34
oleh benda itu sendiri. Atau cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat benda tersebut dari tujuan pemakaian yang semestinya.
Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang di beli, pembeli konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli,
dengan ketentuan tuntutan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan pasal 1508 KUH Perdata.
1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual, maka penjual
wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian, dan bunga.
2. Kalau cacat itu memang benar-benar tidak diketahui oleh penjual, maka penjual
hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya ongkos yang dikeluarkan oleh pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang.
3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat
yang tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli.
Terkecuali apabila penjual telah minta diperjanjikan tidak menanggung sesuatu apapun dalam halnya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya pasal
1506, maka itu berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibelinya menjadi risiko pembeli sendiri.
2.3. Sanksi
Adapun sanksi menurut UUPK No. 8 Tahun 1999 yang akan diberikan kepada produsen pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat berupa sanksi
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
35
administratif. Dalam UUPK memberikan konsekuensi logis yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha dalam memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau
jasa diantaranya pasal 7 huruf b, d, e, dan g UUPK, diantaranya “memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”, “menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku”, “memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba
barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan”, selain itu pelaku usaha juga “memberi
kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.
Besarnya ganti kerugian dan wujud penggantian kerugian yang lazim adalah mempergunakan uang, yang para ahli hukum ataupun yurisprudensi dianggap paling
praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa. Bentuk lain adalah benda. Dalam UUPK pasal 19 ayat 2 memberikan pedoman
tentang jumlah, bentuk, atau wujud ganti kerugian, yaitu: a.
Pengembalian uang b.
Penggantian barang danatau sejenis atau setara nilainya c.
Perawatan kesehatan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
36
d. Pemberian santunan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
27
Karena pasal 19 ayat 2 diatas masih menunjuk peraturan perundang- undangan lain sebagai pedoman, maka dapat dikemukakan ketentuan KUH Perdata.
Untuk menentukan besarnya jumlah ganti kerugian, KUH Perdata memberikan pedoman, yaitu:
a. Basarnya ganti kerugian sesuatu dengan fakta tentang kerugian yang benar-benar
terjadi dan dialami oleh konsumen. b.
Sebesar kerugian yang dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari kreditur harus sama seperti seandainya debitur memenuhi kewajibannya.
Kerugian yang jumlahnya melampaui batas-batas yang dapat diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur.
c. Besarnya kerugian yang dapat dituntut adalah kerugian yang merupakan akibat
langsung dari peristiwa yang terjadi, yaitu sebagai akibat dari wanprestasi atau sebagai akibat dari peristiwa perbuatan melawan hukum.
d. Besar ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh UU, misalnya yang diatur pada pasal 1250 KUH Perdata, yang mengatakan, antara lain bahwa dalam tiap-tiap
perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya
pelaksanaan, hanya terdiri atas biaya yang ditentukan oleh UU dengan tidak
27
Janus sidabalok, op.cit., hal. 159-160
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
37
mengurangi peraturan UU khusus. Dalam kaitan ini, UUPK tidak menentukan batas kerugian yang dapat dihukumkan kepada pelaku usaha sehubungan dengan
gugatan ganti kerugian dalam sengketa konsumen. Akan tetapi, dalam pasal 60 ayat 2 disebutkan bahwa sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian
yang ditetapkan oleh BPSK paling banyak Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
e. Ganti kerugian sebesar isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagaimana
yang dimungkinkan oleh pasal 1249 KUH Perdata.
28
Dalam UUPK, ketentuan yang mengatur mengenai produk yang cacat barang, khususnya yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha dalam memproduksi
danatau memperdagangkan barang danatau jasa tepatnya pada pasal 8 ayat 2 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,
cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Pelanggaran terhadap pasal 8 ayat 2 , sebagaimana
diatur dalam pasal 62 ayat 1, antara lain menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dapat dipidana dengan hukuman
penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua milyar rupiah. Pasal 63 UUPK terhadap sanksi pidana
sebagaimana yang dimaksud pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa: a.
Perampasan barang tertentu;
28
Ibid, hal. 160-161
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
38
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen; e.
Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f.
Pencabutan izin usaha. Mengacu pada data pengguna produk cacat pada kasus yang penulis angkat
dan terdapat di BPSK Surabaya, bentuk sanksi yang dikenakan adalah sanksi adminitratif, yaitu berupa penggantian produk yang cacat tersebut dengan yang baru
serta memberikan sejumlah uang ganti rugi. Sanksi administratif lebih sering digunakan karena menyangkut tentang wanprestasi atas perjanjian yang dilakukan
oleh kedua belah pihak, dalam hal ini konsumen dengan produsen atau pelaku usaha. Akan tetapi, apabila dalam proses penyelesaian kasus tersebut kemudian ditemukan
pelanggaran yang memasuki ranah pidana, tidak menutup kemungkinan akan dikenakan sanksi pidana.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
39
BAB III UPAYA-UPAYA HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA