Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit

16 BAB II PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT MACET

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan mengenai pengertian persetujuan yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan dan bukan perjanjian, namun dengan kedua istilah yang berbeda ini kiranya tidak perlu dipertentangkan karena pada dasarnya apa yang dimaksudkan adalah sama, yaitu tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang lengkap karena pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian hanya satu pihak saja sementara sering kali dijumpai dalam perjanjian kedua belah pihak saling mengikatkan diri seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar dimana para pihaknya saling mengikatkan diri sehingga keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang timbal balik. Rumusan perjanjian seharusnya perlu ditambah dengan kata- kata “atau saling mengikatkan diri satu sama lain”. 10 Atas dasar kekurangan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak 10 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta: 2009, hlm. 163-164. Universitas Sumatera Utara 17 lain untuk menunaikan prestasinya. 11 Menurut Tan Kamello perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat mengenai objek tertentu dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum. 12 Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. 2. Asas-asas Perjanjian Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas perjanjian, perlu dijelaskan pengertian asas. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle” dan bahasa Belanda “beginsel”, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. 13 Paul Scholten menegaskan bahwa asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. Sebagai kaidah penilaian, asas hukum itu mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Itu sebabnya asas hukum itu adalah pondasi dari sistem tersebut. Asas hukum 11 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Jakarta: 1986, hlm. 6. 12 Hasil wawancara langsung dengan Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.S., Medan: 31 Mei 2014. 13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1990, hlm. 52. Universitas Sumatera Utara 18 mengemban fungsi ganda, yaitu sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif. 14 Asas-asas dalam hukum perjanjian dikenal ada bermacam-macam, yaitu: 15 a. Asas konsensualisme Sesuai dengan artinya konsensualisme adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan bahwa terjadinya suatu perjanjian setelah terjadi kata sepakat dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kesepakatan maka perjanjian menjadi sah dan mengikat kepada para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Asas ini dijumpai dalam Pasal 1320 KUHPerdata. b. Asas kebebasan berkontrak Asas ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, asalkan perjanjiannya tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. c. Asas kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Konsekuensi dari asas kepribadian adalah pihak ketiga tidak dapat dimasukkan dalam perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian dan tidak mungkin memberikan kata sepakat. d. Asas itikad baik Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menegaskan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apapun yang telah diperjanjikan oleh para pihak harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran sesuai dengan maksud dan tujuannya. Asas itikad baik sesungguhnya tidak hanya ada pada waktu pelaksanaan perjanjian, akan tetapi pada waktu membuat perjanjian juga dilandasi dengan itikad baik, sehingga itikad baik antara pada waktu membuat perjanjian dengan pelaksanaan perjanjian sinkron. e. Asas keadilan Asas keadilan lebih tertuju pada isi dari perjanjian bahwa isi perjanjian harus mencerminkan adanya keadilan pada kedua belah pihak yang berjanji. Asas ini diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata. f. Asas kepatutan Suatu perjanjian dibuat bukan hanya semata-mata memperhatikan ketentuan undang-undang, akan tetapi kedua belah pihak harus memperhatikan pula tentang kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat secara patut. Asas kepatutan diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata 14 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hlm. 137. 15 Ibid, hlm. 164-165. Universitas Sumatera Utara 19 g. Asas kepercayaan Para pihak dalam melakukan perjanjian harus saling percaya satu sama lain. Kepercayaan itu menyangkut saling memenuhi kewajibannya seperti yang diperjanjikan. 3. Syarat Sah Perjanjian Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini : a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masingmasing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam- diam. 16 b. Kecakapan untuk membuat perjanjian Kecakapan adalah kemampuan para pihak bertindak membuat perjanjian. Pada prinsipnya semua orang mampu membuat perjanjian karena para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian secara lisan atau tertulis. KUHPerdata tidak menentukan orang yang cakap bertindak secara hukum, namun sebaliknya menentukan orang-orang yang tidak memiliki kecakapan. Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah : 1 Orang-orang yang belum dewasa. 16 Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm. 214. Universitas Sumatera Utara 20 2 Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan. 3 Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang persetujuan tertentu. Kemudian mengenai orang yang belum dewasa, siapakah yang termasuk orang-orang yang belum dewasa ternyata KUHPerdata tidak memberikan perinciannya oleh karena itu untuk mengetahui hal tersebut, perlu melihat beberapa ketentuan undang-undang untuk dapat dijadikan pedoman: 1 Pasal 6 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. 2 Pasal 1 angka 2 UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang berusia 21 tahun keatas disebut dewasa, kecuali di bawah umur tersebut yang bersangkutan pernah kawin. Orang yang umur belum genap 21 tahun sudah kawin dikatakan sudah dewasa, dengan perkawinan itu pasangan suami istri tersebut telah memiliki rumah tangga sendiri dan cakap bertindak sebagai orang dewasa. 17 Pasal 433 KUHPerdata disebutkan mengenai orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap. Selain itu juga orang yang karena perbuatannya boros dapat ditaruh di bawah pengampuan. Dalam perkembangan hukum, keadaan juga telah mengubah kedudukan wanita menjadi sama dengan kedudukan kaum pria. Di Negara Belanda sendiri 17 Gatot Supramono, Op. Cit, hlm. 169. Universitas Sumatera Utara 21 sejak tahun 1958 telah memiliki KUHPerdata yang baru, wanita telah cakap melakukan perbuatan hukum. 18 c. Suatu hal tertentu Berdasarkan Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang sedikit sudah ditentukan. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukantertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukandihitung. Selanjutnya di dalam Pasal 1334 KUH Perdata dinyatakan pula bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian jelas bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian ialah barangbenda yang sudah ada maupun barangbenda yang masih akan ada. d. Suatu sebab yang halal Kata “Causa” berasal dari bahasa latin artinya “Sebab”. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan sebab dalam Pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum, dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di depan hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa sebab, ia dianggap tidak pernah ada. 18 Ibid, hlm. 167. Universitas Sumatera Utara 22 Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah. Keempat unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek pihak yang mengadakan perjanjian unsur subjektif dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian unsur objektif. Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak dipenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif 4. Pengertian Kredit Istilah kredit bukan hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Berbagai macam transaksi sudah banyak dijumpai seperti jual beli barang dengan cara kredit. Jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai, tetapi pembayaran harga barang dilakukan secara angsuran. Selain itu dijumpai pula banyak warga masyarakat yang menerima kredit dari lembaga perkreditan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya masyarakat mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka wajib membayar dengan lunas. K ata “kredit” berasal dari bahasa Yunani, yaitu Credere yang artinya adalah kepercayaan. Oleh karena itu dasar dari kredit adalah Universitas Sumatera Utara 23 kepercayaan. 19 Dengan demikian kredit menunjukkan hubungan kepercayaan antara pihak yang memberikan kredit kreditur dengan yang menerima kredit debitur. Maksudnya adalah apabila seseorang memperoleh kredit maka mereka memperoleh kepercayaan, sedangkan bagi si pemberi kredit artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang bahwa uang yang dipinjamkan pasti kembali. Seseorang atau semua badan usaha yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit dimasa mendatang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan itu meliputi waktu, syarat-syarat lainnya, prestasi dan kontraprestasinya. Kreditur percaya bahwa debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjaman setelah jangka waktu yang ditentukan. 20 K ata “kredit” juga berasal dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”. Dengan demikian, walaupun kata “kredit” telah berkembang, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, kata “kredit” tetap mengandung usaha “kepercayaan” walaupun sebenarnya kredit tidak hanya sekedar kepercayaan. Savelberg mengatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain : 21 a. Sebagai dasar dari setiap perikatan verbintenis dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. b. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu. 19 Thomas Suyanto dkk, Dasar-dasar Perkreditan, edisi keempat, cetakan kesebelas, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta: 2007, hlm.12. 20 Gatot Supramono, Op.Cit, hlm. 44. 21 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia, Penerbit Alumni,Bandung: 2003, hlm. 57. Universitas Sumatera Utara 24 Sementara pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam bank untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit yang diberikan oleh lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan. Dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam kredit ialah: 22 a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang. c. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat dalam bentuk barang atau jasa, namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan uang, maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan. 5. Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian kredit mengacu kepada KUHPerdata yang merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam buku III, Pasal 1754 KUH Perdata, yang berbunyi: 22 Thomas Suyanto dkk, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta: 1993, hlm. 14. Universitas Sumatera Utara 25 “Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” Perjanjian pinjam-meminjam ini mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya uang, karenanya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat riil yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh pihak kesatu kepada pihak lain dan bukan mengikatkan diri untuk menyerahkan uang dari uraian tersebut dapat dibedakan 2 dua kelompok perjanjian kredit: 23 a. Perjanjian kredit uang. b. Perjanjian kredit barang, misalnya perjanjian sewa beli dan perjanjian sewa guna usaha. Perjanjian kredit merupakan “Perjanjian Pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil oligatoir, yang dikuasai oleh Undang-undang Perbankan dan Bagian Umum KUH Perdata. 24 Perjanjian kredit dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan antara kreditur dan debitur dalam hal penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan pihak lain khususnya debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu 23 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti. Bandung: 2001, hlm. 111. 24 Ibid. Universitas Sumatera Utara 26 dengan pemberian bunga kepada kreditur sesuai kesepakatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 25 Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang penting baik bagi kreditur maupun bagi debitur yaitu sebagai perjanjian pokok artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Fungsi kedua adalah alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur. Fungsi yang ketiga adalah sebagai panduan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit. Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 dua bentuk, yakni: a. Perjanjian dalam bentuk akta di bawah tangan Pasal 1874 KUH Perdata Akta bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani. Pentingnya legalisasi oleh Notaris yang mengakibatkan akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik agar akta dibawah tangan tersebut tidak mudah dibantah. b. Perjanjian dalam bentuk akta otentik Pasal 1868 KUH Perdata Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak. Perjanjian kredit berakhir mengacu pada Pasal 1381 KUHPerdata dan berbagai praktek hukum lainnya yang timbul dalam hal pengakhiran perjanjian kredit. Hal ini dilakukan melalui: 25 Handri Raharjo, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit ,Pustaka Yustisia, Yogyakarta: 2010, hlm. 6. Universitas Sumatera Utara 27 a. Pembayaran b. Subrograsi Pasal 1400 KUHPerdata c. Pembaharuan utangnovasi Pasal 1413 KUHPerdataDebitur yang telah d. Perjumpaan utang kompensasi Pasal 1425 KUHPerdata

B. Tinjauan Umum tentang Kredit Macet