BAB I KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
KABUPATEN ACEH TENGGARA SECARA LANGSUNG TAHUN 2006
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara yang dalam proses menuju suatu negara demokrasi yang lebih baik. Dengan keanekaragaman masyarakat dan kulturalnya mulai
dari Sabang sampai Merauke tentunya bukan suatu yang mudah untuk menjadikan negara ini tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau kita telusuri dari
sejarah terbentuknya Indonesia ini hingga sampai saat ini telah banyak terjadi peristiwa sejarah yang mungkin masih kita ingat. Berbagai rezim kekuasaan pemerintahan telah
diterapkan di negara ini sampai pada reformasi saat ini. Ketika krisis moneter, pemerintah saat itu kehilangan nyali mencari jalan keluar dan lemah dalam melakukan restruktur
ekonomi, karena adanya perubahan politik. Momen tersebut ternyata telah menimbulkan desakan gerakan arus bawah people power yang mendorong untuk bergulirnya
reformasi di Indonesia dalam segala bidang. Pasca rezim Orde Baru, bersamaan dengan desakan pembentukan lembaga-lembaga yang memiliki trust yang kuat, sehingga muncul
dan hadirnya lembaga-lembaga baru yang melakukan tugas penting proses politik seperti, Komisi Pemilihan Umum KPU untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Eksistensi lembaga semacam itu walaupun sifatnya independen, namun tetap dihadapkan oleh kasus-kasus yang krusial yang memiliki kepentingan banyak pihak.
Terseretnya pakar politik saat itu menjabat sebagai ketua KPU, yang kemudian disinyalir telah melakukan pelanggaran tertib keuangan yang diketemukan oleh KPK menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
masalah tersendiri. Menyadari hal itu, tuntutan penyelenggaraan pemilihan yang harus sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan dan desakan arus bawah reformasi
kekuasaan, berbagai masalah teknis, yang harus dilakukan oleh KPU. Di sisi lain, kesuksesan penyelenggaraan pemilu seolah-olah terlepas dari kesuksesan sebuah
pekerjaan besar. Namun dalam sejarah politik Indonesia semua warga memiliki hak dan kewajiban dan harus mempertanggungjawabkan masalah-masalah lain, yang
berhubungan dengan hukum. Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
pemerintah memberikan kewenangan pada Komisi Independen Pemilihan KIP sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk GubernurWakil
Gubernur, BupatiWakil Bupati dan WalikotaWakil Walikota melalui sistem pemilihan langsung di Nanggroe Aceh Darussalam yang baru saja lepas dari konflik yang
berkepanjangan. Pemilihan kepala daerah diidealkan memiliki tingkat kredibilitas yang benar-benar legitimasi untuk diterima umum, selanjutnya akan melahirkan proses serta
mekanisme demokrasi berdasarkan aspirasi rakyat era reformasi. Semangat yang membara tersebut muncul karena pengalaman pemilu sejak tahun 1971 sampai 1997,
dimana sistem demokrasi dalam pemilu tersebut diwarnai dengan berbagai kecurangan. Baik dalam seleksi sistem calon perwakilan serta percaturan partai politik yang penuh
intrik, dimana kolaborasi elit politik atas nama rakyat sering dijadikan alat dan korban untuk mempertahankan kekuasaan.
Kebosanan dan kejenuhan serta kelelahan masyarakat telah menimbulkan rasa trauma pada sejarah politik masa lalu yang mekanisme pemilihan pemimpin baik di pusat
dan di daerah selalu diatur sedemikian rupa dan penuh dengan unsur rekayasa para elit
Universitas Sumatera Utara
politik. Sekarang dalam era reformasi hal seperti itu telah dijauhi oleh masyarakat. Sehingga sikap kekritisan masyarakat terhadap mekanisme penyelenggaraan pemilihan
Kepala Daerah menjadi semakin peka dan sensitif. Maka tidak heran kalau pemilihan kepala daerah di Aceh penuh dengan wacana kritis dan menjadi perhatian banyak pihak,
baik dalam maupun luar negeri untuk mencermati gerak-gerik lembaga-lembaga penyelenggara pesta demokrasi ini. Hal tersebut menjadi alasan rasional bila terjadi
ketimpangan dan kecurangan dalam tahap proses pelaksanaannya. Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana
masyarakat Aceh memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perbedaan ini terlihat dalam tingkah laku, pola berbicara, adat istiadat, sopan
santun dalam bertamu dan budaya ketika menjamu tamu. Berbedanya budaya yang satu dengan yang lain menunjukan bahwa bangsa Indonesia telah menyimpan kekayaan
budaya yang luar biasa yang perlu dilestarikan. Untuk melestarikan budaya yang tersimpan dalam masyarakat Aceh , seseorang harus menyempurnakan diri tinggal
beradaptasi dengan mereka. Budaya religius telah tertanam dari sejak zaman dahulu sehingga Aceh sampai saat ini disebut sebagai Serambi Mekah.
Konflik yang terjadi lebih dari 30 tahun antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM merupakan akibat dari kebijakan pusat yang
tidak adil dan diskriminasi terhadap masyarakat Aceh. Pada hal dahulu pemimpin negara ini berjanji akan memberikan apa yang diinginkan oleh masyarakat Aceh ketika itu.
Ketidakpuasan rakyat Aceh ternyata sampai pada memangku senjata dan keinginan untuk memisahkan diri. Implikasi dari kebijakan pusat terhadap daerah ini membuatnya makin
terpuruk dalam berbagai sektor kehidupan. Kemisikinan, hancurnya sistem perekonomian
Universitas Sumatera Utara
dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang jauh menurun dari daerah-daerah di Indonesia ini. Kemiskinan menempati urutan ke-4, tingkat pendidikan jauh tertinggal disebabkan
karena konflik yang berkepanjangan. Belum lagi ditambah bencana tsunami, banjir bandang yang terjadi di aceh tenggara lengkap sudah penderitaan rakyat Aceh.
Perdamaian menjadi harapan besar bagi masyarakat. Setelah menempuh berbagai cara, pada akhirnya dicapai kata sepakat yang tertuang dalam MoU atau Nota
Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. MoU Helsinki ini
merupakan cikal bakal terjadinya perubahan di Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan. Perjanjian ini menjadi awal bagi masyarakat Aceh untuk bangkit dari
ketertinggalan dan keterpurukan dengan daerah lain. Mou Helsinki merupakan amanah yang harus dijalankan baik itu pemerintah republik Indonesia maupun Gerakan Aceh
Merdeka GAM serta masyarakat Aceh khususnya untuk duduk bersama membangun daerah kembali.
Di era reformasi ini dimana telah terbuka kesempatan berdemokrasi dalam menyampaikan aspirasi mulai dari tingkat akar bawah sampai pada tingkat yang atas.
Otonomi khusus telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan perpolitikan dan demokrasi di tingkat daerah. Pemilihan Kepala Daerah merupakan pesta
demokrasi ditingkat daerah yang dilaksanakan secara demokratis. Pemilihan kepala daerah dilaksanakan untuk memilih kepala daerah baik itu GubernurWakil Gubernur,
BupatiWakil Bupati, WalikotaWakil Walikota dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 lima tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas,
rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan kepala daerah yang satu ini memang berbeda dengan daerah yang lain, dimana memiliki keistimewaan dan fenomena yang lain. Baru mungkin kita lewati pesta
demokrasi ditingkat lokal khususnya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ini merupakan pemilihan kepala daerah yang terbesar di Indonesia. Dimana dilaksanakan di
19 kabupatenkota. Pemilihan kepala daerah yang pertama dilakukan secara langsung oleh rakyat Aceh. Ini artinya, masyarakatlah yang menentukan masa depan daerah dan
pemimpinnya. Dalam kurun sejarah Aceh merupakan daerah modal bagi Indonesia. Tetapi keistimewaan dan kekhususan yang diberikan ternyata belum bisa menyentuh hati
rakyat.
