Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

(1)

MEKANISME KOPING KLIEN PASCA AMPUTASI

TUNGKAI BAWAH DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

KARMILA BR KABAN

127046028 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

MEKANISME KOPING KLIEN PASCA AMPUTASI

TUNGKAI BAWAH DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Oleh

KARMILA BR KABAN

127046028 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 18 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dra. Nurmaini, MKM., Ph.D Anggota : 1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes

2. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes 3. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB


(5)

(6)

Judul Tesis : Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

Nama Mahasiswa : Karmila Br Kaban

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada manajemen stres untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu. Setiap individu secara akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi maka tingkat stres akan meningkat dan individu berespon melalui suatu mekanisme koping. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna mendasar dari suatu fenomena yang dialami. Jumlah partisipan 12 orang klien pasca amputasi tungkai bawah yang berasal dari rumah sakit pemerintah di kota Medan yang berusia antara 40 sampai 54 tahun yang telah melewati masa stres pasca amputasi tungkai bawah. Hasil penelitian ini ditemukan 5 tema mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah yang berhubungan dengan, Strategi


(7)

fisik terdiri dari 4 sub tema yakni relaksasi, meditasi, pemijatan, mencari kesibukan/mengalihkan perhatian. Strategi yang berorientasi pada masalah terdiri dari 2 sub tema yaitu, emotion focused coping, problem focused coping. Strategi kognitif terdiri dari 3 sub tema yaitu, meninjau kembali masalah, belajar dari masalah, membuat perbandingan sosial. Strategi sosial terdiri dari 4 sub tema yaitu, dukungan teman dan keluarga, menemukan kelompok dukungan, membantu orang lain, tanggung jawab terhadap keluarga. Strategi spiritual terdiri dari 2 sub tema yaitu, mendekatkan diri kepada Tuhan, menganggap amputasi adalah hukuman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mekanisme koping strategi fisik

in efektif yaitu mencari kesibukan/mengalihkan perhatian, kontrol diri yang in efektif melukai dirinya dan melempar barang yang ada disekitarnya, mekanisme koping in efektif yaitu lari atau menghindar dari masalah dan merokok. Tema strategi spiritual yang in efektif yaitu menganggap amputasi adalah hukuman dari Tuhan. Disarankan kepada perawat diruang perioperatif hendaknya bekerjasama dengan perawat psykologis dalam mempersiapkan mental klien perioperatif dan perawat komunitas dan jiwa dalam melakukan homecare sehingga klien tidak mengalami stres pasca amputasi.


(8)

Thesis Title : Client Coping Mechanism After Post Lower Extremity Amputation in Medan

Name : Karmila Br Kaban

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Coping mechanism is all attempts which lead to stress management in order to cope with internal and external demands which exceed individual capability and sources. Each individual naturally experiences physical, psychological, and social changes, either from internal or from external environment. If the condition cannot be coped with, the level of stress will increase and he will respond through coping mechanism. The objective of the research was to identify coping mechanism in clients in the post lower extremity amputation. The research used phenomenological approach which was aimed to explain the basic concept and meaning of a certain phenomenon experienced by someone. There were 12 participants who were 40 to 54 years old in the post extremity amputation and who came from the public hospitals in Medan. All of them passed the stressing period after their lower legs had been amputated. The result of the research showed that there were five themes of experiences concerning coping mechanism in the post extremity amputation, physical strategy


(9)

which consisted of four sub themes, relaxation, meditation, massage, and seeking activities / diverting attention, strategy which is oriented on problem consisted of two sub themes, emotion focused coping and problem focused coping, cognitive strategy which consisted of three sub themes, reviewing the problem, learning from problem, and making social comparison, social strategy which consisted of four sub themes, fiends and families support, finding supporting group, helping other people, and being responsible for family, and spiritual strategy which consisted of two sub themes, being close to God and considering the amputation as a punishment. The conclusion was that coping mechanism of physical strategy was in effective by seeking activities / diverting attention. Participants who had in effective self control hurt themselves and threw any objects around them, participants also had in effective coping mechanism since they ran or avoided problems by moving out from their villages, and one participant coped with it by smoking. The theme of spiritual strategy which was in effective considered that amputation was a punishment. It is recommended that nurses who are on duty in the pre operation rooms collaborate with psychological nurses in preparing the mentality of pre operative patients, and community and mental nurses provide homecare so that clients will not undergo stress in the post amputation.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan”.

Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan tesis ini, peneliti banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada peneliti selama penyusunan tesis ini.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menjalani pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S.Kep., Ns., MNS, selaku Sekretaris Program Studi yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menjalani pendidikan dan selama penyusunan tesis ini.

4. Dra. Nurmaini, MKM., Ph.D, selaku pembimbing utama yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tesis hingga selesai tepat pada waktunya.


(11)

5. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku penguji I yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

6. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB, selaku penguji II yang telah banyak memberikan masukan maupun saran untuk perbaikan tesis ini.

7. Seluruh staf dosen yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan tesis dan uji validitas

8. Direktur RSUP H. Adam Malik, yang telah memberikan izin kepada peneliti sehingga peneliti bisa mengambil data klien pasca amputasi untuk menjadi partisipan dalam tesis ini.

9. Direktur RSUD. Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan izin kepada peneliti sehingga peneliti bisa mengambil data klien Pasca amputasi untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini.

10. dr. I. Nyoman E. L., M.Kes, AIFM, selaku Ketua Yayasan Universitas Prima Indonesia yang telah memberikan Beasiswa selama peneliti kuliah di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan USU hingga selesai tepat pada waktunya. 11. Chrismis Novalinda Ginting, SSiT., M.Kes, selaku Dekan FKK UNPRI yang

telah mendukung peneliti selama peneliti menjalani perkuliahan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan USU.

12. Orang Tua tercinta (alm ayah) dan ibunda serta ibu mertua yang selalu menjadi inspirasi dan selalu mendukung dan memotivasi peneliti sampai selesainya tesis ini tepat pada waktunya.

13. Suami tercinta Episitrepo Lawolo, SKM., SPd, yang menjadi pendamping hidup sekaligus teman dan sahabat yang selalu berbagi dalam suka dan duka,


(12)

menjadi motivator dan selalu mendukung serta mencari solusi terbaik sehingga peneliti bisa menyelesaikan tesis ini dengan baik.

14. Ketiga putra-putri peneliti (Yoel, Cilla dan Varel) yang menjadi sumber kekuatan yang menguatkan peneliti dalam suka dan duka untuk selalu melakukan yang terbaik untuk tesis ini dan selesai tepat pada waktunya. 15. Teman-teman seperjuangan terutama ibu Suryani Ginting, Suster Imelda

Derang, Tiarnida Nababan, Oktoberius Zebua, Nurlela Petra Saragih, Nelly Barus, dan semua rekan-rekan seangkatan terutama peminatan KMB yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang selalu saling menopang satu dengan yang lain, sehingga bersama-sama kita berusaha untuk dapat menyelesaikan tesisnya dengan baik.

Peneliti menyadari tesis ini belumlah sempurna dan membutuhkan masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tesis ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini dan harapan peneliti semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan secara khusus profesi keperawatan.

Medan, 18 Agustus 2014 Peneliti,


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Karmila Br Kaban

Tempat/Tanggal Lahir : Doulu, 5 September 1974

Alamat : Puri Anom Asri Blok BB No. 74 Tanjung Anom

No. HP : 081375951678

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Inpres No. 046411 1987

SLTP SMP Negeri 2 Berastagi 1990

SLTA SMA Negeri Sampali 1993

D-III AKPER Darmo Medan 1996

D-IV D-IV Perawat Pendidik USU 2002

S1 PSIK STIKes Prima Husada 2005

Profesi Ners Profesi Ners FKK UNPRI 2009

S2 Magister Ilmu Keperawatan USU 2014

Riwayat Pekerjaan :

Jabatan Nama Institusi Tahun

Perawat RSU Kesuma Indah Tebing Tinggi 1997-2001

Dosen STIKes Prima Indonesia 2001-2005


(14)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Seminar Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Bidang Kesehatan dan Workshop Menganalisis Data Kualitatif dengan Metode Content Analysis dan Software WEFT-QDA, 18 Desember 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara sebagai peserta.

Seminar Keperawatan Nursing Leadership Menyongsong ASEAN Community

2015, 30 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara sebagai peserta.

Seminar Internasional, Medan International Nursing Conference The Application of Caring Science in Nursing Education Advanced Research and Clinical

Practice, 1-2 April 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara sebagai Peserta.

Pengabdian Masyarakat Deteksi Dini Hiperplasia dan kanker payudara dengan Teknik SADARI di Kampung Nangka Pasar VI Stabat, 5 Oktober 2013 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara sebagai peserta.

