Analisis Vegetasi Metodologi Penelitian

Penyebaran vertikal pada jenis-jenis raptor dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan. Untuk itu, perlu pengamatan mengenai struktur vertikal dan horizontal tanaman dengan menggunakan plot berukuran 10 x 40 m. Plot akan digambar dalam bentuk profil vertikal dan horizontal Lampiran 1. Profil Vertikal dibuat dalam bentuk tampak samping dengan memasukkan data posisi pohon dan tiang pada sumbu X, tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter tajuk. Sedangkan profil Horizontal akan dibuat dalam bentuk tampak atas dengan menggunakan data koordinat X,Y pohon dan tiang dan diameter tajuk. Gambar 3.11 Letak titik petak pengamatan untuk analisis vegetasi di core dan edge habitat g Indeks Nilai Penting INP Indeks nilai penting importance value index adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi tingkat penguasaan spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan Soegianto, 1994. Spesies- spesies yang dominan yang berkuasa dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar. Menurut Curtis dan Mc.Intosh 1950 dalam Gopal dan Bhardwaj, 1979 telah mengusulkan sebuah indeks yang disebut indeks nilai penting INP sebagai jumlah dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan luas penutupan relatif. Dengan demikian, indeks nilai penting INP dan indeks nilai penting untuk spesies ke-i INP-i dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : INP = KR + FR + CR INP-i = KR-i + FR-i + CR-i Keterangan : INP : Indeks Nilai Penting INP-i : Indeks Nilai Penting untuk Spesies ke-i KR : Kerapatan Relatif KR-i : Kerapatan Rekatif untuk Spesies ke-i FR : Frekuensi Relatif FR-i : Frekuensi Relatif untuk Spesies ke-i CR : Luas Penutupan Relatif CR-i : Luas Penutupan Relatif untuk Spesies ke-i a Jarak rata-rata individu pohon ke titik pengukuran d d = d1 + d2 + d3 + d4 + ... + dn n b Kerapatan seluruh spesies K K = Luas area Jarak rata-rata pohon c Kerapatan seluruh spesies per hektar K KR = 10.000m2 Jarak rata-rata pohon d Kerapatan relatif suatu spesies KR KR = Jumlah individu suatu spesies x 100 Jumlah individu semua spesies pohon e Kerapatan suatu spesies K-i K-i = KR x L 100 f Penutupan suatu spesies C C = K-i x rata-rata penutupan spesies g Penutupan relatif suatu jenis CR CR = Penutupan suatu spesies x 100 Penutupan seluruh spesies h Frekuensi suatu spesies F F = Jumlah titik ditemukannya suatu spesies Jumlah seluruh titik pengukuran i Frekuensi relatif FR FR = Frekuensi suatu spesies x 100 Frekuensi seluruh spesies h Indeks Keragaman Keragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen- komponennya. Soegianto 1994. Metode yang dilakukan untuk mengetahui kompleksitas vegetasi dapat digambarkan dengan keragaman yang dihitung dengan metode Shannon-Wiener, yaitu: H ’ = - Σ Pi In Pi dimana Pi = Σ Ni N Total Keterangan: H ’ : Indeks Keragaman Shannon-Wiener Pi : Jumlah individu suatu spesiesjumlah total seluruh spesies Ni : Jumlah individu spesies ke-i N total : Jumlah total individu Nilai perhitungan indeks keragam H ’ tersebut menunjukkan bahwa jika: H ’3 : Keragaman spesies tinggi 1H’3 : Keragaman spesies sedang H ’1 : Keragaman spesies rendah

3.3.7 Ekstrapolasi Model

Ekstrapolasi model dilakukan di wilayah Jawa Barat. Hal ini untuk memberikan gambaran mengenai bagian-bagian kawasan Jawa Barat yang sesuai untuk habitat dan penyebaran SMA. Data dan informasi mengenai bagian-bagian kawasan yang sesuai bagi SMA merupakan hal mendasar dalam melaksanakan pengelolaan yang lebih baik.

3.3.8 Output

Hasil dari data yang telah diinventarisasi dan dianalisis adalah peta distribusi habitat musim dingin SMA serta implikasi dari pengelolaan habitat musim dingin SMA di jawa Barat. Agar pengelola wilayah dapat mengembangkan strategi konservasi habitat dalam rencana jangka panjang bagi SMA di Jawa Barat. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Model Distribusi Habitat Musim Dingin SMA

Hasil analisis regresi logistik yang diperoleh dengan menggunakan independen sampel t-tes α 0,01 dengan sig p-value0,05 menunjukkan bahwa hanya sebelas variabel lingkungan yang bisa dianalisis lebih lanjut karena variabel tersebut berbeda nyata significant atau memiliki perbedaan antara presence dan pseudo-absence Tabel 4.1. Namun tidak untuk tujuh variabel. Tabel 4.1 Hasil uji T-test untuk 18 variable lingkungan Parameter t-test for Equality of Means Keterangan t df Sig. 2-tailed Air JTBA 3.987 584.0 7,54E+00 Signifikan 3.987 434.4 7,84E+00 Hutan JTHT -3.344 584.0 0.000879 Signifikan -3.344 317.5 0.000925 Kebun JTKB -3.880 584.0 0.000116 Signifikan -3.880 431.7 0.000120 Lahan Kering JTLK -3.709 584.0 0.000227 Signifikan -3.709 491.0 0.000231 Permukiman JTPK -0.105 584.0 0.916090 Tidak Signifikan -0.105 333.9 0.916117 Sawah JTSH 2.548 584.0 0.011092 Signifikan 2.548 576.8 0.011095 Semak JTSB -0.452 584.0 0.651396 Tidak Signifikan -0.452 541.5 0.651409 Slope 0-3 JTK1 0.870 584.0 0.384907 Tidak Signifikan 0.870 582.1 0.384908 Slope 3-8 JTK2 0.525 584.0 0.599594 Tidak Signifikan 0.525 578.6 0.599596 Slope 8-15 JTK3 0.921 584.0 0.357628 Tidak Signifikan 0.921 581.7 0.357629 Slope 15-25 JTK4 -1.211 584.0 0.226325 Tidak Signifikan -1.211 574.9 0.226333 Slope 25-40 JTK5 -3.323 584.0 0.000945 Signifikan -3.323 569.6 0.000947 Slope 40 JTK5 1.637 584.0 0.102146 Tidak Signifikan 1.637 560.3 0.102169 Elevasi 0-300 JTE1 -2.004 584.0 0.045481 Signifikan -2.004 328.7 0.045840 Elevasi 300-500 JTE2 -9.469 584.0 6,88E-15 Signifikan -9.469 335.1 5,22E-14 Elevasi 500-700 JTE3 -5.310 584.0 1,56E-02 Signifikan -5.310 396.9 1,83E-02 Elevasi 700-1000 JTE4 -5.917 584.0 5,58E-04 Signifikan -5.917 442.6 6,56E-04 Elevasi 1000 JTE5 -6.758 584.0 3,39E-06 Signifikan -6.758 438.9 4,46E-06 Variabel yang tidak berbeda nyata tidak signifikan diantaranya adalah variabel jarak terdekat dengan permukiman, jarak terdekat dengan semak belukar JTSB, jarak terdekat dengan slope 0-3 JTK1, jarak terdekat dengan slope 3- 8 JTK2, jarak terdekat dengan slope 8-15 JTK3, jarak terdekat dengan slope 15-25 JTK4 dan jarak terdekat dengan slope diatas 40 JTK6. Berikut adalah tabel hasil uji T-test untuk 18 variabel lingkungan. Hasil analisis regresi logistik juga menunjukan bahwa dari 18 variabel lingkungan, hanya 7 variabel yang terdeteksi sebagai variabel penting bagi karakteristik distribusi habitat musim dingin SMA. Hasil analisis regresi logistik terhadap 18 variable pada taraf nyata α = 5 dengan metode Forward Stepwise yaitu sebagai berikut : Dilihat dari hasil regresi logistik dengan metode Forward Stepwise LR, diketahui bahwa model habitat musim dingin SMA dipengaruhi oleh variabel jarak terdekat dari kemiringan 25-40 JTK5, jarak terdekat dari elevasi 0-300 m JTE1, jarak terdekat dari elevasi 300-500 m JTE2, jarak terdekat dari elevasi 1000 m JTE5, jarak terdekat dari hutan JTHT, jarak terdekat dari sawah JTSH dan jarak terdekat dari badan air JTBA. Model dapat diterima karena memiliki tingkat akurasi yang tinggi, baik untuk akurasi Hosmer- Lemeshow 86,2 dan Nagelkerke R² 94. Berikut merupakan hasil koefisien, p-value, akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke R² dengan metode Forward Stepwise LR yang dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 T-test, akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke R² dengan metode Forward Stepwise LR Variabel Coeffi p-value sig Hosmer Lemeshow Nagelkerke R 2 Slope 25-40 JTK5 3,366 0,000 86,2 94 Elevasi 0-300 m JTE1 4,304 0,000 Elevasi 300-500 m JTE2 -5,752 0,000 Elevasi 1000 m JTE5 -2,811 0,002 Hutan JTHT -2,467 0,013 Sawah JTSH -0,914 0,011 Badan Air JTBA 1,259 0,034 Konstanta -1,610 0,001 Sebelum model regresi logistik diektrapolasi di Jawa Barat, telah dilakukan validasi terlebih dahulu. Hasil validasi menunjukan bahwa model ini memiliki commision error dan omission error sebesar 20,34. Gambar 4.1 dan Tabel 4.3 menunjukan model habitat musim dingin SMA di Talaga Bodas beserta patch habitatnya. Sedangkan gambar 4.2 menunjukan model validasi habitat musim dingin SMA. Karakteristik core habitat dan edge habitat dipengaruhi oleh ketujuh variabel lingkungan, diantaranya adalah kemiringan dan elevasi. Kemiringan dan elevasi adalah ciri fisik berupa topografi wilayahbentukan lahan Syartinilia et al, 2013. Kombinasi kedua fitur ini beserta pengaruh cuaca akan menghasilkan angin termal ARRCN 2012. Angin termal yaitu angin yang bergerak karena panas cuaca dari matahari, sehingga udara akan naik dan menimbulkan angin yang mengarah ke atas.     JTBA . JTSH . JTHT . JTE . JTE . JTE . JTK . . i P 259 1 914 467 2 5 811 2 2 752 5 1 304 4 5 366 3 610 1 exp 1 1          