1
Melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung setelah MoU Helsinki dan tsunami, banjir bandang merupakan tantangan yang paling berat. Karena sumber
daya manusia dan infrastruktur di beberapa daerah hancur. Apalagi kota Banda Aceh yang paling terparah sehingga terpaksa masyarakat mengungsi di barak-barak
pengungsian sampai pada saat ini. Walaupun sebenarnya tidak ada pengalaman di negeri ini membangun demokrasi pasca konflik. Oleh karena itu, kita sangat bersyukur karena
partisipasi masyarakat dalam menyambut pemilihan kepala daerah ini cukup tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh oleh beberapa lembaga swadaya masyakat LSMNGO
bahwa tingkat partisipasi masyarakat secara umum mencapai 79,9 . Ini merupakan hal yang sangat membanggakan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia ini.
2
1
Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Anggota IKAPI, Fokus Media, Bandung,2006,hal.52
2
Newsletter Komisi Independen Pemilihan KIP, edisi VII, 1-5 Januari 2007
Dimasukannya pemilihan kepala daerah dalam Mou Helsinki menunjukan bahwa pemilihan kepala daerah memiliki eksistensi penting dalam proses penyelesaian konflik
Universitas Sumatera Utara
yang selama ini terjadi. Terkait dengan penyelesaian konflik vertikal dan horizontal, pilkada langsung menjadi relevan dan bisa menjadi jalan keluar dalam rangka demokrasi
yang damai. Pemilihan langsung akan menjadi barometer dari variasi model demokrasi yang diterapkan di Indonesia guna menyeimbangkan kepentingan pemerintah pusat dan
daerah di satu sisi, sekaligus memberi peluang bagi Gerakan Aceh Merdeka GAM sebagai kekuatan politik di Aceh.
Setelah beberapa lama RUU Peraturan Aceh PA disahkan menjadi Undang- Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pemilihan daerahpun ditetapkan
pada 11 Desember 2006 lalu. Lamanya perjalanan menuju pemilihan kepala daerah tidak hanya membuat partai politik , pemilih, maupun penyelenggara pilkada berdebar-debar.
Masyarakat internasionalpun dibuat ketakutan, karena ini juga merupakan bagian integral dari proses damai tersebut. Pemilihan kepala daerah yang ini memang luar biasa dari segi
aturan dan penuh dengan keunikan serta keistimewaan yang tidak ada di daerah lain di Indonesia dan hanya ada Aceh. Dari segi aturan main, ada dua hal khusus yang
membedakan pemilihan kepala daerah Aceh. Pertama; penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh Komisi
Independen Pemilihan KIP yang komposisi anggotanya terdiri atas anggota KPUD dan anggota masyarakat. Kedua; dibukanya ruang bagi calon independen untuk maju dalam
pemilihan kepala daerah.
3
3
Ibid,.hal.54.
Calon independen pertama kali dikenal dalam sistem hukum Indonesia melalui pemilihan kepala daerah Aceh yang lalu. Bukan saja itu pilkada kali ini
dilaksanakan setelah konflik lebih dari 30 tahun dan bencana yang menewaskan ratusan ribu jiwa manusia.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum keluar UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, bahwa calon kepala daerah masuk melalui jalur partai politik, gabungan partai politik, sedangkan di
Aceh calon non-partai memiliki jalur tersendiri yaitu jalur independen perseorangan serta langsung mendaftarkan diri ke Komisi Independen Pemilihan KIP sesuai dengan
UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Bukan hal yang aneh, jika bursa kandidat begitu banyak dalam pemilihan kepala daerah ini. Partai nasional dalam
pemilihan kepala daerah kali ini harus mengakui keunggulan pasangan dari jalur independen. Karena banyak masyarakat yang pada saat ini kepercayaan kepada sebuah
partai telah menipis. Ini mungkin disebabkan karena janji-janji partai yang belum terealisasikan dalam pandangan masyarakat. Dan bukan tidak mungkin ini berdampak
besar bagi eksistensi dan konstituen partai tersebut dalam pemilu berikutnya. Walaupun jalur independen hal yang baru bagi kita dalam pemilihan kepala
daerah di Indonesia, tetapi telah membuktikan bahwa ternyata kendaraan partai politik belum bekerja secara maksimal sesuai dengan fungsinya. Ini berimplikasi pada rendahnya