Seminar dan Workshop Diagnostic Reasoning dengan Aplikasi NANDA, NOC, NIC dan ISDA, 24 November 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara sebagai peserta.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………... i

ABSTRACT………... iii

KATA PENGANTAR………. v

RIWAYAT HIDUP………. viii

DAFTAR ISI……… x

DAFTAR TABEL……… xii

DAFTAR LAMPIRAN………... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang……….... 1

1.2. Rumusan Permasalahan………... 5

1.3. Tujuan Penelitian………... 5

1.4. Manfaat Penelitian………... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………... 7

2.1. Amputasi………... 7

2.1.1. Defenisi………... 7

2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi………... 8

2.1.3. Jenis amputasi………... 9

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi………. 9

2.1.5. Tingkatan amputasi………. 10

2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai……….. 11

2.1.7. Komplikasi………... 13

2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah. 13 2.2. Konsep Mekanisme Koping……….. 17

2.2.1. Defenisi………... 17

2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping……… 18

2.2.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi mekanisme koping……….. 22

2.2.4. Literatur yang berhubungan dengan mekanisme koping……….. 25

2.3. Konsep Stres………. 26

2.3.1. Defenisi stres..………. 26

2.3.2. Etiologi stres………... 27

2.3.3. Respon stres……… 27


(16)

2.3.5. Dampak stres……….…. 31

2.3.6. Tingkatan stres……… 32

2.3.7. Mengukur tingkat stress……….. 33

2.3.8. Model adaptasi stres……….………... 34

2.4. Studi Fenomenologi……….. 38

BAB 3. METODE PENELITIAN……….. 41

3.1. Jenis Penelitian……….. 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 42

3.3. Partisipan………... 42

3.4. Pengumpulan Data……… 43

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional………... 47

3.6. Metode Analisa Data………. 48

3.7. Keabsahan Data………. 49

3.8. Pertimbangan Etik………. 51

BAB 4. HASIL PENELITIAN……… 52

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 52

4.1.1. RSUP. H. Adam Malik Medan………... 52

4.1.2. RSUD. Dr. Pirngadi Medan……… 55

4.2. Karakteristik Demografi Partisipan……….. 56

4.3. Karakteristik Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi…. 58 4.3.1. Strategi Fisik………... 59

4.3.2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah………... 62

4.3.3. Strategi kognitif……….. 71

4.3.4. Strategi sosial………. 76

4.3.5. Strategi spiritual……….. 83

BAB 5. PEMBAHASAN……….. 87

5.1. Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah 88 5.2. Keterbatasan Penelitian………. 107

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN………... 109

6.1. Kesimpulan………... 109

6.2. Saran……….. 110

DAFTAR PUSTAKA………... 112


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Partisipan……… 57 Tabel 4.2. Karakteristik Status Sosial Partisipan………. 58 Tabel 4.3. Tema dan Sub Tema Serta Kategori Mekanisme

Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah……….


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian……….. 122

Permohonan menjadi responden……… 123

Surat pernyataan responden………... 124

Kuisioner penilaian stres…..……….. 125

Panduan wawancara………... 127

Format catatan lapangan……… 128

Lembar persetujuan uji validitas ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep………... 129

Lembar persetujuan uji validitas ibu Wardiyah Daulay, S.Kep., Ns., M.Kep……….. 130 Lembar persetujuan uji validitas ibu Resmi Masdelina Siregar, S.Kep., Ns………... 131

Lampiran 2 Biodata Expert………... 132

Lampiran 3 Izin penelitian……… 134

Surat izin pengambilan data ke RSUP. H. Adam Malik Medan……….. 135

Surat izin pengambilan data ke RSUD. Dr. Pirngadi Medan……….... 136

Surat izin pengambilan data dari RSUP. H. Adam Malik Medan……….. 137

Surat izin pengambilan data dari RSUD. Dr. Pirngadi Medan……….. 138

Persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan penelitian……….... 139


(19)

Judul Tesis : Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

Nama Mahasiswa : Karmila Br Kaban

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada manajemen stres untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu. Setiap individu secara akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi maka tingkat stres akan meningkat dan individu berespon melalui suatu mekanisme koping. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna mendasar dari suatu fenomena yang dialami. Jumlah partisipan 12 orang klien pasca amputasi tungkai bawah yang berasal dari rumah sakit pemerintah di kota Medan yang berusia antara 40 sampai 54 tahun yang telah melewati masa stres pasca amputasi tungkai bawah. Hasil penelitian ini ditemukan 5 tema mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah yang berhubungan dengan, Strategi


(20)

fisik terdiri dari 4 sub tema yakni relaksasi, meditasi, pemijatan, mencari kesibukan/mengalihkan perhatian. Strategi yang berorientasi pada masalah terdiri dari 2 sub tema yaitu, emotion focused coping, problem focused coping. Strategi kognitif terdiri dari 3 sub tema yaitu, meninjau kembali masalah, belajar dari masalah, membuat perbandingan sosial. Strategi sosial terdiri dari 4 sub tema yaitu, dukungan teman dan keluarga, menemukan kelompok dukungan, membantu orang lain, tanggung jawab terhadap keluarga. Strategi spiritual terdiri dari 2 sub tema yaitu, mendekatkan diri kepada Tuhan, menganggap amputasi adalah hukuman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mekanisme koping strategi fisik

in efektif yaitu mencari kesibukan/mengalihkan perhatian, kontrol diri yang in efektif melukai dirinya dan melempar barang yang ada disekitarnya, mekanisme koping in efektif yaitu lari atau menghindar dari masalah dan merokok. Tema strategi spiritual yang in efektif yaitu menganggap amputasi adalah hukuman dari Tuhan. Disarankan kepada perawat diruang perioperatif hendaknya bekerjasama dengan perawat psykologis dalam mempersiapkan mental klien perioperatif dan perawat komunitas dan jiwa dalam melakukan homecare sehingga klien tidak mengalami stres pasca amputasi.


(21)

Thesis Title : Client Coping Mechanism After Post Lower Extremity Amputation in Medan

Name : Karmila Br Kaban

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Coping mechanism is all attempts which lead to stress management in order to cope with internal and external demands which exceed individual capability and sources. Each individual naturally experiences physical, psychological, and social changes, either from internal or from external environment. If the condition cannot be coped with, the level of stress will increase and he will respond through coping mechanism. The objective of the research was to identify coping mechanism in clients in the post lower extremity amputation. The research used phenomenological approach which was aimed to explain the basic concept and meaning of a certain phenomenon experienced by someone. There were 12 participants who were 40 to 54 years old in the post extremity amputation and who came from the public hospitals in Medan. All of them passed the stressing period after their lower legs had been amputated. The result of the research showed that there were five themes of experiences concerning coping mechanism in the post extremity amputation, physical strategy


(22)

which consisted of four sub themes, relaxation, meditation, massage, and seeking activities / diverting attention, strategy which is oriented on problem consisted of two sub themes, emotion focused coping and problem focused coping, cognitive strategy which consisted of three sub themes, reviewing the problem, learning from problem, and making social comparison, social strategy which consisted of four sub themes, fiends and families support, finding supporting group, helping other people, and being responsible for family, and spiritual strategy which consisted of two sub themes, being close to God and considering the amputation as a punishment. The conclusion was that coping mechanism of physical strategy was in effective by seeking activities / diverting attention. Participants who had in effective self control hurt themselves and threw any objects around them, participants also had in effective coping mechanism since they ran or avoided problems by moving out from their villages, and one participant coped with it by smoking. The theme of spiritual strategy which was in effective considered that amputation was a punishment. It is recommended that nurses who are on duty in the pre operation rooms collaborate with psychological nurses in preparing the mentality of pre operative patients, and community and mental nurses provide homecare so that clients will not undergo stress in the post amputation.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Amputasi adalah menghilangkan satu atau lebih bagian tubuh dan belum pernah terjadi sebelumnya yang bisa sebabkan oleh malapetaka atau bencana alam seperti kecelakaan, gempa, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa untuk melindungi mereka dari keganasan lebih lanjut dari bagian tubuh yang satu ke bagian tubuh lainnya. Pada pasien kusta dan gangren ekstremitas, amputasi dilakukan untuk menghentikan kemajuan penyakit atau penyebaran penyakit. (Demet, 2003).

Menurut Crenshaw (2002) di Amerika Serikat terjadi 43.000 kasus pertahun dari jumlah penduduk 280.562.489 jiwa atau sekitar 0,02 % sedangkan menurut Raichle et al. (2009) disebutkan bahwa terjadi kasus amputasi sekitar 158.000 per tahun dari jumlah penduduk 307.212.123 atau sekitar 0,05 % dan terjadi kenaikan baik secara jumlah maupun secara persentase dari jumlah penduduk. Amputasi yang paling sering dilakukan adalah amputasi pada ekstremitas bawah mencapai 85 % sampai 90 % dari seluruh amputasi.

Menurut Vitriana (2002) angka kejadian pasti kasus amputasi di Indonesia tidak dapat diketahui. Berdasarkan data surveilens terpadu penyakit (STP) tahun 2009, kasus Diabetes Melitus di Provinsi Sumatera Utara mencapai 108 pasien


(24)

yang dirawat dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni 2009, (Supriadi, et al, 2009) Study epidemiologi memperkirakan 2,5 % pasien diabetes menjadi diabetic foot (DF) ulcers, dan setiap tahunnya 15 % menjadi

diabetic foot ulcers seumur hidup. Diabetic foot adalah penyebab dari amputasi ekstremitas bawah lebih dari 85 % kasus. Masalah ekstremitas bawah lebih sering mengalami komplikasi termasuk penurunan sensasi, yang memperberat terjadinya amputasi ekstremitas bawah pada seseorang dengan Diabetes Melitus (Cristina, 2007).

Trauma dan kanker adalah penyebab utama kejadian amputasi, namun di dunia barat penyakit pembuluh darah perifer menyumbang 80-90 % dari semua kasus amputasi dan usia rata-rata diatas 70 tahun. Di Amerika Serikat masalah pembuluh darah menyumbang 82 % dari semua kasus amputasi. Di negara-negara berkembang trauma merupakan penyebab utama amputasi dan di negara-negara yang memiliki ranjau darat juga menjadi penyebab terjadinya amputasi ekstremitas bawah (Barmparas, 2010).

Amputasi membawa perubahan yang signifikan dan drastis dalam kehidupan seseorang, dimulai dengan syok, kemudian mengakui dan akhirnya menerima dengan berat. Amputasi disebut sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi, hilangnya sensasi dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktivitas fisik segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko-sosial dan memiliki implikasi ekonomi jangka


(25)

panjang dan berpengaruh pada kontribusi individu kepada masyarakat (Demet, 2003).

Peneliti menemukan bahwa peserta yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial, dan memiliki kebutuhan yang tak terpenuhi dalam kaitannya dengan keuangan, pekerjaan dan kegiatan sosial, sementara Livneh, Antonak, dan Gerhardt (1999) melaporkan bahwa usia yg lebih muda dan durasi yang lebih rentan mengalami depresi, kualitas hidup pada umumnya lebih rendah bagi mereka yang mengalami amputasi dibandingkan dengan klien yang tidak mengalami amputasi, (Livingtone, 2011). Amputasi juga sering terjadi pada orang dewasa muda dan kelompok usia produktif sehingga amputasi tungkai menyebabkan krisis ekonomi yang serius bagi keluarga terutama bila klien tidak mampu membeli alat prosthesis yang baik yang sesuai dengan kebutuhan (Chalya, Mabula, 2012).

Menurut laporan, angka kematian pada tahun pertama setelah amputasi adalah 13-40 %, di tahun ketiga, 35-65 % dan pada tahun kelima adalah 39-80 %, dimana angka yang sebanding dengan tingkat kematian pada keganasan. Selain itu, kehilangan pekerjaan dan kebutuhan medis dan perawatan, pengurangan dalam interaksi sosial dan keluarga, dan perubahan gaya hidup merupakan masalah utama yang mempengaruhi keluarga dan status sosial ekonomi pasien serta tidak adanya kaki dan tungkai bawah dapat sangat bermasalah bagi pasien dan mengerahkan terlalu banyak energi untuk berjalan, oleh karena itu, amputasi anggota badan yang lebih tinggi atau pengembangan ulkus dapat terjadi, pada


(26)

akhirnya, pasien dengan kaki diamputasi perlu rawat inap jangka panjang, rehabilitasi, perawatan rumah dan dukungan sosial (Shojaiefard, 2008).

Kehilangan anggota tubuh ditandai oleh serangkaian respon psikologis yang kompleks. Meskipun banyak orang berhasil menggunakan respon tersebut untuk menyesuaikan diri dengan amputasi namun sebanyak 50 % gejala kejiwaan dari semua kasus amputasi memerlukan beberapa intervensi psikologis, dan depresi adalah reaksi psikologis yang paling umum diantara pasien dengan amputasi (Cansever, 2003)

Klien pasca amputasi tungkai bawah melaporkan ketidaknyamanan sosial yang terkait dengan perubahan citra tubuh, body esteem negatif, kurangnya dukungan sosial dan meningkatnya depresi dan gangguan stres pasca-trauma. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan, kesedihan, tidak berdaya, frustasi, kecemasan dan rasa bersalah, serta kekhawatiran tentang keluarga, pekerjaan, hubungan sosial dan seksual (Davidson et al. 2002. Rybarczyk et al. 1995, Gallagher & MacLachlan 2001, Taleporos & McCabe, 2005, Williams et al. 2004, Phelps et al. 2008).

Gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah gangguan kejiwaan yang dapat muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius, ancaman yang serius untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan respon rasa takut, tidak berdaya, atau menakutkan. Memahami gejala sisa psikiatri dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan jenis intervensi dan tingkat intervensi psikologis ketika amputasi dan pasca amputasi (Cavanagh, 2006).


(27)

Adaptasi merupakan hasil akhir dari upaya koping. Beradaptasi berarti mendapatkan persepsi, perilaku dan lingkungan yang berubah sehingga tercapai keseimbangan. Setiap individu secara terus-menerus akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi dengan seimbang maka tingkat stres akan meningkat. Dalam upaya beradaptasi terhadap perubahan tersebut, individu berespon melalui suatu mekanisme koping (Keliat, 1999).

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu.

1.2. Rumusan Permasalahan

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi fenomena mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian


(28)

1.4.1. Profesi keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada perawat terutama tentang mekanisme koping klien pasca amputasi dan sebagai masukan dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada klien pasca amputasi tungkai bawah.

1.4.2. Pelayanan rumah sakit

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pelayanan rumah sakit terutama untuk perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan untuk mempersiapkan pasien pulang dan kunjungan ke rumah secara berkala untuk memantau perkembangan klien sehingga klien bisa beradaptasi dengan masalah yang dialaminya.

1.4.3. Peneliti sendiri

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan pengkajian dan wawancara pada klien pasca amputasi tungkai bawah dan dapat melakukan praktek langsung penelitian yang telah diterima peneliti di bangku kuliah.

1.4.4. Peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan untuk penelitian selanjutnya terkait adaptasi klien dan menjadi rujukan terhadap penanganan klien yang mall adaptif.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Amputasi

2.1.1. Defenisi

Amputasi berasal dari kata “amputare” yang berarti “pancung”. Amputasi adalah penghilangan satu atau lebih bagian tubuh dan bisa sebagai akibat dari malapetaka atau bencana alam, belum pernah terjadi sebelumnya, seperti kecelakaan, gempa dengan intensitas kuat, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir apabila masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau apabila kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain, (Demet K, 2003, Glass, Vincent, 2004).

Amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem cardiovaskuler. Lebih lanjut amputasi dapat menimbulkan masalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas, (Wahid, 2013).

Amputasi ekstremitas bawah adalah prosedur pembedahan yang dihasilkan dari sebuah kondisi medis yang serius seperti diabetes, trauma atau neoplasma, gangren, deformitas kongenital. Dari semua penyebab tadi, penyakit vaskuler


(30)

perifer merupakan penyebab yang tertinggi amputasi ekstremitas bawah, (Senra, Arago, Leal, 2011).

2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi

Penyakit vaskular perifer adalah penyebab utama amputasi pada individu non diabetes dan memberikan kontribusi sekitar setengah dari semua amputasi pada individu dengan diabetes. Kontroversi mengenai penilaian yang tepat dan manajemen penyakit pembuluh darah perifer juga ada meskipun beberapa pusat keunggulan telah melaporkan penurunan tingkat amputasi setelah revaskularisasi bedah agresif (Wrobel, Mayfield, Rieber, 2001).

Lebih dari 60 % dari amputasi tungkai bawah non traumatik di Amerika Serikat terjadi di antara orang-orang dengan diabetes melitus, dan meningkat enam hingga sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa diabetes. Setelah amputasi tungkai bawah pertama, hingga 50 % pasien memerlukan amputasi lain dalam waktu 3-5 tahun, (Lipsky, Weigelt, Sun, 2011). Menurut Jumeno dan Adliss (2010) amputasi dapat juga disebabkan oleh berbagai hal seperti penyakit, faktor cacat bawaan lahir ataupun kecelakaan.

Menurut Wahid tahun 2013, amputasi dapat dilakukan pada kondisi sebagai berikut :

1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki. 2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.

3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.

4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya. 5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.


(31)

6. Deformitas organ. 2.1.3. Jenis amputasi

Menurut Wahid (2013) ada beberapa jenis amputasi yaitu :

a. Amputasi selektif/terencana ; amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.

b. Amputasi akibat trauma ; merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.

c. Amputasi darurat ; kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi

Klien yang memerlukan amputasi biasanya orang muda dengan trauma ekstremitas berat atau lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer. Orang muda umumnya sehat, sembuh dengan cepat, dan berpartisipasi dalam program rehabilitasi segera. Karena amputasi sering merupakan akibat dari cedera, klien memerlukan lebih banyak dukungan psikologis untuk menerima perubahan mendadak citra diri dan menerima stress akibat hospitalisasi, rehabilitasi jangka panjang, dan penyesuaian gaya hidup. Klien ini memerlukan waktu untuk


(32)

mengatasi perasaan mereka mengenai kehilangan permanen tadi. Reaksi mereka sudah diduga dan dapat berupa kesedihan terbuka dan bermusuhan (Liu, William, 2010, Smeltzer, 2010).

Sebaliknya lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer sering mengidap masalah kesehatan lain, termasuk diabetes melitus dan arteriosklerosis. Amputasi terapeutik untuk kondisi yang sudah berlangsung lama dapat membebaskan klien dari nyeri, disabilitas, dan ketergantungan. Klien ini biasanya sudah siap mengatasi perasaannya dan siap menerima amputasi. Perencanaan untuk rehabilitasi psikologik dan fisiologik dimulai sebelum amputasi dilaksanakan. Namun, kelainan kardiovaskuler respirasi, atau neurologik mungkin dapat membatasi kemajuan rehabilitasi (Lukman, 2009).

2.1.5. Tingkatan amputasi

Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi pada cedera ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat. Batas amputasi pada tumor maligna ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan lokal. Sedangkan pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai (puntung) (Sjamsuhidajat, 2005)

Ampusi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor: peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional (misalnya sesuai kebutuhan prostesis) (Smeltzer, 2010).

Lima tingkatan amputasi yang sering digunakan pada ekstremitas bawah adalah telapak dan pergelangan kaki, bawah lutut, disartikulasi dan atas lutut,


(33)

disartikulasi lutut panggul, dan hemipelviktomi dan amputasi translumbar. Tipe amputasi ada dua yaitu, terbuka (provisional) yang memerlukan teknik aseptik ketat dan revisi lanjut, serta tertutup atau flap (Doengoes, 2000).

Amputasi jari kaki dan sebagian kaki hanya menimbulkan perubahan minor dalam gaya jalan dan keseimbangan. Amputasi Syme (modifikasi amputasi disartikulasi pergelangan kaki) dilakukan paling sering pada trauma kaki ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat dan yang dapat menahan beban berat badan yang penuh. Amputasi bawah lutut lebih disukai dibandingkan amputasi atas lutut karena pentingnya sendi lutut dan kebutuhan energi untuk berjalan. Dengan mempertahankan lutut sangat berarti bagi seorang lanjut usia antara ia bisa berjalan dengan alat bantu dan hanya bisa duduk dikursi roda. Disartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien muda, aktif yang masih mampu mengembangkan kontrol yang tepat terhadap prostesis. Bila dilakukan amputasi atas lutut, pertahankan sebanyak mungkin panjangnya, otot dibentuk dan distabilkan, dan kontraktur pinggul dapat dicegah untuk potensial ambulasi maksimal. Bila dilakukan amputasi disartikulasi sendi pinggul, kebanyakan orang akan tergantung pada kursi roda untuk mobilitasnya. Amputasi ekstremitas atas dilakukan dengan mempertahankan panjang fungsional maksimal. Prostesis segera diukur agar fungsinya bisa maksimal (Smeltzer, 2008).

2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai

Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi, menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang sehat untuk penggunaan prostesis. Lansia mungkin mengalami kelambatan


(34)

penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lainnya. Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa tungkai, dengan balutan kompres lunak atau rigid dan menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi (Lukman, 2009).

Balutan rigid tertutup sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri, dan mencegah kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi tempat memasang ekstensi prostesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Kaus kaki steril dipasang pada sisi anggota. Bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Puntung kemudian dibalut dengan balutan gips elastis yang ketika mengeras akan mempertahankan tekanan yang merata. Tekanan balutan rigid ini digunakan sebagai cara membuat socket untuk pengukuran protesis pasca operatif segera. Panjang prostesis disesuaikan dengan individu klien. Gips diganti dalam sekitar sepuluh sampai empat belas hari. Bila ada peningkatan suhu tubuh, nyeri berat, atau gips yang mulai longgar harus segera diganti (Smeltzer, 2008).

Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai kebutuhan. Bidai immobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan. Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi (Lukman, Ningsih, 2009).

Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mengering. Sepsis ditangani dengan


(35)

antibiotika. Dalam beberapa hari, ketika infeksi telah terkontrol dan pasien telah stabil, dilakukan amputasi definitif dengan penutupan kulit, (Lukman, Ningsih, 2009).

2.1.7. Komplikasi

Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit. Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan, dengan peredaran darah buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat prostesis dapat menyebabkan kerusakan kulit (Smeltzer, 2008).

Hemorage masif akibat lepasnya jahitan merupakan masalah yang paling membahayakan. Klien harus dipantau secara cermat mengenai setiap tanda dan gejala perdarahan. Tanda vital klien harus dipantau, dan drainase berpengisap harus diobservasi sesering mungkin. Perdarahan segera setelah pasca operasi dapat terjadi perlahan atau dalam bentuk hemorage masif akibat lepasnya jahitan.

Torniket besar harus tersedia dengan mudah disisi pasien sehingga bila sewaktu-waktu terjadi perdarahan hebat, dapat segera dipasang pada sisa tungkai untuk mengontrol perdarahan. Ahli bedah harus diberi tahu dengan segera bila ada

hemorage berlebihan (Smeltzer, 2010).

2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah

Pengalaman amputasi akan melibatkan klien sebagai manusia seutuhnya, pikiran, tubuh, dan jiwa. Klien perlu memulihkan emosional maupun fisik. Selama masa rehabilitasi semua kebutuhan klien penting. Klien mungkin


(36)

mengalami mati rasa atau perasaan kosong, depresi, takut, sedih, cemas, putus asa, kelelahan yang luar biasa, kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam adalah perasaan yang terjadi pada klien yang mengalami amputasi. Klien memiliki serangkaian perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada sebuah roller coaster emosional (Society Vascular Nursing [SVN], 2008).

Klien dengan amputasi tungkai bawah dapat mengganggu fisik, psikologis, dan fungsi sosial. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan, kesedihan, tidak berdaya dan rasa bersalah serta kekhawatiran tentang keluarga, pekerjaan, hubungan sosial dan hubungan seksual (Davidson et al, 2002).

Depresi dianggap sebagai gangguan medis, seperti gangguan fisik lainnya yang mempengaruhi pikiran manusia, perasaan, prilaku dan kesehatan bahkan fisik misalnya penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, kurang tidur dan kehilangan libido. Gejala depresi adalah hasil kontak yang terlalu lama dengan kondisi kehidupan yang penuh stres. Konsekuensi negatif dalam kehidupan seperti penyakit dan cacat tidak hanya membuat kehidupan yang penuh stres, tetapi juga mempengaruhi sumber daya adaptif. Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat fisik yang serius dan sangat intuitif bahwa penyesuaian dengan kondisi amputasi impulsif untuk tekanan psikologis. Depresi pada individu karena amputasi tungkai bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita amputasi yang telah diteliti (Mozumdar, Roy, 2010).

Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kejiwaan yang dapat muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius terancam atau sebenarnya untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan


(37)

respon rasa takut, tidak berdaya, atau mengerikan. Memahami gejala sisa psikiatri dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan sifat dan tingkat intervensi psikologis sekitar amputasi dan sesudahnya. Selain itu, jika ada tingkat yang signifikan dari gangguan stres pasca trauma setelah direncanakan, amputasi bedah

(Cavanagh, Shin, 2006)

Thomson dan Haran et, al. Livingstone (2011) menemukan bahwa klien yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial tingkat tinggi dan kebutuhan keuangan yang tidak terpenuhi termasuk pekerjaan dan kegiatan sosial. Amputasi dianggap sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi, hilangnya sensasi, dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktifitas fisik segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam aspek bervariasi dari kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko sosial, dan memiliki implikasi ekonomi jangka panjang pada kehidupan dan kesempatan untuk bekerja. Hasil jangka panjang juga berpengaruh pada kontribusi individu kepada masyarakat (Morbidity and Mortality Weekly Report [MMWR], 2000).

Ditemukan bahwa setelah amputasi orang lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan sosial terutama orang-orang yang berumur lebih tua ketika diamputasi. Aktivitas waktu luang berubah setelah amputasi. Dari 123 kasus amputasi 93 orang benar-benar memiliki kegiatan yang berubah dan hanya 30 orang yang masih tertarik dengan kegiatan yang sama sebelumnya. Tiga kegiatan yang paling sering dilakukan sebelum amputasi adalah bersepeda, main bola dan pekerjaan


(38)

pertanian. Setelah amputasi mereka hanya membaca, menonton televisi atau mendengarkan musik. Dapat disimpulkan bahwa amputasi ekstremitas bawah sangat mengubah kehidupan sosial dan waktu luang mereka (Burger & Marincek, 1997).

Dalam hidup sebelum operasi, orang akan menjaga penampilan, namun sebelum operasi pasien mengalami perasaan ambigu, karena saat ini dalam kehidupan dimana orang tersebut akan menganggap cara baru masuk ke dalam dunia akan membangkitkan berbagai perasaan yang tidak terbatas yang dinyatakan atau tidak. Meskipun pasien menegaskan kesepakatan mereka dengan operasi, meraka menunjukkan perasaan putus asa, rasa sakit, penderitaan, ketakutan, kesedihan dan menangis dan tetap tertunduk (Chini, Boemer, 2007).

Phantom tungkai bukanlah efek sederhana dari fenomena pasca amputasi. Pasien tampaknya mengabaikan pemotongan dan menganggap bayangan mereka sebagai anggota tubuh yang sebenarnya. “Saya melihat bahwa saya tidak memiliki kaki. Ini gatal, kaki saya gatal. Saya meminta anak itu untuk membawa kaki saya yang diamputasi sehingga saya bisa menggaruknya dan dia berkata dia akan mencoba mencari disekitar dan tidak ada. Ini lucu bahwa anda merasa itu. Saat ini aku merasa kesemutan di kaki saya” (Chini & Boemer, 2007). Phantom limb sensations adalah perasaan klien yang merasakan bahwa kakinya masih ada disana, bahkan meskipun anda tahu bahwa itu tidak, sensasi ini terkuat setelah operasi, tetapi dapat terjadi bahkan bertahun-tahun kemudian (SVN, 2008)

Klien biasanya mengalami nyeri tungkai fantom segera setelah pembedahan atau 2 sampai 3 bulan setelah amputasi. Lebih sering terjadi pada


(39)

amputasi atas lutut. Klien menjelaskan nyeri atau perasaan tak biasa pada bagian yang telah diamputasi. Sensasi tersebut menimbulkan perasaan bahwa ekstremitasnya masih ada dan tergerus, kram atau terpuntir dengan posisi abnormal. Sensasi fantom lama kelamaan akan menghilang. Patogenesis fenomena anggota fantom tidak diketahui (Smeltzer, 2010).

Ada pengakuan yang berkembang bahwa amputasi tidak selalu menyebabkan hasil negatif (Phelps et al, 2008). Pada kasus pasien yang terkena masalah pembuluh darah, menghilangkan rasa sakit mereka adalah prioritas utama. Mengecilkan nyeri yang tidak tertahankan, sedih dan membatasi diri. Pada saat ini setiap upaya yang dilakukan untuk meringankan atau menghilangkan rasa sakit dianggap positif, bahkan jika harus menghilangkan anggota tubuh. Amputasi mulai dilihat sebagai kejahatan yang diperlukan “tidak tidur selama enam bulan sulit, sakit ketika berbaring, ketika saya berdiri, sulit, itu menyedihkan, saya menderita begitu banyak, begitu banyak, begitu banyak, sekarang jika saya harus melakukannya lagi, saya akan melakukannya lagi, karena semua penderitaan berakhir” (Chini & Boemer, 2007).

2.2. Konsep Mekanisme Koping

2.2.1. Defenisi

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009 dan Keliat, 1999). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan


(40)

prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu.

Kata “coping” (mengatasi, menghadapi) memberikan kesan bahwa orang yang mengalami kesulitan menunjukkan prilaku yang tidak membantu mengatasi kesulitannya, namun beberapa orang mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang lebih dari sekedar membantu mereka bertahan dalam kesulitan. Mereka berusaha dengan belajar dari pengalaman mereka dan menjadi lebih kuat karena pengalaman-pengalaman tersebut (Joseph & Linley, 2005).

2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping 1. Strategi fisik

a. Mendinginkan kepala.

b. Menenangkan diri dan mengurangi rangsang fisik melalui meditasi atau relaksasi. Pelatihan relaksasi progresif, belajar untuk secara bergantian menekan dan membuat otot-otot menjadi santai akan menurunkan tekanan darah dan hormon stres (Scheufele, 2000).

c. Menenangkan diri sendiri dengan pemijatan, yang jika digabungkan dengan meditasi, merupakan salah satu dari pengobatan tertua di dunia (Field, 1998, Moyer, Rounds & Hannum, 2004).

d. Berjalan-jalan, merupakan aktivitas fisik tingkat rendah, karena mereka yang memiliki fisik lebih bugar memiliki masalah kesehatan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang fisiknya tidak bugar.


(41)

Semakin sering orang berolahraga, maka kecemasan, depresi dan sensitivitas mereka berkurang (Hendrix dkk, 1991)

e. Mendengarkan musik yang menenangkan, menulis buku harian atau memanggang roti. Aktivitas tersebut memberikan tubuh kesempatan untuk pulih dari fase alarm sebagai respons terhadap stres.

2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah.

a. Emotion focused coping, berfokus pada emosi yang muncul akibat

masalah yang dihadapi, baik marah, cemas, atau duka cita. Beberapa waktu setelah bencana atau tragedi, adalah hal yang wajar bagi orang yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi tersebut atau bahkan sampai merasa kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Pada tahap ini, orang seringkali butuh untuk membicarakan kejadian tersebut secara terus menerus agar dapat menerima, memahami, dan memutuskan akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai (Lepore, Ragan, & Jones, 2000).

b. Problem focused coping. Langkah-langkah spesifik dalam memecahkan

masalah tergantung dari sifat masalah itu sendiri, apakah keputusan tersebut mendesak namun hanya perlu dibuat sekali saja, apakah masalah itu kesulitan yang berkelanjutan seperti hidup dengan keterbatasan fisik atau pasikologis, atau kejadian yang diantisipasi seperti operasi. Setelah masalah teridentifikasi, mereka dapat mempelajari masalah tersebut sebanyak mungkin dari para ahli, teman, buku-buku dan dari sumber lain untuk masalah yang sama (Clarke & Evans, 1998). Pengetahuan


(42)

memberikan perasaan memiliki kendali dalam diri seseorang. Misalnya, saat orang mengetahui apa yang akan terjadi saat mereka mengalami operasi, mereka seringkali pulih dengan lebih cepat dan merasakan sakit yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak siap (Doering dkk, 2000)

3. Strategi kognitif

Memikirkan masalah kembali, adalah cara menyelesaikan suatu masalah dengan mengubah cara berpikir mengenai masalah tersebut. Ada 3 cara berpikir yang efektif untuk melakukan cognitive coping :

a. Menilai atau meninjau kembali situasinya. Walaupun klien tidak dapat menghilangkan masalah yang membuat stres, klien dapat memilih untuk memikirkan masalah itu secara berbeda, proses yang disebut sebagai

reappraisal (menilai/meninjau kembali). Masalah dapat diubah menjadi tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak terduga. Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati , kecemasan menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi perasaan memiliki kesempatan (Folkman & Moskowitz, 2000).

b. Belajar dari pengalaman. Korban dari kejadian traumatis dan penyakit yang mengancam nyawa melaporkan bahwa pengalaman membuat mereka kuat, lebih tegar dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut (Mc Farlan & Alvaro, 2000). Sebagian orang bangkit dari musibah dengan ketrampilan baru yang mereka temukan atau mereka kembangkan, sebagian dipaksa


(43)

untuk mempelajari sesuatu hal baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya, sebagian yang lain menemukan sumber keberanian dan kekuatan yang mereka sendiri tidak pernah tahu mereka miliki. Mereka yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam hidup dan menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dalam masalah (Davis, Nolen-Hoeksema & Larson, 1998, Folkman & Moskowitz, 2000).

c. Membuat perbandingan sosial. Dalam situasi sulit, orang yang sukses bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain yang mereka rasakan kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah apapun kondisi mereka, bahkan jika mereka memiliki penyakit mematikan, mereka menemukan orang lain yang keadaannya jauh lebih parah (Taylor & Lobel, 1989 ; Wood, Michaela & Giordano, 2000). 4. Strategi sosial

a. Mendapatkan dukungan sosial. Dukungan sosial dari keluarga, teman-teman dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan emosional. Orang yang memiliki teman-teman baik, kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Sentuhan atau pelukan dari pasangan yang mendukung menenangkan sirkuit alarm di


(44)

otak dan meningkatkan kadar oxytocin yang dapat menghasilkan penurunan detak jantung dan tekanan darah (Wade & Tavris, 2007).

b. Hubungan formal yang berasal dari orang-orang yang mengalami penyakit, masalah atau musibah yang sama. Orang dapat mengambil manfaat dari bergabung dalam kelompok dukungan sosial jika mereka memiliki penyakit yang parah atau penyakit yang penuh stigma, melumpuhkan atau membuat mereka cacat sedemikian rupa, atau menyebabkan perasaan malu (Davidson, pennebaker, & Dickerson, 2000). c. Sembuh dengan membantu orang lain. Cara terakhir untuk menghadapi stres, kehilangan dan tregedi adalah dengan memberikan dukungan bagi orang lain dan bukannya selalu menerima dukungan dari orang lain. Orang mendapatkan kekuatan dengan mengurangi fokus terhadap kesulitan mereka sendiri dan lebih banyak menolong orang lain yang juga berada dalam kesulitan (Segal, 1986).

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping

Kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau melakukan koping terhadap stressor yang dihadapi tergantung pada kombinasi aspek stressor dan karakteristik individu. Aspek stressor meliputi, intensitas dan luasnya stressor, durasi, jumlah dan tipe stressor yang timbul bersamaan, dan jumlah stressor dalam waktu tertentu. Karakteristik individu untuk beradaptasi terhadap stres meliputi, latar belakang dan budaya, kebutuhan, keinginan, konsep diri, sumber internal, dukungan eksternal, pengetahuan, ketrampilan, sifat, kepribadian, kematangan dan kondisi kesehatan umum (Funnel et al, 2005).


(45)

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan koping adalah sebagai berikut :

a. Kesehatan dan energi

Seseorang yang mengalami sakit atau kelelahan mempunyai energi yang kurang dalam memperpanjang penggunaan kopingnya. Kesehatan fisik yang baik merupakan bukti dalam menghadapi masalah atau stres karena ketika menghadapi stres seseorang membutuhkan mobilisasi yang banyak. Oleh karena itu, pentingnya kesehatan dan energy untuk koping karena keduanya berperan dalam memfasilitasi penggunaan koping secara optimal.

b. Keyakinan positif

Melihat diri sendiri dengan positif bisa dikaitkan sebagai sebuah sumber koping yang sangat penting. Keyakinan sebagai dasar untuk berharap dan mendukung usaha koping yang digunakan. Namun demikian tidak semua keyakinan dapat digunakan sebagai koping. Beberapa keyakinan dapat menghambat usaha koping seperti, keyakinan akan hukuman Tuhan dapat mengarahkan individu untuk menerima situasi yang menekan sebagai sebuah hukuman dari Tuhan atau takdir Tuhan dan tidak melakukan hal apapun untuk mengatasi situasi tersebut.

c. Keterampilan dalam menyelesaikan masalah

Keterampilan dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan mencari informasi, menganalisa situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah dan mengembangkan alternatif tindakan, memilih alternatif yang sesuai dengan


(46)

hasil yang diharapkan, memilih dan mengimplementasikan rencana aksi yang sesuai.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan sumber koping yang penting. Keterampilan sosial diartikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan yang lain dengan cara yang sesuai dan efektif secara sosial. Hal ini memfasilitasi penyelesaian masalah dalam berhubungan dengan orang lain dan memberikan kontrol yang lebih kepada individu dalam interaksi sosial. Pentingnya keterampilan sosial sebagai sumber diberbagai area, mencakup program terapeutik yang membantu individu lebih baik dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari dan program latihan organisasi untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal.

e. Dukungan sosial

Dukungan sosial diartikan dengan mempunyai teman atau keluarga yang dapat menerima perasaan individu jika mengalami masalah. Selain itu dukungan dari orang lain dapat berupa memberikan informasi atau dukungan lainnya seperti menunjukkan perhatian kepada individu tersebut.

f. Sumber materi

Sumber materi dapat berupa uang, barang dan pelayanan. Hasil penelitian Antonosvsky (1979) dalam Lazarus dan Folkman (1984) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara ekonomi, stres dan adaptasi. Sumber keuangan yang lebih besar meningkatkan pilihan koping. Hal ini juga mempermudah dan memberikan akses yang mudah seperti pengobatan


(47)

kesehatan, bantuan profesional dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa sumber materi juga dapat memfasilitasi efektivitas koping.

2.2.4. Literatur penelitian yang berhubungan dengan mekanisme koping

Gallagher & PamelaView (1999) menemukan adanya hubungan antara nyeri tungkai dan variabel psikologis. Dengan demikian, interaksi antara menghindar dan mencari dukungan sosial dan nyeri tungkai memerlukan perhatian lebih lanjut dan investigasi. Selanjutnya, dalam skrining dan pengobatan nyeri tungkai, lokasi amputasi, usia pasien, menyebabkan amputasi harus terus dipertimbangkan karena mereka adalah prediktor penting dari rasa sakit. Intervensi juga harus menyelidiki peran pemecahan masalah dalam pengalaman nyeri lainnya. Penggunaan prostesis juga beberapa mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional atau rasa sakit dan mungkin perlu sesuatu yang lebih dari anggota tubuh dan pelatihan yang pas dalam penggunaannya. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa mekanisme koping yang berhubungan dengan penerimaan bervariasi tergantung pada penyebab amputasi.

Penelitian sebelumnya pada konsekuensi psikologis amputasi telah difokuskan terutama pada hubungan antara variabel-variabel demografis, berbagai mekanisme koping. Sebuah tinjauan literatur yang dilakukan oleh Rybarczyk dan colleagues (2004), menunjukkan bahwa rasa sakit sisa anggota badan, pembatasan aktivitas, dan medis dan faktor yang berkaitan dengan kecacatan (selain nyeri

phantom) memprediksi kurang varians dalam penyesuaian psikologis daripada

citra tubuh, dirasakan stigma sosial, kerentanan yang dirasakan, dukungan sosial, dan optimisme. Faktor psikologis dan strategi penanggulangan yang telah


(48)

ditemukan terkait dengan hasil yang buruk setelah amputasi termasuk kerentanan yang dirasakan, penghindaran, dan ketidakberdayaan.

Penelitian Behel, Rybarczyk, elliot (2002) tentang prevalensi morbiditas psikiatri tertentu setelah amputasi sebagian besar berfokus pada gejala depresi, dan hasil studi ini melaporkan tingkat prevalensi bervariasi dari 7,4% 9-28%. Varians dalam tingkat prevalensi kemungkinan karena perbedaan metodologis dalam penilaian depresi klinis. Penelitian in mengandalkan langkah-langkah laporan diri, seperti Center for Epidemiological Studies Depression Scale (CES-D), laporan tingkat jauh lebih tinggi dari depresi klinis, dibandingkan mereka yang menggunakan interviews.

2.3. Konsep Stres

2.3.1. Definisi stres

Stres adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat adanya perubahan dari lingkungan yang dipersepsikan menantang, mengancam atau merusak fungsi kesehatan individu seutuhnya (Varcarolis, Shoemaker, 2006). Menurut Niven stres adalah pernyataan yang seringkali digunakan sebagai label untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan keadaan lainnya. Sedangkan menurut Vedebeck (2008) stres adalah ketakutan yang dialami individu dengan cara yang berbeda-beda.

Setiap individu disepanjang rentang kehidupannya akan selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa dan kejadian yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang berpotensi menimbulkan stres. Hal senada juga diungkapkan Keliat (1999) bahwa stres adalah realita kehidupan setiap hari


(49)

yang tidak mungkin dapat dihindari yang disebabkan karena adanya perubahan yang memerlukan penyesuaian. Demikian halnya pada klien pasca amputasi tungkai bawah sangat rentan terhadap terjadinya stres karena terjadinya perubahan yang membutuhkan penyesuaian baik secara fisik maupun psikologis.

2.3.2. Etiologi stres

Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber yang disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres (Hidayat, 2009). Stresor merupakan situasi yang dianggap akan menimbulkan ketegangan dan mengancam kesejahteraan individu (Sarafino, 1998). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) berbagai kejadian dan perubahan lingkungan di sekitar individu dapat bersifat positif, netral ataupun negatif yang akan menjadi stresor (Tomey & Alligood, 2006).

Secara umum stressor dapat dibagi menjadi dua, yaitu stressor internal dan stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang seperti demam, penyakit infeksi, trauma fisik dan kelelahan fisik. Sedangkan stressor eksternal berasal dari luar individu seperti perubahan suhu lingkungan, pekerjaan serta hubungan interpersonal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.3. Respon stres

Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif, dan psikologis. Respon fisiologis berupa interpretasi otak dan respon neuroendokrin. Respon adaptif berupa tahapan General Adaptif Syndrome (GAS) dan Lokal Adaptation Syndrome


(50)

lokal (LAS). Respon psikologis dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif (Smeltzer & Bare, 2008).

Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis tubuh yang merupakan rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi jangka panjang dan jangka pendek bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls

afferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak lalu diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan dikoordinasikan dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh dalam keadaan homeostasis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh (Smeltzer & Bare, 2008).

Jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus akan diaktifkan. Kemudian akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis kemudian diikuti oleh sekresi simpatis-adrenal-modular, dan akhirnya bila stres masih ada dalam sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat mensekresikan norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon simpatis-adrenal-modular pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek atau reaksi yang berbeda pada setiap sistem tubuh yang dijabarkan dalam indikator stres secara fisiologis. Pada kondisi tersebut terdapat organ tubuh yang meningkat maupun menurun kinerjanya, reaksi ini disebut fight or flight. Norepinefrin mengakibatkan peningkatan fungsi organ vital dan keadaan tubuh secara umum, sedangkan sekresi endorfin mampu menaikkan ambang untuk menahan stimulasi nyeri yang


(51)

mempengaruhi suasana hati. Manisfestasi sekresi norepinefrin dan endorfin diantaranya pengeluaran keringat, perubahan suasana hati, keluhan sakit kepala, sulit tidur, peningkatan jantung (Smeltzer & Bare, 2008).

Stres menuntut seseorang untuk menggunakan energi fisiologis dan psikologis untuk merespon dan beradaptasi terhadap stressor. Respon stres adalah alamiah, adaptif dan protektif. Karakteristik dari respon stres adalah hasil dari respon neuroendokrin yang terintegrasi serta terdapat perbedaan individual dalam berespon terhadap stressor yang sama. Respon adaptif terdiri dari LAS dan GAS. Respon LAS terbagi atas respon refleks nyeri dan respon inflamasi (Potter & Perry, 2005). GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Respon yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin.

GAS memiliki 3 tahap, yaitu alarm, pertahanan dan kelelahan. Pada tahap alarm respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat defensif dan anti inflamasi yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila stresor menetap maka akan beralih ketahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi adaptasi terhadap stressor yang membahayakan. Jika pemajanan terhadap stressor diperpanjang dan gagal melakukan pertahanan maka terjadilah kelelahan. Tahap kelelahan terjadi peningkatan aktivitas endokrin yang menghasilkan efek pemberhentian pada sistem tubuh terutama sistem peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat menyebabkan kematian (Smeltzer & Bare, 2008).

2.3.4. Indikator stres

Indikator stres merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang dapat menggambarkan tingkat stres individu. Stres memberikan dampak langsung


(52)

terhadap psikologis yang secara tidak langsung berdampak pula pada fisiologis. Terdapat beberapa indikator stres, yaitu fisiologis, emosional dan perilaku stres.

DASS adalah satu set tiga skala laporan diri yang dirancang untuk mengukur tingkat keparahan gejala inti depresi, kecemasan dan stres (Psikologi Yayasan Australia, 2002). Nilai utama dari DASS (Depression Anxiety and Stres Scale)

dalam pengaturan klinis adalah untuk memperjelas lokus gangguan emosi, sebagai bagian dari tugas yang lebih luas dari penilaian klinis. Indikator stres fisiologis adalah objektif dan lebih mudah diidentifikasi, berupa kenaikan tekanan darah, tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara yag bernada tinggi, muntah, mual, diare, perubahan nafsu makan (Potter & Perry, 2005 ; Psychology Foundation of Australia, 2010).

Indikator emosional dan perilaku stres sangat bersifat subjektif. Indikator stres psikologis dan prilaku berupa ansietas, depresi, kepenatan, kelelahan mental, perasaan tidak adekuat, kehilangan harga diri, minat dan motivasi, ledakan emosi dan menangis, kecendrungan membuat kesalahan, mudah lupa dan pikiran buntu, kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan, serta penurunan produktivitas dan kualitas kerja (Potter & Perry, 2005).

Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku konstruktif membantu seseorang menerima tantangan untuk menyelesaikan konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi orientasi realitas, kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi yang sangat berat, dan kemampuan untuk berfungsi (Potter & Perry, 2005).


(53)

2.3.5. Dampak stres

Stres kronis narkoba dan operasi dapat melemahkan atau menekan sistem kekebalan tubuh (Sugerstrom & Miller, 2004). Peneliti menemukan bahwa saat seseorang terjangkit virus, penyakit, atau gangguan medis tertentu, emosi negatif pasti mempengaruhi proses penyakit dan pemulihannya. Perasaan cemas, tertekan atau depresi, dan merasa tidak berdaya, dapat memperlambat penyembuhan luka setelah operasi, sedangkan perasaan optimis dan penuh harap dapat mempercepat penyembuhan. Perasaan kesepian dan kecemasan dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan virus yang ‘tidur’ (dormant) dalam tubuh, seperti herpes, untuk berkembang dengan pesat (Kiecolt & Glaser at el, 1998).

Kekebalan tubuh yang utama dari sel-sel kekebalan tubuh adalah sel darah putih. Ada dua jenis sel darah putih, limfosit dan fagosit. Ketika kita sedang stres, kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan antigen berkurang. Itulah sebabnya kita lebih rentan terhadap infeksi. Hormon stres kortikosteroid dapat menekan efektivitas sistem kekebalan tubuh, seperti menurunkan jumlah limfosit (McLeod, 2010)

Watak pemarah merupakan faktor resiko yang secara signifikan melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan kemungkinan penyakit jantung (Suinn, 2010). Orang yang mengalami depresi setelah mengalami serangan jantung secara signifikan memiliki peluang meninggal lebih besar karena gangguan jantung pada tahun berikutnya, bahkan saat tingkat keparahan penyakit dan faktor-faktor resiko lain telah dikontrol (Frasure & Smith et al, 1999). Depresi klinis juga meningkatkan


(54)

resiko serangan jantung dan penyakit kardiovaskuler sebesar dua kali lipat, sebagaimana ditemukan oleh peneliti longitudinal skala besar yang menemukan bahwa depresi kronis parah mendahului berkembangnya penyakit jantung selama bertahun-tahun (Frasure, Smith & Lesperance, 2005 ; Schulz et al, 2000).

2.3.6. Tingkatan stres a. Stres normal

Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih keras setelah aktifitas. Stres normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah mengalami stres, bahkan sejak dalam kandungan (Crowford & Henry, 2003) b. Stres ringan

Stres ringan adalah stressor yang dihadapi secara teratur yang dapat berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur, kemacetan. Stressor ini dapat menimbulkan gejala bibir kering, kesulitan bernafas, kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, keringat berlebihan ketika temperatur tidak panas dan tidak setelah aktifitas, takut tanpa alasan yang jelas, tremor pada tangan (Psychology Foundation of Australia, 2010).

c. Stres sedang

Stres ini terjadi lebih lama antara beberapa jam sampai beberapa hari. Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain mudah marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk beristirahat, merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan menghadapi gangguan


(55)

terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah tersinggung, gelisah dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal (Psychology Foundation of Australia, 2010).

d. Stres berat

Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan, kesulitan finansial yang berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang, yang menimbulkan gejala antara lain, tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada yang diharapkan dimasa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat, merasa tidak berharga dan berpikir bahwa hidup tidak bermanfaat (Psychology Foundation of Australia, 2010).

e. Stres sangat berat

Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang yang mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup dan cenderung pasrah. (Psychology Foundation of Australia, 2010).

2.3.7. Mengukur tingkat stres

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami seseorang (Crowford & Henry, 2003). Tingkat stres diukur dengan menggunakan Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) oleh Lavibond & Lavibond (1995). DASS 42 diaplikasikan dengan format rating scales (skala penilaian). Tingkat stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat dan sangat berat. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara


(56)

konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan yang digambarkan sebagai stres (Psychology Foundation of Australia, 2010).

Instrumen DASS 42 terdiri dari 42 pernyataan yang mengidentifikasi skala subjektif depresi, kecemasan dan stres. Oleh karena tujuan penelitian ini hanya untuk mengetahui tingkat stres klien pasca amputasi, maka instrumen ini dimodifikasi oleh peneliti sendiri dengan hanya mengukur tingkat stres klien pasca amputasi dengan 14 item pernyataan tentang stres.

2.3.8. Model adaptasi stres

Menurut Funnel et al (2005), terdapat 2 model teori respon terhadap stres yaitu :

1. Selye’s stress adaptation model

Model ini menjelaskan bahwa respon tubuh ketika menghadapi stres mengalami 3 fase, yaitu :

a. Alarm reaction

Fase ini merupakan reaksi awal tubuh menghadapi stressor apapun. Ini merupakan sekumpulan reaksi antara hipotalamus, sistem saraf simpatis dan medulla adrenal. Ini disebut dengan “flight or flight response”. Ini membuat level kewaspadaan ditingkatkan dan menggerakkan tubuh untuk siap dalam menghadapi ancaman. Respon tubuh digambarkan dengan peningkatan siskulasi, peningkatan pelepasan glukosa menjadi energi.


(57)

Jika penyebab stres tidak dapat diatasi, tubuh akan mengalami fase ini atau fase general adaptation syndrome (GAS). Pada fase ini tubuh terus berjuang menghadapi stressor setelah fase alarm reaction telah selesai. Reaksi pada tahap ini melibatkan kelenjar pituitary anterior dan korteks adrenal. Reaksi ini lebih lambat untuk mulai dibandingkan fase pertama, tetapi efeknya lebih lama. Selama fase ini tubuh juga memulai proses untuk mengembalikan fungsinya mendekati homeostasis normal.

Fase ini, GAS terus berlangsung dalam waktu yang lama tanpa periode relaksasi, sehingga penderita cenderung mengalami kelelahan, konsentrasi menurun, dan iritabilitas. Secara fisiologis kondisi ini menyebabkan pelepasan steroid dan kortisol yang berlebihan, yang dirangsang selama masa stres, sehingga akan mengakibatkan penekanan sistem immunitas tubuh. Penurunan sistem immunitas tubuh akan menyebabkan gangguan kesehatan, umumnya terjadi flu dan infeksi lainnya yang bisa mengarah pada gangguan seperti sakit kepala dan gastritis.

c. Stage of exhaustion

Pada fase ini tubuh kehabisan cadangan energi dan immunitas yang merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk beradaptasi atau koping. Pada fase ini terjadi kehilangan potassium yang mempengaruhi semua fungsi sel tubuh. Fungsi sel akan hilang dan sel akan mati. Kelelahan pada korteks adrenal akan terjadi dan tidak mampu menghasilkan hormon yang mencegah penurunan glukosa darah, sehingga nutrisi sel tidak adekuat. Akibat yang terus menerus akan


(58)

membebankan kerja jantung, pembuluh darah dan korteks adrenal. Hal ini dapat menyebabkan gagal jantung, gagal ginjal dan kematian.

Selye dalam Funnel et al (2005), juga mengidentifikasi respon tubuh terhadap stres fisik pada area tubuh. Respon ini disebut dengan local adaptation syndrome (LAS)

2. Lazarus’s interactional theory

Lazarus (1966) dalam Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan bahwa cara individu menginterpretasikan stressor dan kemampuan untuk koping (appraisal) yang menentukan efek dari stres. Proses appraisal merupakan sekumpulan tindakan kognitif individu dalam membuat suatu evaluasi. Individu menilai situasi tergantung pada nilai seseorang, keyakinan dan perasaan, dan apa yang dilihat penting dan tidak penting bagi mereka. Terdapat 2 tipe appraisal :

a. Primary appraisal

Penilaian yang dilakukan untuk menilai apakah kejadian tersebut mengganggu kesejahteraan hidup seseorang, primary appraisal dibedakan atas 3 jenis yaitu : 1) irrelevant, 2) benign-positive, 3) stressfull. Irrelevant terjadi ketika pertemuan dengan lingkungan tidak ada membawa implikasi pada kesejahteraan seseorang (netral, tidak ada yang hilang atau yang diperoleh). Benign-positive

appraisal terjadi ketika hasil dari sebuah pertemuan adalah positif yang

meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Karakteristik dari Benign-positive appraisal adalah kesenangan, gembira, cinta dan damai.

Stressfull appraisal diklarifikasikan menjadi 3 hal, yaitu : 1) harm/loss, 2)


(59)

seseorang yang telah terjadi terus menerus seperti kerusakan yang berakibat pada harga diri, kurang mencintai nilai pribadi, kehilangan orang yang dicinta. Threat

(ancaman) diartikan sebagai kejadian yang mana bahaya atau kehilangan yang belum terjadi dan masih dapat diantisipasi. Challenge appraisal (tantangan) berfokus pada potensi untuk memperoleh atau mengembangkan didalam suatu pertemuan dan biasanya memiliki ciri-ciri bersemangat dan kegembiraan, contohnya challenge appraisal seseorang akan bersemangat dalam menghadapi sesuatu yang baru.

b. Secondary appraisal

Setelah menilai apakah situasi tersebut berupa ancaman atau tantangan (primary appraisal), selanjutnya yang dilakukan adalah tindakan koping apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi situasi tersebut. Ini melibatkan penilaian terhadap hambatan dalam melakukan koping, kekuatan personal, dan sumber dukungan.

Skema 1. Model stres dan koping Lazarus (1991) Individu

- Keyakinan

- Nilai

- Sumber diri

Lingkungan - Bahaya - Ancaman - Tantangan - Keuntungan Hubung an Individu lingkung an Primary appraisal Secondary appraisal Out comes Perubaha n emosi, fungsi sosial dan moral


(60)

Wrubel, Benner dan Lazarus (1984) menemukan bahwa latar belakang makna-makna dan perhatian seseorang sebenarnya mengatur apa yang dianggap sebagai penyebab stres dan apa koping yang tersedia dalam istilah pemahaman, ketrampilan, pengetahuan, nilai dan akses. Hal yang terkait pada konsep stres dan koping dalam persfektif fenomenologi adalah peran tubuh, peran situasi, peran dari perhatian pribadi, emosi sebagai makna yang dialami, ketrampilan, dan sumber-sumber umum dan keunikan antara seseorang dan situasi.

2.4. Studi Fenomenologi

Fenomenologi sebagai penelitian adalah metode penelitian yang sepenuhnya penggambarkan pengalaman hidup seseorang dari suatu peristiwa (Mapp, 2008, Husserl 2000). Ini menekankan bahwa hanya mereka yang memiliki fenomena yang berpengalaman yang dapat berkomunikasi ke dunia luar (Todres dan Holloway, 2004). Metode penelitian kualitatif dimana peneliti mencoba untuk menemukan dan mengeksplorasi pengalaman hidup manusia. Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidgger, mereka memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang penuh makna dan dialami secara sadar. Fenomenologi telah menjadi bidang yang tidak terpisahkan dari penelitian keperawatan karena banyak digunakan untuk mempelajari fenomena penting dalam dunia keperawatan (Chamberlain, 2009).

Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan memahami makna dari pengalaman tersebut melalui berbagai cara. Peneliti berusaha mengeksplorasi pengalaman mekanisme koping partisipan melalui


(61)

pengumpulan data dan peneliti berusaha mengeksplorasi mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), sedangkan alat pengumpulan data utama adalah peneliti sendiri, dan alat bantu lainnya seperti kuisioner tingkat stres, panduan wawancara, catatan lapangan, dan alat perekam suara (Polit & Beck, 2008).

Menurut Fochtman (2008 dalam Sosha, 2011; Polit & Beck, 2008), fenomenologi terdiri dari :

a. Fenomenologi deskriptif

Jenis penelitian ini difokuskan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh manusia. Husserl (1962 dalam Denzin dan Lincoln, 2009) berpendapat bahwa hubungan antara persepsi dan objek-objeknya tidaklah pasif dan kesadaran manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman.

Menurut Beck (1994), Collaizi (1998), Giorgi (1985), fenomenologist

dalam proses analisa data pada fenomenologi deskriptif adalah : Collaizi menganjurkan kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil yang sudah diperoleh peneliti dari partisipan, Giorgi berpendapat bahwa memvalidasi hasil hanya mengandalkan peneliti saja, tidak perlu kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil temuan, sedangkan menurut Van Kaam bahwa kesepakatan hasil analisis data diperoleh dengan menggunakan bantuan dari ahlinya.

b. Fenomenologi interpretif-hermeneutik

Fenomenologi interpretif-hermeneutik dikembangkan oleh Heidegger pada tahun 1962. Inti dari fenomenologi ini adalah pemahaman dan penafsiran, bukan


(62)

sekedar deskripsi dari pengalaman manusia tetapi menemukan pemahaman dengan cara masuk kedalam dunia partisipan (Sosha, 2012).

Menurut Guba & Lincoln (1990) dalam Shenton, (2003) bahwa penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan keabsahan data melalui empat kriteria yaitu


(63)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna mendasar dari suatu fenomena yang dialami seseorang (Denzin, 2000). Pendekatan ini secara sistematis mengeksplorasi makna utama dari suatu pengalaman mekanisme koping klien yang berfokus pada hal-hal yang terjadi terutama mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah.

Fenomenologi adalah studi tentang “fenomena” yaitu penampilan, atau hal-hal yang muncul dalam pengalaman seseorang atau suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna mendasar dari suatu fenomena yang dialami seseorang (Husserl, 2013). Fenomena deskriptif adalah pengalaman yang secara sadar dialami oleh partisipan dan hal-hal termasuk mendengar, melihat, percaya, merasa, mengingat, memutuskan, mengevaluasi dan bertindak (Polit and Beck, 2012).

Pendekatan ini secara sistematis mengeksplorasi makna utama dari suatu mekanisme koping klien yang berfokus pada hal-hal yang terjadi atas kesengajaan atau kesadaran penuh dari partisipan (Creswell, 1998). Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui gambaran sebuah fenomena tentang mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah.


(64)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil data dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Pirngadi Medan dengan pertimbangan di rumah sakit tersebut belum pernah dilakukan penelitian tentang Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah. Selain itu RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah sakit Pemerintah dan juga merupakan rumah sakit rujukan yang berada di kota Medan serta memudahkan peneliti dalam pengambilan data. Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Mei dan Juni 2014.

3.3.Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah klien pasca amputasi tungkai bawah di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Dr. Pirngadi Medan dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria :

1. Mengalami amputasi pada salah satu tungkai bawah 2. Mengalami stres pasca amputasi tungkai bawah 3. Mengalami amputasi mulai 0-3 tahun.

4. Mampu menceritakan pengalamannya

Dalam penelitian kualitatif tidak ada aturan yang baku tentang jumlah minimal dari partisipan namun beberapa penelitian yang sangat mendalam didasarkan pada partisipan yang sangat kecil sebab hal ini memungkinkan peneliti untuk berfokus pada kedalaman suatu fenomena, dan prinsip penentuan partisipan berdasarkan tujuan penelitian juga harus diterapkan (Daymon dan Holloway,


(65)

2008). Menurut Polit & Beck (2012) Studi fenomenologi memiliki percakapan yang mendalam sehingga melibatkan sejumlah kecil partisipan antara 10 partisipan atau lebih. Menurut Kuzel (1999) merekomendasikan jumlah partisipan untuk kelompok homogen sebesar sebesar 6 sampai 8 partisipan.

Jumlah partisipan dalam penelitian ini hingga mencapai saturasi data adalah 12 partisipan. Saturasi data yang terjadi pada penelitian ini adalah informasi yang ditemukan mengalami pengulangan (repetitive) secara isinya dan mempunyai makna yang sama dengan partisipan-partisipan sebelumnya, sehingga tidak ada informasi baru yang dapat diambil melalui pengumpulan data lebih lanjut (Polit & Beck, 2008)

3.4.Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan dilakukan setelah memperoleh surat ijin penelitian dari Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Pimpinan RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data pasien pasca amputasi dari data rekam medis, berupa : nama, umur, jenis kelamin, alamat, tanggal amputasi, dan penyebab amputasi.

3.4.1. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam dipilih dalam penelitian ini untuk mengeksplorasi secara mendalam pengalaman partisipan terkait mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah. Waktu wawancara ditetapkan 60-90 menit. Penetapan wawancara yang cukup lama didasarkan pada


(66)

informasi yang digali dan mencakup informasi secara keseluruhan serta makna subjektif partisipan. Peneliti membebaskan partisipan untuk mengungkapkan pengalamannya atas pertanyaan yang diajukan selama proses wawancara sehingga data yang diperoleh merupakan informasi yang alamiah sesuai dengan pengalaman partisipan (Creswell, 1998 dan Mahmoodishan, 2010).

1. Pilot study

Sebelum melakukan wawancara terhadap partisipan pertama, peneliti melakukan pilot study pada 1 partisipan yang bertujuan sebagai latihan dalam melakukan teknik wawancara setelah itu, hasil wawancara dari pilot study dibuat dalam bentuk transkrip selanjutnya dikonsultasikan kepada pembimbing dan setelah mendapat persetujuan dari pembimbing kemudian peneliti melanjutkan wawancara kepada partisipan berikutnya.

2. Prolonged engagement

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan pendekatan (prolonged engagement) kepada klien pasca amputasi tungkai bawah. Pendekatan prolonged

Engagement dilakukan peneliti dengan tujuan untuk meningkatkan hubungan

saling percaya antara peneliti dan partisipan sekaligus tahap pengenalan situasi dan kondisi klien pasca amputasi tungkai bawah. Pada tahap ini peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan maksud, tujuan dan pengumpulan data yang akan dilakukan terhadap partisipan.

Setelah itu peneliti memberikan informed consent untuk mendapatkan persetujuan menjadi partisipan dalam penelitian ini. Kemudian jika partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dilanjutkan dengan membuat kontrak waktu dan


(1)

LAMPIRAN 3

IZIN PENELITIAN


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)