BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan angka kejahatan di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Kejahatan yang terjadi tidak hanya pada golongan-golongan menengah kebawah.
Namun virus kriminalitas telah merambat kepada golongan-golongan elit negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pejabat negara yang menjadi
narapidana. Menurut Busyro Mugodas, setidaknya ada 10 profesor dan 200 doktor yang terjebak kasus korupsi.
1
Kejahatan akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan suatu negara. Bahkan dapat mempengaruhi perekonomian pada
suatu negara. Sehingga, seharusnya menjadi keseriusan aparat penegak hukum untuk memberantas kejahatan.
Dalam dunia kriminologi, dikenal istilah “White Collar Crime”. Kejahatan ini merupakan klasifikasi kejahatan, yang mana manusia berintelektual
serta memiliki jabatan-jabatan penting dalam suatu instansi sebagai pelaku utama kejahatan, maupun menjadi aktor di belakang layar dalam kasus kejahatan. H.
Sutherland meyebutkan istilah white collar crime dalam pidatonya di depan American Sosiological Society pada Tahun 1939, yang kemudian dijabarkan
dalam bukunya Principles of Criminology. Sutherland merumuskan white collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya crime commited
1
Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Progresif, Thafa Media : Yogyakarta, 2015. Hal. 3
Universitas Sumatera Utara
by person of respectability and high social status in the course of their occupation. Salah satu contohnya adalah kasus tindak pidana korupsi dan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Yang menjadi subjek utama dari Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak pidana korupsi adalah orang yang memiliki strata
sosial yang tinggi. Menurut Sutherland, teori ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk merombak teori tentang perilaku kriminal yang secara tradisional
sudah striotip, yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan adalah orang-orang yang berasal dari strata sosial yang rendah.
2
Dalam konteks ke-Indonesiaan, sudah menjadi kesadaran kolektif bahwa korupsi harus diberantas karena dampak yang ditimbulkan sangat merugikan.
3
Korupsi dan pencucian uang sangat membebani masyarakat miskin, dan juga menciptakan resiko ekonomi makro yang tinggi. Bahkan beresiko terhadap
kestabilan keuangan negara. Ardila Caesar, salah seorang peneliti dari Indoneian Corruption Watch
ICW menyebutkan total kerugian negara sepanjang semester pertama 2015 akibat korupsi adalah Rp 691,772 miliar dari 161 kasus, namun yang diputus
untuk membayar uang pengganti hanya Rp 63,175 miliar.
4
Penelitian tersebut membuktikan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi
2
.Strata sosial merupakan tingkatan-tingkatan kehidupan yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Tanpa disadarai, sebenarnya strata sosial mempengaruhi kehidupan dan kepribadian
seseorang dalam bermasyarakat.. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumi : Bandung, 1992. Hal. 1.
3
Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, Lingkar Hukum Progresif, Thafa Media : Yogyakarta, 2009
Hal.1 dalam Yudi Kristiana, Op.Cit Hal. 1.
4
Harian Terbit Nasional, Artikel “ICW : Hanya 9 Persen Kerugian Negara Akibat Korupsi Yang Digantikan” Tanggal 25 Agustus 2015
http:nasional.harianterbit.comnasional201508253927225ICW-Hanya-9-Persen-Kerugian- Negara-Akibat-Korupsi-yang-Digantikan
, Diakses Tanggal 8 Januari 2016 Pukul 12:21 WIB.