kepercayaan masyarakat pada partai politik dan wakil-wakilnya dengan mengumbar janji pada kampanye. Artinya ini menjadi pelajaran bagi partai politik dalam mengemban
amanah dari rakyat dan bahkan sesuai dengan fungsinya dalam mendidik kader-kader calon wakil dan peminpin rakyat yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang tinggi di
mata masyarakat. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Pilkadasung adalah sebuah pesta lokal bagi
daerah-daerah yang pelaksanaannya dilakukan setiap lima 5 tahun sekali yang bertujuan untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung. Pilkada
Universitas Sumatera Utara
langsung ini ditetapkan pertama kalinya di Indonesia sejak Juni 2005. Lahirnya gagasan Pilkada Langsung ini sempat menimbulkan pro dan kontra ditengah-tengah kondisi
masyarakat yang rindu akan perubahan akan nasip mereka daerahnya, mungkin selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kelompok pro berpandangan bahwa
Pilkada Langsung akan memperkecil penyimpangan demokrasi dalam praktek Pilkada DPRD, sebagai jalan masuk bagi demokrasi Politik di Daerah karena dapat mencegah
terjadinya Politik Uang Money politics, memperkecil intervensi pengurus parpol, dan memberikan kesempatan kepada rakyat memilih pimpinan Daerahnya secara objektif.
Sedangkan kelompok kontra beranggapan bahwa Pilkada Langsung merupakan ide dan keputusan prematur yang tidak relevan peningkatan kualitas demokrasi di daerah
lebih di tentukan oleh faktor-faktor lain, kita misalkan kulitas DPRD dan kualitas pemilih jauh berbeda dari apa yang kita harapkan. Jadi dengan kata lain kelompok kontra sangat
menentang kehadiran Pilkada Langsung ini, karena bisa menimbulkan Euphoria demokrasi di tingkat lokal.
4
Ada juga yang berpendapat bahwa Pemilihan Kepala Daerah Langsung Pilkada ini dikatakan sebagai “lompatan demokrasi”. Artinya Pilkada itu bisa bersifat positif dan
bisa juga bersifat negatif. Positif disini adalah Pemilihan Kepala Daerah Langsung sebagai sarana demokrasi untuk memberikan kesempatan pada rakyat sebagai
infrastruktur politik untuk memilih Kepala Daerah secara Langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini bertujuan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk
memilih sendiri Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mereka sukai, tampa adanya paksaan dan intervensi dari pihak manapun. Dalam pengertian negatif sendiri,
4
Joko J. Prihatmoko, Pilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi Sistem dan Probelema Penerapan di indonesia
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan Kepala Daerah Langsung sebagai “lompatan demokrasi” yang mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat dari proses Pilkada. Artinya bahwa rakyat bebes untuk
melakukan tindakan-tindakan yang bersipat anarki, karena tidak adanya peraturan- peraturan yang mengatur hal itu.
5
“Kepala Daerah Tingkat I dan Tingkat II dicalonkan dan di pilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat DaerahPimpinan Fraksi-Fraksi dengan Mentri Dalam Negeri. Hasil pemilihan tersebut
diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya”.
Berbicara mengenai Kepala Daerah ada beberapa Undang-undang yang harus diperhatikan: Yang pertama; Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah, telah terbukti hanya berfungsi untuk menjadikan Pemerintah Daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah belaka. Kontrol yang sangat ketat ini misalnya terlihat
pada proses Pemilihan Kepala Daerah dan pembuatan Peratuan Daerah perda. Hal ini dapat dilihat pada pasal 15 yang menerangkan bahwa:
6
Bagi ahli Pemerintahan Daerah dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Waskito Utomo mengatakan, formulasi dan penerapan Otonomi-desentralisasi
berdasarkan pada Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dilandasi oleh Politik Orde Baru yang berorentasi pada 3 hal, yaitu: Pertama, bagaimana membangun legitimasi sebagai
penguasa. Kedua, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan dan Ketiga,
5
Amirudin A. Zaini Basri, Pilkada Langsung Problem Prospek Seketsa Singkat Perjalanan Pilkada,
Yogyakarta Pelajar, 2005, hlm. 1-2
6
Undang-Undang Repobelik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh.
