BAB II HUBUNGAN ANTARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG A.
Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak yang sangat besar, baik di sektor ekonomi maupun sektor moral dan keseimbangan negara. Sehingga
korupsi dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa extra ordiniory crime dan menjadi musuh besar pada setiap negara. Berbagai upaya dilakukan
oleh setiap negara untuk memberantas korupsi. Misalnya dengan dibentuknya Independent Comission Againts Coruption ICAC di Australia dan Hongkong,
Badan Pencegah Rasuah di Malaysia, Corrupt Practices Investigation Bureau CPIB di Singapura, Counter Coruption Art CCA di Thailand, Komisi
Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan lainnya.
36
Berbagai badan anti korupsi di dunia memiliki visi dan misi yang sama. Yaitu memberantas korupsi dan bersifat independen. Hanya saja, setiap negara
memiliki landasan Filosofis, Yuridis, Sosiologis serta landasan historis yang berbeda. Perbedaan landasan tersebut mempengaruhi bagaimana cara, proses dan
kewenangan setiap negara dalam melakukan pemberantasan korupsi. sehingga dapat disimpulkan bahwa badan anti korupsi di dunia memiliki tujuan yang sama.
Namun memiliki cara yang berbeda dalam melakukan pemberantasan korupsi. Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis
kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas
36
Andi Hamzah,Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika : Jakarta, 2005 Hal. 9-67.
Universitas Sumatera Utara
bumi ini. Yang menjadi masalah utama adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam
pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan
korupsi.
37
Selain itu, Adolfo Beria memandang korupsi sebagai fenomena dunia yang keberadaannya mengikuti sejarah manusia itu sendiri.
38
Howard Jones berpendapat kemajuan-kemajuan di setiap bidang menjadi biang dari
perkembangan kejahatan.
39
Maka dalam pemberantasan korupsi yang semakin berkembang, perlu diadakannya pembaharuan aturan terkait tindak pidana korupsi
sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Pembaharuan hukum khususnya di bidang hukum pidana pada hakikatnya bermakna suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
40
Hal tersebut merupakan refleksi dari filsafat hukum tentang living law yang dikemukakan oleh Eugen Erlicht, dalam arti selaras dengan kenyataan
hidup ditengah pergaulan dan mencerminkan nilai yang ada di tengah masyarakat. Tindak pidana korupsi kian berkembang di Indonesia, bahkan di dunia.
Globalisasi menjadi salah satu faktor utama berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia. Korupsi bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Korupsi telah
37
.Ibid Hal. 1
38
Yudi Kristiana, Op.Cit Hal. 3
39
Howard Jones, Crime in Changing Society, yang dikutip oleh Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap Hukum Pidana, Sinar Baru: Jakarta 1983 Hal.
32
40
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2008. Hal. 25
Universitas Sumatera Utara
ada dan meracuni bangsa Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Sejarah mencatat bahwa salah satu penyebab utama runtuhnya Vereenigde Oostindische Compagnie
VOC yang merupakan organisasi terbesar milik Belanda yang mempunyai kekuasaan penuh atas wilayah jajahan Hindia Belanda adalah karena korupsi yang
telah mengakar dan menghancurkan sistem perekonomian VOC.
41
Pasca proklamasi, pemerintah Indonesia tidak menutup mata atas tindak pidana korupsi ini. KUHP yang merupakan kitab undang-undang yang berlaku di
Indonesia atas pemberlakuan asas concordantie, memuat beberapa ketentuan yang terkait tindak pidana korupsi, yang termuat dalam beberapa Pasal dalam 3 bab,
yaitu : 1.
Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, terletak pada Pasal 209, dan Pasal 210 KUHP.
2. Bab XXI tentang perbuatan curang, terletak pada Pasal 387 dan 388
KUHP 3.
Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, terletak pada Pasal 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Rumusan tindak pidana korupsi yang termuat dalam KUHP terdiri dari empat kelompok delik, yaitu :
1. Kelompok tindak pidana penyuapan, yang terdiri dari Pasal 209, 210,
418, 419, dan 420 2.
Kelompok tindak pidana penggelapan, yang terdiri dari Pasal 415, 416, dan 417 KUHP
41
Bayu Widyatmoko, Kronik Peralihan Nusantara, Liga Raja-Raja Hingga Kolonial, Mata Pada Pressindo: Jakarta, 2014.Hal. 569
Universitas Sumatera Utara
3. Kelompok tindak pidana kerusakan, yang terdiri dari Pasal 423 dan 425
KUHP 4.
Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransi dan rekanan yang terdiri dari Pasal 378, 388 dan 435 KUHP.
Secara keseluruhan, di dalam KUHP terdapat 13 buah Pasal yang mengatur dan membuat rumusan tindak pidana, yang kemudian diklasifikasikan
sebagai tindak korupsi. akan tetapi, di dalam KUHP tidak ada satu Pasal pun yang memberikan definisi dari tindak pidana korupsi. KUHP menjadi peraturan
pertama yang mengatur ketentuan pidana terhadap tindak pidana yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dalam sejarah hukum positif
Indonesia. S.M Amin berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan terkait tindak pidana korupsi dalam KUHP sudah cukup untuk mengatur perbuatan korupsi.
Pendapat tersebut bukan tanpa alasan. Amir Hamzah berpendapat Pasal-Pasal KUHP yang memuat rumusan delik korupsi persentasenya 74 dari semua
rumusan delik tundak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi.
42
Namun faktanya KUHP sendiri tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perkembangan masyarakat dalam usaha kemerdekaan melihatkan potensi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh elit negara. Sehingga, KUHP
dianggap tidak mampu untuk mengikuti perkembangan kehidupan di masyarakat. Sebagai kebijakan sosial, pembaruan tindak pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan masalah
42
Elwi Daniel, Op.Cit Hal. 27
Universitas Sumatera Utara
kemanusiaan dalam rangka menunjang terwujudnya tujuan nasional. Berpijak terhadap filsafat hukum yang dikemukakan oleh Eugen Erlicht tentang living law,
maka sudah sewajarnya ada pembaruan hukum pidana yang dianggap tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam memberantas tindak pidana korupsi. Salah
satu contohnya adalah rumusan delik yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam KUHP. Akibatnya banyak terjadi penyelewengan kekuasaan negara
yang tidak dapat dituntut karena perbuatan tersebut tidak termasuk kedalam rumusan yang ada dalam KUHP. Oleh karena itu, perlu ada aturan khusus yang
mengatur tentang tindak pidana korupsi tersebut. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka pemerintah memerlukan
keleluasaan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Atas dasar tersebut pemerintah membentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor PRTPM061957
yang hanya berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat pada tanggal 9 April 1957. Peraturan penguasa militer ini merupakan cikal bakal undang-undang tindak
pidana korupsi. Dalam Konsideran Peraturan Penguasa Militer tersebut menggambarkan adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan. Perumusan tindak pidana korupsi dalam Peraturan Penguasa Militer PRTPM061957 adalah :
1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk
kepentingan sendiri, maupun kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian bagi keuangan negara
Universitas Sumatera Utara
2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabatn yang menerima
gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau
kewenangan atau kekuasaan yang diberikan keadanya oleh pejabat langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau
materiil baginya. Konsep tindak pidana korupsi dalam Peraturan Penguasa Militer
PRTPM061957 dianggap tidak lengkap dan belum efektif. Sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan lain. Dalam hal pemilikan harta benda tidak
dirumuskan pada peraturan tersebut. Untuk melengkapi aturan tersebut, dibentuk Peraturan Penguasa Militer PRTPM081957 pada tanggal 22 mei 1987 tentang
pemilikan harta benda. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya dalam kepentingan negara terhadap pemberantasan tindak
pidana korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang untuk mengadakan kepemilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam
daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Dalam Pengaturan Penguasa Militer PRTPM081957 memungkin adanya
penyitaan terhadap : 1.
Harta benda atau barang yang dengan sengaja atau karena kelalaian tidak diterangkan oleh pemiliknya atau pengurusnya
2. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya
Universitas Sumatera Utara
3. Harta benda orang yang kekayaannya oleh pemilik atau pemilik
pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan merugikan
4. Harta benda yang tidak memiliki syarat-syarat tertentu disita menjadi
milik negara. Apabila penguasa militer melihat adanya indikasi kekayaan yang illegal,
maka penguasa militer berhak untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi, eksekusi penyitaan harta kekayaan belum memiliki dasar hukum yang kuat. Sehingga
dibentuk Peraturan Penguasa Militer PRTPM111957 yang dijadikan sebagai dasar hukum melakukan penyitan harta benda yang dianggap hasil perbuatan
korupsi. Kemudian dibentuk Peraturan Penguasa Perang PRTPEPERPU0131958 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan
Perbuatan Korupsi. Peraturan penguasa perang tersebut merupakan pengganti atas Peraturan Penguasa Militer PRTPM061957, PRTPM081957,
PRTPM111957 atas perintah Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya.
