakan pertanian terhadap insentif dan kegiatan pembinaanpenyuluhan instansi terkait lainnya. 3 0 = tidak peran 1 = berperan dan kurang efektif 2 = berperan relatif cukup efektif 3 = peran sangat efektif 1

11. Aksesibilitas petani ke teknologi:

Didasarkan atas persentase kelompoktani yang mempunyai akses yang baik terhadap pelayanan sumber informasi BPTP Jakarta dan lainnya 3 0 = 25; 1 = 25 – 50 2 = 50-75 3 = 75. 1 Catatan : Hasil skoring kondisi 20102011 Lampiran 35. Lanjutan Lampiran 36. Hasil penilaian skoring atribut dimensi teknologi keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No Atribut atau faktor Status Kriteria Rata-rata skor Baik Buruk 1. Tingkat penerapan teknologi: Didasarkan atas tingkat penerapan teknologi budidaya tanaman buah- buahan dan tanaman hias. 3 0 = Rendah 1 = Sedang 2 = Cukup 3 = Tinggi 2 2. Jenis inovasi teknologi budidaya : Didasarkan atas ketersediaan bahan teknologi budidaya komoditas hortikultura sistem potpolibek, vertikultur, hidroponik dll. di wilayah perkotaan 3 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia 1 3. Teknologi pengelolaan limbah organik : Didasarkan atas ketersediaan teknologi pengolahan limbah di wilayah perkotaan 3 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = relatif Cukup tersedia 3 = cukup tersedia 2 4. Teknologi pengairan pertanian : Didasarkan atas kondisi dan luas jangkauan jaringan irigasi teknis mendukung usaha tani hortikultura 3 0 = Tidak mendukung 1= Kurang mendukung 2 = Cukup mendukung 3 = Sangat mendukung 1 5. Manajemen budidaya tanaman : Didasarkan atas cara pengelolaan usahatani komoditas hortikultura pada umumnya petani di DKI Jakarta 3 0 = tidak baik 1 = kurang baik 2 = relatif cukup baik 3 = cukup baik 2 6. Penggunaan bibit unggul : Didasarkan atas persentase petani menggunakan bibit unggul bermutu dan bersertifikat 3 0 = 25; 1 = 25 – 50 2 = 50-75 3 = 75. 2 7. Teknologi pemanfaatan ruang terbangun : Didasarkan pada ketersediaan ruang-ruang terbangun untuk inovasi teknologi pertanian. 3 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia 2 8. Pemamfaatan teknologi ramah lingkungan : Didasarkan pada ketersediaan pupuk dan media organik sebagai media tumbuh tanaman hortikultura. 3 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia 1 9. Teknologi pembibitan : Didasarkan pada ketersediaan pembibitan tanaman hortikultura di wilayah DKI Jakarta. 3 0 = Tidak tersedia 1 = Kurang tersedia 2 = Cukup tersedia 3 = Sangat tersedia 2 Catatan : Hasil skoring kondisi 20102011 Lampiran 37. Stakeholder dan kebutuhan atau kepentingan terhadap sistem kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta. No Stakeholder Kebutuhan atau kepentingan terhadap sistem 1. Masyarakat umum  Pengembangan komoditas yang ramah lingkungan, estetika atau kualitas lingkungan baik.  Ketersediaan aturan dan teknologi  Jaminankompensasi kehilangan hak-hak yang memadai.  Kerjasama antar stakeholders sektor terkait  Konflik lingkungan diminimalkan. 2. Masyarakat petani  Ketersediaan lahan dan ruang, lahan usaha tani meningkat  Peningkatan pembinaan kepada petani;  Jaminan pasar dari pemerintah  Penguatan kelembagaan tani, pembinaan meningkat  Ketersediaan aturan dan teknologi  Jaminan konvensasi kehilangan hak-hak yang memadai;  Kerjasama antar stakeholders sektor terkait 3. Pemerintah Pusat dan Daerah BAPPEDA, Diskeltan, BPN, BLHD, Diskop, Diskes, Disnaker.  Ketersediaan lahan untuk meningkatkan RTH RTRW lebih baik.  Jaminan pasar dari pemerintah, harga stabil menguntungkan bagi pelaku usaha tani  Penguatan kelembagaan tani,  Jaminan kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai;  Kerjasama antar stakeholders sektor terkait. 4. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati lingkungan hidup  Pengembangan komoditas yang ramah lingkungan,  Peningkatan pembinaan kepada petani,  Penguatan kelembagaan tani, layanan lancar  Ketersediaan aturan dan teknologi, estetika terpenuhi  Jaminan kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai,  Kerjasama antar stakeholders sektor terkait. 5. Akademisi dan penelitian pengkajian  Ketersediaan aturan dan teknologi hasil riset.  Jaminan kompensasi kehilangan hak-hak yang memadai, hasil riset.  Kerjasama antar stakeholders sektor terkait. 6. Lembaga Keuangan  Penguatan modal usaha tani, usaha meningkat.  Kredit usaha tani. 7. Perusahaan Saprodi  Penguatan modal usaha tani dan peningkatan hasil petani. Sumber : Data primer data diolah, 2010 Lampiran 38. Gambarfoto dan metode inovasi pertanian di wilayah DKI Jakarta. Gambar inovasi pertanian sistem tanam lansung di pekarangan, kebun dan sawah. Gambar inovasi pertanian sistem vertikultur di ruang terbangun. Teknologi sistem kebun spesifik bibit tanaman hias di Kembangan Jakarta Barat Teknologi sistem vertikutur sayuran Pemanfaatan lahankebun spesifik dan pekarangan Kembangan Jakarta Barat Lahan Sawah di Jakarta Utara, Barat dan Timur Gambar inovasi pertanian sistem potpolibek di ruang terbangun dan pekarangan Gambar inovasi pertanian sistem hiroponik di teras rumah Gambar inovasi pertanian sistem babiloniarambatan di mediaruang bangunan Teknologi sistem hidroponik sayuran Jenis Tomat Teknologi sistem hidroponik sayuran Teknologi sistem potinisasi tanaman hias di teras dan halaman rumah Lampiran 38 Lanjutan. ABSTRACT SOSTENIS SAMPELILING. 