5.4.4. Rumusan Model Kebijakan Pengembangan Pertanian Perkotaan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi wilayah perkotaan sudah merupakan agroecosystem tersendiri yang berbeda secara nyata dengan pertanian
di pedesaan, sehingga keberadaan instrumen kebijakan sebagai landasan hukum juga berbeda yang disesuaikan dengan kondisi perkotaan itu sendiri. Eksistensi
keberadaan lahan dan ruang untuk inovasi pertanian di perkotaan memegang peranan sangat penting dalam sistem produksi pertanian dan kualitas lingkungan.
Pengembangan lahan dan ruang untuk pertanian perkotaan merupakan determinan utama keberadaan luas pekarangan, kebun spesifik dan ruang terbangun untuk
kegiatan pertanian produktif. Menjaga eksistensi lahan dan ruang tidak hanya untuk keberlanjutan sistem produksi hasil pertanian dan kualitas lingkungan, tetapi usaha
tani perkotaan memberikan lapangan kerja dan menjadi sumber tambahan penghasilan masyarakat serta menjadi penyangga kestabilan ekonomi dalam
keadaan kritis dan berkaitan langsung dengan upaya penanggulangan kemiskinan poverty alleviation serta lingkungan lestari.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi saat ini dan faktor kunci penentu keberlanjutan, maka dirumuskan model kebijakan pertanian perkotaan
berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta sebagai berikut; 1 bentuk dan pola sistem pengembangan pertanian perkotaan, 2 keberlanjutan multidimensi aspek ekologi,
ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi, 3 atribut sensitif dan faktor kunci penentu keberlanjutan, 4 skenario dan arahan kebijakan. Rumusan model
kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan terhadap penentu keberlanjutan pertanian sebagai berikut; dimana pertanian perkotaan PK adalah
merupakan fungsi dari faktor dominan penentu keberlanjutan yaitu; luas pekarangan p, komoditas dan teknologi ramah lingkungan k, penyuluhan dan
kelembagaan pertanian l, perluasan ruang usaha tani r, kerjasama antar stakeholders s, dan pemberian insentif dan kompensasi pertanian i. Pendekatan
integratif faktor penentu dalam hubungan fungsi; PK = f p, k, l, r, s, i , yang menjadi pertimbangan penentuan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan
berkelanjutan. Keenam faktor kunci penentu keberlanjutan pertanian perkotaan dapat dideskripsikan sebagai berikut;
1. Luas pekarangan p; Upaya untuk memperluas pekarangan sampai dengan
30 dari luas kavling rumah tinggal dan perkantoran serta fasilitas umum lainnya. Melihat kondisi saat ini di wilayah DKI Jakarta, dimana rata-rata luas
pekarangan 10 dari luas kavling rumah, maka upaya memperluas pekarangan dapat dilakukan dengan sistem horisontal dan vertikal. Untuk memperluas
pekarangan, maka perlu kebijakan khusus bagi pengembang yaitu mengisyaratkan ketersediaan RTH 30 dan
rata-rata luas pekarangan 10 20 dari luas kavling rumah secara bertahap.
“Menurut Purnomohadi 2000, mengacu pada kondisi spesifik perkotaan, pengembangan atau perancangan model sistem produksi pertanian perkotaan
paling tidak harus memperhatikan dua kriteria yaitu “hemat lahan” dan produk relatif bersih. Sebagai contoh; di beberapa wilayah Jerman, pemerintah kota
mengeluarkan regulasi yang mengharuskan bangunan industri baru memiliki atap hijau dari materi tanaman. Juga kota-kota Swiss yang mengharuskan
konstruksi baru untuk merealokasi ruang terbuka hijau yang hilang akibat pembangunan konstruksi tersebut ke bagian atap bangunan baru Baatz, 1993
”.
2. Komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan k; Untuk
meningkatkan daya hasil lahan pekarangan dan kebun spesifik, maka perlu kebijakan penanaman selektif pada komoditas bernilai ekonomi tinggi yang
disesuaikan dengan kondisi lahanlingkungan. Meningkatkan program insentif berupa bibit tanaman menjadi 5-8 phnkk dari kondisi saat ini untuk jenis
tanaman produktif dengan penerapan teknologi intensif. Upaya peningkatan kegiatan penanaman, yang pada gilirannya masyarakat perkotaan dapat
memperbanyak sendiri populasi tanaman di lingkungannya. Jenis komoditas yang dikembangkan adalah tanaman hias, tanaman produktif tahunan seperti rambutan,
mangga, jambu, sawo, belimbing, melinjo. Pemanfaatan pekarangan dapat diintervensi dengan penerapan teknologi ramah lingkungan yaitu pertanian input
organik sistem vertikultur, sistem pot atau polibek dan sistem hidroponik pada komoditas tanaman buah, sayuran dan tanaman hias di sekitar rumah penduduk
atau halaman rumah, kantor, di atas bangunan dan sarana lainnya. Pengembangan dan implementasi model kawasan rumah pangan lestari MKRPL di wilayah
perkotaan dengan pengembangan komoditas pangan dan non pangan disekitar rumah.
3. Penyuluhan dan kelembagaan pertanian l; Upaya meningkatkan kinerja
penyuluhan dan kelembagaan pertanian dengan harapan bahwa para petani lebih
intensif atau secara berkala dan berkesinambungan mendapatkan pembinaan teknis dan fungsi kelembagaan efektif. Perlu kebijakan khusus penambahan
tenaga pertanian perkotaan khususnya tenaga pembina dilapangan baik penyuluh dan tenaga teknis lainnya sesuai kebutuhan wilayah dan keberadaan masyarakat
tani di perkotaan serta satuan administrasinya seperti kantor Balai Penyuluhan Pertanian BPP secara umum pertanian pangan, perikanan-kelautan, peternakan
dan kehutanan. Upaya memperkuat kelembagaan tani di wilayah pola kemitraan pelaku pertanian perkotaan. Pemberdayaan pelaku pertanian dengan insentif atau
kompensasi bagi petani kurang mampu dan daya hasil usahanya relatif rendah, seperti halnya pada usaha tani padi sawah.
4. Perluasan lahan dan ruang usaha tani r; perluasan lahan dan ruang usaha
tani pada kebun spesifik komoditas merupakan suatu hal yang sangat penting keberadaannya. Juga pemanfaatan ruang terbangun seperti di atap-atap rumah
dilakukan kegiatan usaha tani. Khususnya kota DKI Jakarta yang masih memiliki lahan sawah dan tegalan dalam kategori lahan sempit atau terbatas untuk
pengembangan pertanian, maka perlu kebijakan khusus untuk penggunaan atau pemanfaatannya atau mengoptimalkan daya hasil usaha tani yang dapat
digambarkan melalui penataan ruang. Kebijakan penghematan lahan untuk non pertanian dengan sistem rumah susun. Pengembangan RTH produktif pertanian di
lahan pekarangan. Penggunaan atau pemanfaatan lahan sawah secara optimal serta mempertahankan dengan kebijakan khusus dan tegalan atau lahan terlantar
di Jakarta didasari oleh philosophy konsep pemanfaatan lahan dan ruang untuk pertanian berwawasan lingkungan.
”Konsep pertanian berwawasan lingkungan adalah agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan
dan manusia. Impelentasi pembangunan ini dapat diwujudkan dengan inovasi teknologi yang sesuai dengan daya dukung sumberdaya lahanlingkungannya
Badan Litbang, 2003. Konsep perencanaan suatu perkotaan dalam penggunaan lahan seyogyanya tidak hanya dipenuhi oleh simbol-simbol kekuatan ekonomi
saja, tetapi berisikan simbol-simbol kekuatan sosio-kultural, pemerintahan. Disisi lain, keserasian antara simbol kegiatan masyarakat dengan simbol-simbol
lingkungan akan menciptakan suasana yang ”harmonis” serta ”nyaman” bagi warga perkotaan. Ekosistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat ruang
compartment secara berimbang, yaitu ruang sistem produksi, ruang sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna dan ruang sistem industri perkotaan.
Untuk implementasi konsep ruang tersebut diperlukan prosedur zonasi lanskap yang tepat Rustiadi et al.
2008”.
5. Kerjasama antar stakeholders s; Peningkatan koordinasi, kerja sama dan
keterpaduan dalam implementasi program kegiatan sesuai dengan tupoksi instansi masing-masing, akan meningkat perannya bila ada aturan pertanian perkotaan
sebagai dasar pedoman kegiatan bagi stakeholders dalam upanya pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Pola pengembangan pertanian perkotaan yang
dilakukan dapat dikelompokkan dalam 2 bentuk yakni berbentuk kerjasama dan swadaya oleh masyarakat perkotaan dan bentuk pola-pola kemitraan kegiatan
pertanian di wilayah DKI Jakarta. Upaya meningkatkan peran instansi terkait secara efektif dengan program terpadu yang dikoordinasikan oleh Bappeda
sebagai koordinator pembangunan wilayah.
6. Pemberian insentif dan kompensasi pertanian i; Berdasarkan kondisi usaha
tani di wilayah DKI Jakarta pada lahan dan ruang terbatas, baik di pekarangan untuk tanaman RTH produktif kategori kurang menguntungkan, sehingga
sebagian besar masyarakat berkeinginan untuk mendapatkan insentif berupa pemberian saprodi setiap dan pembebasan pajak tanah atau lahan usaha tani dan
kompensasi hasil usaha tani yang tidak menguntungkan lagi. Kenyataan dilapangan sudah ada kebijakan berupa program kegiatan dinas pertanian dalam
menyediakan bibit tanaman produktif, saprodi pada usaha tani sawah, tetapi masih mengalami banyak keterbatasan. Sehubungan dengan kondisi lapangan dan
kebutuhan petani,
maka diperlukan
suatu kebijakan
pemberian insentifkompensasi saprodi dan pembebasan pajak tanah pertanian lahan milik di
wilayah perkotaan. Menurut Nasoetion dan Winoto 1996 konversi lahan sangat sulit
dihindari karena permasalahan faktor-faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya nilai tanahlahan untuk kegiatan pertanian dibandingkan dengan
kegiatan sektor lain. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1:500 untuk kawasan industri dan 1:622 untuk kawasan perumahan, sehingga perlu upaya
untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian di perkotaan dengan memberi insentif dan kompensasi terhadap hasil petani.