ditemukan terkait dengan hasil yang buruk setelah amputasi termasuk kerentanan yang dirasakan, penghindaran, dan ketidakberdayaan.
Penelitian Behel, Rybarczyk, elliot 2002 tentang prevalensi morbiditas psikiatri tertentu setelah amputasi sebagian besar berfokus pada gejala depresi,
dan hasil studi ini melaporkan tingkat prevalensi bervariasi dari 7,4 9-28. Varians dalam tingkat prevalensi kemungkinan karena perbedaan metodologis
dalam penilaian depresi klinis. Penelitian in mengandalkan langkah-langkah laporan diri, seperti Center for Epidemiological Studies Depression Scale CES-
D, laporan tingkat jauh lebih tinggi dari depresi klinis, dibandingkan mereka yang menggunakan interviews.
2.3. Konsep Stres
2.3.1. Definisi stres Stres adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat adanya perubahan dari
lingkungan yang dipersepsikan menantang, mengancam atau merusak fungsi kesehatan individu seutuhnya Varcarolis, Shoemaker, 2006. Menurut Niven
stres adalah pernyataan yang seringkali digunakan sebagai label untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan
keadaan lainnya. Sedangkan menurut Vedebeck 2008 stres adalah ketakutan yang dialami individu dengan cara yang berbeda-beda.
Setiap individu disepanjang rentang kehidupannya akan selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa dan kejadian yang nantinya akan mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan yang berpotensi menimbulkan stres. Hal senada juga diungkapkan Keliat 1999 bahwa stres adalah realita kehidupan setiap hari
Universitas Sumatera Utara
yang tidak mungkin dapat dihindari yang disebabkan karena adanya perubahan yang memerlukan penyesuaian. Demikian halnya pada klien pasca amputasi
tungkai bawah sangat rentan terhadap terjadinya stres karena terjadinya perubahan yang membutuhkan penyesuaian baik secara fisik maupun psikologis.
2.3.2. Etiologi stres Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber yang
disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres Hidayat, 2009. Stresor merupakan situasi yang
dianggap akan menimbulkan ketegangan dan mengancam kesejahteraan individu Sarafino, 1998. Menurut Lazarus dan Folkman 1984 berbagai kejadian dan
perubahan lingkungan di sekitar individu dapat bersifat positif, netral ataupun negatif yang akan menjadi stresor Tomey Alligood, 2006.
Secara umum stressor dapat dibagi menjadi dua, yaitu stressor internal dan stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang seperti
demam, penyakit infeksi, trauma fisik dan kelelahan fisik. Sedangkan stressor eksternal berasal dari luar individu seperti perubahan suhu lingkungan, pekerjaan
serta hubungan interpersonal Selye, 1976 dalam Potter Perry, 2005. 2.3.3. Respon stres
Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat terlihat
dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif, dan psikologis. Respon fisiologis berupa interpretasi otak dan respon neuroendokrin. Respon adaptif
berupa tahapan General Adaptif Syndrome GAS dan Lokal Adaptation Syndrome
Universitas Sumatera Utara
lokal LAS. Respon psikologis dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif Smeltzer Bare, 2008.
Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis tubuh yang merupakan
rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi jangka panjang dan jangka pendek bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls
afferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak lalu diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan dikoordinasikan
dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh dalam keadaan homeostasis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan
tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh Smeltzer Bare, 2008.
Jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus akan diaktifkan. Kemudian akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis kemudian diikuti
oleh sekresi simpatis-adrenal-modular, dan akhirnya bila stres masih ada dalam sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat mensekresikan
norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon simpatis-adrenal-modular pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek atau reaksi yang berbeda pada
setiap sistem tubuh yang dijabarkan dalam indikator stres secara fisiologis. Pada kondisi tersebut terdapat organ tubuh yang meningkat maupun menurun
kinerjanya, reaksi ini disebut fight or flight. Norepinefrin mengakibatkan peningkatan fungsi organ vital dan keadaan tubuh secara umum, sedangkan
sekresi endorfin mampu menaikkan ambang untuk menahan stimulasi nyeri yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi suasana hati. Manisfestasi sekresi norepinefrin dan endorfin diantaranya pengeluaran keringat, perubahan suasana hati, keluhan sakit kepala,
sulit tidur, peningkatan jantung Smeltzer Bare, 2008. Stres menuntut seseorang untuk menggunakan energi fisiologis dan
psikologis untuk merespon dan beradaptasi terhadap stressor. Respon stres adalah alamiah, adaptif dan protektif. Karakteristik dari respon stres adalah hasil dari
respon neuroendokrin yang terintegrasi serta terdapat perbedaan individual dalam berespon terhadap stressor yang sama. Respon adaptif terdiri dari LAS dan GAS.
Respon LAS terbagi atas respon refleks nyeri dan respon inflamasi Potter Perry, 2005. GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.
Respon yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin. GAS memiliki 3 tahap, yaitu alarm, pertahanan dan kelelahan. Pada tahap alarm
respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat defensif dan anti inflamasi yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila stresor menetap maka akan beralih
ketahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi adaptasi terhadap stressor yang membahayakan. Jika pemajanan terhadap stressor diperpanjang dan gagal
melakukan pertahanan maka terjadilah kelelahan. Tahap kelelahan terjadi peningkatan aktivitas endokrin yang menghasilkan efek pemberhentian pada
sistem tubuh terutama sistem peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat menyebabkan kematian Smeltzer Bare, 2008.
2.3.4. Indikator stres Indikator stres merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang dapat
menggambarkan tingkat stres individu. Stres memberikan dampak langsung
Universitas Sumatera Utara
terhadap psikologis yang secara tidak langsung berdampak pula pada fisiologis. Terdapat beberapa indikator stres, yaitu fisiologis, emosional dan perilaku stres.
DASS adalah satu set tiga skala laporan diri yang dirancang untuk mengukur tingkat keparahan gejala inti depresi, kecemasan dan stres Psikologi Yayasan
Australia, 2002. Nilai utama dari DASS Depression Anxiety and Stres Scale dalam pengaturan klinis adalah untuk memperjelas lokus gangguan emosi, sebagai
bagian dari tugas yang lebih luas dari penilaian klinis. Indikator stres fisiologis adalah objektif dan lebih mudah diidentifikasi, berupa kenaikan tekanan darah,
tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara yag bernada tinggi, muntah, mual, diare, perubahan
nafsu makan Potter Perry, 2005 ; Psychology Foundation of Australia, 2010. Indikator emosional dan perilaku stres sangat bersifat subjektif. Indikator
stres psikologis dan prilaku berupa ansietas, depresi, kepenatan, kelelahan mental, perasaan tidak adekuat, kehilangan harga diri, minat dan motivasi, ledakan emosi
dan menangis, kecendrungan membuat kesalahan, mudah lupa dan pikiran buntu, kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan
berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan, serta penurunan produktivitas dan kualitas kerja Potter Perry, 2005.
Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku konstruktif membantu seseorang menerima tantangan untuk menyelesaikan
konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi orientasi realitas, kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi yang sangat berat, dan
kemampuan untuk berfungsi Potter Perry, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Dampak stres Stres kronis narkoba dan operasi dapat melemahkan atau menekan sistem
kekebalan tubuh Sugerstrom Miller, 2004. Peneliti menemukan bahwa saat seseorang terjangkit virus, penyakit, atau gangguan medis tertentu, emosi negatif
pasti mempengaruhi proses penyakit dan pemulihannya. Perasaan cemas, tertekan atau depresi, dan merasa tidak berdaya, dapat memperlambat penyembuhan luka
setelah operasi, sedangkan perasaan optimis dan penuh harap dapat mempercepat penyembuhan. Perasaan kesepian dan kecemasan dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh dan memungkinkan virus yang ‘tidur’ dormant dalam tubuh, seperti herpes, untuk berkembang dengan pesat Kiecolt Glaser at el, 1998.
Kekebalan tubuh yang utama dari sel-sel kekebalan tubuh adalah sel darah putih. Ada dua jenis sel darah putih, limfosit dan fagosit. Ketika kita sedang stres,
kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan antigen berkurang. Itulah sebabnya kita lebih rentan terhadap infeksi. Hormon stres kortikosteroid dapat
menekan efektivitas sistem kekebalan tubuh, seperti menurunkan jumlah limfosit McLeod, 2010
Watak pemarah merupakan faktor resiko yang secara signifikan melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan tekanan darah, dan
meningkatkan kemungkinan penyakit jantung Suinn, 2010. Orang yang mengalami depresi setelah mengalami serangan jantung secara signifikan
memiliki peluang meninggal lebih besar karena gangguan jantung pada tahun berikutnya, bahkan saat tingkat keparahan penyakit dan faktor-faktor resiko lain
telah dikontrol Frasure Smith et al, 1999. Depresi klinis juga meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
resiko serangan jantung dan penyakit kardiovaskuler sebesar dua kali lipat, sebagaimana ditemukan oleh peneliti longitudinal skala besar yang menemukan
bahwa depresi kronis parah mendahului berkembangnya penyakit jantung selama bertahun-tahun Frasure, Smith Lesperance, 2005 ; Schulz et al, 2000.
2.3.6. Tingkatan stres a. Stres normal
Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut
tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih keras setelah aktifitas. Stres normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah
mengalami stres, bahkan sejak dalam kandungan Crowford Henry, 2003 b. Stres ringan
Stres ringan adalah stressor yang dihadapi secara teratur yang dapat berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur, kemacetan.
Stressor ini dapat menimbulkan gejala bibir kering, kesulitan bernafas, kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, keringat berlebihan ketika temperatur
tidak panas dan tidak setelah aktifitas, takut tanpa alasan yang jelas, tremor pada tangan Psychology Foundation of Australia, 2010.
c. Stres sedang Stres ini terjadi lebih lama antara beberapa jam sampai beberapa hari.
Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain mudah marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk beristirahat, merasa lelah karena
cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan menghadapi gangguan
Universitas Sumatera Utara
terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah tersinggung, gelisah dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal
Psychology Foundation of Australia, 2010. d. Stres berat
Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan, kesulitan finansial yang
berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang, yang menimbulkan gejala antara lain, tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk
melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada yang diharapkan dimasa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat, merasa tidak berharga dan berpikir
bahwa hidup tidak bermanfaat Psychology Foundation of Australia, 2010. e. Stres sangat berat
Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang yang mengalami
stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup dan cenderung pasrah. Psychology Foundation of Australia, 2010.
2.3.7. Mengukur tingkat stres Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang
dialami seseorang Crowford Henry, 2003. Tingkat stres diukur dengan menggunakan Depression Anxiety Stress Scale 42 DASS 42 oleh Lavibond
Lavibond 1995. DASS 42 diaplikasikan dengan format rating scales skala penilaian. Tingkat stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat
dan sangat berat. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara
Universitas Sumatera Utara
konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari
status emosional, secara signifikan yang digambarkan sebagai stres Psychology Foundation of Australia, 2010.
Instrumen DASS 42 terdiri dari 42 pernyataan yang mengidentifikasi skala subjektif depresi, kecemasan dan stres. Oleh karena tujuan penelitian ini hanya
untuk mengetahui tingkat stres klien pasca amputasi, maka instrumen ini dimodifikasi oleh peneliti sendiri dengan hanya mengukur tingkat stres klien
pasca amputasi dengan 14 item pernyataan tentang stres. 2.3.8. Model adaptasi stres
Menurut Funnel et al 2005, terdapat 2 model teori respon terhadap stres yaitu :
1. Selye’s stress adaptation model
Model ini menjelaskan bahwa respon tubuh ketika menghadapi stres mengalami 3 fase, yaitu :
a. Alarm reaction
Fase ini merupakan reaksi awal tubuh menghadapi stressor apapun. Ini merupakan sekumpulan reaksi antara hipotalamus, sistem saraf simpatis dan
medulla adrenal. Ini disebut dengan “flight or flight response”. Ini membuat level kewaspadaan ditingkatkan dan menggerakkan tubuh untuk siap dalam
menghadapi ancaman. Respon tubuh digambarkan dengan peningkatan siskulasi, peningkatan pelepasan glukosa menjadi energi.
b. Stage of resistance
Universitas Sumatera Utara
Jika penyebab stres tidak dapat diatasi, tubuh akan mengalami fase ini atau fase general adaptation syndrome GAS. Pada fase ini tubuh terus berjuang
menghadapi stressor setelah fase alarm reaction telah selesai. Reaksi pada tahap ini melibatkan kelenjar pituitary anterior dan korteks adrenal. Reaksi ini lebih
lambat untuk mulai dibandingkan fase pertama, tetapi efeknya lebih lama. Selama fase ini tubuh juga memulai proses untuk mengembalikan fungsinya mendekati
homeostasis normal. Fase ini, GAS terus berlangsung dalam waktu yang lama tanpa periode
relaksasi, sehingga penderita cenderung mengalami kelelahan, konsentrasi menurun, dan iritabilitas. Secara fisiologis kondisi ini menyebabkan pelepasan
steroid dan kortisol yang berlebihan, yang dirangsang selama masa stres, sehingga akan mengakibatkan penekanan sistem immunitas tubuh. Penurunan sistem
immunitas tubuh akan menyebabkan gangguan kesehatan, umumnya terjadi flu dan infeksi lainnya yang bisa mengarah pada gangguan seperti sakit kepala dan
gastritis. c.