Universitas Sumatera Utara
sangat besar. Sedangkan hasil dari upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi sangat minim, dan
tentunya akan berdampak pada stabilitas keuangan negara. Tindak Pidana Korupsi memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat
erat dengan tindak pidana pencucian uang. Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan salah satu tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan serius
serious crime. Tindak Pidana Pencucian Uang pada dasarnya merupakan tindak pidana yang digunakan untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana. Salah satu
tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang adalah Tindak Pidana Korupsi. Pelaku tindak pidana korupsi kerap kali menyamarkan uang hasil korupsi,
dengan cara melakukan transaksi keuangan seperti yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Tujuannya agar perbuatan tersebut tidak
terdeteksi oleh aparat penegak hukum yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana tersebut. Permasalahan ini sering terjadi di
Indonesia, dan kerap kali penanganan kasus tersebut tidak maksimal. Karena dalam undang-undang materil yang mengatur tindak pidana tersebut masih
terdapat banyak hal yang menimbulkan multi tafsir. Selain itu, terdapat ketidak sinkronan undang-undang yang terkait. Maka dari hal tersebut, perlu penanganan
yang serius pula dalam memberantas kejahatan serius serious crime ini. Sama halnya dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana pencucian uang
juga memilki dampak yang akan merugikan masyarakat. Secara langsung
Universitas Sumatera Utara
pencucian uang tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Tindak Pidana Pencucian Uang tidak seperti halnya perampokan, pencurian atau
pembunuhan yang ada korbannya dan yang menimbulkan kerugian bagi korbannya. Di zaman orde baru di Indonesia, yaitu pada saat Soeharto sebagai
Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang dengan membuat undang-undang
tentang tindak pidana pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan perbuatan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman
modal asing yang sangat diperlukan bagi pembangunan Indonesia. Dengan kata lain, kriminalisasi perbuatan pencucian uang justru merugikan masyarakat
Indonesia karena akan menghambat pembangunan.
5
Untuk menangani kategori kejahatan luar biasa tersebut, sistem peradilan pidana menjadi salah satu wadah untuk melakukan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Pada dasarnya, Pelaksanaan perdilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat.
6
Sistem peradilan pidana yang baik sangat dibutuhkan dan diharapkan mampu memberantas setiap bentuk perbuatan yang akan membahayakan orang lain,
maupun membahayakan kondisi negara. Agar terciptanya tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut, tentu diharapkan setiap lembaga dapat menjalankan
tugasnya secara profesional disetiap tingkatan, dan sepatutnya komponen yang terdapat dalam sistem peradilan pidana memiliki visi dan misi yang sama untuk
5
Sutan Remi Sjahdeni, Artikel “Kerugian Negara Akibat Pencucian Uang”, Jakarta, 2 Januari 2013, http:www.interpol.go.ididkejahatan-transnasionalpencucian-uang97-kerugian-
negara-akibat-pencucian-uang . Diakses pada tanggal 8 Januari 2016 Pukul 01.02 WIB.
6
Abdussalam, DPM SItompul, Sistem Peradilan pidana, Restu Agung : Jakarta, 2007. Hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
menghindarkan pola fikir instansi sentris yang dapat merusak sistem peradilan pidana.
Dalam Kitab Hukum Acara Pidana KUHAP, lembaga-lembaga penegak hukum telah ditentukan tugas dan wewenangnya masing-masing. Misalnya dalam
hal penuntutan. Dalam KUHAP, kewenangan penuntutan tindak pidana diberikan kepada lembaga Kejaksaan. Namun, dalam Pasal 284 ayat 2 KUHAP, terdapat
pengecualian terhadap tindak pidana bersifat khusus yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Secara tidak langsung, KUHAP memberikan kewenangan
kepada instansi lain yang bersifat khusus untuk bertindak sebagai penyelidik, penyidik maupun penuntut umum, dengan dasar hukum yang bersifat khusus pula.
Salah satu contohnya adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantsan Korupsi KPK, yang memberikan
kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Fakta hukum yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah terdapat beberapa kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi KPK sebagai Penuntut Umum. Padahal, dalam Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK
hanya berwenang menuntut tindak pidana korupsi. Logika hukumnya adalah apabila Undang-undang KPK tidak melegitimasi KPK melakukan penuntutan
Tindak Pidana Pencucian Uang, aturan normatif kembali kepada KUHAP, yang mana Jaksa yang berwenang melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian
Uang tersebut. Namun, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
Universitas Sumatera Utara
10PID.SUSTPK2014PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Akil Mochtar dengan KPK sebagai Penuntut Umum menjadi salah satu contoh penyimpangan terhadap
penerapan undang-undang oleh aparat penegak hukum. Dan hal tersebut menimbulkan ambiguitas terhadap materi dari Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam permasalahan kewenangan KPK melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi, maka penulis akan
menuangkannya secara lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang berjudul :
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI KPK DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK
PIDANA KORUPSI STUDI PUTUSAN NOMOR 10PID.SUSTPK2014JKT.PST ATAS NAMA TERDAKWA AKIL
MOCHTAR. B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana hubungan antara tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana
Pencucian Uang ?. 2.
Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam penuntutan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana
korupsi ?.
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan