Strategi kognitif ditemukan 3 sub tema yang ditemukan secara teoritis maupun dilapangan yaitu 1 meninjau kembali masalah 2 belajar dari masalah 3
membuat perbandingan sosial. Dalam strategi sosial 3 tema secara teoritis yaitu 1 dukungan teman dan
keluarga 2 menemukan kelompok dukungan 3 membantu orang lain. Namun dilapangan peneliti menemukan 1 sub tema tambahan yaitu tanggung jawab
terhadap keluarga. Berdasarkan penelitian mekanisme koping yang telah diteliti oleh peneliti
lain tidak ditemukan tema spiritual tetapi strategi spiritual dimasukkan ke dalam sub tema penelitian.
5.1. Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 5 tema mengenai mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah yaitu : strategi fisik dengan 4 sub
tema, strategi yang berorientasi terhadap masalah dengan 2 sub tema dan 3 kategori, strategi kognitif dengan 3 sub tema, strategi sosial dengan 4 sub tema,
dan strategi spiritual dengan 2 sub tema. Berbagai sub tema dan kategori dari masing-masing tema yang ditemukan,
dapat dibahas satu persatu sebagai berikut : 5.1.1. Strategi fisik
1. Relaksasi
“Kalau saya sudah selesai kerja, saya sekali-sekali refresinglah buk, dengan jumpa teman-teman, jalan sama teman-teman, curhat
dengan teman saya udah lepas semuanya stres saya” [P9, L350- 352].
Universitas Sumatera Utara
Relaksasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh partisipan untuk mendinginkan kepala dan membuat otot-otot menjadi santai. Dengan relaksasi
partisipan lebih merasa rileks walaupun kegiatan yang dilakukan cukup sederhana seperti mandi malam, nonton televisi, mendengar musik yang menghibur atau
membaca koran untuk menyegarkan pikirannya. Biasanya partisipan menonton televisi sesua acara kesukaan mereka atau mendengar musik yang mereka sukai
sehingga partisipan bisa melupakan sejenak masalahnya. Berita yang dibaca dari koran juga adalah berita yang ringan-ringan atau yang menyenangkan untuk
pertisipan. Partisipan juga berjalan-jalan dengan teman-temannya ke tempat yang bisa
dijangkau dengan keadaan ekonomi partisipan. Jalan-jalan yang dilakukan kadang hanya dilakukan disekitar komplek tempat tinggal mereka atau ke mall dengan
teman-temannya. Biasanya partisipan sejenak melupakan segala permasalahan mereka dengan bercerita hal-hal yang ringan yang menyenangkan mereka.
2. Meditasi
“akupun menenangkan dirilah dengan meditasi, menenangkan pikiran”[P11, L 269-270].
Meditasi yang dilakukan oleh partisipan pada awalnya adalah karena kondisi partisipan yang sendirian. Partisipan diikat dan dipasung oleh keluarga
karena sering mengamuk dan melempar-lempar barang sehingga dianggap membahayakan orang-orang sekitarnya. Pada saat dipasung tersebut partisipan
diobati oleh keluarga dengan berobat pada seorang dukun kampung dan diajari oleh dukun tersebut untuk memusatkan perhatian hanya pada kesembuhan atau
anak-anak. Hal ini secara rutin dilakukan dan sedikit demi sedikit partisipan mulai
Universitas Sumatera Utara
tenang dan tidak lagi suka mengamuk dan melempar barang. Partisipan juga mulai bisa menahan emosi dengan berpikir lebih positif dan hal-hal yang ringan. Hal itu
dilakukan partisipan untuk menenangkan dirinya agar tidak mengamuk dan marah-marah lagi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Davidson dkk 2003 yang menyatakan bahwa meditasi mengajarkan antara lain kemampuan untuk
memusatkan perhatian pada satu objek atau ide dan untuk mengembangkan ketenangan emosional. Tim peneliti dari berbagai latar belakang disiplin ilmu
melakukan penelitian terkontrol dan terandominasi tentang efek dari program pelatihan meditasi selama delapan minggu. Mereka mengukur aktivitas listrik
dalam otak sebelum dan segera setelah program pelatihan berakhir, kemudian pengukuran kembali dilakukan empat bulan berikutnya. Di akhir delapan minggu,
para peneliti menemukan bahwa orang yang melakukan meditasi menunjukkan peningkatan yang signifikan di bagian-bagian otak yang berhubungan dengan
emosi positif dan keuntungan yang signifikan terhadap fungsi kekebalan tubuh. Latihan yang menenangkan pikiran juga menguntungkan bagi otak dan tubuh.
3. Pemijatan
“Kalau lagi banyak pikiran, badan saya dikusuk” [P11, L107]. Pemijatan yang dilakukan oleh partisipan adalah karena kebiasaan didalam
keluarga dimana kalau ada anggota keluarga yang kurang enak badan atau tidak bisa tidur biasanya dikusut oleh tukang pijat atau orang tua mereka, partisipan
juga sudah terbiasa dipijat kalau sakit atau kurang enak badan. Partisipan juga merasa lebih rileks dan nyenyak tidur setelah dipijat sehingga partisipan juga tetap
Universitas Sumatera Utara
meneruskan kegiatan pemijatan bila merasa kurang enak badan karena pemijatan juga merupakan tindakan yang sudah biasa dilakukan dilingkungan tempat tinggal
partisipan apabila kurang enak badan atau pegal-pegal dan terkilir. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Fied
1998 dan Moyer, Rounds Hannum 2004 yang menyatakan bahwa cara efektif lain untuk menenangkan diri sendiri adalah dengan pemijatan, yang jika
digabungkan dengan meditasi, merupakan salah satu dari pengobatan tertua didunia bangsa Cina merekomendasikan pemijatan pada abad kedua sebelum
masehi. Meta analisis dari banyak penelitian telah menemukan bahwa pemijatan bermanfaat bagi manusia segala usia, dari bayi yang lahir prematur sampai lanjut
usia yang paling tua sekalipun. Pemijatan juga bermanfaat bagi orang yang menderita asma dan diabetes, remaja dengan gangguan makan, lanjut usia yang
mengalami depresi dan anak-anak hiperaktif. 4.
Mencari kesibukan atau mengalihkan perhatian “Saya selalu pelihara kucing, saya selalu ajak bicara kucing itu,
emmm... [P9, L706]. Berusaha menghilangkan rasa kekosongan dihati, dengan bekerja siang dan malam enggak berhenti” [P9,
L618-619].
Mencari kesibukan dan mengalihkan perhatian adalah oleh partisipan untuk melupakan apa yang dirasakan oleh partisipan, dengan kesibukan serta
aktivitas yang dilakukan mampu membuat rasa sedih dan stres partisipan bisa berkurang dan sedikit demi sedikit partisipan bisa bangkit dan melupakan hal
traumatik yang mereka alami. Aktivitas yang dilakukan oleh partisipan adalah dengan memelihara binatang seperti ayam atau kucing.
Universitas Sumatera Utara
Partisipan yang memelihara kucing juga menganggap binatang peliharaannya sebagai teman dan selalu diajak berkomunikasi seperti layaknya
manusia yang mengerti keadaan partisipan. Binatang peliharaan tersebut dianggap teman karena tidak pernah membantah apapun yang diucapkan oleh partisipan dan
partisipan menganggap kucing tersebut selalu mendengarkan apa yang disampakan oleh partisipan.
Aktivitas yang dilakukan oleh partisipan adalah merupakan aktivitas yang bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga partisipan seperti mencuci
pakaian ataupun selalu berusaha untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan sehingga tidak ada waktu untuk mengingat masalah amputasi yang dialami
partisipan. Partisipan bekerja tanpa membatasi waktu dengan harapan mereka bisa melupakan masa-masa sedih yang telah mereka lalui dan juga bisa menambah
penghasilan keluarga partisipan. Seorang partisipan juga meresa sesak nafas bila mengingat masalah
amputasinya. Namun ketika dibawa berobat dan diperiksa oleh dokter, partisipan sebenarnya tidak ada mengalami masalah pernafasan. Dokter juga mengatakan
sesak nafas yang dialami partisipan adalah karena pikiran partisipan sendiri. Ketika partisipan bisa melupakan masalahnya sesak yang dialaminya juga hilang
sama sekali. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Allen
2003, Seegel 1990 yang menyatakan bahwa hubungan pertemanan dengan sahabat atau binatang peliharaan merupakan sumber kelekatan dan hubungan yang
dibutuhkan oleh setiap orang sepanjang hidup, itu sebabnya mengapa orang lanjut
Universitas Sumatera Utara
usia yang memiliki anjing peliharaan lebih jarang memeriksakan diri ke rumah sakit jika dibandingkan dengan orang-orang seusia mereka yang tidak memiliki
binatang peliharaan atau kucing. Anjing menjadi teman yang tidak menghakimi, teman sejati. Memiliki anjing juga dapat menurunkan tekanan darah pada orang
yang memiliki pekerjaan dengan tingkat stres tinggi, seperti pialang saham. 5.1.2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah
1. Emotion focused coping
a. Kontrol diri
“Sangat sedih, saya marah...karena...kehilangan kaki itu” [P1, L167]. “Saya menggores tangan saya dengan pisau silet, kalau
sudah berdarah baru saya merasa lega dan berhenti” [P9, L438- 439].
Beberapa waktu setelah amputasi adalah hal yang wajar bagi partisipan
untuk merasakan marah, menangis atau bersedih, hal tersebut biasanya tidak berlangsung lama. Kontrol diri partisipan diluapkan dengan menangis, marah atau
sedih karena pasca amputasi tungkai bawah. Meluapkan emosi dengan menangis, marah atau bersedih dapat mengurangi rasa sedih dan dapat melegakan perasaan
partisipan. Biasanya partisipan merasa agak lebih lega walaupun itu hanya sementara.
Rasa sedih yang dilampiaskan partisipan dengan menangis dapat mengurangi rasa sedih yang dialami partisipan. Setiap partisipan juga berbeda
dalam melampiaskan emosinya. Partisipan ada yang bisa menangis walaupun sebelumnya tidak pernah menangis namun ada juga yang tidak bisa mengontrol
emosinya justru marah dan melemparkan barang-barang apa yang ada disekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
Partisipan yang lain juga ada yang tidak adaptif pada awal terjadinya amputasi tungkai bawah, karena partisipan mengatasi stresnya dengan hal yang
negatif dengan menyakiti dirinya. Partisipan melukai kedua lengannya dengan menggores tangannya dengan pisau silet sampai berdarah. Menurut pertisipan
kalau tangannya terasa sakit partisipan jadi lupa dengan masalah amputasinya. Hal ini dilakukan sampai seluruh tangan partisipan penuh dengan bekas goresan pisau
silet. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena hal tersebut justru sangat berbahaya untuk partsipan sendiri.
Menurut pendapat Lepore, Ragan, Jones 2000 yang menyatakan bahwa masalah yang berfokus pada emosi yang muncul akibat masalah yang
dihadapi baik marah, cemas atau duka cita, beberapa waktu setelah bencana atau tragedi, adalah hal yang wajar bagi orang yang mengalaminya untuk merasakan
emosi-emosi tersebut atau bahkan sampai merasa kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Pada tahap ini, orang seringkali butuh untuk membicarakan
kejadian tersebut secara terus menerus agar dapat menerima, memahami dan memutuskan akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai.
b. Membuat jarak
“Saya dikamar saja terus, engak mau keluar” [P2, L410] Beberapa partisipan merasa tidak nyaman untuk bergabung dengan orang-
orang disekitarnya sehingga partisipan mengatasi rasa tidak nyamannya dengan membuat jarak dengan orang-orang disekitarnya, ini juga biasa muncul pada awal
partisipan mengalami amputasi tungkai bawah. Partisipan juga mengatasi stres dan menjaga jarak dengan bersikap cuek dengan orang-orang disekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
Partisipan juga menjaga jarak dengan cara membatasi pertemuan dengan keluarga yang sebelumnya rutin dilakukan seperti mudik bila ada keluarga atau
hari besar seperti tahun baru dan idul fitri. Partisipan memilih untuk merayakan lebaran atau tahun baru dirumah saja dan tidak ada kunjungan ke tempat keluarga
atau tetangga. Dari sudut pandang teori, respon emosi yang ditampilkan subjek terdiri atas
emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif yang dialami subjek meliputi perasaan khawatir, kebingungan, keheranan, ketidakpercayaan, rasa tidak nyaman,
sedih, dan putus asa, adapun emosi positif berupa perasaan tambah semangat, perasaan terhibur dan rasa senang Hill, Dziedzic et al, 2010.
c. Lari atau menghindar dari masalah
“Saya pindah kesini karena saya enggak sanggup lagi tinggal di kampung” [P6, L226-229].
Partisipan memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengatasi setiap masalah. Salah satu cara yang dilakukan partisipan adalah dengan tidak mau
membahas masalah amputasi yang dialaminya. Hal ini dianggap akan melukai perasaannya dan akan menimbulkan kesedihan partisipan. Partisipan juga
menyalahkan keadaan sehingga partisipan benci dengan keadaan disekitarnya. Reaksi partisipan untuk menghindar dari masalah juga adalah menghindari
teman-temannya dengan tidak pulang kampung atau meninggalkan kampung halamannya. Salah satu partisipan pindah dari kampung halamannya hanya karena
menghindar dan malu dengan keadaannya. Partisipan tidak mau bergaul dengan orang yang dulu mengenal dia normal secara fisik sehingga memilih untuk pindah
rumah dan menghindar.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa partisipan juga mengatasi masalah dengan tidur dan berharap apa yang mereka alami adalah mimpi dan ketika bangun berharap itu sudah
normal kembali. Partisipan merasa bahwa mimpi mereka adalah nyata dan didalam mimpi itu partisipan masih belum mengalami amputasi sehingga mereka
ingin terus bermimpi dan berharap bahwa mimpi mereka adalah yag nyata. Ada juga partisipan yang melampiaskan emosinya dengan marah, dan merusak barang-
barang disekitarnya, bahkan ada seorang partisipan melampiaskan stresnya dengan semakin banyak merokok. Merokok dianggap sebagai pelampiasan atau
teman yang mengerti keadaannya. Hal tersebut juga dibenarkan Kupers 2001 bahwa keberadaan emosi bisa
menggiring individu mencapai hasil positif dalam kehidupan, antara lain mening- katnya kreativitas dan optimisme, atau sebaliknya, membawa individu kepada
perilaku negatif seperti agresif dan pesimisme. 3.
Problem focused coping “Kalau tidak dipotong saya tidak selamat.” [P1, L28].
Beberapa partisipan berusaha mengatasi stresnya dengan memandang dari sudut pandang yang berbeda dengan memandang bahwa amputasi tungkai bawah
yang dialaminya adalah juga untuk kebaikan dirinya. Amputasi dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit lebih jauh lagi dan merupakan satu-satunya cara
untuk menyelamatkan mereka dari amputasi yang lebih jauh sampai ke paha. Mereka juga menganggap amputasi merupakan jalan keluar untuk menyelamatkan
nyawa mereka walaupun pada awalnya mereka menolak tindakan amputasi tersebut. Namun dengan berjalannya waktu partisipan akhirnya dapat memahami
Universitas Sumatera Utara
mengapa mereka harus diamputasi, apa tujuannya dan efeknya bila mereka tidak diamputasi.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh pendapat Clarke Evans 1998 yang menyatakan bahwa setelah masalah teridentifikasi, klien dapat mempelajari
masalah tersebut sebanyak mungkin dari para ahli, teman, buku-buku, dari sumber yang lain untuk masalah yang sama. Doering 2000 juga mengatakan
pengetahuan memberikan perasaan memiliki kendali dalam diri seseorang. Misalnya, saat orang mengetahui apa yang akan terjadi saat mereka mengalami
operasi, mereka seringkali pulih dengan lebih cepat dan merasakan sakit yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak siap.
5.1.3. Strategi kognitif
1. Meninjau kembali masalah
“Dari pada saya menahan rasa sakit terus menerus memang saya lebih nyaman seperti ini” [P8, L236-238].
Meninjau kembali masalah dapat dilakukan secara berbeda, walaupun partisipan tidak dapat menghilangkan masalah yang membuat stres, tetapi dapat
melihat masalah itu dengan cara pandang yang berbeda. Beberapa partisipan pada awalnya menyetujui untuk dilakukan amputasi karena takut penyakit yang
dialaminya malah menyebar lebih luas sehingga menyetujui tindakan amputasi. Namun setelah partisipan sadar bahwa kakinya telah diamputasi timbul rasa
khawatir, takut dan cemas. Perasaan cemas muncul karena perasaan takut tidak dapat bekerja, dan menghadapi hari esok karena semua partisipan adalah kepala
keluarga yang juga adalah penanggung jawab kebutuhan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Kesadaran partisipan untuk mengatasi stres yang mereka alami akhirnya muncul dengan meninjau kembali apa yang telah dialami partisipan. Amputasi
tungkai bawah yang mereka alami adalah jalan terbaik dan harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa mereka dan untuk menyelamatkan mereka dari resiko
amputasi yang lebih parah lagi karena penyebaran penyakit yang dialami oleh partisipan.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Folkman Moskowitz 2000 yang menyatakan bahwa walaupun orang mengalami stres, orang dapat
memilih untuk memikirkan masalah itu secara berbeda. Masalah dapat diubah menjadi tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak
terduga. Cara seseorang berpikir mengenai suatu situasi atau provokasi, mempengaruhi emosi yang dirasakan mengenai situasi atau provokasi tersebut.
Dengan meninjau kembali masalah dapat mengubah kemarahan menjadi simpati, kecemasan menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi perasaan
memiliki kesempatan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Linton 2006 dimana Linton
mempelajari lebih banyak mengenai kondisi medisnya dan prognosisnya. Linton juga belajar untuk melakukan hampir segala hal dengan duduk dikursi roda
termasuk menari dan memutuskan untuk kembali belajar disekolah. Ia juga mendapatkan gelar Ph.D dibidang psikologi, menikah kembali, dan menjadi guru
yang sangat dihormati, ia juga menjadi konselor, penulis, dan aktivis yang memiliki komitmen untuk meningkatkan kondisi dan kesempatan bagi orang yang
mengalami keterbatasan.
Universitas Sumatera Utara
2. Belajar dari masalah
“..selalu belajar dari apa yang saya alami” [P11, L624-625]. “..kereta sorong ini kami buat sendiri pakai roda biar bisa
bergerak selagi dirumah” [P4, L196-197]
Partisipan pasca amputasi tungkai bawah melaporkan bahwa mereka menjadi lebih kuat dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik karena
bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut. Partisipan juga kreatif memodifikasi alat bantu yang bisa mereka gunakan dirumah agar lebih mudah dalam
beraktivitas. Partisipan juga menganggap bahwa apa yang mereka alami adalah pelajaran yang sangat berarti dan mereka bisa mengambil hikmah dibalik musibah
yang dialami. Partisipan juga belajar untuk lebih menjaga kesehatannya dan menghargai apa yang ada pada mereka dan partisipan menyadari bahwa
kehilangan itu terasa karena sudah tidak ada lagi pada mereka. Ketika masih memiliki kaki yang utuh partisipan kurang mensyukurinya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Mc Farlan Alvaro 2000 yang mengatakan bahwa korban dari kejadian traumatis dan penyakit yang mengancam
nyawa melaporkan bahwa pengalaman membuat mereka lebih kuat, lebih tegar, dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik karena bertumbuh dan
belajar dari kejadian tersebut. Hal ini juga didukung oleh pendapat Schulz Decker 1985 yang
melakukan penelitian terhadap orang-orang dengan cedera tulang belakang menemukan bahwa sebanyak dua pertiga dari mereka merasakan keterbatasan
tersebut memiliki aspek positif, seperti membantu mereka menilai orang lain dan dapat memperbaharui arti dari “otak” bukan “otot.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian orang bangkit dari musibah dengan ketrampilan baru yang mereka temukan atau mereka kembangkan, sebagian dipaksa untuk mempelajari
sesuatu hal yang baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Mereka yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam hidup dan
menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dalam masalah Davis, Nolen-
Hoeksema Larson, 1998, Folkman Moskowitz, et al, 2000. 3.
Membuat perbandingan sosial “..Ada yang masih muda sudah kena kanker, belum nikah, jadi
saya masih jauh lebih baik” [P3, L120-122].
Dalam mengatasi situasi stres pasca amputasi tungkai bawah beberapa partisipan membandingkan mereka dengan kondisi orang lain dengan penyakit
yang sama ataupun penyakit lain yang mereka anggap lebih parah atau lebih berbahaya dibandingkan dengan kondisi mereka. Partisipan membuat daftar
penyakit yang paling tidak mereka inginkan dan membandingkannya dengan mereka. Perbandingan yang dibuat partisipan tidak selalu dengan orang yang
mereka anggap dibawah mereka namun juga yang berada diatas mereka atau yang telah sukses melewati masalah mereka. Namun partisipan juga yang
membandingkan dirinya dengan orang lain yang sama yang terlebih dahulu diamputasi dan telah berhasil melewati masa stresnya dan hidup normal seperti
yang lain dan mengatakan bahwa mereka lebih gemuk dan sehat setelah diamputasi.
Partisipan juga membuat perbandingan sosial melalui apa yang mereka lihat dan dengar melalui berita ditelevisi tanpa berjumpa langsung dengan
Universitas Sumatera Utara
penderita. Mereka melihat banyak orang kurang beruntung dibandingkan dengan mereka.
Hal ini sejalan dengan pendapat Wood, Michaela, Giordano 2000 yang mengungkapkan bahwa dalam situasi sulit, orang yang sukses bertahan
seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain yang mereka rasakan kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah apapun kondisi mereka,
bahkan jika mereka memiliki penyakit mematikan, mereka menemukan orang lain yang jauh lebih parah. Hal ini juga didukung oleh Collins 1996 yang
mengatakan bahwa terkadang orang yang sukses menghadapi masalah juga membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain yang mampu menghadapi
masalah dengan lebih baik dibandingkan mereka sendiri. 5.1.4. Strategi sosial
1. Dukungan teman dan keluarga “Istrilah yang mencari uang selama saya enggak bisa bekerja”
[P4, L162-163] “Dia juga yang membantu saya ke kamar mandi waktu saya belum pakai kaki palsu, jadi hampir semua waktu itu
dibantu oleh istri” [P12, L273-275].
Keluarga adalah orang terdekat yang dapat mendukung partisipan dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapinya. Dukungan keluarga biasanya sangat
berarti untuk memotivasi partisipan untuk bangkit dari keterpurukan. Istri atau suami adalah orang yang paling dekat yang bisa memotivasi bila pasangannya
mengalami stres. Selain itu pasangan adalah orang yang membantu dan menggantikan peran pasangannya selama pasangannya bermasalah, seperti
mencari nafkah keluarga. Selain istri atau suami, anak juga adalah menjadi penyemangat disetiap keluarga. Partisipan juga mengatakan stresnya hilang jika
Universitas Sumatera Utara
mengingat anaknya, dan partisipan juga mengatakan harus bangkit karena anak- anak mereka, anak adalah tempat curahan kasih sayang keluarga, sehingga
partisipan merasa harus segera bangkit mengingat mereka punya anak-anak yang harus terus mereka perjuangkan sampai anak-anaknya berhasil kelak.
Selain itu perhatian-perhatian yang sederhana yang diberikan oleh keluarga juga sangat berarti untuk memotivasi partisipan. Perhatian seperti,
menyediakan minum, makan, bertanya apa kabar, adalah bentuk perhatian yang sangat berarti untuk partisipan.
Selain keluarga, teman atau sahabat yang baik juga sangat penting untuk memotivasi partisipan. Teman atau sahabat yang baik sangat berarti bila
sahabatnya sedang dalam masalah. Teman dan sahabat yang baik adalah yang selalu datang walaupun partisipan sedang dalam masalah, yang selalu mengerti
tanpa menyalahkan mereka dan yang memandang partisipan sama sebelum mereka diamputasi.
Selain sebagai pendukung dalam setiap masalah yang dialami oleh partisipan, keluarga juga dapat menjadi penghambat bahkan menambah berat
beban yang dialami oleh partisipan. Dua partisipan ditinggalkan oleh pasangannya karena tidak siap menerima keadaan pasangannya yang cacat. Hal ini semakin
melukai perasaan partisipan sehingga mereka semakin sulit menerima keadaan mereka sendiri.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Cohen dkk, 2003 yang menyatakan bahwa memiliki teman adalah hal yang
menyenangkan, hal ini dapat meningkatkan kesehatan. Hal ini telah diteliti pada
Universitas Sumatera Utara
stres yang meningkatkan resiko flu. Dan hasilnya ditemukan bahwa ternyata memiliki banyak teman dan kenalan dapat mengurangi resiko tersebut. Dalam
kelompok yang terdiri dari 300 relawan dan mendapatkan paparan virus flu, mereka yang memiliki teman dan interaksi sosial terbanyak adalah yang paling
kecil kemungkinannya menjadi sakit. Hal ini juga didukung oleh penelitian Roy, Steptoe, Kirschbaum, 1998
yang menyatakan bahwa dukungan sosial terutama penting bagi orang yang memiliki pekerjaan yang sangat ekstrim dan membutuhkan responsivitas
kardiovaskular yang tinggi hari demi hari, seperti pemadam kebakaran. Kehadiran seorang teman yang mampu meyakinkan saja sudah dapat mengembalikan detak
jantung dan tingkat kortisol ke keadaan normal lebih cepat setelah situasi yang penuh stres.
2. Menemukan kelompok dukungan
“Di sini istilahnya….aku sakit, kawan sakit, kawan lagi sakit. Jadi sakit sama sakit udah….sama-sama sehat juga, jadi kita sudah
biasa saling bantu buk, semua masalah kita selesaikan bersama” [P11, L512-5].
Dukungan dari teman dan hubungan keluarga kadang tidak cukup untuk membantu partisipan dalam melewati masa-masa sulit. Sumber dukungan dari
orang-orang yang sama atau yang memiliki penyakit atau masalah yang sama juga sangat mendukung partisipan untuk mengatasi stres mereka. Karena mereka
merasa sama-sama punya kekurangan sehingga timbul kedekatan secara emosional satu dengan yang lain, hal ini sangat mendukung terhadap pemulihan
stres pasca amputasi tungkai bawah yang dialami oleh partisipan.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Davidson, Pennebaker, Dickerson 2000 yang menyatakan bahwa sumber dukungan sosial yang lebih
formal berasal dari orang-orang yang mengalami penyakit, masalah atau musibah yang sama. Orang dapat mengambil manfaat dari bergabung dalam kelompok
dukungan sosial jika mereka memiliki penyakit yang parah atau penyakit yang penuh stigma, melumpuhkan atau membuat mereka cacat sedemikian rupa, atau
menyebabkan perasaan malu. Hal ini juga didukung oleh Godwin dkk, 2001 yang menyatakan bahwa
walaupun tergabung dalam kelompok dukungan sosial tidak memperpanjang usia orang-orang dengan penyakit berat, namun hal tersebut seringkali mengurangi
penderitaan dan rasa sakit mereka. 3.
Membantu orang lain “Sekarang ini lah jadi awak yang memotivasi orang, disini ada
juga yang amputasi keq saya, kita selalu memotivasi dia” [P9, L964-965].
Membantu orang lain yang juga memiliki masalah membuat partisipan merasa dirinya lebih berguna lagi, terutama juga membantu mereka yang memiliki
masalah yang sama. Partisipan membantu orang yang memiliki masalah yang sama bagaimana menyeimbangkan tubuh agar bisa berjalan dengan kaki palsu.
Begitu juga dengan partisipan yang masih mengalami stres pasca amputasi, diberikan dengan memotivasi secara terus-menerus. Hal ini menyebabkan
partisipan merasa lebih berarti, lebih dibutuhkan orang lain, sehingga partisipan merasa hidupnya jadi lebih bermanfaat.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sejalan dengan pendapat Brown 2003 yang menyatakan bahwa cara untuk menghadapi stres adalah dengan memberikan dukungan bagi orang
lain dan bukannya selalu menerima dukungan dari orang lain. Julius Segal yang seorang psikolog yang bekerja dengan korban Holoccaust, tahanan perang,
sandera, pengungsi dan korban-korban bencana lain, menulis bahwa unsur kunci dari pemulihan korban-korban tersebut adalah compassion, yaitu fenomena
dimana penderita stres dapat sembuh dengan menolong orang lain. Orang mendapatkan kekuatan, menurutnya dengan mengurangi fokus terhadap kesulitan
mereka sendiri dan lebih banyak menolong orang lain yang juga dalam kesulitan. Orang yang sering menolong teman dan keluarga mereka dengan bantuan praktis
dan dukungan emosional juga hidup lebih panjang daripada orang yang mementingkan diri sendiri dan jarang membantu orang lain.
4. Tanggung jawab terhadap keluarga
“Demi mencari makan tadi buk, apapun dikerjakan” Berarti berusaha bergiatlah maksudnya anak-anak ini janganlah
terlantar” [P5, L134-138]. “Anak saya ini kan bagai harta yang tak ternilai” [P9, L285].
Dukungan sosial juga dapat muncul dari perasaan partisipan karena rasa tanggung jawab mereka terhadap keluarga dan anak-anak. Karena secara umum
partisipan adalah kepala rumah tangga dan merupakan pencari nafkah utama di dalam keluarga. Partisipan juga rela melakukan apapun agar bisa bangkit dari
keterpurukan sehingga mereka bisa bekerja dan tanpa pilih-pilih, semua mereka kerjakan asalkan kebutuhan anak-anak mereka terpenuhi.
Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting dan sangat berpengaruh pada keluarga dengan penyakit kronis, karena tidak jarang mereka
Universitas Sumatera Utara
membatalkan pengobatan medis meskipun telah menderita penyakit kronis sehingga memunculkan komplikasi penyakit Sugianto, 2007. Mata pencaharian
kepala keluarga sangat berpengaruh terhadap ketahanan keluarga terutama status kesehatan keluarga Sukarni, 1994. Terdapat kaitan antara pekerjaan orang tua
dengan karakteristik keluarga yaitu gambaran mengenai tingkat kesejahteraan keluarga Hamudy, 2008.
5.1.5. Strategi spiritual
1. Mendekatkan diri kepada Tuhan
“Saya minta kepada Tuhan yang Maha Kuasa untuk memberi saya kesehatan” [P9, L198-199]
Kesadaran bahwa ada Tuhan yang mengatur semua kehidupan manusia membuat partisipan sabar menjalani kehidupannya karena mereka sadar itu adalah
cobaan, sehingga mereka lebih mendekatkan diri lagi kepada Tuhan. Partisipan juga merasakan ketenangan dan stresnya berkurang setelah mereka berdoa dan
berserah kepada Tuhan. Semakin banyak berdoa juga membuat partisipan merasa menjadi lebih
ikhlas sehingga mereka menjadi lebih cepat bangkit dari masalah mereka dan berusaha hidup lebih baik lagi. Beberapa partisipan juga merasa bersyukur dengan
keadaan mereka pasca amputasi tungkai bawah, dengan demikian hati mereka semakin tenang sehingga mereka bisa mengatasi rasa stres mereka.
Hal ini sejalan dengan penelitian Hunter Gillen 2010, yang menyatakan bahwa berdoa merupakan salah satu bentuk perilaku koping.
Menurut Daaleman, Perera et al. dalam Santrock, 2002 bahwa agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada manusia
Universitas Sumatera Utara
dalam hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga, serta menerima kekurangan di masa tua.
2. Hukuman dari Tuhan “Manusia tadi yang menanggung azab” [P4, L141]
Seorang partisipan juga menganggap apa yang dialami oleh partisipan adalah merupakan hukuman dari Tuhan yang terjadi akibat ulah manusia,
sehingga partisipan harus ikhlas dan rela menjalaninya. Sebuah penelitian yang mengungkapkan tentang hubungan religiusitas
untuk kebahagiaan pasien penyakit kronis telah dilakukan oleh Karademas 2010 bahwa perasaan tidak berdaya dan penerimaan penyakit menjadi mediator bagi
hubungan antara religuisitas dengan kesehatan, beragama berhubungan secara ber- makna dengan kebahagiaan.
5.2. Keterbatasan penelitian