Latar belakang masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Peternakan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai saat ini sudah semakin berkembang dan telah mencapai kemajuan yang cukup pesat. Sebenarnya, perkembangan ke arah komersial sudah ditata sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan pada saat ini peternakan di Indonesia sudah banyak yang berskala industri. Apabila perkembangan ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang profesional dan tata laksana yang baik, produksi ternak yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan harapan, bahkan peternak bisa mengalami kerugian. Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23 pada tahun 2007 Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah Mersyah 2005, dalam Hadi et al 2002; hal 145 sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar antara permintaan dan penawaran Setiyono 2007, dalam hadi et al 2002; hal 147. Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton, atau setara dengan 1,70 −2 juta ekor sapi potong Koran Tempo tanggal 12 oktober 2008, sementara produksi hanya 288.430 ton. commit to user 2 Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2010 sebesar 2,72kgkapitatahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri mencapai 654.400 ton dan rata-rata tingkat pertumbuhan konsumsi 1,49tahun Badan Pusat Statistik tahun 2005. Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah melakukan impor daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan Priyanti 1998, dalam Hadi et al 2002; hal 147. Tujuan pemeliharaan sapi potong oleh peternakan rakyat adalah untuk pembibitan reproduksi dan penggemukan Prasetyo 1994, dalam Hadi et al 2002; hal 148. Usaha pembibitan umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang, sedangkan usaha penggemukan banyak terdapat di daerah dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup. Usaha pembibitan relatif tidak memerlukan banyak pakan karena tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan pedet, sedangkan penggemukan memerlukan lebih banyak pakan karena tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan daging. Kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah intensif disebabkan peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen yang terbatas. Kecilnya pemilihan ternak juga karena umumnya usaha pembibitan atau penggemukan merupakan usaha sampingan, selain usaha tani utama seperti padi, palawija, sayuran atau tanaman perkebunan. Di daerah pertanian ekstensif, cukup besarnya skala usaha disebabkan commit to user 3 padang rumput untuk penggembalaan cukup tersedia, sehingga kebutuhan tenaga kerja dan biaya pakan dapat dikatakan hampir mendekati nol Hadi et al, 2002; hal 149. Sapi potong sudah menjadi salah satu pilihan komoditas yang diyakini bisa menjadi sumber pendapatan keluarga karena proses pemeliharaan sapi potong sebenarnya cukup mudah, namun yang menjadi permasalahan adalah pemeliharaan yang dilakukan para peternak. Beberapa peternak belum memiliki orientasi bahwa beternak sapi potong bisa menjadi sumber pendapatan utama. Hal itu kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka tentang beternak sapi potong. Masalah utama usaha penggemukan komersial adalah tingginya biaya tetap fixed cost untuk manajemen dan lain – lain. Untuk menekan biaya diperlukan sapi bakalan yang harganya relatif murah tetapi mempunyai ADG penambahan berat harian yang tinggi. Selama ini, perusahaan swasta mengimpor sapi bakalan dari Australia karena dinilai lebih murah dibanding mendatangkan sapi lokal jenis Peranakan Ongole dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat atau daerah lainnya. Jika pembibitan dapat dilakukan di Jawa yang sekaligus merupakan daerah sentra konsumen daging sapi di Indonesia, dengan menggunakan bangsa sapi dengan ADG yang tinggi seperti peranakan Simmental atau sederajad, maka peternak kecil berpeluang untuk memasok sapi bakalan secara lebih efisien bagi usaha penggemukan. Teknologi pembibitan mungkin tidak dipengaruhi skala usaha bersifat “ scale neutral” , tetapi meningkatnya skala akan menghemat biaya size commit to user 4 economies. Kebutuhan pakan dan biaya bakalan per ekor akan sama pada skala kecil dan besar, tetapi pada skala besar biaya operasional lebih efisien. Total biaya tetap akan semakin besar dengan meningkatnya usaha, tetapi dengan jumlah induk yang makin besar, biaya manajemen untuk memproduksi per ekor pedet akan makin kecil. Keadaan ini merupakan dampak positif dari meningkatnya pendidikan dan pendapatan masyarakat serta semakin selektifnya konsumen. Faktor penunjang lainnya adalah semakin digalakkannya subsektor kepariwisataan yang pada kenyataannya memang menuntut ketersediaan daging berkualitas tinggi. Namun, hal ini tidak didukung dengan ketersediaan bakalan sehingga sampai saat ini Indonesia masih banyak mengimpor sapi dari negara lain. Sudah saatnya kita melakukan koreksi total bagi penanganan usaha peternakan rakyat, yang dalam skala makro, tidak hanya akan meningkatkan taraf kehidupan peternak, tetapi juga penghematan devisa. Peningkatan skala usaha, penanganan yang lebih intensif dan penggunaan berbagai hasil penelitian di bidang pakan ternak, pemuliaan ternak, pencegahan dan pengobatan penyakit ternak yang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi dan lembaga – lembaga penelitian lainnya, yang terbukti mampu meningkatkan produktivitas ternak sudah saatnya dilakukan. Program aksi untuk mewujudkan swasembada daging sapi pada tahun 2010 antara lain dapat dilakukan melalui kebijakan teknis pengembangan agrobisnis sapi pola integrasi tanaman ternak berskala besar dengan pendekatan berkelanjutan dan commit to user 5 biaya murah serta optimalisasi pemanfaatan limbah atau yang dikenal dengan istilah low external input sustainable agriculture LEISA dan zero waste, terutama di wilayah perkebunan. Kegiatan operasional untuk pengembangan usaha pembibitan sapi potong yang murah dan efisien dapat dilakukan secara terintegrasi melalui perkebunan, tanaman pangan, dan memanfaatkan sumber pakan biomas lokal Nuansa Aulia, 2009. Perkembangan peternakan sapi pedaging di Indonesia saat ini lebih mengarah kepada segi komersial yang pengelolaannya telah dilakukan secara profesional. Sistem penggemukan sapi pun semakin modern karena terpacu oleh tuntutan penyediaan daging yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Upaya pemerintah dalam mengantisipasi kenyataan ini sebenarnya sudah bisa dirasakan, sebagai contoh daerah Indonesia bagian Timur telah dicanangkan sebagai wilayah pengembangan ternak potong, terutama sapi penghasil daging. Sementara itu, di Pulau Jawa, pada dekade terakhir ini telah berkembang pula usaha penggemukan pedet. Bahkan dari pedet jantan sapi perah pun yang dahulu kurang mempunyai nilai selain untuk pejantan, kini kelahirannya sudah ditunggu – tunggu untuk dipersiapkan masuk ke dalam kandang penggemukan. Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam pengembangan usaha penggemukan sapi dan untuk menjaga eksistensi usaha penggemukan sapi di tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu meliputi Kecamatan Kedawung, Kecamatan Sambirejo dan Kecamatan Sragen adalah bagaimana mengkondisikan para pengusaha penggemukan sapi yang ada untuk commit to user 6 menggunakan faktor-faktor produksi yang ada dengan seefisien mungkin sehingga akan menghasilkan output dan keuntungan yang optimal. Kecamatan Kedawung, Kecamatan Sambirejo dan Kecamatan Sragen menarik untuk diteliti karena ketiga kecamatan tersebut merupakan sentra, pemasok daging sapi terbanyak di Kabupaten Sragen dengan total mencapai 1380 ton per tahun sumber: Badan Pusat Statistik tahun 2008 dan pionner, yaitu perintis usaha penggemukan sapi sejak tahun 1987 sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sragen usaha penggemukan sapi di kabupaten Sragen, kontribusi terhadap PDRB dari usaha penggemukan sapi juga sangat tinggi, selain itu jumlah peternak penggemukan sapi didaerah ini cukup banyak dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Sragen sumber: www.sragenkab.go.id Kecamatan Kedawung, Sambirejo dan Sragen terus berupaya meningkatkan produktifitas usaha penggemukan sapi guna memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat dan meningkatkan kuantitas serta kualitas peternakan salah satu upaya yang dilakukan adalah pinjaman modal pada akhir tahun 2006 untuk sapi kereman sebesar Rp.150.000.000,00 dengan bunga 1,1 per bulan sebagai bantuan modal usaha penggemukan sapi dari pemerintah kepada ketiga kecamatan tersebut, serta untuk mememenuhi kebutuhan permintaan daging sapi yang terus meningkat di Kabupaten Sragen pada khususnya dan wilayah Karisidenan Surakarta pada umumnya. Mengingat besarnya kontribusi daging sapi di tiga kecamatan tersebut terhadap permintaan daging sapi di Kabupaten Sragen, maka perlu adanya sebuah commit to user 7 penelitian yang bisa dijadikan salah satu alternatif solusi masalah-masalah yang dihadapi oleh para pengusaha penggemukan sapi. Dalam hal ini yaitu bagaimana mengkombinasikan semua faktor-faktor produksi yang ada agar dapat dikelola dengan baik sehingga produksi daging sapi, umumnya di Kabupaten Sragen dapat dioptimalkan dan produksi daging sapi di Kabupaten Sragen pun akan lebih efisien. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penulis akan mencoba untuk menganalisis efisiensi produksi usaha penggemukan sapi di tiga kecamatan, Kabupaten Sragen dengan judul ”ANALISIS EFISIENSI USAHA PENGGEMUKAN SAPI Studi Kasus Di Kecamatan Kedawung, Sambirejo dan Sragen, Kabupaten Sragen”.

B. Perumusan masalah