Universitas Sumatera Utara
bagaimana membangun kekuasaan sebagai Pemerintah Pusat yang mempunyai kewenangan di Daerah-daerah.
7
Munculnya UU Nomor 11 tahun 2006 banyak kalangan pihak yang menyatakan bahwa undang-undang ini akan menimbulakan arus re-sentralisasi, tentu tidak semudah
itu dapat diterima,. Penguatan demokrasi ditingkat lokal tidak mesti selalu dimakni betapa kuat dan otonominya pemerintah ditingkat lokal, yang sering kali justru hanya
membuat elit-elit lokal makin seenaknya sendiri untuk mendemonstrrsikan kekuasaanya itu. Ide untuk melakukan demokrtisi di tingkat lokal sesungguhnya adalah sebuah
Yang kedua: Undang-undang No. 112006 tentang Pemerintahan ini lebih memberikan keleluasan Kepada Daerah untuk menyelengarakan Pemerintahan
Daerahnya sendiri melalui sistem Otonomi Daerah yang seluas-luasnya. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 7 poin 1 Undang-undang No.112006 yang menyebutkan bahwa:
Pemerintah Aceh dan Kabupatenkota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah.
Yang ketiga: UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah Aceh Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, karena banyaknya kejanggalan pasal-pasal yang terdapat didalam UU No. 322004, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme
politik di Indonesia. Persoalan dalam kurun waktu satu atau dua dekade lalu seolah hanya sebuah impian, saat ini telah menjadi kenyataan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah di pilih langsung oleh rakyat. Ini menunjukan keberhasilan dan kemajuan bagi sistem demokrtisasi di Indonesia, dimana penepatan posisi dan kepentingan rakyat berada
di atas segala-galanya dari berbagai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan terkesan menghegomoni.
7
Ahmad Nadir, Ibid, hlm.98
Universitas Sumatera Utara
gagasan yang muncul berlandas dari pemikiran perlunya mendekatkan dinamika Negara dan dinamika Rakyat. Pada masa desentralisasi, Negara gitu tinggi sementara rakyat
berbeda jauh dibawah. Sehingga otonomisasi lokal adalah untuk mendekatkan komunikasi antara Rakyat dan negara pemerintahan daerah. Pilkada langsung, bila di
tinjau dari sudut ini sangatlah sejajar dengan arus demokrtisasi yang sedang berlangsung. Susilo Utomo
8
1. Bagaimankah konflik elit politik yang terjadi pada pilkada langsung di
Kabupaten aceh Tenggara Tahun 2006? di dalam penelitianya yang berjudul Pilkada langsung
kepemimpinan Lokal Di Jawa Tenggah, yang di sampaikan pada Seminar Nasional XIX Kongres VI “AIPI” Pilkada Langsung Demokrasi di Indonesia, Batam 22-24 Maret
2005 mengatakan bahwa pengenalan Pilkada secara langsung ini memberikan kesempatan bagi terlaksananya sistim Desentralisasi secara lebih bermakana, karena
desentralisasi mampu menyediakan landasan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Smith: 1985; Turner and Huylmer: 1997; Peters: 2000. Pelaksanaan Pilkada secara
Langsung juga berkaitan dengan krisis perwakilan politik dalam lima tahun terakhir ini, dimana rakyat kurang mempercayai lagi wakil-wakil mereka di lembaga perwakilan
B.Permasalahan
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis mencoba merumuskan
permasalahan yaitu:
2. Langkah-langkah apa saja yang di perlukan KIP untuk mengatasi konflik Elit
politik yang terjadi pada Pilkada Kabupaten Aceh Tenggara Thun 2006?
8
Lihat Jurnal Ilmu Politik No.20, Tahun 2006, hlm. 96-97
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian