25
BAB II PENGATURAN HUKUM UDARA INTERNASIONAL
A. Sejarah dan Sumber Hukum Udara
1. Sejarah hukum udara
Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun 1910 setelah sejumlah
balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di atas negara Perancis, yang mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis sebagai suatu ancaman terhadap
keamanannya. Sembilan tahun setelah Konferensi pertama tersebut dibentuklah Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi cujus est solum, ejus
usque ad coelum at ad inferos yang berarti bahwa negara melaksanakan hak- haknya sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif
terhadap ruang udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk
ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri dapat dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional mengenai
pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan
internasional.
14
14
Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online] file:D:UNAIRSEMESTER205Hukum20InternasionalBuku_Hukum_Udara_dan_Luar_A
ngkasa.pdf diakses 21 Januari 2016.
Universitas Sumatera Utara
Konvensi Paris 1919 ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris
1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi
Paris 1919 menjelaskan mengenai kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta terhadap ruang angkasa di atas wilayah darat dan lautnya. Kendati demikian pada
perkembangannya, konvensi tersebut mengalami beberapa perubahan materi terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa
setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada di atasnya.
15
Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para
pihak, bukan penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika
Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan pada 1 November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua kebebasan
dasar yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan komersial yang
berkaitan dengan lalu lintas komersial.
16
Perkembangan yang hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum Antariksa Outer Space Law. Diawali pada 4 Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia
diluncurkan ke ruang angakasa yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat, yang mengakibatkan negara lain menganggap hal
15
T. May Rudy. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama, 2002, hal 31
16
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2011, 427-428
Universitas Sumatera Utara
tersebut sebagai suatu ancaman terhadap keamanan mereka. Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan
prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle dan Freedom exploitation principle. Prinsip pertama atau non
kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda- benda langit merupakan milik bersama umat manusia, tidak dapat diklaim atau
diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara. Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk
dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai equity.
17
Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di
ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat ketentuan- ketentuan bagi penggunaan damai ruang angkasa.
Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas pengangkutan ruang angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan pengaturan hukum yang lebih
tegas. Sejumlah studi dan perjanjian mengenai registrasi, pertolongan para astronaut, dan tanggung jawab bagi kerugian yang telah diatur dalam Space
Treaty 1967, telah dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional publik dan perdata yang mengikat Syahmin, 2012: 6. Beberapa pakar hukum
internasional memberikan definisi yang berbeda tentang antariksa, antara lain Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hukum antariksa adalah hukum yang
mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang mengatur ruang yang hampa udara. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal, yaitu luas wilayah ruang
17
Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, 228-229.
Universitas Sumatera Utara
di antariksa dimana hukum antariksa diteapkan dan berlaku, bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut, dan bentuk kegiatan peralatan penerbangan
dan alat-alat penunjungnya.
18
Paul Fauchile berusaha menerapkan doktrin Grotius ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu
bebas. Akan tetapi tindakan menyamakan lautan dengan ruang udara tidaklah benar. Hal tersebut diasumsikan bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang
berbeda. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini melahirkan dua kelompok besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara sifatnya itu bebas yang
dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas dan mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah
negaranya. Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah
dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi ketika pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis
dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas.
19
Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh
negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta perjanjian mengakui
bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang
18
Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2007, hal 187
19
Abdulrrasyid, Priyatna. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972, hal 55.
Universitas Sumatera Utara
udara di atas wilayahnya dan perairan terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai
bagi pesawat-pesawat asing.
2. Sumber hukum udara