Pada intinya, Peraturan Penguasa Perang PRTPEPERPU131958 mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi lebih baik dan lebih lengkap
dibandingkan peraturan lainnya. Apabila ditelaah, Peraturan Penguasa Perang ini merupakan gabungan dari Peraturan Penguasa Militer sebelumnya. Pasal 2 dan
Peraturan Penguasa Perang PRTPEPERPU131958 merumuskan delik tentang tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 2 disebutkan :
Universitas Sumatera Utara
1. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelangggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung mreugikan keuangan
atau perekonoman negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum
lain yang mempergunakan kelonggaran dari masyarakat 2.
Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran, memperkaua diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan dan yang dilakukan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan 3.
Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan Dallam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420
KUHP. Dalam Pasal 3 Peratuan tersebut merumuskan lain tindak pidana korupsi,
yaitu : 1.
Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat 2.
Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Universitas Sumatera Utara
Barda Nawawi Arif menyatakan perumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahun 1958, perbuatan
tersebut bukan merupakan tindak pidana. Melainkan perbuatan yang dianggap tercela. Dan sanksi yang digunakan bukan sanksi pidana, melainkan sanksi
perampasan harta kekayaan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas.
43
Peraturan-peraturan penguasa militer ini merupakan suatu bentuk kehendak penguasa political will pada saat itu untuk memberantas korupsi di
Indonesia, meskipun belum terdapat kesempurnaan dan masih banyak kekurangan dalam perumusan tindak pidana korupsi tersebut.
Perlu digaris bawahi, Peraturan Penguasa Perang Tahun 1958 hanya berlaku bagi daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat. Hal tersebut mendorong
dibentuknya suatu peraturan bagi daerah Penguasaan Militer Angkatan Laut Nomor PRTZL171958. Maksud dan tujuan dari peraturan penguasa militer baik
Angkatan Darat maupun Angkatan Laut adalah agar dalam waktu sesingkat- singkatnya dapat diberantas perbuatan korupsi yang pada saat itu sedang
merajalela sebagai akibat dari anggapan seakan-akan pemerintah tidak memiliki wibawa lagi.
Peraturan Penguasa Militer tersebut tidak berlaku lama. Setelah dua Tahun Peraturan Penguasa Militer tersebut tidak berlaku, pemerintah berinisiatif untuk
membentuk sebuah undang-undang mengenai tindak pidana korupsi. Peraturan tersebut tidak berlaku karena tindak pidana korupsi kian berkembang. Sehingga
formulasi aturan tindak pidana korupsi dalam peraturan tersebut tidak efektif lagi.
43
Barda Nawawi Arief, “Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, Surabaya, 2013. Hal. 2. Merupakan modul Pelatihan Hakim Militer Di Surabaya, 20
s.d. 23 Maret 2013
Universitas Sumatera Utara
Keadaan Indonesia yang darurat korupsi pada masa pemerintahan Orde Lama tersebut tidak memungkinkan pemerintah membentuk sebuah undang-undang.
Sehingga pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang PERPU Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dengan staatblad Nomor 72 Tahun 1960. Setelah satu Tahun berlaku Perpu Nomor 24 Prp Tahun 1960, dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961, Perpu Nomor 24 Prp Tahun 1960 dikukuhkan menjadi Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Undang-undang
Nomor 24 Prp Tahun 1960 ini merupakan refleksi dari Peraturan Penguasaan Militer pada masa Orde Lama. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan delik
Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 yang sama dengan Peraturan Penguasaan Militer yang berlaku. Hanya saja, terdapat sedikit perubahan
redaksional pada unsur “melawan hukum” diganti dengan “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran, serta mengganti redaksi “perbuatan” menjadi
“tindakan”. Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 merumuskan tindak pidana
korupsi sebagai berikut : 1.
Tindakan seseorang yang dengan sengaja atau karena memperkaya diri sendiri atau merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau
daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal atau kelonggaran dari masyarakat
Universitas Sumatera Utara
2. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan
3. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai 21 peraturan ini
dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 453 KUHP.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, bentuk perbuatan korupsi lainnya tidak dikenal lagi dan pembentuk undang-undang
mengganti istilah perbuatan pidana dengan istilah tindak pidana. Terdapat hal yang berbeda dalam Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 apabila
dibandingkan dengan Peraturan Penguasa Militer sebelumnya, diantaranya :
44
1. Penggunaan istilah tindak pidana korupsi
2. Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 menarik 12 Pasal tentang
tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP 3.
Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 menaikan dan menyeragamkan sanksi pidana penjara bagi tindak pidana korupsi
selama 12 Tahun. Dalam perkembangan lebih lanjut, ternyata Undang-undang Nomor 24 Prp
Tahun 1960 dianggap tidak efektif dan tidak seperti apa yang diharapkan pada awalnya. Rumusan Pasal 1 huruf a dan b Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun
1960, ternyata disebutkan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi diisyaratkan terlebih dahulu adanya suatu kejahatan atau pelanggaran
44
Rudy Satriyo Mukantardjo, “Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah Perkembangannya”. Bogor, 2010. Hal. 9. Modul disampaikan pada acara pelatihan Hakim tentang
korupsi pada tanggal 26 April 2010 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan terlebih dahulu oleh perlaku. Tapi, undang-undang ini belum mampu untuk membuktikan unsur melakukan kesalahan atau melakukan
pelanggaran. Akibat sulitnya pembuktian unsur kesalahan dan pelanggaran, banyak perbuatan yang bersifat koruptif dan merugikan keuangan negara tidak
dapat dipidana melalui undang-undang ini. Selain itu, fakta di lapangan ditemukan banyak hal-hal yang tdak sesuai, antara lain :
45
1. Adanya perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara
yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Namun kenyataannya tidak dapat dipidana karena tidak adanya rumusan
tindak pidana korupsi yang berdasarkan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan
2. Pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai negeri,
tetapi kenyataannya orang-orang yang bukan pegawai negeri yang menerima tugas atau bantuan dari suatu badan negara, dapat melakukan
perbuatan tercela seperti yang dilakukan pegawai negeri 3.
Perlu diadakan ketentuan yang mempermudan pembuktian dan mempercepat proses hukum acara yang berlaku tanpa tidak
memperhatikan hak asasi Tersangka atau Terdakwa. Selain hal-hal yang disebutkan di atas, ketentuan-ketentuan hukum acara
pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif, terutama menyangkut
perihal pembuktian.
45
Evi Hartanti, Op.Cit Hal. 27
Universitas Sumatera Utara
Kondisi negara Indonesia kian mendesak untuk melakukan pemberantasan korupsi. Agar upaya yang dilakukan lebih efektif dan efisien, perlu diadakan
pembaharuan kembali undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. undang-undang yang diharapkan adalah undang-undang yang mampu
menutupi apa yang menjadi kekurangan dari Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Atas pertimbangan tersebut pemerintah atas dasar Amanat Presiden
Nomor 07P.UVIII1970 tanggal 13 Agustus 1970 menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong DPRGR. Dan pada tanggal 29 Maret 1971 setelah melalui pembahasan dalam persidangan legislatif, rancangan undang-undang
tersebut disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1971 Nomor 19. Dalam konsideran Undang-undang Nomor 3 Tahu 1971 menegakan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk
memposisikan undang-undang tersebut sebagai instrument hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi.
Perumusan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut :
“Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 a.
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara
Universitas Sumatera Utara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantim dalam Pasal 387, 388,
415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP d.
Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadian atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan itu
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau jaji yang diberikan kepadanya, seperti yang terdapat dalam Pasal 418, 419, dan 420
KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 : “Barang siapa melakukan percobbaan atau pemufakatan untuk melakukan tindak pidana
tersebut dalam ayat 1 a, b, c, d, dan e pasal ini”. Dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, tindak pidana
korupsi diklasifikasikan sebagai bentuk kejahatan. Bardanawai Arif mengklasifikasikan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 menjadi 2 kelompok, yaitu :
46
1. Tindak Pidana Korupsi yang termuat dalam Pasal 1 jo Pasal 28 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971. 2.
Tindak Pidana yang Berhubungan Dengan Tindak Pidana Korupsi yang termuat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971. Beberapa catatan yang disampaikan oleh Barda nawawi Arif dalam
tulisannya yang berjudul “Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, sebagai berikut :
47
46
Evi Hartanti, Op.Cit Hal. 23
47
Barda Nawawi Arif, Op.Cit Hal. 6-7
Universitas Sumatera Utara
1. Syarat adanya “kejahatan atau pelanggaran” dalam Undang-undang
Nomor 24 Prp Tahun1960, oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 diganti dengan perbuatan “melawan hukum”. Perbedaan perbuatan
melawan hukum antara Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut :
a. Perbuatan “melawan hukum” ini menurut Peperpu Nomor 0131958
bukan Tindak Pidana Korupsi, hanya dipandang sebagau perbuatan tercela yang diberi istilah “perbuatan Korupsi lainnya”
b. Perumusan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 kembali ke perumusan luas dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRTPM0111957 jo Nomor PRT PM061957.