2012. Policy Model of Sustainable Urban Agriculture Development. Case Study: The DKI Jakarta Region. Under supervision of SANTUN R.P. SITORUS as a chairman, SITI NURISYAH and BAMBANG PRAMUDYA N. as members. Revitalization of agriculture is basically putting back the importance of agriculture in proportion and urban contexts. Considering the condition of agriculture in urban areas, especially areas of Jakarta and linkages with various environmental problems. It is expected that development of agriculture would not be sustainable. So it needs design action and formulation of comprehensive policy for sustainable development of urban agriculture. The study was aimed to analyze the sustainability of urban agriculture, to analyze the critical factors affecting the sustainability and policy of development urban agriculture. Analysis techniques used were MDS multi-dimensional scaling technique Rap-Ur-Agri Rapid Appraisal for Urban Agriculture, an important factor with factor analysis level leverage factor and determination of sustainable agricultural development policy scenarios with a prospective analysis. Sustainability status of agricultural development on the condition of existing urban areas show an index value of 48.70 or less sustainable. Key factors for sustainability of urban agriculture are 4 four key factors, and attributes of stakeholders needs are 4 four key factors. The light factors have been merged, so that it acquired six key factors that affect the development of urban agriculture systems. Scenarios of agricultural development policy of sustainable urban areas of Jakarta conducted with an integrative approach by improving the performance of atribute and six key factors: 1 yard size, 2 the development of commodity and environmentaly sound technology, 3 extension and agricultural institutions, 4 availability of urban land space, 5 cooperation among stakeholders, and 6 provision of agricultural incentives. MDS simulation results show that the pesimistic scenario with low improvement result sustainability index value 49.06, moderate improvement scenario result sustainability index value 63.65 and optimistic scenario with the maximum improvement condition result sustainability index value at 76.85. Development of policy direction consist of expansion of urban agriculture land and farm space, yards and fieldsorchards, the development of environmentally friendly commodities and technology, social and institutional development of agriculture in the implementation strategy outlined. Keywords : policy model, urban agriculture, development and sustainable. RINGKASAN SOSTENIS SAMPELILING. Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan Berkelanjutan Studi Kasus: Wilayah DKI Jakarta. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS sebagai Ketua, SITI NURISYAH dan BAMBANG PRAMUDYA N. sebagai anggota. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga pembangunan sektor pertanian memegang peran penting dalam mensejahterakan masyarakat. Upaya revitalisasi pertanian pada dasarnya adalah ingin menempatkan kembali arti pentingnya sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, baik di pedesaan maupun di perkotaan. RUAF Resource Centre on Urban Agriculture and Food Security Foundation tahun 1996, FAO Food and Agriculture Organization tahun 2003 dan RPPK Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan tahun 2005 memposisikan pentingnya sektor pertanian sebagai a salah satu sumber pasokan sistem pangan perkotaan dan alternatif ketahanan pangan untuk rumah tangga, b salah satu kegiatan produktif untuk memanfaatkan ruang terbuka perkotaan, c salah satu sumber pendapatan serta kesempatan kerja penduduk perkotaan dan d meningkatkan manajemen lingkungan di perkotaan. Pertanian perkotaan mempunyai peluang dan prospek untuk pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan berwawasan lingkungan. Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aspek kegiatan budidaya pertanian pangan dan non pangan di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif atau moderen, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi, produktivitas lahan dan ruang, diterima secara sosial dan memberikan nilai tambah penghasilan masyarakat serta mendukung kualitas dan estetika lingkungan secara berkelanjutan. Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya fenomena ekonomi dan sosial yaitu; keterbatasan sumberdaya lahan, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta tahun 2010, sumberdaya lahan, ruang dan sumberdaya manusia masih terdapat peluang untuk dimanfaatkan, dikembangkan sebagai lahan usaha tani intensif atau moderen. Permasalahan di perkotaan khususnya DKI Jakarta dari aspek ekonomi, dimana konversi lahan sangat sulit dihindari antara lain karena rendahnya nilai tanah atau lahan dari hasil kegiatan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1 : 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan Nasoetion dan Winoto 1996. Jenis usaha tani, luas serta sebaran penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang sangat penting diketahui guna pengembangan yang tepat atau sesuai dengan kondisi lingkungan. Memperhatikan kondisi pertanian perkotaan wilayah DKI Jakarta maka penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis kondisi pertanian perkotaan saat ini, menganalisis tingkat keberlanjutan pertanian perkotaan, menganalisis faktor-faktor kunci yang mempengaruhi keberlanjutan, menganalisis keberadaan kebijakan pertanian dan menyusun skenario kebijakan serta merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta, dimulai bulan Januari 2010 sampai dengan Desember 2011. Penelitian merupakan studi kasus dengan metode survei secara cepat dan partisipatif dengan pendekatan PRA participatory rural appraisal. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber antara lain dokumen statistik Jakarta dalam angka, dokumen perencanaan RTRW DKI Jakarta, laporan instansi terkait. Kondisi pengembangan komoditas pertanian perkotaan diperoleh dari hasil analisis pemetaan pewilayahan komoditas DKI Jakarta. Data primer diperoleh melalui pengamatan lapangan, wawancara dan mengisi kuesioner terhadap masyarakat kelompok tani anggota gapoktan, aparat dilapangan di wilayah kecamatan dan kelurahan meliputi; Kecamatan Menteng di Jakarta Pusat, Jagakarsa di Jakarta Selatan, Cilincing di Jakarta Utara, Cipayung di Jakarta Timur dan Kembangan di Jakarta Barat. Dilakukan FGD Focus Group Discussion terhadap pakar dan stakeholders bidang pertanian, tokoh masyarakat, penyuluh lapangan, aparat pemerintah kota sebagai penyusun dan pelaksana kebijakan serta pihak terkait lainnya. Analisis indeks dan status keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta dilakukan menggunakan teknik ordinasi Rap-Ur-Agri Rapid Appraisal for Urban Agriculture, yang merupakan modifikasi dari Rapfish Rapid Appraisal for Fisheries Fisheries Center 2002. Analisis keberlanjutan dengan teknik Multi-dimensional Scalling MDS yang di validasi dengan Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 Kavanagh dan Pitcher 2004. Analisis faktor-faktor penting dilakukan dengan analisis faktor pengungkit leverage factor dilanjutkan dengan analisis prospektif Bourgeois dan Jesus 2004 dan skenario kebijakan dan strategi implementasi pengembangan pertanian berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta saat ini adalah sebagai berikut; pendayagunaan atau pemanfaatan lahan dan ruang terbatas seperti pekarangan, kebun spesifik dan ruang terbangun, pengembangan komoditas pangan dan non pangan ramah lingkungan pada kelompok yaitu jenis-jenis sayuran, tanaman hias, anggrek, tanaman buah tahunan dan varietas unggul padi di lahan sawah. Pengembangan usaha tani dengan sistem tanam langsung, sistem vertikultur, sistem pot atau polibek, sistem hidroponik dan sistem “babilonia” tanaman memanjat dan menjalar pada bangunan. Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta pada kondisi saat ini sebesar 48,70 atau tergolong kurang berkelanjutan. Indeks dan status keberlanjutan maing-masing dimensi adalah dimensi ekologi dengan indeks 46,00, dimensi ekonomi dengan indeks 45,72, dimensi sosial dengan indeks 48,83, dimensi kelembagaan dengan indeks 49,78 semuanya tergolong kurang berkelanjutan dan hanya dimensi teknologi tergolong cukup berkelanjutan dengan nilai indeks 53,45. Kondisi saat ini diperlukan intervensi dalam menaikkan status keberlanjutan pertanian di wilayah DKI Jakarta. Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor kunci penentu keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan adalah; 1 luas pekarangan, 2 pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan, 3 penyuluhan dan kelembagaan pertanian, 4 perluasan lahan dan ruang usaha tani, 5 kerjasama antar stakeholders, dan 6 pemberian insentif dan kompensasi pertanian. Untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan, maka dilakukan intervensi dengan skenario kebijakan yang disimulasikan melalui MDS yaitu skenario I pesimis dengan nilai indeks keberlanjutan 55,06, skenario II moderat dengan nilai indeks keberlanjutan 63,65 dan skenario III optimis dengan nilai indeks keberlanjutan 76,85. Hasil analisis isi keberadaan aturan yang ada menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan pertanian perkotaan secara khusus belum tersedia, meskipun sudah ada aturan yang berlaku umum seperti undang-undang, peraturan menteri, peraturan daerah, tetapi belum berlaku efektif dan relatif belum mengakomodasi pertanian perkotaan secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa keenam faktor kunci penentu keberlanjutan dapat dirumuskan sebagai model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan dalam bentuk fungsi PK = f p, k, l, r, s, i . Pertanian perkotaan PK merupakan interaksi dan fungsi antara; luas pekarangan p, pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan k, penyuluhan dan kelembagaan pertanian l, perluasan ruang usaha tani r, kerjasama antar stakeholders s, pemberian insentif dan kompensasi pertanian i. Keenam faktor kunci tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja sistem pengembangan pertanian secara berkelanjutan. Arahan dan strategi implementasi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan terdiri dari 3 yaitu; 1 pengembangan lahan atau ruang usaha tani di pekarangan, ruang terbangun dan kebun spesifik, 2 pengembangan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan teknologi ramah lingkungan, dan 3 sosial dan pengembangan kelembagaan pertanian terhadap kelembagaan penyuluhan dan petani, pemberdayaan masyarakat tani serta meningkatkan koordinasi dan kerja sama antar stakeholders. Kata kunci: model kebijakan, pertanian perkotaan, pengembangan dan berkelanjutan.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, sehingga pembangunan sektor pertanian memegang peran penting dalam mensejahterakan masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan hasil pertanian adalah dicanangkannya revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan RPPK pada tahun 2005. Revitalisasi pertanian pada dasarnya adalah ingin menempatkan kembali arti pentingnya sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan dengan tidak mengabaikan sektor lain. Indikator keberhasilan revitalisasi pertanian, antara lain: 1 perubahan pola pikir dan komitmen berupa dukungan stakeholders terkait tentang pentingnya sektor pertanian; 2 peningkatan pendapatan per kapita, penurunan jumlah penduduk miskin, kenaikan produk domestik bruto pertanian, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2005. Dukungan terhadap kegiatan sektor pertanian dapat terlihat pada Undang- Undang UU No. 262007 tentang penataan ruang yang mendefinisikan ruang terbuka hijau RTH sebagai area memanjangjalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH kota adalah bagian ruang terbuka open spaces wilayah perkotaan yang diisi tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik, introduksi guna mendukung manfaat langsungtidak langsung sehingga menghasilkan kota yang aman, nyaman, sejahtera, dan indah. Berdasarkan Undang- Undang No. 322009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup PPLH, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Undang-Undang No. 412009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Undang- Undang No. 121992 tentang sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka pembangunan pertanian pada dasarnya adalah suatu upaya untuk meningkatkan serta mensejahterakan kualitas hidup petani, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Upaya tersebut memerlukan adanya partisipasi petani dan masyarakat, sehingga peningkatan produksi komoditas pertanian dapat dicapai lebih efisien dan dinamis dengan diikuti pembagian surplus ekonomi antar pelaku secara adil. Sehubungan dengan hal ini, Kasryno dan Suryana 2002, mengidentifikasikan bahwa strategi pembangunan pertanian merupakan peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia human capital masyarakat pertanian, meningkatkan penguasaan aset produktif pertanian, inovasi baru dan menata kembali kebijakan pembangunan ekonomi dan pengembangan kelembagaan pertanian dalam arti luas. Tantangan utama dalam pembangunan pertanian dewasa ini dihadapkan pada ketersediaan sumberdaya lahan yang semakin langka lack of resources, khususnya di perkotaan, baik luasan maupun kualitasnya. Dalam sistem produksi pertanian, lahan merupakan faktor produksi terpenting. Namun demikian sumberdaya lahan tidak hanya penting bagi pertanian, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk berbagai sektor non pertanian. Seiring dengan laju pertambahan penduduk sangat tinggi. Hal ini akan menjadi suatu permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan di wilayah perkotaan. Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia dimana proporsi penduduk di perkotaan sebesar 36,5 pada tahun 2000, diproyeksikan akan meningkat menjadi 44,5 pada tahun 2010 dan 52,2 tahun 2020 Ananta dan Arifin 1994. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan tidak lagi merupakan masalah yang mendominasi di daerah pedesaan, tetapi juga akan semakin meningkat di daerah perkotaan urban dan pinggiran perkotaan periurban. Suatu studi yang dilakukan oleh Newland 1990 bahkan mengindikasikan bahwa 360 juta penduduk perkotaan, terutama di negara-negara berkembang, menderita kekurangan kalori yang kronis. Sejalan dengan perkembangan ini, maka berbagai lembaga internasional diantaranya FAO 2003 mulai memposisikan pertanian perkotaan sebagai; a salah satu sumber pasokan sistem pangan perkotaan serta salah satu opsi ketahanan pangan untuk rumah tangga, b salah satu kegiatan produktif untuk memanfaatkan ruang terbuka perkotaan serta limbah perkotaan, dan c salah satu sumber pendapatan serta kesempatan kerja penduduk perkotaan. RUAF Resource Centre On Urban Agriculture and Food Security Foundation adalah jaringan internasional dari tujuh pusat sumberdaya regional dan satu pusat sumberdaya global dari pertanian perkotaan dan ketahanan pangan. Adapun misi dari RUAF adalah untuk berkontribusi pada pengurangan kemiskinan di perkotaan, menciptakan lapangan kerja, dan ketahanan pangan, memdorong tata pemerintahan kota yang partisipatif dalam meningkatkan manajemen lingkungan di perkotaan. Melibatkan secara aktif swasta dan pelaku pertanian serta stakeholders terkait di perkotaan RUAF Foundation, 2005. Kondisi lingkungan hidup di perkotaan yang makin memburuk seperti pencemaran udara, peningkatan suhu, penurunan air tanah dan lain-lain, menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologi. Sementara itu, resiko yang dihadapi mencakup a resiko lingkungan dan kesehatan yang timbul sebagai akibat kultur teknis atau budidaya yang kurang bijaksana, b kompetisi yang sangat ketat untuk memperoleh lahan, air, energi dan tenaga kerja, serta c penurunan kapasitas lingkungan dalam mengabsorbsi polusi FAO 1999. Masalah pokok kehidupan masyarakat perkotaan metropolitan adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan pokok pangan dan menikmati kesejukan, kenyamanan oleh karena ketersediaan bahan dan udara segar di lingkungannya. Hal yang paling menyolok adalah pesatnya pertambahan penduduk, bertambahnya kendaraan bermotor, pembangunan perumahan dan industri lainnya yang menjadikan lahan pertanian semakin terbatas. Berdasarkan data BPS 2010, usia kota DKI Jakarta 485 tahun merupakan usia yang tidak lagi muda untuk ukuran sebuah kota, banyak hal telah dialami DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Kesemuanya ini mengakibatkan produktivitas lahan, pendapatan petani, ketersediaan serta sirkulasi oksigen 0 2 semakin menurun. Sebaliknya meningkatnya kadar karbon dioksida CO 2 serta bahan beracun lainnya di udara yang dapat mengancam pernapasan manusia di kota dan sekitarnya BPLHD 2010. Kita ketahui bahwa oksigen merupakan hasil foto-sintesa tanaman yang merupakan ”kebutuhan vital” masyarakat dalam menikmati hidup dan kehidupan di lingkungannya, sehingga pertanian perkotaan sangat dibutuhkan dalam pembangunan. Permasalahan lain yang cukup serius adalah banjir yang sepertinya menjadi rutinitas kota ini. Hal tersebut menjelaskan bahwa air hujan yang ”tumpah” mempunyai volume yang sangat besar. Wilayah DKI Jakarta sebagian besar sudah menjadi daerah terbangun built up area hal tersebut menjadikannya kedap terhadap air, sehingga air tidak dapat meresap kedalam tanah, dan air hujan yang jatuh ke bumi menjadi aliran permukaan run off. Banjir adalah kenyataan pahit yang harus dirasakan oleh warga kota Jakarta, disaat sistem drainase kota ini tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Faktor lain adalah kebijakan tata ruang kota RTRW yang kurang mengakomodasi aspek ekologi. Keberadaan RTH seperti taman, jalur hijau, hutan kota dianggap tidak produktif dan tidak memiliki nilai ekonomis sehingga banyak yang dialih fungsikan peruntukannya untuk kegiatan yang lebih bernilai ekonomis, seperti: SPBU, kawasan perkantoran, pusat perdaganganmall dan kawasan industri properti lainnya BPLHD 2010. Keberadaan sumberdaya lahan, ruang dan sumberdaya manusia tersebut memberikan peluang untuk dimanfaatkan, dikembangkan sebagai lahanruang usahatani intensif atau moderen oleh masyarakat tani perkotaan yang sekaligus mendukung pengembangan ruang terbuka hijau di wilayah DKI Jakarta. Data informasi sumberdaya pertanian perkotaan sudah banyak sebagai dukungan terhadap penyusunan konsep dasar pengembangan pertanian berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta. Informasi dan data secara detail dan aktual mengenai biofisik, penggunaan lahan dan ruang, sosial ekonomi, penerapan teknologi dan kebijakan wilayah, merupakan hal penting untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang tepat dan secara khusus pengembangan pertanian berkelanjutan sustainable agriculture di wilayah DKI Jakarta. Jenis usahatani, luas serta sebaran penggunaan lahan dan ruang yang ada sangat penting diketahui guna pengembangan yang tepat Hikmatullah et al. 2001. Menurut Mattjik 2002 hasil evaluasi penggunaan lahan dan ruang dapat memberikan gambaran tentang penggunaan pada saat sekarang present land use dan sangat penting artinya karena menyangkut luasan areal, penyimpangan batasan penggunaan lahan, terjadinya tumpang tindih, dan sebagainya. Penataan tata ruang sesuai pendayagunaan sumberdaya lahan khususnya untuk pengembangan pertanian perkotaan yang berkelanjutan akan mampu memberikan kontribusi menyeimbangkan dengan pembangunan non pertanian di kota metropolitan Jakarta. Pada gilirannya diharapkan terjadi keseimbangan, kesesuaian dan keselarasan antara pembangunan fisik dan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, upaya-upaya pengendalian perlu segera dilakukan. Salah satu alternatif yang dapat memberikan dampak signifikan dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup di perkotaan adalah melalui program pembangunan dan pengelolaan pertanian perkotaan serta ruang terbuka hijau secara arif dan bijaksana oleh stakeholders . Perda DKI Jakarta No. 61999 tentang rencana tata ruang wilayah RTRW menargetkan melalui program Gubernur “hijau royo-royo” Jakarta. RTH makro 9.544 ha atau 13,94 pada tahun 2010, jadi tidak relevan lagi, perlu revisi atau membuat perda baru. Berdasarkan undang-undang No. 262007 tentang penataan ruang, RTH kawasan perkotaan adalah sebesar 30 dari luas wilayah, dimana 20 merupakan RTH publik dan 10 merupakan RTH privat. Perkembangan dan pertumbuhan kotaperkotaan disertai dengan alih fungsi lahan yang pesat, telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan dalam menopang kehidupan masyarakat di kawasan perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai dengan pengembangan kegiatan pertanian produktif. Berdasarkan masalah tersebut, maka diduga pemanfaatan lahan di wilayah DKI Jakarta tidak sesuai dengan daya dukungnya. Oleh karena itu perlu dikaji dan dianalisis kesesuaian pemanfaatan dengan pendekatan Zone Agro Ekosistem-AEZ yang didasarkan pada pertimbangan biofisik, sosial ekonomi, penerapan teknologi, kebijakan wilayah atau spesifik lokasi, sehingga tercipta sistem pengembangan sumberdaya lahan dan ruang wilayah perkotaan berkelanjutan Sampeliling et al. 2008. Hasil ini dapat memberi dukungan terhadap perencanaan, pengendalian dampak pembangunan dan tambahan pendapatan masyarakat perkotaan.

1.2. Perumusan Masalah

Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aktifitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan dalam kota intraurban dan pinggiran kota periurban untuk memproduksimemelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa ke daerah perkotaan tersebut Smith et al. 1996. Beberapa dimensi umumnya yang mendukung definisi tersebut adalah jenis aktivitas ekonomi, kategori produk pangan atau non pangan, karakteristik lokasi intraurban dan periurban, jenis aktivitas tersebut dilakukan, jenis sistem skala produksi dan produk destinasi. Definisi ini secara implisit juga memberikan gambaran menyangkut keterkaitan pertanian perkotaan dengan berbagai konsep pengembangan lainnya, misalnya pengembangan pertanian pedesaan, sistem pasokan pangan perkotaan, pengembangan perkotaan berkelanjutan, ketahanan pangan perkotaan dan pengelolaan lahan perkotaan. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan adalah karena adanya ketimpangan dalam pembangunan perkotaan yang tidak seimbang antara pembangunan ekonomi, fisik dan prasarana sumberdaya manusia dan ekologi baik terhadap sumberdaya pertanian dan ruang terbuka hijau khususnya RTH produktif di wilayah perkotaan. Kondisi pertanian perkotaan semakin menurun baik dari pertanian pangan dan non pangan seperti produksi, produktivitas lahanruang pertanian. Permasalahan pertanian perkotaan ini dapat dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan inovasi teknologi sebagai berikut; Aspek penguasaan lahan pertanian ; Lahan sempit pertanian merupakan aset penting dalam menunjang pembangunan perkotaan berkelanjutan. Salah satu permasalahan pokok dalam pembangunan sektor pertanian adalah sempitnya rata- rata penguasaan lahan petani, sehingga program yang dikembangkan belum sepenuhnya dapat berjalan seperti yang direncanakan. Pengembangan sistem agribisnis cenderung menuntut penguasaan lahan yang luas dan kurang akomodatif pada petani gurem dengan pemilikan kurang dari 0,30 ha. Upaya penyatuan usaha dalam bentuk koordinasi vertikal sebagaimana yang dikemukakan Simatupang 1995, umumnya belum ditindaklanjuti dalam kegiatan yang lebih riil. Apalagi bagi sebagian besar petani ketergantungan terhadap usahatani tertentu seperti padi masih sangat tinggi, dan pertimbangan rasa aman lebih mewarnai keputusan petani dibanding sesuatu yang berbau bisnis, sehingga laju konversi lahan tidak dapat di atasi. Menurut Irawan 2005, konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: a keterbatasan sumberdaya lahan, b pertumbuhan penduduk, dan c pertumbuhan ekonomi. Aspek ekonomi ; Konversi lahan sangat sulit dihindari karena permasalahan faktor-faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya nilai tanahlahan untuk kegiatan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1:500 untuk kawasan industri dan 1:622 untuk kawasan perumahan Nasoetion dan Winoto 1996. Menurut Sitorus et al. 2007 rasio land rent padi- padi: sayuran adalah 1:14-46,7 untuk padi-padi:tanaman hias adalah 1:904,2 dan padi-padi:villa adalah 1:367. Menurut Adiyoga 2002, pengembangan usaha tani perkotaan sangat dipengaruhi tingkat harga dan lingkungannya, terutama harga output konsumsi pangan seperti fluktuasi harga sayuran dan pencemaran, sehingga usaha tani di perkotaan tidak dapat memberi pendapatan yang layak. Menurut laporan Diskeltan 2010, produktivitas lahan pertanian dari tahun ke tahun mengalami penurunan, disebabkan dengan berkembang pesatnya pengembang baik dibidang property maupun industri yang berskala besar pada lahan potensi pertanian. Hal ini diakibatkan oleh adanya nilai ekonomi jasa tanah yang tinggi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Aspek sosial dan kelembagaan; Masalah ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan juga akan dihadapi oleh sebagian penduduk yang tinggal di perkotaan, sebagai akibat dari a distribusi pendapatan masyarakat tidak merata, b tingkat kemiskinan yang cenderung meningkat, c semakin menurunnya ketersediaan lahan produktif, dan d sistem distribusi pangan yang tidak efisien Permia 1983. Memperlihatkan motivasi dalam mempertahankan RTH dan pengelolaan pertanian relatif kurang, yang ditandai kondisi pengembangan pertanian dan RTH semakin sempit. Adanya undang-undang No. 262007 tentang penataan ruang, terlihat bahwa ketersediaan lahan peruntukan pertanian di wilayah perkotaan tidak ada lagi kecuali RTH produktif. Belum adanya undang-undang khusus mengenai pertanian perkotaan. Sampai saat ini, kegiatan pertanian perkotaan masih dapat dikategorikan sebagai unregulated urban agriculture. Secara spesifik belum terdokumentasi peraturan yang ditujukan untuk melarang atau sebaliknya memberikan fasilitas kegiatan pertanian perkotaan, serta aturan hukum yang jelas serta kelembagaan yang masih sangat lemah. Kondisi aspek kualitas lingkungan ; Kualitas tanahlahan dan lingkungan memegang peranan penting dalam usahatani baik di pedesaan maupun di perkotaan. Masalah degradasi tanah Menurut Sitorus 2009, hilangnya atau berkurangnya kegunaan utility atau potensi kegunaan tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan features tanah yang tidak dapat diganti. Menurut FAO 1993 dalam Sitorus 2009, degradasi tanah adalah proses yang menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan, khususnya dalam pengembangan pertanian. Menurut BPLHD 2010, hasil pemantauan kualitas udara wilayah DKI Jakarta menunjukkan terjadi penurunan dengan peningkatan debuasap yang mengakibatkan penurunan dan sirkulasi oksigen 0 2 di udara. Hasil pemantauan kualitas air di beberapa titik pada sekitar lahan basahsawah, menunjukkan dalam kondisi tercemar “ringan” dan “sedang” untuk kebutuhan pertanian lahan basah dan perikanan yang sumbernya dari limbah limbah industri dan rumah tangga yang dapat mencemari produk pertanian. Aspek ketersediaan lahan dan ruang ; Berdasarkan data BPS 2010, kondisi lahanruang pertaniankehutanan RTH konservasi, lanskappertamanan, RTH produktif termasuk lahan sawah dan pekarangan pemukiman masih memberikan peluang untuk pengembangannya. Keberadaan lahan pertanianRTH baik lahan kering dominan berupa pekarangan, taman kota dan berem jalan umum, sedangkan khususnya lahan basahsawah dominan di wilayah Jakarta Utara, Timur dan Barat. Untuk sumberdaya manusia masih terdapat 96.200 orang yang berstatus petani “pemilik” dan “penggarap” serta kelompok tani sekitar 478 dari total penduduk DKI Jakarta 8.381.968 jiwa Diskeltan 2010. Keberadaan sumberdaya lahan, ruang dan sumberdaya manusia tersebut memberikan peluang untuk dimanfaatkan, dikembangkan sebagai lahan usaha tani intesif atau moderen oleh masyarakat tani perkotaan. Memperhatikan keterkaitan berbagai permasalahan pertanian perkotaan tersebut, maka diduga terjadi pertanian perkotaan tidak berkelanjutan, sehingga perlu dirancang dan dirumuskan model kebijakan yang komprehensif untuk pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Mengetahui keberlanjutan sustainability pertanian perkotaan utamanya bagaimana meningkatkan daya hasil lahan dan ruang serta pendapatan masyarakat tani perkotaan. Perumusan masalah pertanian perkotaan secara diagram disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Rumusan masalah pengembangan pertanian di perkotaan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana kondisi eksisting dan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan saat Sistem Pengembangan Pertanian Perkotaan Pertanian Pangan Pertanian Non Pangan Produk Tercemar dan Tidak Bersaing Kebijakan Pertanian Kurang Mendukung Pertanian Perkotaan Tidak Berkelanjutan Usaha dan Produksi Pertanian Menurun Konversi Lahan Tidak Terkendali land rent Tanah dan Air Tercemar serta Polusi Meningkat Pemanfaatan Lahan dan Ruang Belum Berkembang Kelembagaan dan Kord. SDM Bidang Pertanian Lemah Kualitas dan Estetika lingkungan Menurun ini, khususnya di wilayah DKI Jakarta? Secara spesifik pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi pertanian perkotaan saat ini? 2. Bagaimana status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan saat ini? 3. Bagaimana kebijakan yang terkait dengan pertanian perkotaan selama ini? 4. Bagaimana rumusan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Secara spesifik penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis kondisi pertanian perkotaan saat ini. 2. Menganalisis status keberlanjutan pertanian perkotaan. 3. Menganalisis produk-produk kebijakan yang terkait dengan pertanian perkotaan. 4. Merumuskan model kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan atau pedoman bagi para pengguna dalam pengembangan pertanian perkotaan. 2. Sebagai bahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah lintas sektoral, utamanya dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah RTRW dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan. 3. Sebagai bahan rekomendasi implementasi Pemda instansi terkait dalam perencanaan dan pengendalian dampak pembangunan di wilayah perkotaan. 4. Sebagai data bagi pengguna, penelitian lanjut dan pengembangan pertanian perkotaan serta referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pengembangan pertanian perkotaan dapat dibatasi pada sebuah definisi yaitu aktivitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan dalam kawasan kota intraurban dan pinggiran kota periurban untuk memproduksimemelihara, mengolah dan mendistribusikan beragan produk pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa ke daerah perkotaan tersebut Smith et al. 1996. Menurut Sampeliling et al. 2007, pertanian perkotaan adalah segala aspek kegiatan pertanian di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi dan produktivitas lahan dan ruang secara lestari. Adiyoga et al. 2002, bahwa pertanian perkotaan mempunyai peluang dan prospek untuk pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan berkelanjutan. Menurut Deptan 2002, pembangunan sistem dan usaha agribisnis Indonesia dapat diwujudkan melalui perekonomian nasional yang sehat, berdaya saing berkerakyatan, desentralisasi dan berkelanjutan pada sub sistem agribisnis, agribisnis hulu, usaha tani, pengolahan, pemasaran dan sub sistem jasa dan penunjang. Keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan dapat ditempuh dengan berbagai inovasi seperti inovasi teknologi, inovasi kelembagaan dan inovasi sosial- ekonomi. Menurut Adiyoga et al. 2002, peluang yang dimiliki pertanian perkotaan dalam pengembangan adalah a tidak terlalu membutuhkan pengepakan, penyimpanan dan transportasi, b berpotensi menciptakan lapangan kerja serta sumber pendapatan, c memberikan aspek pangan yang lebih luas bagi konsumen miskin, d menjamin ketersediaan pangan yang lebih segar, dan e akses yang lebih luas terhadap pelayanan-pelayanan menyangkut pengelolaan limbah serta kemungkinan daur ulang. Menurut Purnomohadi 2000, mengacu pada kondisi spesifik perkotaan, pengembangan atau perancangan model sistem produksi pertanian perkotaan paling tidak harus memperhatikan dua kriteria yaitu “hemat lahan” dan produk relatif bersih. Sistem produksi pertanian perkotaan mengimplikasikan suatu keharusan untuk mengidentifikasi ruang atau lahan yang masih bersifat underutilized dan memaksimalkan potensi untuk mengakomodasi aktivitas pertanian. Diversitas dari bermacam ruang dan pendekatan dapat memaksimalkan efisiensi skala mikro produksi pangan di daerah perkotaan. Sebagai syarat usaha pertanian perkotaan dan merupakan dukungan terhadap tata lingkungan dan peningkatan kualitas lingkungan perkotaan, sebagai berikut; a sesuai dengan tata ruang kota dan tata ruang wilayah, b tidak merusak keindahan atau estetika, c tidak menimbulkan dampak sosial akibat penggunaan lahan, d tidak mengganggu serapan air dan tidak menghambat aliran air baik selokan, sungai sebagai sarana pembuangan kelebihan air, e tidak menggunakan input kimiawi berlebih yang dapat mencemari air dan lingkungan serta menghadapakan konsumen kepada resiko kesehatan, dan f tidak mengaplikasikan budidaya pertanian yang dapat mendorong peningkatan erosi dan mempercepat degradasi lingkungan. Menurut Sudirja 2008, pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis sistem pertanian organik, karena pertanian organik merupakan salah satu teknologi alternatif yang memberikan berbagai hal positif, yang dapat diterapkan pada usaha tani produkproduk bernilai komersial tinggi dan tidak mengurangi produksi. Untuk menerapkan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan, perlu dilakukan upaya: 1 sosialisasi pemasyarakatan mengenai pentingnya pertanian yang ramah lingkungan, 2 penggalakan konsumsi produk hasil pertanian organik, 3 diperlukan lebih banyak kajianpenelitian untuk mendapatkan saprotan orgnik. Usaha tani yang berorientasi pasar global perlu menekankan aspek kualitas, keamanan, kuantitas dan harga bersaing. Pengembangan pertanian perkotaan dengan model atau bentuk pertanian perkotaan di arahkan berbasis ruang dan masyarakat, pertanian organik serta sistem insentif, melalui model-model pertanian spesifik lokasi seperti; 1 pertanian intensif lahan sempit adalah pemanfaatanmengoptimalkan lahan terbuka, baik lahan sawah, lahan terlantar atau tegalan dengan inovasi teknologi sebagai kebun komoditas, 2 RTH produktif adalah memanfaatkanmengoptimalkan daya hasil pekarangan pemukiman baik komoditas pangan maupun komoditas non pangan, 3 pertanian kebun atapbangunan adalah pengembangan komoditas sayuran dan tanaman hias pada atapbangunan, 4 pertanian vertikultur adalah memelihara tanaman sistem media bersusun vertikal dan 5 pertanian hidroponik adalah memelihara tanaman sistem media aliran air. Menurut Barus dan Syukri 2008, pertanian hortikultura adalah ilmu dan seni bercocok tanam yang memerlukan pemeliharaan khusus, serta bercocok tanam tersebut dilakukan di kebun atau pekarangan. Secara umum budidaya hortikultura meliputi: tanaman sayuran vegetable crops; tanaman buah fruit crops; dan tanaman hias ornamental crops. Menurut Sampeliling et al. 2007, inovasi teknologi komoditas pertanian tanaman hias yang banyak diusahakan petani di wilayah Jakarta Barat antara lain: adenium, aglonema, euphorbia, sikas, palm, tricolor, batavia, dan pride sumatra sebagai komoditas unggulan. Semua komoditas tanaman hias ini diusahakan di lahan pekarangan pemukiman penduduk. Sebagian besar diusahakan sebagai tanaman pot sedangkan lahan hanya digunakan untuk membuat rak-rak tempat pot diletakkan dan sebagian lahan yang digunakan sebagai media tumbuh sementara. Sebagian besar petani tanaman hias ini mengembangkan tanaman pot sebagai tempat media tumbuh tanaman. Pengembangannya menggunakan lahan berem jalan toll dan tanah kapling yang masih kosong belum terbangun oleh pemiliknya. Sebagian lahan ada juga yang digunakan untuk menumbuhkan beberapa jenis tanaman tertentu seperti palm dan sikas. Keberlanjutan pertanian perkotaan sangat penting dalam hal; 1 integrasi pertanian perkotaan ke dalam kebijakan tata guna lahan dan ruang perkotaan seperti a penghapusan berbagai restriksi legal yang bersifat unsubstantiated, b intengrasi pertanian ke dalam perencanaan pengembangan perkotaan. 2 integrasi pertanian perkotaan ke dalam kebijakan ketahanan pangan dan kesehatan baik a akses pelaku pertanian perkotaan terhadap institusi penelitian, bantuan teknis dan pelayanan kredit, b perbaikan sistem pemasokan input dan distribusi produk, c peningkatan kepedulian atas resiko kesehatan akibat pertanian perkotaan, dan 3 integrasi pertanian perkotaan ke dalam kebijakan lingkungan, seperti a promosi penggunaan ulang limbah organik dan limbah air oleh petani perkotaan secara aman, b promosi metode usaha tani ramah lingkungan. Sehubungan dengan berbagai permasalahan dalam konteks pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan, sudah saatnya intervensi kebijakan fasilitasi dan kerangka kerja perencanaan pertanian perkotaan termasuk legislasi, aspek normatif, dan finansial serta institusional proses yang lebih serius. Instrumen kebijakan pertanian perkotaan harus dirancang berdasarkan integrasinya dengan beberapa kebijakan lain, misalnya: kebijakan tata guna lahan perkotaan, kebijakan ketahanan pangan serta kesehatan perkotaan, dan kebijakan lingkungan perkotaan. Tidak kalah pentingnya adalah pihak-pihak yang seharusnya mendapat manfaat dari legislasi perkotaan yaitu penduduk miskin perkotaan. Data informasi sumberdaya pertanian perkotaan secara detail sebagai dukungan terhadap penyusunan konsep dasar pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan, khususnya di wilayah DKI Jakarta belum tersedia. Informasi dan data detail dan aktual mengenai biofisik, penggunaan lahan dan ruang, sosial dan