Stage of exhaustion Pada fase ini tubuh kehabisan cadangan energi dan immunitas yang
merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk beradaptasi atau koping. Pada fase ini terjadi kehilangan potassium yang mempengaruhi semua fungsi sel tubuh.
Fungsi sel akan hilang dan sel akan mati. Kelelahan pada korteks adrenal akan terjadi dan tidak mampu menghasilkan hormon yang mencegah penurunan
glukosa darah, sehingga nutrisi sel tidak adekuat. Akibat yang terus menerus akan
Universitas Sumatera Utara
membebankan kerja jantung, pembuluh darah dan korteks adrenal. Hal ini dapat menyebabkan gagal jantung, gagal ginjal dan kematian.
Selye dalam Funnel et al 2005, juga mengidentifikasi respon tubuh terhadap stres fisik pada area tubuh. Respon ini disebut dengan local adaptation
syndrome LAS 2.
Lazarus’s interactional theory Lazarus 1966 dalam Lazarus Folkman 1984 menjelaskan bahwa cara
individu menginterpretasikan stressor dan kemampuan untuk koping appraisal yang menentukan efek dari stres. Proses appraisal merupakan sekumpulan
tindakan kognitif individu dalam membuat suatu evaluasi. Individu menilai situasi tergantung pada nilai seseorang, keyakinan dan perasaan, dan apa yang dilihat
penting dan tidak penting bagi mereka. Terdapat 2 tipe appraisal : a.
Primary appraisal Penilaian yang dilakukan untuk menilai apakah kejadian tersebut
mengganggu kesejahteraan hidup seseorang, primary appraisal dibedakan atas 3 jenis yaitu : 1 irrelevant, 2 benign-positive, 3 stressfull. Irrelevant terjadi ketika
pertemuan dengan lingkungan tidak ada membawa implikasi pada kesejahteraan seseorang netral, tidak ada yang hilang atau yang diperoleh. Benign-positive
appraisal terjadi ketika hasil dari sebuah pertemuan adalah positif yang meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Karakteristik dari Benign-positive
appraisal adalah kesenangan, gembira, cinta dan damai. Stressfull appraisal diklarifikasikan menjadi 3 hal, yaitu : 1 harmloss, 2
threat, 3 challenge. Harmloss merupakan beberapa kerusakan yang terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
seseorang yang telah terjadi terus menerus seperti kerusakan yang berakibat pada harga diri, kurang mencintai nilai pribadi, kehilangan orang yang dicinta. Threat
ancaman diartikan sebagai kejadian yang mana bahaya atau kehilangan yang belum terjadi dan masih dapat diantisipasi. Challenge appraisal tantangan
berfokus pada potensi untuk memperoleh atau mengembangkan didalam suatu pertemuan dan biasanya memiliki ciri-ciri bersemangat dan kegembiraan,
contohnya challenge appraisal seseorang akan bersemangat dalam menghadapi sesuatu yang baru.
b. Secondary appraisal
Setelah menilai apakah situasi tersebut berupa ancaman atau tantangan primary appraisal, selanjutnya yang dilakukan adalah tindakan koping apa yang
dapat dilakukan untuk mengatasi situasi tersebut. Ini melibatkan penilaian terhadap hambatan dalam melakukan koping, kekuatan personal, dan sumber
dukungan.
Skema 1. Model stres dan koping Lazarus 1991
Individu -
Keyakinan -
Nilai -
Sumber diri
Lingkungan -
Bahaya -
Ancaman -
Tantangan -
Keuntungan Hubung
an Individu
lingkung an
Primary appraisal
Secondary appraisal
Out comes
Perubaha n emosi,
fungsi sosial
dan moral
Universitas Sumatera Utara
Wrubel, Benner dan Lazarus 1984 menemukan bahwa latar belakang makna-makna dan perhatian seseorang sebenarnya mengatur apa yang dianggap
sebagai penyebab stres dan apa koping yang tersedia dalam istilah pemahaman, ketrampilan, pengetahuan, nilai dan akses. Hal yang terkait pada konsep stres dan
koping dalam persfektif fenomenologi adalah peran tubuh, peran situasi, peran dari perhatian pribadi, emosi sebagai makna yang dialami, ketrampilan, dan
sumber-sumber umum dan keunikan antara seseorang dan situasi.
2.4. Studi Fenomenologi