Karakteristik Demografi Partisipan HASIL PENELITIAN

pembenahan sarana, prasarana dan pengadaan peralatan-peralatan canggih sebagai pendukung pelayanan. Pada era ini pula sejarah mencatat suatu gebrakan besar dan berani bapak Walikota Medan dengan melakukan pembangunan RSUD Dr. Pirngadi Medan menjadi 8 delapan tingkat dilengkapi dengan peralatan canggih, yang peletakan batu pertamanya telah dilaksanakan 4 Maret 2004 dan mulai dioperasikan tanggal 16 April 2005. Pada tanggal 10 April 2007 Badan Pelayanan Kesehatan RSUD Dr. Pirngadi Medan resmi menjadi Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 433MenkesSKIV2007 1. Motto Aegroti salus lex suprema kepentingan penderita adalah yang utama 2. Visi dan misi a. Visi : menjadi rumah sakit pusat rujukan dan unggulan di Sumatera bagian Utara tahun 2015 b. Misi : • Memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. • Meningkatkan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran serta tenaga kesehatan lain. • Mengembangkan manajemen RS yang profesional.

4.2. Karakteristik Demografi Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 12 orang sampai terjadi saturasi data. Partisipan pasca amputasi tungkai bawah berasal dari RSUP H. Adam Malik Universitas Sumatera Utara Medan dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Sebelum ditetapkan sebagai partisipan, peneliti terlebih dahulu menilai tingkat stres klien berdasarkan tingkat stres sesuai dengan penilaian stres Psychology Foundation of Australia 2010. Namun beberapa klien pasca amputasi belum bisa dijadikan partisipan karena masih mengalami stres yang sedang sampai berat karena belum bisa diajak berkomunikasi walaupun telah 3 tahun mengalami amputasi. Dalam mendapatkan data dalam penelitian ini peneliti melakukan kunjungan minimal 3 kali selama penelitian. Hal ini dilakukan peneliti karena sebelum menentukan menjadi partisipan peneliti harus mengkaji tingkat stres partisipan terlebih dahulu. Kondisi luka partisipan secara umum sudah sembuh, namun ada satu partisipan yang masih dalam perawatan karena luka pasca amputasi tungkai bawah masih bengkak dan masih berair. Partisipan mengalami amputasi 1 tahun yang lalu disebabkan oleh penyakit kanker. Partisipan masih terus mendapatkan perawatan karena kondisi kakinya yang masih bengkak. Partisipan yang mengalami amputasi tungkai bawah karena Diabetes Mellitus DM dan kusta juga masih selalu mengkomsumsi obat namun luka pasca amputasi telah sembuh dan tidak memerlukan perawatan luka. Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Partisipan No Umur Jenis kelamin Lama amputasi Penyebab Tingkat stres 1. 47 tahun Laki-laki 2 tahun Kecelakaan Sedang 2. 52 tahun Laki-laki 3 tahun DM Sedang 3. 52 tahun Laki-laki 2 tahun DMinfeksi Sedang 4. 54 tahun Laki-laki 1 tahun Kanker Sedang 5. 49 tahun Laki-laki 2 tahun DMLuka bakar Sedang 6. 50 tahun Laki-laki 2 tahun Infeksi Ringan 7. 40 tahun Laki-laki 2 tahun Kecelakaan Sedang Universitas Sumatera Utara 8. 52 tahun Laki-laki 2 tahun Kusta Ringan 9. 42 tahun Perempuan 3 tahun Kecelakaan Berat 10. 53 tahun Laki-laki 3 tahun Kanker Sedang 11. 40 tahun Laki-laki 3 tahun Kusta Berat 12. 46 tahun Laki-laki 2 tahun Kanker Ringan Tabel 4.2. Karakteristik Status Sosial Partisipan No Pendidikan Pekerjaan sebelum amputasi Status pernikahan Memakai kaki palsu 1. SMP Tukang ojek Duda Pakai 2. SMP Pabrik Menikah Pakai 3. SMP Nelayan Ditinggal istri Pakai 4. SMP Tenaga honor Menikah Tidak 5. SMP Dagang Menikah Pakai 6. SMP Bertani Menikah Pakai 7. SMP Beternak Ditinggal istri Pakai 8. SMP Perkebunan Duda Pakai 9. SMA Karyawati Janda Tidak 10. SMA Buruh Duda Pakai 11. SMP Beternak Menikah Tidak 12. SMP Wiraswasta Menikah Pakai 4.3. Karakteristik Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah Tabel 4.3. Tema dan Sub Tema Serta Kategori Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah 5. No Tema Sub tema Kategori 1. Strategi Fisik Relaksasi Meditasi Pemijatan Mencari kesibukan mengalihkan perhatian 2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah Emotion focused coping Kontrol diri Membuat jarak Lari menghindar dari masalah Problem focused coping 3. Strategi kognitif Meninjau kembali masalah Belajar dari masalah Membuat perbandingan sosial 4. Strategi sosial Dukungan teman dan keluarga Menemukan kelompok dukungan Membantu orang lain Universitas Sumatera Utara No Tema Sub tema Kategori Tanggung jawab terhadap keluarga 5. Strategi Spiritual Mendekatkan diri kepada Tuhan Menganggap hukuman 4.3.1. Strategi fisik Berbagai karakteristik strategi fisik mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah tergambar dalam 4 sub tema yaitu : 1 relaksasi 2 meditasi 3 pemijatan 4 mengalihkan perhatian. Masing-masing sub tema dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Relaksasi Relaksasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh partisipan untuk mendinginkan kepala dan membuat otot-otot menjadi santai. Nonton televisi dan mendengar musik adalah kegiatan relaksasi yang dilakukan oleh dua partisipan, seperti pernyataan partisipan dibawah ini : “Sekali-sekali saya menonton televisi dan mendengar musik karena hati saya bisa tenang kalau bisa nonton dan mendengar musik, kalau saya nonton saya lihat masih banyak orang lain yang menderita bahkan lebih parah dari saya...” [P6, L116-119]. Hal ini juga didukung oleh partisipan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut ini : “Kalau malam saya suka nonton, kalau sudah lelah langsung tidur, jadi enggak sempat mikir-mikir yang lain” [P8, L126-127]. Mandi malam dan membaca koran adalah kegiatan relaksasi dari salah seorang partisipan untuk menyegarkan pikiran setelah pulang dari rumah sakit dan Universitas Sumatera Utara luka bekas amputasi kering, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : “Kalau kepala saya panas, saya mandi tengah malam biar kepala saya dingin, lalu saya baca koran dikamar, karna bisa menyegarkan otak dan hati saya” [P9, 76-78]. Partisipan ini juga membuat jadwal khusus dihari libur dengan teman atau tetangganya untuk refresing dan menyegarkan pikirannya dengan jalan-jalan ke mall atau sekedar berwisata ke tempat hiburan yang bisa dijangkau dengan keuangan mereka : “Kalau saya sudah selesai kerja, saya sekali-sekali refresinglah buk, dengan jumpa teman-teman, jalan sama teman-teman, curhat dengan teman saya udah lepas semuanya stres saya buk” [P9, L350-352]. 2. Meditasi Meditasi adalah memusatkan perhatian ke satu objek atau ide untuk mengembangkan ketenangan emosional. Salah satu partisipan mengatakan untuk menenangkan dirinya partisipan melakukan meditasi sambil berobat kampung. Hal ini terlihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Aku dijemput kan berobat kampung, disana aku diikat, disitulah aku menenangkan diri, aku hanya fokus mikirkan kesembuhanku, akupun menenangkan dirilah dengan meditasi, menenangkan pikiran, dari situlah aku mulai pulih” [P11, L267-270]. 3. Pemijatan Pemijatan juga merupakan salah satu cara efektif untuk menenangkan diri sendiri. Hal ini dilakukan oleh tiga partisipan yang dapat dilihat dalam pernyataan berikut ini : “Kadang ku kusuk-kusuk juga, kalau lagi enggak enak badannya, biasanya agak lebih lega, karena saya kebiasaan juga kalau Universitas Sumatera Utara enggak enak badan, kalau lagi banyak pikiran, badan saya dikusuk” [P11, L105-107]. Pernyataan partisipan tersebut juga didukung oleh partisipan yang lain yang juga melakukan pemijatan untuk menenangkan dirinya sehingga bisa tidur lebih nyenyak. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan partisipan di bawah ini : “Oh... karena susah tidur, kadang saya dikusuk-kusuk sama istri, jadi agak lega, jadi saya bisa tidur nyenyak” [P12, L56-57]. 4. Mencari kesibukan atau mengalihkan perhatian Beberapa partisipan mengatasi stres dengan mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang ringan seperti memelihara binatang seperti ayam, hal ini terlihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Itu tadi aja, duduk kek gini, terus enggak boleh stres, jadi saya ngasi makan ayam sambil duduk gini, nanti kalau udah lupa, nanti hilang sendiri sesaknya” [P4, L328-330]. Pernyataan partisipan tersebut juga didukung oleh partisipan yang lain yang juga melakukan kegiatan dengan memelihara ayam dan berkumpul dengan teman-teman dan mencari kesibukan dengan membantu bila ada kegiatan di lingkungannya. Hal ini dilakukan untuk menenangkan dirinya sehingga bisa tidur lebih nyenyak. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Itu tadilah buk, pelihara ayam, kasi makan, kadang kami kumpul- kumpul dengan teman, kalau ada yang mau dibantu saya bantu, jadi banyak kesibukan yang saya lakukan. Setelah sembuh saya dapat kaki palsu buk, jadi saya sudah bisa jalan lagi dan saya buat banyak kegiatan disini, untuk pelihara ayam, jadi saya enggak ada waktu untuk termenung-menung” [P8, L119-124]. Ada juga partisipan yang menganggap bahwa binatang peliharaan mereka adalah teman dan mereka ajak bicara sebagaimana layaknya teman yang sangat mengerti mereka. Hal ini terlihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : Universitas Sumatera Utara “Saya selalu pelihara kucing, saya slalu ajak bicara kucing itu, emmm...sampai tidurpun didalam, saya kandang pakai kandang burung. Itulah kegiatan sehari-hari mengisi kekosongan. Saya berterimakasih juga sama kucing itu, kenapa? Dia yang membangkitkan semangat saya, dia yang mengisi kekosongan hati saya dari awal, dia yang membuat saya bisa seperti ini” [P9, L92- 97]. Beberapa partisipan menggunakan kesibukan mereka untuk mengatasi stres yang mereka alami, dengan demikian mereka bekerja keras sampai lupa waktu dan berusaha menghabiskan waktu mereka untuk bekerja. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Dalam hati saya sedih tapi saat ini saya dirumah, kadang keladang menanam sayur-sayuranlah dari pada enggak kerja, pergi pagi pulang sore begitulah sehari-hari saya” [P6, L165- 167]. Pernyataan partisipan tersebut juga didukung oleh partisipan yang lain yang juga melakukan kegiatan dengan mengisi waktu yang kosong dengan kegiatan yang bermanfaat dan sekaligus menambah uang masuk untuk keluarga. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Makanya saya itulah, belajarlah mengisi kekosongan tadi, saya ambil kegiatan, bagaimana bisa mandi, bagaimana bisa jalan, yah itulah bikin kue. Waktu kekosongan saya, saya manfaatkan, saya kerjakan apa adanya yang penting halal, yah kalau dulu siang enggak tau, malam enggak tau, yang penting berusaha menghilangkan rasa kekosongan dihati, dengan bekerja siang dan malam enggak berhenti” [P9, L110-113]. 4.3.2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah Karakteristik yang berorientasi terhadap masalah tergambar dalam 2 sub tema dan kategori-kategori yaitu : 1 Emotion focused coping atau koping yang berfokus pada emosi yaitu dengan kategori : kontrol diri, membuat jarak, lari atau menghindar dari masalah dan 2 Problem focused coping atau koping yang Universitas Sumatera Utara berfokus pada masalah dan masing-masing sub tema dan kategori dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Emotion focused coping a. Kontrol diri Beberapa waktu setelah amputasi adalah hal yang wajar bagi orang yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi seperti marah, sedih bahkan menangis, beberapa partisipan bahkan kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Kontrol diri adalah perasaan emosi partisipan yang diluapkan dengan menangis, marah atau sedih karena pasca amputasi tungkai bawah, dengan menangis sebagian partisipan merasa agak lebih lega dan sedikit meringankan beban partisipan. Beberapa partisipan mengungkapkannya dalam pernyataan sebagai berikut : “Sangat sedih, saya marah...karena...kehilangan kaki itu, karena kaki itu menjadi pedoman penting pada saat jalan, apalagi kalau tidak ada kaki, enggak bisa jalan, berarti saya tidak normal lagi, saya jadi tidak normal, mau jalan enggak bisa, bagaimana saya mau kerja?.. saya slalu nangis waktu itu, saya yang tak pernah nangis akhirnya nangis juga, sampai-sampai lupa makan, lupa semua, yang ingat slalu kakinya yang diamputasi, sakitnyapun terus masih sakit, jadi kek manalah mau makan kan, kadang mau sampai dua hari” [P1, L167-174]. Hal ini didukung juga oleh partisipan lain yang juga merasakan hal yang sama setelah amputasi tungkai bawah. Partisipan merasakan sesak bila mengingat kembali kakinya pasca amputasi, perasaan tersebut muncul setiap kali partisipan mengingat amputasinya dan akan hilang bila partisipan lebih tenang atau menumpahkan rasa emosinya dengan menangis : Universitas Sumatera Utara “Sesak lagi.. kalau lagi suntuk, mau kadang stres, kalau udah gitu, pandangan kabur, menangis saya kadang-kadang, kalau begitu rasanya baru agak lega” [P4, L167-169]. Masalah keluarga juga mempengaruhi rasa sedih partisipan dimana partisipan ini ditinggalkan oleh istrinya tiga hari pasca amputasi tungkai bawah, dan istri partisipan sudah tidak perduli pada partisipan, seperti pernyataan partisipan berikut ini : “Itulah sedih buk, ngeri kurasa, gara-gara dipotong kakiku, enggak diopen aku, aku nangis disitu, karena aku enggak bisa liat kakiku lagi, 1 minggu aku nangis terus, setelah aku liat kakiku enggak ada, akupun enggak diopen sama istriku, 3 hari setelah dipotong kakiku, tinggalkannya aku buk, ngeri kali kurasa” [P7, L86-90]. Beberapa partisipan juga tidak dapat menahan rasa sedih mereka karena takut tidak dapat lagi bekerja, karena mereka adalah kepala rumah tangga, namun mereka tidak tahu harus melakukan apa, pikirannya seakan-akan kosong, hal ini dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Dirumah malah saya makin sedih, slalu kepikiran, masih kepikiran dengan kaki saya, bagaimana saya bisa kerja lagi, kalau kaki saya satu tentu orang enggak mau menerima” [P6, L74-76]. Perasaan sedih juga bercampur dengan perasaan tidak percaya sehingga partisipan seakan-akan tidak bisa mikir dan perasaannya rasanya kosong, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : “Memang kan..sedih, dan waktu itu saya enggak bisa mikir, kepala saya rasanya kosong, saya hanya diam” [P2, L34-35]. Perasaan sedih juga muncul karena perasaan takut tidak dapat mengurus diri sendiri, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : “Saya sedih sekali buk, karena saya hidup sendiri disini, jadi saya takut nantinya saya enggak kuat, saya tinggal sendiri, kaki udah Universitas Sumatera Utara diamputasi, istri sudah enggak ada, jadi campur aduklah semua, saya hanya berdiam diri saat itu buk, saya bingung mau melakukan apa, saya masih memikirkan apa yang akan saya lakukan, jadi bagaimana enggak stres?” [P8, L74-79]. Beberapa partisipan merasakan perasaan sedih muncul karena perasaan minder dan tidak bisa menerima keadaan dirinya. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Mindernya...memang adalah perasaan minder itu, jadi itulah yang membuat kita stres, anak saya sudah gadis, mereka kan nanti malu, saya enggak bisa kerja” [P10, L183-185]. Rasa minder partisipan tersebut juga didukung oleh partisipan yang lain yang tidak bisa menerima keadaannya seperti pernyataan partisipan dibawah ini : “Ya sedih, karena saya enggak bisa menerima keadaan saya, saya jadi orang cacat dan itu karena kesalahan saya, jadi saya mengurung diri aja dirumah, karena saya enggak mau bicara apa- apa...” [P12, L33-35]. Mekanisme koping partisipan juga ada yang tidak adaptif pada awal terjadinya amputasi tungkai bawah, karena partisipan mengatasi stresnya dengan hal yang negatif dengan menyakiti dirinya. Hal ini terlihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : “Saya slalu mengurung diri dikamar, enggak tahu siang enggak tahu malam, lalu saya suka menggores tangan saya dengan pisau silet, kalau sudah berdarah baru saya merasa lega dan berhenti...” [P9, L437-439]. b. Membuat jarak Beberapa partisipan mengatasi stres dengan membuat jarak dengan orang- orang disekitarnya, ini juga biasa muncul pada awal partisipan mengalami amputasi tungkai bawah. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : Universitas Sumatera Utara “Saya dikamar saja terus, enggak mau keluar, kadang saya menangis, tapi lama-lama saya sadar, lalu saya berdoa dan berobat supaya sembuh, itu saja angan-angan saya buk. Karena saya dibawa kedukun-dukun, bukan tambah baik malah tambah parah” [P2, L410-413]. Menjaga jarak juga dilakukan oleh partisipan yang lain dengan mengurung diri dikamar dan tidak mau keluar rumah, partisipan juga tidak suka jika ada orang yang tertawa atau bermain dirumahnya karena hal itu dianggap mengejek partisipan. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan partisipan berikut ini : “Pertama pulang itu memang saya hanya dirumah saja, saya belum ada keluar, saya hanya banyak diam dan merenung dikamar, saya enggak suka kalau ada orang tertawa atau main dirumah, jadi saya mau rumah semua tenang enggak ada yang ribut, karena saya pikir orang ketawa ngejek saya. Jadi saya jarang keluar dan jarang bergabung dengan teman-teman saya. Saya lebih banyak dirumah saja” [P6, L85-91]. Partisipan juga mengatasi stres dan menjaga jarak dengan bersikap cuek dengan orang-orang disekitarnya, partisipan hanya perduli pada orang yang perduli padanya. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Jadi sejak itu, muncul perasaan cuek saja, siapa yang salam bapak, ya bapak salami, siapa yang tak mau sama bapak tadi enggak, enggak bapak perdulikan. Aku pikir diri sendirilah sekarang, kalau siapa yang mau ngomong sama aku ya... yang mau salam sama aku, kusalami” [P5, L255-259]. Partisipan juga menjaga jarak dengan orang-orang disekitarnya karena perasaan malu pasca amputasi tungkai bawah yang dialaminya, karena partisipan menganggap orang lain normal sedangkan partisipan tidak dan menganggap orang lain menceritakan hal-hal negatif tentang partisipan. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Aku yang enggak mau dekat sama mereka, karena aku malu sama mereka, karena mereka punya kaki sedangkan aku tidak. Kadang- Universitas Sumatera Utara kadang aku pergi ke kedai belanja, aku dengar-dengar mereka menceritakan aku” [P7, L112-116]. Hal ini juga didukung oleh partisipan yang lain, yang dapat dilihat dari pernyataan berikut ini : “Iya karena kadang saya malu, jumpa sama teman-teman saya kalau lagi jalan” [P12, L174-175]. Partisipan juga mengatasi stresnya dengan menjaga jarak dengan cara jarang pulang ke kampung halaman mereka yang biasanya mereka lakukan setiap ada acara keluarga atau hari-hari besar lainnya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Aku kadang-kadang permisi pulang dari sini buat keluar, dipermisikan pulang kampung, balek kadang-kadang sebagian ada yang ngeri, takut sama aku kan? Jadi aku jarang pulang kampung, padahal kalo dulu kadang setahun tiga kali ya...” [P11, L282-285]. c. Lari atau menghindar dari masalah Partisipan memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengatasi setiap masalah, partisipan juga ada yang menghindar atau lari dari masalah dengan menghindari komunikasi dengan orang lain terutama mengenai amputasi yang dialami oleh partisipan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini: “Saya diam terus, saya enggak mau keluar dari kamar, bawaannya mau marah terus, mudah tersinggung, terutama kalau ditanya masalah amputasi. Enggak mau makan-makan saya waktu itu, karena kan kek mana lagi saya kerja, mau cari uang. Saya normal ajapun kami hidup pas-pasan apalagi kalau enggak punya kaki lagi, siapa pula yang mau menerima saya kerja, sementara anak- anak kan masih sekolah” [P1, L79-84]. Beberapa partisipan juga mengatasi masalah dengan tidur dan berharap apa yang mereka alami adalah mimpi dan ketika bangun berharap itu sudah normal kembali. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan partisipan berikut ini : Universitas Sumatera Utara “Awalnya memang saya belum ada stres, masih belum bisa mikir, tapi setelah saya lihat kaki saya, saya jadi sedih juga, seperti mimpi, jadi saya mengurung diri aja terus dirumah, mau tidur aja terus, saya berharap kalau bangun nanti kaki saya udah ada lagi” [P2, L50-54]. Hal yang sama juga diungkapkan oleh partisipan yang lain yang dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Ya, enggak ingat makan, enggak ingat apa-apa lo waktu itu buk, dikamar aja terus. Saya slalu menganggap diri saya utuh. Dalam mimpi saya, saya slalu sehat seperti semula” [P9, L674-676]. Partisipan juga menghindar dari masalah karena tidak bisa menerima keadaannya kemudian melampiaskan emosinya dengan marah, dan merusak barang-barang disekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Aku enggak bisa nerima keadaanku waktu itu, kalau istilahnya benci aku sama orang enggak salah, karena orang kulihat normal, aku enggak, orang punya kaki, aku hanya satu, jadi barang apa yang dekat kulempar dan kuhancurkan, apapun barang yang kupegang, kulemparkan, aku hampir dibawa kerumah sakit jiwa” [P11, L243-247]. Penolakan adalah mekanisme koping yang normal dilakukan oleh partisipan pada awal terjadinya amputasi. Penolakan partisipan terhadap amputasi tungkai bawah yang dialaminya disampaikan juga oleh partisipan yang lainnya dengan melukai dirinya sendiri atau melakukan sesuatu yang merugikan dirinya : “Saya selalu mengurung diri dikamar, enggak tahu siang enggak tahu malam, lalu saya suka menggores tangan saya dengan pisau silet, kalau sudah berdarah saya sudah lega dan baru berhenti, karena pikiran saya sudah terfokus pada sakit yang lain, yaitu sayatan pisau silet” [P9, L437-441]. Partisipan juga mengatasi stresnya dengan menghindar dari masalah dengan membuat kegiatan, namun kegiatan tersebut tanpa disadari justru Universitas Sumatera Utara merugikan kesehatannya. Hal tersebut dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “...karena setelah amputasi aku makin banyak merokok, kalau suntuk aku terus merokok buk” [P7, L490-491]. Menghindari pulang kampung atau kembali ke kampung asalnya juga dilakukan oleh beberapa partisipan yang dapat dilihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : “...kalau mereka responnya baik, biasa aja, malah mungkin kasihan, tidak ada yang menjauhi, hanya saya aja masih merasa malu sampai sekarang, jadi saya jarang pulang ke kampung” [P2, L84-86]. Hal ini juga didukung oleh partisipan yang lain yang juga tidak mau pulang ke kampung karena merasa tersisih oleh orang-orang di kampungnya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Ya...jadi kita merasa tersisihlah, tapi kalau andai kata seumpamanya, kita seumpamanya...ditempat yang lain, ke kampung misalnya pasti lain. Tentu kita tersisih, makanya saya itu tidak mau pulang kampung” [P10, L193-196]. Pindah rumah juga menjadi pilihan dari partisipan yang lain untuk menghindar dari orang-orang yang dikenal, dan pindah ketempat baru dan memulai kehidupan yang baru : “Saya pindah kesini saja karena enggak sanggup lagi saya tinggal di kampung. Lagi pula dulu bolak-balik terus kerumah sakit. Saya bawa rumah tangga saya kemari dan meninggalkan kampung saya dan insya Allah biarpun jelek-jelek rumah sendiri, itu sajalah sekarang” [P6, L207-212]. 2. Problem focused coping Beberapa partisipan mulai beradaptasi pasca amputasi tungkai bawah dengan memandang dari sudut pandang yang berbeda bahwa amputasi tungkai Universitas Sumatera Utara bawah yang dialaminya adalah juga untuk kebaikan dirinya. Mereka menganggap bahwa amputasi merupakan satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan nyawa mereka walaupun pada awalnya mereka menolak tindakan amputasi tersebut. Hal ini terlihat dari pernyataan beberapa partisipan dibawah ini : “Saya enggak bisa ngomong apa-apa, karena itu satu-satunya jalan penyelamat, saya diam saja, saya menangis, yahhh... karena terpaksa saya terima, karenakan kalau tidak dipotong saya tidak selamat, makanya saya diam saja, saya pasrah, sekarang saya sudah bisa menerima” [P1, L26-30]. Hal ini juga didukung oleh partisipan yang lain, yang memandang bahwa amputasi adalah pilihan yang terbaik, karena amputasi tungkai bawah bisa menyelamatkannya dari amputasi yang lebih parah sampai ke paha, atau bahkan kematian seperti pernyataan partisipan berikut ini : “Kalau enggak bisa mau diapakan lagi? Kan terpaksa diamputasi, semua orang bilang sudah parah kali katanya, kalau enggak diamputasi bisa membahayakan, nanti makin membusuk, bisa-bisa amputasi sampai ke paha, apalagi kan aku udah lama kali berobat, sudah semua dicoba, sudah habis semua, terus bau busuk lagi semua, mungkin inilah yang terbaik.” [P3. L67-72]. Pasca amputasi tungkai bawah juga membuat partisipan memandang dari sisi yang berbeda, karena merasakan manfaat dari amputasi. Partisipan merasa bebannya lebih ringan karena kakinya tidak mengeluarkan bau busuk lagi, dan nyeri pada kakinya sudah hilang. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Setelah dipotong memang agak ringan, karena enggak ada lagi bau kaki saya, enggak sakit lagi dan sayapun rela kaki saya amputasi daripada busuk...” [P2, L65-67]. Universitas Sumatera Utara Hal yang sama juga diungkapkan oleh partisipan yang lain yang merasa bahwa amputasi adalah jalan terbaik untuk dirinya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Aku berpikir mungkin lebih baik aku diamputasi dari pada lukaku malah lebih luas, enggak tau apa jadinya kalau kakiku malah diamputasi sampai paha, aku enggak akan bisa pakai kaki palsu. Lagipula keluargaku mendukung keputusanku” [P11, L331-334]. 4.3.3. Strategi kognitif Berbagai karakteristik strategi kognitif mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah tergambar dalam 3 sub tema yaitu : 1 Meninjau kembali masalah 2 Belajar dari masalah 3 Membuat perbandingan sosial. Masing-masing sub tema dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Meninjau kembali masalah Meninjau kembali masalah dapat dilakukan secara berbeda, walaupun partisipan tidak dapat menghilangkan masalah yang membuat stres, tetapi dapat melihat masalah itu dengan cara pandang yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Iya kami setuju aja katanya, yang penting bapak sehat, karena mereka enggak tega melihat kaki saya dan melihat saya selalu kesakitan. Menahankan sakit kaki ini kan, enggak ada malam, enggak ada siang rasanya, ndenyut terus, jalan tidak bisa, jadi sudah pasrah, apapun yang dibilang dokterpun saya enggak membantah lagi, saya ikuti saja semua kata-kata dokter itu, dan saya sudah biasalah buk, sudah lebih tenang, dari pada saya menahan rasa sakit terus menerus memang saya lebih nyaman seperti ini” [P8, L90-98]. Pernyataan partisipan ini juga didukung oleh partisipan yang lain karena merasa bahwa amputasi tungkai bawah telah menyelamatkan hidupnya dari penyebaran kanker yang dideritanya, partisipan menganggap amputasi jalan satu- Universitas Sumatera Utara satunya yang bisa menyelamatkannya sehingga amputasi tidak sampai ke paha. Hal ini juga mendukung pernyataan partisipan sebelumnya dengan pernyataan mereka berikut ini : “Jadi mendengar begitu itu saya pasrah, ketimbang nanti itu, semua dipotong dipaha, aku makin susah. Saya pasrah... nyeselnya sekarang dari pada nanti lama-lama dipotong juga? Kankernya menyebar, bisa-bisa sampai paha aku dipotong” [P10, L127-130]. Beberapa partisipan juga memiliki cara pandang yang berbeda dimana amputasi tidak dapat menghambat seseorang untuk berkarya asalkan tidak malas- malasan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Lagipula kalau kita berusaha Allah pasti kasih jalan, asalkan kita engak malas-malasan aja” [P6, L288-289]. Hal ini juga didukung oleh partisipan lainnya yang menganggap amputasi tungkai bawah tidak dapat menghambat rejeki seseorang, sehingga partisipan harus bangkit dan harus berusaha. Hal itu terlihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Hmmm saya berpikir gini lho, saya harus bangkit, namun kalau sudah begini keadaan enggak mungkin kita sesali juga, Tuhan kan tahu, selalu adanya rejeki itu, yang penting kita sudah berusaha” [P9, L106-108]. 2. Belajar dari masalah Beberapa partisipan pasca amputasi tungkai bawah melaporkan bahwa mereka menjadi lebih kuat dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Ya itu saja buk, saya hanya berharap ini jadi pelajaran untuk saya dan cukuplah ini yang terakhir, agar saya juga bisa menjaga kesehatan saya kedepannya, lagi pula saya masih bisa bersyukur Universitas Sumatera Utara buk, saya masih selamat, sementara banyak orang yang jauh lebih parah dari saya, bahkan kadang masih muda” [P8, L142-146]. Partisipan lain juga mendukung pernyataan partisipan sebelumnya dengan pernyataan mereka bahwa apa yang dialami adalah proses belajar sama seperti orang yang sehat lainnya, dan mereka sudah bisa menerima keadaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Sama kayak mana orang sehat, selalu belajar dari apa yang saya alami, saya enggak mau mikir banyak-banyak, enggak mau stres, apa yang bisa dikerjakan, itu aja saya kerjakan. Saya enggak mau anak saya menderita kayak saya” [P11, L624-627]. Partisipan juga menganggap bahwa amputasi yang dialaminya merupakan pengalaman yang membawanya belajar tentang kehidupan seperti dibangku sekolah, sehingga partisipan harus selalu semangat, dan selalu berpikiran bahwa mereka sehat. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Kita harus bisa belajar sendirilah, sepertinya kita baru lahir, kita harus belajar merangkak dan harus memulai dari nol. Sama seperti disekolah saya belajar, saya terapi sendiri waktu itu, saya mandi malam, sampai puasa Senin Kamis, itulah saya ingin meredamkan suasana hati saya, yang penting ingin memulai lagi dari awal, kita harus tetap semangat, kita jangan berpikiran kita sakit, kita harus bangkit, kalau kita berpikiran kita sakit kita bisa sakit lho” [P9, L534-540]. Partisipan 5 juga mendukung pernyataan partisipan sebelumnya dengan pernyataan yang dapat dilihat dibawah ini : “Aah...macam buk rasanya di Medan ini, kita orang sakit ini buk, macam udah sekolah, sekolah pengalaman yang panjang” [P5, L120-121]. Belajar dari masalah tidak hanya berfokus pada apa yang diketahui partisipan namun juga bagaimana partisipan menggunakan alat-alat bantu sehingga memudahkan mereka dalam beraktifitas pasca amputasi tungkai bawah : Universitas Sumatera Utara “Aktivitas dirumah pakai kereta soronglah, ini kami buat sendiri pakai roda biar bisa bergerak selagi dirumah” [P4, L196-197]. Partisipan juga menganggap bahwa apa yang mereka alami menjadi pelajaran dan untuk mengantisipasi agar itu tidak terulang kembali partisipan menyekolahkan anaknya dibidang kesehatan dan partisipan juga menjadi lebih baik karena jadi semakin mensyukuri nikmat apapun yang mereka dapatkan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Iya tapi udah terlambat, mau bilang apa lagi, menyesalpun enggak ada gunanya, cukuplah itu jadi pelajaran, kaki udah hilang kan? Makanya anak saya, saya perjuangkan masuk kesehatan, biar enggak ada kejadian keq gini lagi sama siapapun. Memang Setelah amputasi banyak sekali bedanya buk, tapi ada positifnya juga, saya jadi lebih rajin solat, lebih bersyukur dan lebih sayang sama keluarga” [P12, L165-171]. 3. Membuat perbandingan sosial Dalam mengatasi situasi yang sulit beberapa partisipan membuat perbandingan dengan kondisi orang lain dengan penyakit yang sama namun mereka anggap kurang beruntung dibandingkan dengan mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Macam manalah buk, awalnya ya memang enggak bisa nerima, karena kitakan lahirnya normal, tiba-tiba jadi enggak normal lagi, jadi kan harus menyesuaikan lagi, tapi sekarang sudah bisa saya terima, apalagi saya pernah jumpa orang yang sama seperti saya yang jauh lebih muda, tapi sudah diamputasi, jadi saya sudah mulai biasa, jadi sudah ikhlas” [P2, L400-405]. Partisipan tidak hanya membandingkan keadaannya dengan keadaan seseorang yang memiliki masalah yang sama, ataupun berdasarkan umur mereka, namun partisipan juga melihat bahwa orang lain telah melalui hal yang sama Universitas Sumatera Utara namun mereka bisa sukses melewati masa stres mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “...Waktu dirumah sakit ada yang sama kami amputasi, dia juga amputasi kaki yang sama, tapi dia bisa menjalaninya, kenapa aku tidak? Saya tanya dulu sama orang yang sudah pernah potong kaki itu, macam mana kau sesudah potong kaki?” [P10, L187-190]. Pernyataan partisipan juga didukung oleh partisipan 12. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “...waktu masih lajang teman saya ada keq gitu, tapi karena kecelakaan, kakinya putus sampai paha, dia juga dulu stres kali, tapi sekarang enggak lagi” [P12, L107-109]. Penyakit yang lain seperti kanker juga menjadi perbandingan sosial untuk partisipan, karena partisipan menganggap bahwa orang dengan penyakit kanker masih kurang beruntung dibandingkan dirinya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut ini : “...tapi waktu dirumah sakit banyak yang lebih parah dari penyakit saya buk, saya lama dirumah sakit, ada yang masih muda sudah kena kanker, belum nikah, jadi saya masih jauh lebih baik, jadi saya enggak seberapa kalau dibandingkan orang lain yang lebih parah” [P3, L119-123]. Partisipan juga membuat perbandingan sosial melalui apa yang mereka lihat dan dengar melalui berita ditelevisi tanpa berjumpa langsung dengan penderita. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan dibawah ini : “Saya sholat dan berdoa kepada Allah, saya minta supaya tidak gelisah dan hati saya bisa tenang dan tidak memikirkan yang enggak-enggak gitulah. Kemudian saya suka menonton televisi, karena dengan nonton saya lebih tenang, saya suka nonton berita, saya pikir masih banyak yang lebih parah dibandingkan saya, bahkan ada yang enggak sakitpun meninggal” [P6, L109-114]. Universitas Sumatera Utara 4.3.4. Strategi sosial Berbagai karakteristik strategi sosial mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah tergambar dalam 4 sub tema yaitu : 1 Dukungan teman dan keluarga 2 Menemukan kelompok dukungan 3 Membantu orang lain 4 Tanggung jawab terhadap keluarga. Masing-masing sub tema dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Dukungan teman dan keluarga Keluarga adalah orang terdekat yang dapat mendukung partisipan dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapinya. Dukungan keluarga biasanya sangat berarti untuk memotivasi partisipan untuk bangkit dari keterpurukan. Istri adalah orang yang paling dekat yang bisa memotivasi bila pasangannya mengalami stres. Istri juga yang membantu memenuhi semua kebutuhan partisipan selama sakit, termasuk kekamar mandi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “..memang saya sudah mulai mau cerita sama istri, sama anak- anak, hati saya agak lega kalau cerita dengan istri, dia juga yang membantu saya ke kamar mandi waktu saya belum pakai kaki palsu, jadi hampir semua waktu itu dibantu oleh istri” [P12, L272- 275]. Pernyataan diatas juga didukung oleh partisipan yang lain yang mengatakan bahwa pasanganlah yang selalu mengingatkannya untuk sholat dan membuat kegiatan agar partisipan tidak bosan selama masa pemulihan. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “... orang rumah selalu memotivasi saya agar keluar, sholat dan buat kegiatan biar enggak bosan. Kalau hal itu tidak terpikir sama sekali sama saya, tapi kadang saya masih sedih memikirkan nasib saya bagaimana” [P6, L93-96]. Universitas Sumatera Utara Selain sebagai tempat bertukar pikiran, pasangan juga adalah orang yang selalu berperan dalam menggantikan peran pasangannya apabila pasangannya tidak bisa bekerja sementara waktu. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan partisipan berikut ini : “Baru sakit, sudah banyak disuntik lagi bu, saya enggak bisa kerja lagi, sementara uang belanja enggak ada, obatpun susah, tapi karena ada istri buka warung sikit-sikit, jadi adalah yang kasih dukungan keuangan, jadi istrilah yang mencari uang selama saya engak bisa bekerja” [P4, L159-163]. Selain pasangan, anak adalah orang yang paling berperan dalam memacu semangat partisipan agar segera bangkit dari keterpurukan mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Hubungan saya sama anak-anak semua baik, yang disini juga, jadi merekalah yang selalu mendukung saya dan memberi semangat, makanya saya bisa semangat lagi buk, anak-anak itu enggak pernah malu kalau saya seperti ini. Waktu sakit juga mereka selalu yang menjaga saya bergantian. Enggak ada bilang apa-apa mereka, aku kalau mau amputasi saja tetap didukung mereka, karena mereka kasihan melihat kakiku yang membusuk” [P3, L153-159]. Bentuk dukungan yang diterima partisipan tidak hanya dalam bentuk motivasi dari anak-anak dan keluarganya, tetapi juga dalam bentuk bantuan termasuk menyediakan kebutuhan partisipan seperti pakaian dan makanan serta menjaga selama partisipan masih di rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “...mereka bergantian datang, kadang membawakan saya makanan, pakaian ganti. Sekarang juga mereka lebih sering datang, mereka datang bergantian, anak-anak sayalah yang selalu menjadi sumber motivasi saya agar selalu semangat dan sabar” [P8, L149-153]. Universitas Sumatera Utara Bagi partisipan dukungan keluarga sangatlah berarti dalam menghadapi setiap masalah, dukungan keluarga dapat menghilangkan stres partisipan sampai 50. Kehadiran anak adalah anugerah terindah dari Tuhan, sehingga kehadiran anak juga sanggup menghilangkan stres mereka sampai 50. Hal tersebut dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Ibaratnya kalau kita berkeluarga stres kita bisa hilang sampai 50 dan dengan hadirnya anak bisa menghilangkan stres kita sampai 50 lagi, jadi kita enggak ada lagi stres karena ada anak dan keluarga yang harus ditanggungjawabi” [P11, L566-569]. Rasa tanggung jawab terhadap anak juga merupakan motivasi besar yang membuat setiap orang tua segera sadar terhadap tanggungjawab mereka dalam memenuhi kebutuhan anak dan pendidikan anak-anak mereka. Hal tersebut dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : : “Secara pikir kalau diamputasi berpikir juga ke depan bagaimana dengan anak dan istriku, bagaimana tanggung jawabku sebagai suami untuk kebutuhan mereka, apalagi seakan jadi beban bagi orang rumah, otomatiskan kita harus istirahat paling sikitkan 3 bulan dan tidak bisa bekerja, dari mana harus menanggulagi anak-anak ini untuk sekolah” [P1, L64-69]. Partisipan juga menganggap bahwa pelayanan dan perhatian dari keluarga jauh lebih baik dan berarti dari pada semua pelayanan yang lain termasuk rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Karena saya tahu sebaik-baiknya pelayanan suster jauh lebih baik lagi pelayanan keluarga saya” [P10, L105-106]. Partisipan yang lain juga menyatakan bahwa sumber kekuatan mereka adalah anak-anaknya. Dengan mengingat anak-anaknya maka mereka akan bersemangat kembali. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : Universitas Sumatera Utara “Kalau stres saya itu tadi, mulai saya cerita dengan teman-teman, dengan keluarga, saya ceritakan aja semua, jadi berkurang stres saya, kemudian saya belajar jalan dengan tongkat dibantu oleh mereka, kalau saya stres saya ingat lagi anak saya, bagaimana anak saya kalau saya enggak kerja, makanya saya mulai semangat lagi, pokoknya ada selalu saya buat kegiatan saya biar enggak ingat lagi dengan kesedihan saya itu” [P1, L132-138]. Selain keluarga dukungan dari teman dan sahabat juga sangat membantu partisipan untuk bangkit dari keterpurukan mereka. Dengan sering berkunjung dan tidak memandang partisipan berbeda dengan dirinya, sahabat atau teman juga dapat memulihkan semangat partisipan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “...mereka sering berkunjung dan bertanya mengapa harus diamputasi, tapi sikap mereka sama seperti biasanya, malah mereka gantian menghibur saya, biar jangan mudah putus asa, biar jangan sedih terus, keluargapun gitu, jadi mereka semua menghibur, biar sabar, pasrah, sama yang diatas” [P1, L 310- 314]. Pandangan teman atau tetangga yang tidak mengganggap partisipan berbeda dari mereka, juga didukung oleh partisipan dengan pernyataan yang dapat dilihat dibawah ini : “Baik semua buk, enggak ada istilahnya yang takut atau menjauh, saya juga sudah mulai biasa sekarang, karena mereka juga enggak menganggap saya beda dengan mereka. Dari antara tetangga rumah inipun, orang inikan orang aceh, enggak ada mereka takut sama saya, mereka baik, seringpun datang kemari” [P2, L357- 361]. Hal ini juga didukung oleh pernyataan partisipan yang lain yang mengatakan bahwa teman untuk bercerita juga sangat berarti untuk mereka, sehingga mereka bisa mencurahkan semua perasaan mereka : “Banyak teman-teman, jadi kemana saya pergi ngomong-ngomong bisa-bisa saja, tapi beda kalau dikampung. Dirumah saya hanya Universitas Sumatera Utara sendiri mengurung diri, kalau disini enggak, terus ngomong- ngomong sama kawan-kawan kan bisa stres saya hilang” [P6, L276-280]. Partisipan juga menganggap bahwa perhatian yang ditunjukkan oleh teman-teman dan keluarga sangat berarti untuk mereka dalam mengatasi stres. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Ya sedih buk, jadi aku pergi kerumah adek bapak ku, disitu aku di openi buk, dibikinkan kopi, disediakan nasi, dan mereka menyuruh aku buka kakiku buk, disitu menangis orang itu liat aku buk, dipeluknya aku” [P7 L210-213]. Hal itu juga didukung oleh partisipan yang lain dimana dukungan saudara sangat berarti untuk mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Kadang saudara-saudara saya datang kemari, jadi merekalah yang membuat saya bisa bertahan hidup selama saya ada di sini.” [P6, L273-274]. Selain kunjungan oleh teman dan keluarga, partisipan juga berusaha untuk berbaur dan bergabung dengan teman-teman mereka. Pandangan teman yang tidak memandang aneh mereka pasca amputasi juga sangat berarti untuk partisipan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Pernah, itu gitu lho kadang saya merasa malu berteman gitu, tapi, saya mencoba lho untuk datang dekat teman-teman, itulah enggak ada saya itu minder, karena mereka juga menganggap saya tetap sama enggak berubah, mereka bilang kok bisa gini ya, ya kek mana lah udah takdirnya seperti ini ya harus saya jalani dan syukuri” [P9, L321-325]. 2. Menemukan kelompok dukungan Dukungan dari teman dan hubungan keluarga kadang tidak cukup untuk membantu partisipan dalam melewati masa-masa sulit. Sumber dukungan dari Universitas Sumatera Utara orang-orang yang sama atau yang memiliki penyakit atau masalah yang sama juga sangat mendukung partisipan untuk mengatasi stres mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Iya buk, ada temanku yang amputasi juga, dia udah lama, jadi aku bercerita-cerita bersama temanku yang juga tidak punya kaki seperti aku. Hilang stresku setelah bercerita-cerita dengan dia” [P7, L119-121]. Dukungan dari teman yang memiliki masalah yang sama juga sangat membantu dalam melewati masa-masa sulit, sumber dukungan bisa berasal dari orang-orang disekitar untuk mengatasi stres mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Kami baik buk, bahkan kami selalu saling membantu satu sama lain, apabila yang satu butuh bantuan kami akan saling membantu walaupun kami punya kekurangan dan tidak sempurna lagi. disini ada banyak teman-teman yang bisa membantu saya. Bahkan masak sayurpun dimasakkan oleh tetangga” [P8, L174-178]. Dukungan dari teman yang memiliki masalah yang sama juga diungkapkan oleh partisipan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Di sini istilahnya….aku sakit, kawan sakit, kawan lagi sakit. Jadi sakit sama sakit udah….sama-sama sehat juga, jadi kita sudah biasa saling bantu buk, semua masalah kita selesaikan bersama” [P11, L512-5214]. 3. Membantu orang lain Membantu orang lain yang juga memiliki masalah membuat partisipan merasa dirinya lebih berguna lagi, terutama juga membantu mereka yang memiliki masalah yang sama. Hal ini menyebabkan partisipan merasa lebih berarti, hal ini dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : Universitas Sumatera Utara “Mm.. dari situlah mereka belajar dari saya, sekarang ini lah orang, jadi awak yang memotivasi orang, disini ada juga yang amputasi keq saya, yaaah selalu dibilang sama saya, tet temani tet suruh ibu itu pake tongkat, pake kursi roda, biar bisa keluar rumah lah. Kita selalu memotivasi dia, yaudah jalani aja” [P9, L964-968]. Partisipan juga membantu orang lain yang baru menggunakan kaki palsu bagaimana cara beradaptasi atau menggunakan kaki palsu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “....binikku udah potong kaki, katanya, cuman enggak pandai dia jalan pakai kaki palsu katanya, jadi aku diminta untuk membantu istrinya jalan pakai kaki palsu. Dah capek orang-orang kaki palsu, lalu ada lagi bapak disitu, dia juga enggak pandai jalan, barulah kuajak, paksa-paksa, kadang kugendong, barulah dia pandai jalan” [P11, L384-388]. 4. Tanggung jawab terhadap keluarga Dukungan sosial juga dapat muncul dari perasaan partisipan karena rasa tanggung jawab mereka terhadap keluarga dan anak-anak. Karena secara umum partisipan adalah kepala keluarga dan merupakan pencari nafkah utama di dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Ya, sebenarnya susah untuk mengatasinya, kita enggak punya kaki, harus cari uang, tapi karena lama-lama saya sadar anak saya harus sekolah, harus makan, jadi saya mulai untuk menerima keadaan saya, mengikut diri sendiri, mulai saya keluar, cerita- cerita sama orang lain, sama tetangga, komunikasi sama teman- teman, jadi pikiran saya agak terbuka, agak lega waktu itu, jadi pikiran kita terbuka, saya ceritakan semua apa yang ada dihati saya, rasanya hati saya menjadi lebih lega, sehingga stres makin lama makin berkurang” [P1, L115-122]. Partisipan juga rela melakukan apapun agar bisa bangkit dari keterpurukan sehingga mereka bisa bekerja dan tanpa pilih-pilih, semua mereka kerjakan asalkan kebutuhan anak-anak mereka terpenuhi : Universitas Sumatera Utara “Itulah demi mencari makan tadi buk, apapun dikerjakan, ada orang minta tolong ini dikerjakan, ada orang minta tolong itu dikerjakan, karena kita kerja enggak bisa pilih-pilih bu, karena keq gini. Berarti berusaha bergiatlah maksudnya anak-anak ini janganlah terlantar jadi macam mana cara, usaha apa yang bisa ku usahakan gitu bu. Haaaa... macam.... apa dibilangnya calo L300 aku bu, pokoknya usaha apa aja aku bu” [P5, L134-140]. Partisipan yang lain juga mengatakan hal yang sama bahwa mereka harus bangkit agar mereka bisa mencari nafkah lagi untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Saya memikirkan apa ada orang lain yang membantu di rumah karena dulukan istri saya kerja nyuci baju-baju orang dan terus dikasih makan, jadi saya usahakan untuk uang belanja anak-anak, cukup-cukup uang jajan untuk anak saya di sekolah. Siapa lagi yang bisa saya harapkan, kerjaan istri enggak ada lagi, makanya saya menanam sayur-sayuran, bawang, bayam dan lain-lain, terus saya jual” [P6, L241-247]. Pernyataan ini juga didukung oleh partisipan yang lain yang juga merupakan tulang punggung keluarga karena sudah berpisah dari suaminya sejak putra mereka masih kecil-kecil. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Kadang saya berpikir... yang penting tanggung jawab saya sama anak lah buk. Ya, saya enggak menyesali apa yang terjadi, bagaimana dengan aktivitas saya nantinya dan saya memikirkan anak saya bagaimana nanti dia gitu. Anak saya ini kan bagai harta yang tak ternilai, yang bikin saya harus semangat lagi, enggak boleh stres, karena mereka enggak punya bapak, hanya saya satu- satunya yang diandalkan” [P9, L282-287]. 4.3.5. Strategi spiritual Berbagai karakteristik strategi spiritual mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah tergambar dalam 2 sub tema yaitu : 1 Mendekatkan diri Universitas Sumatera Utara kepada Tuhan 2 Menganggap hukuman. Masing-masing sub tema dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Mendekatkan diri kepada Tuhan Kesadaran bahwa ada Tuhan yang mengatur semua kehidupan manusia membuat partisipan sabar menjalani kehidupannya karena mereka sadar itu adalah cobaan, sehingga mereka lebih mendekatkan diri lagi kepada Tuhan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Kita mengikut diri kita sendiri saja, saya berdoa di kamar, saya makin rajin berdoa, kalau berdoa pikiran kita bisa terbuka, masalah yang sulit kita serahkan kepada Allah, saya ceritakan semua dalam doa saya, jadinya tidak terlalu dalam kali lagi sedih nya saya rasa. mungkin itulah jalan satu-satunya, agar saya tidak selalu larut dengan masalah itu lagi, hanya itu jalan keluarnya” [P1, L140-145]. Partisipan yang lain juga menguatkan hal diatas dengan mengatakan bahwa mereka juga semakin rajin solat dan berdoa serta diberikan kelapangan hati sehingga partisipan menjadi lebih pasrah dan mereka selalu berserah kepada Tuhan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Berdoa, saya semakin rajin sholat, itu enggak pernah lupa lagi buk, memohon kepada Yang Maha Kuasa diberi pikiran yang lapang lah, biar enggak ada pikiran putus asa, diberikan yang terbaik” [P2, L197-199]. Partisipan yang lain juga menguatkan hal diatas dengan mengatakan bahwa mereka juga bersyukur, dan rajin berpuasa. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Mmm, sudah saya jalani, ya kalo bisa, kita kan sudah berusaha, dan saya minta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memberikan saya kesehatan dan itulah yang saya minta untuk menjalani hidup ini... iya bersyukur saya. Makanya semenjak itu saya rajin puasa seminggu dua kali, rajin sholat” [P9, L197-201]. Universitas Sumatera Utara Partisipan juga merasakan ketenangan dan stresnya berkurang setelah mereka sholat dan berserah kepada Tuhan dan mencoba untuk lebih ikhlas lagi untuk menghadapi setiap masalah. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Ya banyak sholatlah, karenakan dengan sholat kita jadi lebih tenang, banyak-banyak ikhlas, sabar, itu saja” [P3, L211-212]. Hal ini juga didukung oleh partisipan yang lain, yang diungkapkan dalam pernyataan partisipan berikut ini : “Saya juga sudah mulai sholat, mulai rajin puasa, jadi pikiran saya pun makin tenang” [P12, L47-48] Semakin banyak berdoa juga membuat partisipan merasa menjadi lebih ikhlas sehingga mereka menjadi lebih cepat bangkit dari masalah mereka dan berusaha hidup lebih baik lagi : “Saya banyak berdoa buk, saya pasrahkan saja semua sama yang diatas, karena apapun yang saya alami saya yakin itu adalah takdir saya, jadi saya harus ikhlas menjalaninya, enggak mau saya stres dengan hal-hal yang enggak mungkin saya rubah, dan saya mencintai anak-anak saya, saya tidak ingin mereka sedih dan kecewa” [P8, L167-172]. Beberapa partisipan juga merasa bersyukur dengan keadaan mereka pasca amputasi tungkai bawah, dengan demikian hati mereka semakin tenang sehingga mereka bisa mengatasi rasa stres mereka. Hal ini diungkapkan oleh partisipan dalam pernyataan berikut ini : “Tapi sudahlah saya bersyukur kepada Tuhan diberi saya kesehatan, diberi rejeki kepada anak-anak saya. Saya sudah berserah kepada Tuhan, Dia tau yang terbaik kepada saya, tapi saya tetap bersyukur kepada yang Kuasa walaupun begini aku sudah sembuh sudah sehat” [P10, L271-274]. Universitas Sumatera Utara Pernyataan partisipan diatas juga didukung oleh partisipan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Kalau sekarang... pulang saya ke rumah, saya langsung sholat, bersyukur, karena dikasih sudah sehat, anak-anak saya juga sehat, alhamdulilah, mereka enggak ngalami yang saya alami” [P11, L574-576]. 2. Hukuman dari Tuhan Seorang partisipan juga menganggap apa yang dialami oleh partisipan adalah merupakan hukuman dari Tuhan yang terjadi akibat ulah manusia, sehingga dia harus rela menjalaninya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini : “Aa.... itu manusia tadi yang menanggung azab yang menanggung senang... itulah dia orangnya...semua akibat ulah manusia itu juga” [P4, L141-142] Universitas Sumatera Utara

BAB 5 PEMBAHASAN