2. Tindak pidana dalam KUHP yang dijadikan Tindak Pidana Korupsi
bertambah dibandingkan Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 yaitu ditambah Pasal 387 KUHP tentang penipuan dalam pelaksanaan
pemborongan bangunan dan 388 tentang perbuatan curang yg membahayakan negara dalam keadaan perang
3. Pasal 1 ayat 1 huruf d Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 sama
dengan Pasal 41 Peperpu 0131958 dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960
4. Pasal 1 ayat 2 merupakan perluasan yang tidak ada dalam peraturan
sebelumnya 5.
Ancaman pidana untuk tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 ayat 1 dan 2 di atas, diatur dalam Pasal 28 yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 Tahun dan
atau denda setinggi-tingginya 30 tiga puluh juta rupiah b.
Pidana tambahan dalam Pasal 34 sub a, b, dan c. 6.
Pidana tambahan dalam Pasal 34 yang intinya sebagai berikut : a.
Perampasan barang-barang tetap atau tak tetap, berwujud atau tak berwujud, yang digunakan untuk melakukan atau yangg diperoleh
dari tindak pidana korupsi baik kepunyaan siterhukum ataupun bukan b.
Perampasan barang-barang tetap atau tak tetap, berwujud atau tak berwujud perusahaan siterhukum, dimana tindak pidana korupsi itu
dilakukan, baik kepunyaan siterhukum ataupun bukan c.
Pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta- benda yang diperoleh dari korupsi.
Kemajuan antara tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya sebagai berikut
:
48
1. Perumusan tindak pidana korupsi dengan unsur “melawan hukum”,
sedangkan peraturan terdahulu dirumuskan dengan unsur “dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”
2. Bentuk delik korupsi merupakan delik formil, yang berarti Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 merumuskan dalam unsurnya serta bentuknya, akiat nyata dari perbuatan dar tudak disyaratkan untuk
48
Evi Hartanti, Op.Cit Hal. 24-25
Universitas Sumatera Utara
selesainya delik. Sedangkan peraturan-peraturan sebelumnya merumuskan tindak pidana korupsi sebagai delik materiil
3. Apabila dalam peraturan terdahulu perumusan terbagi dalam tiga bagian
tindak pidana korupsi yang hanya bersifat luas dan umum, tindak pidana korupsi yang berupa penyalahgunaan kewenangan atau jabatan serta
Pasal-Pasal delik jabatan dalam KUHP, maka dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 di samping hal itu masih dirumuskan pula tindak
pidana suap aktif dan suap pasif yang tidak dilaporkan dalam waktu sesingkat-singkatnya oleh penerima hadiah atas pemberian tersebut
4. Perluasan bentuk tindak pidana korupsi berupa “percobaan dan
pemufakatan” melakukan tindak pidana korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap belum efektif sebagai instrumen pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 masih memiliki kelemahan dalam pengaturan tindak pidana korupsi. Salah satu kelemahannya adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
memuat batas minimum 1 hari, dan batas maksimum 20 Tahun dalam sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi. Sehingga, memberikan keleluasaan bagi
Hakim dan Jaksa berputat terhadap hukuman minimum bagi pelaku tindak pidana. Kewenangan diskresi dari jaksa Penuntut Umum dan Hakim menyinggung rasa
keadilan dalam masyarakat. Banyak kasus korupsi yang dihukum selama satu Tahun. Hal tersebut tentu tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh
tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak mengatur secara tegas mengenai subjek hukum korporasi dalam tindak pidana korupsi.
Padahal, globalisasi ekonomi terjadi dengan pesat pada saat itu. Sehingga, korporasi yang melakukan penyelewengan keuangan negara tidak dapat dituntut.
Undang-undang ini dianggap gagal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kegagalan tersebut antara lain disebabkan berbagai institusi yang dibentuk untuk
pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, perangkat hukum yang lemah, ditambah dengan aparat penegak hukkum yang tidak
sungguh-sungguh menyadari akibat serius dari tindak pidana korupsi.
49
Dengan alasan tersebut di atas, pemerintah membentuk Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasasn Tindak Pidana
Korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diharap mampu untuk memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, upaya preventif sangat diperlukan. Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 menjadi landasan hukum yang kuat bagi tindak
pidana korupsi, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dilihat sebagai suatu upaya meningkatkan upaya pencegahan detterent effect. formulasi aturan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menambahkan hal-hal yang tidak dimuat dalam peraturan-peraturan sebelumnya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
49
Chaeril,Dkk, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dapat dibedakan menjadi 2 bentuk tindak pidana, antara lain :
50
1. Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam BAB II, Pasal 2 sampai
dengan Pasal 20 kecuali Pasal 4, 12C, 19, 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
2. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. diatur
dalam BAB III Pasal 21, 22, dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Adapun jenis-jenis tindak pidana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah :
1. Merugikan keuangan dan perekonomian negara
2. Suap-menyuap dan gratifikasi
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemalsuan
5. Pemerasan
6. Perbuatan curang
7. Benturan kepentingan dalam pengadaan.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengadopsi beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dan terdapat beberapa Pasal baru yang
tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, diantaranya : 1.
Pasal 4, yang mengatur mengenai pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana bagi pelaku tindak pidana
50
Evi, Op.Cit Hal. 26
Universitas Sumatera Utara
korupsi. Selain pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi, undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi Nomor 31 Tahun
1999 juga memiliki tujuan untuk mengembalikan kerugian atau perekonomian negara. Sehingga, terjadi pergesaran paradigma dari follow
the suspect menjadi follow the money 2.
Pasal 14, yang memberikan penegasan bahwa pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan tindak pidana korupsi
3. Pasal 16, yang mengatur mengenai turut serta, membantu melakukan
tindak pidana, baik yang berada diluar maupun berada di wilayah Republik Indonesia akan dikenakan sanksi pidana sama dengan sanksi
bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki perbedaan dengan KUHP. Dalam KUHP, sanksi
pidana bagi orang yang turut serta, membantu melakukan tindak pidana, adalah hukuman pokok dikurang 13
4. Pasal 20, yang mengatur tentang korporasi dapat dijadikan sebagai
pelaku tindak pidana. Barda Nawawi Arif memberikan catatan penting terhadap perbedaan
antara Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, antara lain :
51
1. Pasal 1 ayat 1 huruf e Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak
djadikan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahunn 1999
51
Barda Nawawi Arif, Op.Cit Hal. 8-9
Universitas Sumatera Utara
2. Perumusan ancaman pidana penentuan bobot delik pada Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan sistem absolut, sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan sistem relatif
3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menggunakan ancaman pidana
minimal kecuali Pasal 13, sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak
4. Subjek tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tidak hanya “orang” tetapi juga “korporasi” 5.
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak ada penentuan kualifikasi Tindak pidana korupsi sebagai “kejahatan”, sedangkan dalam
Pasal 33 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 ada penentuan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai “kejahatan”.
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tindak pidana korupsi tidak hanya sebagai delik formil, Melainkan delik formil dan delik materil.
Korupsi dianggap merupakan suatu perbuatan yang melanggar norma-norma yang ada dimasyarakat, dan berdampak bagi pertumbuhan perekonomian negara.
Apabila perbuatan korupsi tersebut tidak memenuhi seluruh unsur dalam undang- undang tetapi perbuatan tersebut dianggap telah melanggar nilai-nilai yang hidup
di masyarakat, perbuatan tesebut dapat di berikan sanksi pidana. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagai instrument pidana khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi, telah menimbulkan perbedaan interprestasi. Ketentuan pembuktian terbalik tidak
disebutkan secara tegas dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Sehingga
Universitas Sumatera Utara
undang-undang ini dianggap belum sempurna. Pada tanggal 21 November 2001, pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Perkembangan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dianggap lebih kompleks. Terdapat beberapa bentuk tindak pidana
korupsi yang tidak disebutkan dalam peraturan sebelumnya yang termuat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, diantaranya :
1. Pasal 12B mengklasifikasikan gratifikasi merupakan salah satu bentuk
tindak pidana korupsi 2.
Pasal 38B menegaskan kembali dalam hal pembuktian, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menganut sistem pembuktian terbalik
3. Pasal 38C menjadi landasan hukum bahwa apabila telah terbukti secara
sah seseorang melakukan tindak pidana korupsi, namun setelah pelaku meninggal dunia harta kekayaan pelaku belum dikenakan perampasan
oleh negara, maka negara memiliki hak untuk mengajukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
B. Tindak Pidana Pencucian Uang dan Modus-Modusnya