Efektivitas Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Studi Kasus Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan)

(1)

LAMPIRAN I

Daftar Wawancara

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Responden(Konsumen) antara lain: 1. Dari manakah anda mengetahui tentang BPSK?

2. Apakah pada proses pengaduan sengketa ke BPSK mengalami kesulitan? 3. Apakah proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK berjalan cepat? 4. Apakah proses tersebut berjalan dengan mudah(sederhana) dengan biaya

yang murah?

5. Bagaimana dengan pelaksanaan putusan BPSK? Apakah dilaksanakan tepat waktu dan dengan suka rela oleh pelaku usaha?

6. Apakah konsumen mendapat keadilan dari putusan yang dikeluarkan oleh BPSK?

Daftar Nama Responden(didapat dari BPSK) yang dihubungi:

1. Jhon Parlyn Sinaga(0819616010), mengadukan PT. Exelcomindo Pratama (XL-Operator telepon selular) pada tanggal 3 April 2006 mengenai program yang ditawarkan XL berupa paket Ngirit Malam yang menawarkan tarif murah, akan tetapi ternyata tidak sesuai dengan yang tertera dalam brosur. Putusan BPSK memenangkan beliau, namun pihak XL keberatan dengan putusan itu lalu mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Medan. Dan PN Medan memenangkan pihak XL, lalu


(2)

Jhon mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan memenangkan perkara ini. Namun pihak XL mengajukan peninjauan kembali yang hingga saat ini belum mendapat penyelesaiannya.

Menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau, beliau mengetahui tentang BPSK dari Koran Medan Bisnis( beliau merupakan wartawan di Medan Bisnis, terakhir menjadi Pimpinan Redaksi di Koran Andalas). Beliau memantau perkembangan BPSK dan menurut beliau BPSK mulai dikenal sejak tahun 2006, yaitu melalui sengketa konsumen yang diadukan oleh beliau. Menurutnya kelebihan dalam mengadukan sengketa konsumen melalui BPSK adalah biaya yang relative murah atau bahkan dapat disebut tanpa biaya, karena hanya dibutuhkan fotokopi KTP dan formulir pengaduan. Proses penyelesaian sengketa di BPSK cepat atau tepat waktu seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dan mengenai putusan yang dikeluarkan oleh BPSK, beliau menyatakan sudah cukup puas.

2. Tohap P. Simamora(08126485316), mengadukan PT. Surya Utama Nusaparka pada tanggal 9 Mei 2006 mengenai masalah pembayaran karcis parkir.

Menjawab pertanyaan yang diajukan, didapat bahwa beliau merupakan konsultan dari Lembaga Advokasi Wanita dan Konsumen Indonesia ( LAWKI). Beliau ternyata juga ikut dalam perumusan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Menurut beliau, proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK sudah sesuai dengan


(3)

peraturan, yaitu tepatnya waktu penyelesaian sengketa. Mengenai pelaksanaan putusan BPSK, juga sudah tepat waktu. Dan putusan yang dikeluarkan BPSK sudah memuaskan rasa keadilan konsumen walaupun tuntutan yang dikabulkan hanya sebagian. Beliau menyampaikan bahwa yang menjadi kekurangan adalah masalah ruang sidang yang belum memadai dan masalah kehadiran majelis BPSK.

3. Robby Efendi(081265646564), mengadukan PT. Telkomsel pada tanggal 30 April 2007 mengenai kerugian yang dikarenakan tarif telepon selular yang tidak sesuai dengan promo. Dan Beliau merasa tertipu sehingga mengadukan ke BPSK. Menjawab pertanyaan yang diajukan, beliau menyatakan bahwa mengetahui tentang BPSK dari Koran/media massa. Dan saat mengadukan sengketa ke BPSK, tidak mengalami kesulitan, bahkan relatif mudah. Dan proses penyelesaian sengketa di BPSK terbilang cepat dan memuaskan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Makalah, dan Jurnal Ilmiah

Adi Nugroho, Susanti, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Cetakan Pertama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Halim Barkatullah, Abdul, Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010.

Harahap, M. Yahya “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Harianto, Dedi, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Iklan yang Menyesatkan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.

Joses Sembiring, Jimmy, Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Jakarta: Visimedia, 2011.

Miru, Ahmadi, dan Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,


(5)

Shofie, Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori & Praktek Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Tri Siwi Kristiyanti, Celina, Hukum Perlindungan Konsumen,

Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Wijaya, Gunawan, dan Yani, Ahmad, Hukum Tentang

Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. Nur Hidayati, Maslihati, Analisis tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen: Studi tentang Efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen, Lex Jurnalica Vol. 5 No. 3, Jakarta, Agustus 2008, Fakultas Hukum Universitas Al- Azhar Indonesia.

Hakim, Nurul, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Hubungannya dengan Lembaga Peradilan, Januari 2008.

B. Peraturan Perundang-undangan


(6)

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa .

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.


(7)

BAB III

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A. Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat. Kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan kasasi. Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak tenyata dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK. Dengan dibukanya kesempatan mengajukan keberatan, dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK tersebut masih belum final. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.

Menurut penjelasan Pasal 54 Ayat (3), putusan bersifat final BPSK adalah “tidak ada upaya hukum banding dan kasasi”. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (2) UUP K, maka dapat diketahui bahwa ternyata istilah “final” putusan BPSK hanya dimaknai pada upaya banding, tetapi tidak termasuk “upaya mengajukan keberatan” kepada pengadilan negeri, yang ternyata atas putusan pengadilan negeri ini UUPK masih membuka lagi kesempatan untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.76

Pada dasarnya putusan majelis BPSK bersifat nonlitigasi, sehingga apabila ada pihak yang keberatan atas putusan BPSK tersebut, mereka dapat mengajukan kepada pengadilan negeri. Pengadilan negeri disyaratkan untuk memproses penyelesaian suatu perkara dengan melalui acara gugatan perdata biasa. Hal ini menunjukkan bahwa posisi proses hukum dan putusan BPSK itu pada dasarnya nonyudisial. Dalam arti pula bahwa putusan BPSK tersebut merupakan salah satu dari rangkaian mekanisme sistem pengadilan, jadi berada di luar mekanisme peradilan umum.

77

76 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 264. 77 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal. 100.


(8)

Menurut Pasal 42 Ayat (1) putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

B. Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah pada suatu perkara yang diajukan di muka Pengadilan. Dapat dikatakan eksekusi tiada lain yakni suatu tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.78

Eksekusi ini terdapat di dalam Bab kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel ke Empat RBG, pada bagian tersebut telah diatur pasal-pasal tata cara “menjalankan putusan pengadilan, mulai dari: tata cara peringatan (aanmaning), sita eksekusi (executorial beslag), penyanderaan (gijzeling).

Istilah lain yang sering dipergunakan selain kata eksekusi yakni “pelaksanaan putusan”.

79

78 M. Yahya Harahap, “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, Jakarta: PT Gramedia, 1989, Hal. 1.

79Ibid,

Tata cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi diatur mulai pasal 195 sampai pasal 224 HIR atau pasal 206 sampai pasal 258 RBG. Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku efektif. Yang masih betul-betul efektif berlaku terutama pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai pasal 240 dan pasal 258 RBG. Sedang pasal 209 sampai pasal 223 HIR atau pasal 242 sampai pasal 257 RBG yang mengatur tentang Sandra gijzeling, tidak lagi diperlukan secara efektif. Alasan larangan tersebut, karena tindakan penyandraan terhadap seseorang debitur dianggap


(9)

bertentangan dengan prikemanusiaan, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2/1964 tanggal 22 januari 1964.

Pada dasarnya suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dapat dijalankan. Oleh karena itulah putusan suatu badan peradilan harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada suatu putusan untuk dapat dilaksanakan secara paksa adalah adanya irah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Adapun Purwoto S. Gandasubrata mengemukakan asas-asas hukum eksekusi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi adalah:80

1. Eksekusi dijalankan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, apabila tereksekusi tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Yang dapat dieksekusi adalah amar putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir), sedangkan putusan yang bersifat konstitutif atau

declaratoir tidak memerlukan eksekusi.

3. Eksekusi dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan, dilaksanakan oleh panitera dan juru sita dengan bantuan alat kekuasaan Negara di mana diperlukan.

4. Eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara terbuka dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.

Ketidakjelasan peraturan dalam UUPK ini dilihat dari 3 hal, yakni:81 1. Berkaitan dengan prosedur permohonan eksekusi;

2. Berkaitan dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan eksekusi;

80 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 344.


(10)

3. Berkaitan dengan pengadilan yang berwenang mengeluarkan penetapan eksekusi.

Permohonan eksekusi dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun putusan keberatan, namun UUPK tidak menyediakan peraturan yang lebih rinci berkaitan dengan hal tersebut. Pelaksanaan putusan diserahkan dan menjadi wewenang penuh dari pengadilan negeri yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman dan mempunyai legitimasi sebagai lembaga pemaksa.82

82Ibid., hal. 339.

Ketentuan mengenai prosedur permohonan eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK, selain satu pasal saja yakni dalam Pasal 57 UUPK.

Menyimak rincian tugas dan wewenang BPSK yang ditentukan pada Pasal 52 UUPK, ternyata BPSK tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan putusannya, sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh suatu badan peradilan. BPSK hanya memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku usaha untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan sendiri putusan yang dihasilkan. Untuk melaksanakan putusannya, BPSK harus lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK.

Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, dan putusan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.


(11)

Sebelum dilaksanakan eksekusi ketua pengadilan negeri terlebih dahulu melakukan peneguran kepada pihak yang kalah, untuk dalam waktu 8 (delapan) hari melaksanakan putusan tersebut dengan sukarela. Jika pihak yang ditegur tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela maka dimulai pelaksanaan eksekusi yang sesungguhnya.83

C. Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Di BPSK Medan Sejak Berdirinya

Berdasarkan bahan yang diperoleh dari BPSK Kota Medan, jumlah kasus yang ditangani oleh BPSK Kota Medan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 antara lain:

Grafik 3.1: Jumlah Kasus yang diadukan kepada BPSK Kota Medan sejak 2003 hingga 2010.

Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan.

83Ibid., hal. 343.

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 0

10 20 30 40 50 60

Jumlah Kasus


(12)

Keterangan:

Tahun 2003: 1 kasus melalui arbitrase sampai pada tingkat kasasi.

3 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN, 1 kasus sampai pada tingkat kasasi.

2 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN.

1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN dan 1 kasus sampai pada tingkat kasasi.

1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN.

1 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN. Tahun 2004: 2 kasus dicabut karena data tidak lengkap,

1 kasus diselesaikan sendiri.

Tahun 2005: 2 kasus tidak diteruskan, yaitu 1 kasus karena berkas belum lengkap dan

1 kasus gugur karena tidak hadirnya konsumen 2 kali.

Tahun 2006: 3 kasus dalam proses.

9 kasus tidak diteruskan, yaitu 7 kasus karena data tidak lengkap dan 2 kasus buktinya tidak lengkap.

1 kasus diselesaikan sendiri.

Tahun 2007: 13 kasus tidak diteruskan, yaitu 9 kasus datanya tidak lengkap 3 kasus diselesaikan di kepolisian karena menyangkut masalah pidana dan 1 kasus diselesaikan sendiri.

Tahun 2008: 2 kasus ditolak.


(13)

2 kasus melalui arbitrase dilanjutkan di tingkat PN.

1 kasus melalui a dilanjutkan di tingkat PN..

Grafik 3.2: Jumlah Kasus yang ditangani BPSK melalui Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase.

Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan. 0

5 10 15 20 25

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Konsiliasi Mediasi Arbitrase Tahun 2009: 4 kasus gugur/batal.

8 kasus belum selesai/ dalam proses.

Tahun 2010: 2 kasus gugur/batal.


(14)

Grafik 3.3: Jumlah Kasus yang Masuk ke BPSK Dilihat dari Objek yang Diadukan.

Sumber: Data yang didapatkan penulis dari BPSK Kota Medan.

Meskipun dibentuk pada tahun 2001 melalui Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001, BPSK Kota Medan baru memulai kegiatannya pada bulan Maret 2003 karena belum adanya Panitera. Karena pada akhir tahun 2002 baru terbit Surat Penetapan Panitera oleh ketua BPSK.

D. Proses Peralihan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ke Pengadilan Negeri

Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Ayat (3) UUPK bahwa pada prinsipnya putusan BPSK merupakan putusan yang final dan mengikat, berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan

0 10 20 30 40 50 60

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Jasa Barang


(15)

yang sudah final tersebut. Namun UUPK tidak konsisten dalam mengonstruksikan putusan BPSK, karena dalam pasal selanjutnya justru dikatakan bahwa pihak yang merasa keberatan terhadap putusan BPSK dapat mengajukan upaya “keberatan” ke pengadilan negeri.84

1. Jurisdiction Voluntaria: dalam Jurisdiction Voluntaria tidak ada perselisihan dalam arti tidak ada yang disengketakan. Diajukannya perkar ke pengadilan, bukan untuk diberikan suatu keputusan, melainkan meminta suatu ketetapan dari hakim untuk memperoleh kepastian hukum. Seperti permohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris, permohonan ganti nama, permohonan pengangkatan anak dan lain-lain.

Penyelesaian suatu perkara yang diajukan ke pengadilan dapat dibedakan:

2. Jurisdiction Contentiosa: dalam Jurisdiction Contentiosa, di sini ada sesuatu yang disengketakan. Sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri, sehingga dinohonkan kepada hakim untuk diselesaikan sengketanya secara adil dan kemudian diberikan suatu putusan.

Memperhatikan adanya perbedaan kewenangan di atas, terdapat 3 bentuk putusan hakim, yaitu:

1. Putusan declartoir adalah putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata, misalnya penetapan mengenai ahli waris, anak angkat, dan hal lainnya.

2. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman.

84 Pasal 56 Ayat (2) UUPK jo. Pasal 41 Ayat (3) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001.


(16)

3. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru, misalnya putusan perceraian, dan putusan mengenai kepailitan.

Dengan adanya perbedaan kewenangan dan bentuk putusan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keberatan atas putusan BPSK yang diajukan ke pengadilan negeri adalah termasuk Jurisdiction Contentiosa, karena ada hal-hal yang disengketakan antara konsumen dan pelaku usaha/produsen, yang dimohonkan suatu putusan yang bersifat putusan condemnatoir yang berisi penghukuman (pemberian ganti kerugian).85

Berkenaan dengan adanya peluang untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada pengadilan, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo melihatnya sebagai suatu upaya yang memiliki hakikat yang sama dengan upaya banding terhadap putusan BPSK. Oleh karena itu, BPSK dengan sendirinya ditempatkan seolah-olah sebagai instansi tingkat pertama sedangkan pengadilan negeri merupakan instansi tingkat banding. Hal lain yang memudahkan penganalogian ini lebih disebabkan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen menggunakan hukum acara yang kurang lebih sama dengan hukum acara perdata yang berlaku di peradilan umum. Di samping itu, keberatan yang diajukan ke pengadilan masuk ke dalam ranah hukum acara perdata dengan sendirinya berlakulah ketentuan hukum acara perdata.86

Penggunaan istilah keberatan tidak lazim dalam hukum acara yang berlaku, jika dikaitkan dengan ketentuan bahwa pengadilan negeri yang menerima pengajuan keberatan wajib memberikan putusannya dalam waktu paling lama 21 hari, sehingga tidaklah mungkin keberatan ini dianalogikan sebagai upaya gugatan baru ataupun perlawanan, karena proses perkara gugatan baru atau perlawanan sangatlah formal dan memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang menolak putusan BPSK tiada lain haruslah ditafsirkan sebagai upaya hukum banding.

87

85 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 264. 86 Dedi Harianto, Op. cit., hal. 253. 87 Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hal. 264.


(17)

BAB IV

HAMBATAN DAN EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A. Hambatan dalam Pelaksanaan Permohonan Eksekusi Putusan BPSK

Penyelesaian sengketa di BPSK pada hakikatnya bertujuan untuk mendapatkan ganti kerugian bagi konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Dan dalam proses pelaksanaan putusannya, BPSK menemui hambatan yang berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan putusannya. Seperti terhadap putusan arbitrase BPSK, ada 2 kemungkinan yang terjadi, yakni putusan dilaksanakan secara sukarela atau putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi ke pengadilan. Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK yang telah final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan.

Ketentuan pasal ini bertentangan dengan ketentuan hukum acara pada umumnya yang mengatur bahwa pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim,


(18)

yang memohon kepada pengadilan negeri untuk dilakukan eksekusi baik secara tertulis atau secara lisan88

Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang ditentukan dalam Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral dan imparsial menjadi diragukan. Selain itu apabila BPSK melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah demi mendorong kinerja BPSK yang baik hendaknya BPSK tidak dikenakan kewajiban mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.

Di samping itu, ketentuan Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tidak sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK yang menyebutkan bahwa konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan.

Meskipun tujuan utama pendirian BPSK adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, tetapi ini tidak berarti bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan permohonan eksekusinya ke pengadilan. Oleh karena ganti kerugian diberikan untuk kepentingan konsumen, maka yang dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK.

89

Dan dikaitkan dengan Pasal 52 UUPK, maka sudah seharusnya kewajiban untuk mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tidak menjadi tugas dan wewenang dari BPSK karena UUPK sendiri tidak mengatur demikian.

88Ibid., hal. 345. 89Ibid., hal. 348.


(19)

Bapak Drs.H.M.Dharma Bakti Nasution, S.E.,S.H.,M.H. selaku wakil ketua BPSK Kota Medan menjelaskan bahwa proses eksekusi yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri berdasarkan permohonan BPSK Kota Medan dilakukan melalui beberapa tahap, antara lain:90

1. Permohonan pelaksanaan eksekusi atas putusan BPSK Kota Medan.91 2. Pengadilan Negeri Medan melaksanakan pemanggilan para pihak (aan

maning),

3. Kemudian setelah 8 hari maka diadakan pertemuan antara para pihak untuk perdamaian.

4. Apabila perdamaian dinyatakan gagal oleh pengadilan negeri, maka dilaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut sebagai konsekuensi hukum.

Peringatan atau Aanmaning merupakan salah satu syarat pokok eksekusi, tanpa peringatan lebih dulu eksekusi tidak boleh dijalankan. Dan berfungsinya eksekusi secara efektif terhitung sejak tenggang waktu peringatan dilampaui. Peringatan dihubungkan dengan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen) merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri berupa “teguran” kepada tergugat agar tergugat menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo yang ditentukan pengadilan negeri setelah ternyata tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Peringatan atau

annmaning ini mempunyai tenggang waktu peringatan, pasal 196 HIR atau pasal 207 RBG menentukan batas maksimum yakni 8 hari, yang diberikan kepada ketua pengadilan negeri. Pemberian batas masa peringatan dimaksudkan agar si tergugat (pihak yang kalah) menjalankan putusan secara sukarela, dan apabila batas waktu peringatan yang ditentukan dilampaui dan tergugat tetap tidak mau manjalankan putusan, maka sejak saat itu putusan sudah dapat dieksekusi dengan paksa.92

90 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 13.30 WIB.

91 Wawancara dengan Ibu Dana yang merupakan anggota Sekretariat BPSK Kota Medan tanggal 8 Agustus Pukul 11.00 WIB, menyatakan bahwa konsumen meminta pada BPSK untuk mengeluarkan surat pengantar untuk permohonan eksekusi ke pengadilan negeri.


(20)

Dalam hal mengenai putusan BPSK yang dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan negeri, peringatan dilakukan untuk menghadirkan para pihak dan kemudian dipertanyakan apakah para pihak ingin melakukan perdamaian, dan jika tidak, maka dilaksanakanlah eksekusi.

Sebagai lanjutan proses peringatan adalah pengeluaran surat penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang dimana isi dari surat penetapan ini ialah perintah menjalankan eksekusi dan perintah ditujukan kepada panitera atau jurusita ketentuan ini diatur didalam pasal 197 ayat 1 HIR atau pasal 208 ayat 1 RBG. Disamping surat penetapan ini berisi perintah menjalankan eksekusi, surat penetapan itu berisi “penunjukan” nama pejabat yang diperintahkan, dimana penujukan tersbut harus memperhatikan pasal 197 ayat 3 HIR dan pasal 208 ayat 3 RBG yang merupakan syarat bagi pejabat yang ditunjuk menjalankan perintah ekseskusi.93 Kesemua tata cara ekseskusi ini harus dimuat dalam berita acara seperti yang tercantum dalam pasal 197 ayat 5 HIR dan pasal 209 ayat 4 RBG, Dalam pasal tersebut secara tegas memerintahkan pejabat yang menjalankan eksekusi membuat berita acara eksekusi, oleh karena itu tanpa berita acara, eksekusi dianggap tidak sah. Keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara.94

Menurut Bapak Dharma Bakti, BPSK tidak mempunyai lembaga juru sita sebagaimana yang dimiliki oleh pengadilan negeri sehingga putusan BPSK harus ditindaklanjuti oleh BPSK untuk dilaksanakan eksekusinya oleh pengadilan

93Ibid., hal. 32. 94Ibid., hal. 33.


(21)

negeri.95

Menurut Ahsanul Fuad Saragih, S.H. selaku anggota Majelis BPSK dari unsur pelaku usaha, bahwa BPSK memang tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan putusannya, oleh karena itu seharusnya BPSK diberikan amunisi tambahan untuk dapat menjadikan putusannya menjadi putusan yang executable

dengan merevisi pasal-pasal yang mengatur mengenai BPSK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusan BPSK tidak lagi harus dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan negeri.

Hal ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan BPSK menjadikan BPSK tidak dapat secara mandiri melaksanakan eksekusi putusannya, sehingga putusan BPSK yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pelaku usaha harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri.

Namun dalam UUPK dan Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan bahwa BPSK yang wajib mengajukan ke pengadilan negeri. Dan menurut Beliau bahwa hal tersebut keliru, karena seharusnya konsumenlah yang mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri.

96

B. Hambatan dari Peran serta Lembaga Peradilan Umum dalam Memeriksa Upaya Hukum Keberatan

Hambatan yang dialami oleh BPSK adalah mengenai hal yang diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberi peluang kepada para pihak yang

95 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 13.30 WIB.

96 Wawancara pada tanggal 5 September 2011 pukul 15.00 WIB di Ruang Perdata Gedung B Fakultas Hukum USU.


(22)

tidak setuju dengan putusan BPSK, untuk mengajukan keberatan ke pengadilan. Namun UUPK tidak mengatur mekanisme seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, melainkan membuat suatu aturan yang berbeda.

Perlu pula dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia hanya mengenal Perlawanan, Banding dan Kasasi sebagai upaya hukum biasa dan Peninjauan Kembali serta Perlawanan Pihak Ketiga sebagai upaya hukum luar biasa, sedangkan keberatan seperti dimaksud dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK tidak dikenal sebagai suatu upaya hukum dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, harus disepakati bahwa keberatan dalam UUPK tidak dilihat sebagai suatu upaya hukum namun harus dilihat sebagai suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK.97

Dalam hal para pihak sudah memilih penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan cara arbitrase, maka secara yuridis putusan BPSK haruslah dipandang sebagai suatu putusan badan arbitrase. Oleh karena itu, keberatan terhadap putusan BPSK harus ditinjau dan dipertimbangkan dalam konteks keberatan terhadap putusan lembaga arbitrase, sehingga penerapan hukumnya harus memerhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.98

1. Dalam hal diajukan permohonan penetapan eksekusi, atau

Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Namun dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK membuka peluang pengajuan keberatan kepada pengadilan negeri terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK.

UU No . 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya memberi peluang masuknya lembaga peradilan pada 2 kondisi, yaitu:

97 Dedi Harianto, Op.cit., hal. 253. 98 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 326.


(23)

2. Manakala diajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Mengenai permohonan penetapan eksekusi, Pasal 62 UU No. 30 Tahun 1999 mengatur bahwa ketua pengadilan negeri dalam mengeluarkan penetapan eksekusi, harus memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999,99

Oleh karena itu, dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut proses beracara yang disebabkan karena kurang jelasnya pengaturan hukum acara pada UUPK, maka Mahkamah Agung dengan tujuan untuk menyamakan persepsi pada seluruh lembaga peradilan di Indonesia, pada tanggal

serta memastikan bahwa putusan tersebut tidak bertentangan dengan kesusialaan dan ketertiban umum.

Apabila putusan arbitrase tenyata tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka ketua pengadilan negeri dapat menolak mengeluarkan penetapan eksekusi yang berakibat putusan tidak dapat dieksekusi. Putusan pengadilan negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.

99 Pasal 4 UU No. 30 Tahun 1999:

Ayat (1): dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.

Ayat (2): persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. Ayat (3): dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk

pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk saran komunikasi lainnya, wajin disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.

Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999

Ayat (1): sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Ayat (2): sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.


(24)

15 Maret 2006 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

Mahkamah Agung hanya berwenang memberi penjelasan terhadap acara yang tidak jelas, atau undang-undang tidak memberi aturan pelaksanaannya, namun ketentuan PERMA ini tidak mengikat. Dan seperti pendapat dari Bapak Dharma Bakti Nasution, yang menyatakan bahwa mengenai Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK dengan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Kepmenprindag RI tersebut tetap diberlakukan sebagai hukum acara dari UUPK mengenai BPSK, walaupun telah terbitnya PERMA tersebut. 100

PERMA No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK

101

dan dalam hal diajukan keberatan, BPSK bukan merupakan pihak.102 Keberatan diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata.103 Dan dalam hal keberatan diajukan oleh konsumen dan pelaku usaha terhadap putusan BPSK yang sama, maka perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang sama.104

100 Wawancara pada tanggal 7 September 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 13.30 WIB.

101 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

102 Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

103 Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK..

104 Pasal 5 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

Adapun alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan keberatan terhadap putusan arbitrase BPSK adalah apabila memenuhi


(25)

persyaratan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: 105

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;

2. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan;

3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Dalam hal keberatan diajukan atas dasar hal-hal disebut di atas, maka Majelis Hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK.106 Dan dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Majelis Hakim dapat mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan.107

Pengadilan negeri dalam memeriksa keberatan atas putusan BPSK tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap keseluruhan perkara, pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas-berkas perkara

105 Pasal 6 Ayat (3). Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

106 Pasal 6 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

107 Pasal 6 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.


(26)

saja.108 Dan Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang pertama dilakukan.109

C. Efektivitas Pelaksanaan Putusan Sengketa Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Medan

BPSK merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam rangka menyejahterakan masyarakat dari segi perwujudan pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen, karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha/produsen biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.

Pembentukan BPSK didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.

Dengan dibentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang

108 Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.

109 Pasal 6 Ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.


(27)

dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Dengan demikian, maka terciptanya penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, mudah dan murah menjadi tolok ukur tercapainya tujuan dari dibentuknya BPSK.

Menurut Pasal 54 ayat (3) UUPK, putusan BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi, mediasi atau arbitrase, bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu. Sesuai dengan penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK, yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi.

Namun dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK disebutkan bahwa apabila konsumen atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Yang mana dengan demikian akan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa konsumen sekaligus menambah beban biaya perkara yang harus ditanggung oleh para pihak. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif dan menjadi tidak efisien. Dan dalam hal ini pelaku usaha yang memiliki posisi tawar lebih tinggi tidak mengalami kesulitan mengenai pembiayaan karena memang


(28)

mempunyai kekuatan finansial, akan tetapi lain halnya dengan konsumen. Dengan demikian, maka penyelesaian sengketa konsumen menjadi tidak efektif karena harapan dari dibentuknya BPSK untuk dapat mempersembahkan proses penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat cepat, mudah(sederhana) dan murah sulit untuk tercapai. Sehingga efektivitas dari pelaksanaan putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen menjadi diragukan.

Yang mana secara etimologi kata efektivitas dari kata “effective” yang telah mengintervensi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil”, dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Dan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan pelaksanaan hukum itu sendiri. Jadi indikator efektivitas pelaksanaan putusan BPSK adalah dengan terwujudnya penyelesaian sengketa konsumen yang bersifat cepat, mudah(sederhana) dan murah.

Berdasarkan hasil wawancara110

110 Wawancara dilakukan pada tanggal 8 September 2011 pukul 13.40 WIB di KFC Walikota, dan dengan beberapa responden lain wawancara dilakukan melalui pembicaraan telepon selular pada tanggal 8 September 2011 pukul 16.00 WIB.

dengan beberapa konsumen yang pernah mengadukan sengketanya terhadap pelaku usaha kepada BPSK Kota Medan, dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK sudah efektif, dilihat dari segi penyelenggaraan proses penyelesaian sengketa konsumen yang dilaksanakan oleh BPSK, yaitu dari sifat cepat penyelesaian sengketa konsumen, beberapa responden menyatakan bahwa dikeluarkannya putusan oleh BPSK tepat waktu seperti yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, demikian juga dengan pelaksanaan putusannya. Mengenai biaya yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui


(29)

BPSK, menurut responden biaya yang dikeluarkan relatif murah. Dan proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK berjalan dengan sederhana(mudah) karena tata cara yang dilaksanakan tidak terlalu formil seperti yang biasa dilaksanakan di pengadilan, tetapi lebih bernuansa kekeluargaan.

Dan yang menjadi keluhan antara lain:

1. Mengenai infrastuktur dari Sekretariat BPSK Kota Medan, yaitu terkait masalah ruang sidang yang kurang memadai.111

2. Sarana dan fasilitas untuk aparatur BPSK, yaitu hambatan yang dialami oleh anggota Sekretariat saat pengantaran relas putusan misalnya, karena tidak memiliki kendaraan dinas aparatur BPSK harus menggunakan angkutan umum, sehingga kinerja BPSK menjadi kurang efektif dan efisien.112

3. Minimnya sosialisasi yang dilakukan untuk memperkenalkan BPSK kepada masyarakat.

113

4. Budaya masyarakat yang cenderung pasrah.

114

111 Disampaikan oleh responden dari pihak konsumen.

112 Disampaikan oleh Wakil Ketua BPSK, Bapak Drs.H.M.Dharma Bakti, S.E., S.H., M.H. 113 Menurut Bapak Dharma Bakti, beliau selama ini telah mensosialisasikan BPSK dengan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan juga dengan lembaga-lembaga Konsumen lainnya.

114 Menurut Bapak Dharma Bakti, banyak masyarakat yang tidak sadar akan kerugian yang dialaminya. Dan cenderung pasrah karena tidak ingin kerugiannya yang berjumlah kecil dipersengketakan sampai ke pengadilan.


(30)

Analisis terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor 7/PEN/BPSK/2006/MDN (antara Jhon Parlyn Sinaga

Melawan PT. Excelcomindo Pratama)

1. Posisi Kasus

Kasus ini merupakan sengketa konsumen yang terjadi antara Jhon Parlyn Sinaga(selanjutnya disebut Konsumen) dengan PT. Excelcomindo Pratama(XL). Sengketa tersebut terjadi akibat kerugian yang dialami konsumen setelah menggunakan produk layanan telekomunikasi Kartu Prabayar Bebas yang dipromosikan melalui brosur oleh XL yaitu berupa program Tarif Ngirit Malam dengan tarif Rp. 149 per detik saat off peak(23.00 WIB hingga 05.59 WIB) bagi sesame XL. Konsumen sendiri adalah pengguna Xplor ( layanan Pascabayar XL dengan nomor 0819616010). Konsumen menyimpulkan dari brosur yang dikeluarkan XL bahwa tarif yang ditawarkan dalam program tersebut lebih murah dibanding, yang kemudian membeli kartu prabayar Bebas milik XL dengan nomor 08197205894. Namun apa yang dijanjikan dalam program tersebut ternyata tidak terbukti, justru tarif Ngirit Malam lebih mahal disbanding tarif Xplor yang telah dimiliki konsumen sebelumnya. Konsumen berminat untuk membeli kartu Prabayar Bebas atas pertimbangan sebagai berikut:

a. Berdasarkan lembar tagihan Xplor konsumen(0819616010), saat berkomunikasi ke nomor 0819613581 (sesame XL nomor Medan) pada hari kamis(9 Februari 2006) pukul 23.07.25 WIB dengan waktu percakapan 29 detik dikenakan biaya Rp. 157,- . bila dibandingkan dengan


(31)

tarif Ngirit Malam yang memberi harga Rp. 149 per detik pada sesame XL, konsumen bisa menghemat sebesar Rp. 23,7. Dan untuk pemakaian 30 detik seperti tertera dalam tagihan Xplor konsumen bisa menghemat sebesar RP. 29,2.

b. Asumsi lain yang membuktikan bahwa program tarif Ngirit Malam masih tetap lebih hemat disbanding Xplor saat off peak apabila programnya dijalankan, terlihat pada lembar tagihan Xplor milik konsumen pada jum’at (24 Februari 2006) pukul 23.07.30 WIB yang berkomunikasi dengan nomor 0817616010 (sesame XL nomor Bandung) selama 10 detik. Dalam lembar tagihan tercatat biaya sebesar Rp. 145. Bila angka tersebut ditambahkan dengan PPn sebesar 10% maka jumlah tagihan konsumen yang riil sebesar Rp. 159,5. Artinya dengan tarif Ngirit Malam yang ditawarkan kartu Bebas milik XL sebesar Rp. 149 perlindungan 30 detik, telah memberi penghematan sebesar Rp. 10,5 dan bila dihitung dalam durasi 60 detik pemakaian Xplor, mengacu pada angka Rp. 145 per 10 detik, maka tarif yang dibayarkan konsumen plus PPn menjadi sebesar Rp. 957. Dan lewat program tarif Ngirit Malam yang diberikan XL, yang dibayarkan konsumen hanya sebesar Rp. 298 atau dapat berhemat Rp. 659. Pertimbangan tersebut yang menjadi alasan konsumen untuk memutuskan beralih ke kartu Bebas ketika berkomunikasi saat off peak dengan sesama XL yang mulai berlaku sejak 1 April hingga 30 Juni 2006.

Namun kenyataannya setelah dipakai, program tarif Ngirit Malam yang dijanjikan XL dalam brosurnya tidak terbukti. Ini terlihat ketika Minggu(2 April)


(32)

sekitar pukul 02.02 WIB kartu Prabayar Bebas yang dibeli konsumen dipakai berkomunikasi ke nomor 08197205893 dengan waktu percakapan sekitar 23 detik (di bawah 30 detik yang ditetapkan), ketika dicek nilai pulsanya menunjukkan angka Rp. 9.376,- atau berkurang sebesar Rp. 624,- dari pulsa awal Rp. 10.000,-. Seharusnya menurut program tersebut angka yang akan tercatat sebesar Rp. 9.851,- atau hanya berkurang sebesar Rp. 149 seperti yang disebutkan dalam brosur.

Dan untuk membuktikan bahwa XL benar-benar tidak menerapkan program tarif Ngirit Malam tersebut, terlihat ketika konsumen kembali berkomunikasi dengan nomor yang sama (08197205893) dalam waktu sekitar 52 detik ( dua kali durasi yang telah ditetapkan yaitu per 30 detik). Setelah dicek pulsa yang tersisa, tercatat Rp. 8.128,-. Artinya biaya berkomunikasi konsumen selama 52 detik itu sebesar Rp. 1.248. padahal seharusnya bila mengikuti angka yang tertera dalam brosur milik XL hanya sebesar Rp. 298 atau dua kali tarif Rp. 149 per detik.

Dengan demikian konsumen telah dirugikan sebesar Rp. 475 pada komunikasi pertama dan sebesar Rp. 950 pada komunikasi kedua, dan total kerugian konsumen sebesar Rp. 1.425,-. Itu terjadi ketika konsumen berkomunikasi dengan sesama XL nomor Medan.

Sesuai dengan programnya, tarif Ngirit Malam berlaku untuk sesama XL, dalam artian tidak membedakan jarak penelpon dan penerima, sekitar pukul 04.00 WIB pada hari yang sama, nomor prabayar Bebas tersebut digunakan konsumen berkomunikasi ke nomor 0817616010 (sesama nomor XL nomor Bandung,


(33)

termasuk dalam Zona seberang dalam penarifan kartu Xplor). Waktu percakapan yang digunakan konsumen sekitar 15 detik, kemudian dicek pulsa dan tercatat pulsanya menjadi Rp. 7.448,- dari sebelumnya Rp. 8.128,- atau dikenakan biaya sebesar Rp. 680,-. Padahal sesuai dengan isi brosur bahwa tarif Ngirit Malam berlaku bagi sesama XL, seharusnya hanya dikenakan tarif sebesar Rp. 149 per 30 detik karena hanya 15 detik yang digunakan. Dan konsumen mengalami kerugian sebesar Rp. 531,-.

Dan dari beberapa kali kemudian konsumen menggunakan kartu prabayar Bebas milik XL tersebut, setelah diakumulasikan konsumen mengalami kerugian sebesar Rp. 9.054. Namun, meski telah diberitahu mengenai kerugian yang dialami konsumen akibat tidak terbuktinya program tarif Ngirit Malam seperti alam brosur yang disebar XL melalui surat elektronik (e-mail) ke customer service dan korporate communication PT. Excelcomindo Pratama, hingga laporan pengaduan konsumen ini (tanggal pengaduan konsumen adalah 16 April 2006) diajukan kepada BPSK Medan, pihak XL belum juga menyampaikan permohonan maaf baik kepada konsumen maupun kepada public yang merasa dirugikan oleh program tersebut.

Setelah dalam persidangan BPSK para pihak sepakat memilih penyelesaian sengketa dengan cara Arbitrase , maka Pihak XL yang kemudian menjawab pengaduan konsumen tersebut menyatakan bahwa menanggapi keluhan dari konsumen pada tanggal 2 Apil 2006 malam di kantor XL Jalan Diponegoro Medan, pihak XL menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan tanggal cetak untuk program tarif Ngirit Malam yang seharusnya berlaku tanggal 6 April 2006


(34)

tapi ternyata tercetak tanggal 1 April 2006. Dalam pembicaraan tersebut XL telah menyetujui untuk memberikan penawaran kerja sama iklan sebagai bentuk perdamaian atau ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen. Menanggapi tawaran tersebut, konsumen meminta agar pemasalahan ini diselesaiakan melalui mekanisme penyelesaian yang berlaku di BPSK Kota Medan.

Pihak XL pada tanggal 2 April 2006 telah menarik semua brosur yang salah tanggal cetak mulai berlakunya program tarif Ngirit Malam yang sempat beredar di Kota Medan, serta telah menggantinya dengan brosur yang benar pada tanggal 4 April 2006. Pihak XL menyampaikan bahwa telah berkali-kali menawarkan penyelesaian sengketa berdasarkan itikad baik, namun pihak konsumen belum juga menerima tawaran dari pihak XL tersebut.

Dan terhadap jawaban dari pihak XL, konsumen menyatakan tetap pada pengaduannya/gugatannya semula.

Kemudian guna memenuhi bunyi Pasal 54 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 22 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang menyatakan bahwa: “Pembuktian dalam proses Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”, maka pihak XL mengajukan alat bukti surat yaitu Brosur/iklan Tarif Ngirit Malam (TNM) Rp.149/30 detik dimulai tanggal 1 April 2006 hingga 30 Juni 2006, Brosur/iklan Tarif Ngirit Malam (TNM) Rp.149/30 detik telah diubah tanggalnya dari tanggal 1 April menjadi tanggal 6 April hingga 30 Juni 2006. Dan saksi-saksi antara lain Michael AP dan Zainul Syukri serta M.Ali Syahbuddin Harahap yang menyatakan bahwa memang benar


(35)

ada kesalahan cetak terhadap brosur yang pada mulanya dicetak berlaku pada tanggal 1 April hingga 30 Juni 2006 kemudian diubah menjadi berlaku tanggal 6 April 2006 hingga 30 Juni 2006. Bahwa memang benar para saksi menarik brosur yang salah tersebut dari semua agen atas perintah pimpinan perusahaan. Bahwa memang benar brosur yang salah telah beredar 10ribu lembar dan telah ditarik sejumlah 7 ribu lembar, sedangkan sisanya 3 ribu lembar lagi tidak diketahui kemana beredarnya.

Dan tuntutan konsumen yang dimohonkan kepada Ketua BPSK, Cq. Ketua Majelis Hakim BPSK yang memeriksa dan mengadili sengketa ini sebagai berikut:

a. Mengabulkan seluruhnya permohonan pengaduan konsumen.

b. Menyatakan perbuatan PT. Excelcomindo Pratama (XL) adalah perbuatan melawan hukum.

c. Agar pelaku usaha memberi ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) kepada konsumen.

d. Menghukum PT. Excelcomindo Pratama untuk memohon maaf atas kesalahannya secara khusus kepada konsumen dan secara umum kepada semua pelanggan yang dirugikan akibat tidak terbuktinya program tarif Ngirit Malam dalam brosur tersebut, yang dimuat dalam 8 (delapan) media massa terbitan Medan (Medan Bisnis, Analisa, Waspada, SIB, Global, Pos Metro Medan, Sumut Pos, Suara Rakyat Medan) dan 5 (lima) media massa nasional (Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan) berturut-turut


(36)

selama 3 (tiga) hari, karena meski telah diberitahu bahwa program yang terdapat dalam brosur tersebut tidak terbukti, justru pelaku usaha tidak memuat pengumuman di media massa atas kesalahan yang dilakukan.

e. Melakukan pencabutan ijin usaha pelaku usaha, karena memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

2. Pertimbangan Hukum

Berdasarkan jawaban pihak XL secara tertulis maupun lisan di persidangan yang pada pokoknya XL mengakui adanya kesalahan dalam mencetak brosur Tarif Ngirit Malam (TNM) yang dicetak dan diedarkan untuk berlaku tanggal 1 April 2006 yang seharusnya berlaku tanggal 6 April 2006, sedangkan konsumen telah mengkonsumsi/memakai dan menggunakan Tarif Ngirit Malam tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 8 Ayat (1) huruf f dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut”. Majelis BPSK berpendapat bahwa XL membuat brosur/iklan dengan apa yang dijanjikan tidak sesuai dan tidak terlaksana, sehingga XL telah melanggar Pasal 8 Ayat (1) huruf f tersebut.


(37)

Dan apabila dihubungkan dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”. Majelis berpendapat bahwa pelaku usaha juga telah melanggar pasal tersebut.

Apabila dihubungkan dengan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dalam menawakan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengedarkan atau membuat penjelasan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa”.

Mengenai kerugian yang diderita konsumen, majelis mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: “Semua/segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Bahwa yang dimaksud oleh undang-undang-undang-undang “yang telah ada yang tetap berlaku” di antaranya adalah Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”. Yang apabila dihubungkan dengan jawaban pelaku usaha


(38)

bahwa memang benar terjadi kesalahan tersebut adalah karena salah cetak, serta dihubungkan dengan bukti-bukti surat dari konsumen berupa kuitansi pembelian kartu perdana Bebas sebesar Rp. 20.000,- serta tabulasi perhitungan angka kerugian yang dibuat konsumen dalam surat pengaduannya sebesar Rp. 9.054,- tidah dibantah oleh pelaku usaha dan diakui adanya kesalahan tersebut, maka majelis berpendapat bahwa ada kerugian yang diderita oleh konsumen akibat perbuatan pelaku usaha yang jumlahnya menurut keyakinan majelis dan setelah mempertimbangkan rasa keadilan, maka patut an sewajarnya ganti rugi sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).

3. Amar Putusan

-MENGADILI -

1. Menerima pengaduan/gugatan konsumen sebagian.

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha bersalah karena mengedarkan brosur dan iklannya yaitu Tarif Ngirit Malam (TNM) yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf f, Pasal 9 Ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3. Menghukum pelaku usaha untuk tidak memberlakukannya lagi kepada konsumen.

4. Menyatakan adanya kerugian yang diderita oleh konsumen akibat perbuatan pelaku usaha yang menurut keyakinan majelis dan rasa keadilan adalah sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).


(39)

5. Menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada konsumen.

6. Menghukum pelaku usaha untuk membayar denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila lalai/tidak mau melaksanakan keputusan pada poin 4 dan 5 tersebut. Sejak keputusan ini berkekuatan hukum tetap.

7. Menolak gugatan lain dan selebihnya.

Demikian diputuskan pada hari Kamis tanggal 1 Juni 2006.

4. Analisa Kasus

Pasal 19 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab

memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen

akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”,

dan “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian

uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau

perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dapat dilihat Putusan BPSK

Medan yang menyatakan adanya kerugian yang diderita konsumen akibat

perbuatan pelaku usaha sebesar Rp 4.000.000,-(empat juta rupiah) untuk

kemudian menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada

konsumen (sedangkan diketahui bahwa kerugian sebenarnya adalah Rp 9.054,-)

serta menghukum pelaku usaha untuk membayar denda Rp 1.000.000,- (satu juta


(40)

sejak keputusan itu berkekuatan hukum tetap adalah tidak sesuai dengan

ketentuan di dalam pasal 19 ayat (2) UUPK dan tidak sesuai pula dengan Pasal 12

ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350 Tahun

2001.

Pada kasus ini BPSK telah mengeluarkan suatu keputusan agar XL

membayar ganti rugi sebesar Rp 4 juta kepada konsumen tanpa pertimbangan

yang logis yang dapat menyatakan mengenai adanya kesetaraan nilai atas

kerugian yang diderita konsumen. BPSK Medan seharusnya hanya memutuskan

bahwa XL memberikan ganti rugi seharga setara dengan nilai kartu perdana yang

dibeli oleh konsumen atau pulsa yang sudah dipergunakan oleh konsumen, tidak


(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bahwasannya sejak berdirinya BPSK di Kota Medan memang telah menghadapi berbagai tantangan, seperti masalah eksistensi BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang merupakan produk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang membutuhkan sosialisasi kepada masyarakat. Dan selama ini BPSK sudah berusaha untuk memperkenalkan BPSK kepada masyarakat melalui media-media, baik itu media elektronik seperti televisi, radio, maupun media cetak. BPSK juga sudah bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan lembaga-lembaga perlindungan konsumen lainnya.

2. Hambatan yang dialami oleh BPSK pada pelaksanaan permohonan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri, yaitu mengenai pihak yang harus mengajukan permohonan tersebut. Menurut hukum acara perdata yang seharusnya mengajukan permohonan penetapan eksekusi adalah pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim, dalam hal ini adalah konsumen. Namun Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK yang telah final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Hal ini


(42)

akan menambah beban kerja dari BPSK, selain memang di dalam Pasal 52 UUPK tidak disebutkan bahwa pengajuan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri terhadap putusan BPSK adalah merupakan tugas BPSK.

3. Yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan BPSK adalah tidak dimilikinya lembaga juru sita oleh BPSK seperti yang dimiliki oleh pengadilan umum menjadikan BPSK tidak dapat secara mandiri melaksanakan eksekusi putusannya, sehingga putusan BPSK yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pelaku usaha harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri.

4. Peran serta lembaga peradilan umum dalam memeriksa upaya hukum keberatan menjadikan putusan arbitrase BPSK dipertanyakan kekuatan hukumnya. Padahal seharusnya para pihak yang sudah memilih penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan cara arbitrase, maka secara yuridis putusan BPSK haruslah dipandang sebagai suatu putusan badan arbitrase. Yang mana putusan arbitrase tersebut harus dilaksanakan para pihak karena para pihaklah yang telah memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui cara arbitrase. Hal ini menjadikan putusan arbitrase BPSK menjadi tidak final dan mengikat.

5. Dan pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan putusan BPSK sudah efektif dengan segala keterbatasannya, namun masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki untuk meningkatkan efektivitas dari pelaksanaan putusan BPSK.


(43)

B. Saran

1. Melihat adanya kebingungan mengenai prosedur arbitrase di BPSK maka penulis menyarankan seharusnya tata cara arbitrase dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menyeragamkan pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase agar tidak terjadi kebingungan yang dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan putusan BPSK.

2. Adanya peraturan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang BPSK yang justru menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaannya, oleh karena itu penulis menyarankan agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berkaitan tentang BPSK agar tidak perlu diterbitkan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang bertujuan demi kelancaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri sehingga pelaksanaannya menjadi lebih efektif.

3. Melihat masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai BPSK, sudah selayaknya pemerintah lebih gencar mengkampanyekan BPSK melalui berbagai media.

4. Berkaitan harus dimintakannya penetapan eksekusi terhadap putusan BPSK ke pengadilan negeri, saran penulis adalah pemerintah membentuk lembaga juru sita untuk BPSK demi menjamin hak-hak


(44)

konsumen yang merupakan tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusannya tidak lagi harus dimintakan penetapan eksekusi ke pengadilan negeri.


(45)

BAB II

MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN

A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen ke sekretariat BPSK.32

a. Konsumen yang bersangkutan telah meninggal dunia;

Pelaku usaha juga dapat melakukan hal yang sama.

Surat permohonan tersebut dapat berupa permohonan secara tertulis atau secara lisan. Permohonan yang diajukan oleh ahli waris dan kuasanya dilakukan bilamana:

b. Konsumen sakit atau telah lanjut usia, sehingga tidak dapat diajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP);

c. Konsumen belum dewasa sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;

d. Konsumen warga negara asing.33

32 Pasal 15 ayat (1) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

33 Pasal 15 ayat (3) sub d, Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.


(46)

Permohonan yang dibuat secara tertulis diberikan bukti tanda terima oleh sekretariat BPSK kepada pemohon.34 Sedangkan permohonan yang dibuat secara tidak tertulis harus dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu formulir yang disediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima.35 Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik yang tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.36

Pengaduan konsumen dapat dilakukan di tempat BPSK yang terdekat dengan domisili konsumen.

37

a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya memang diajukan secara tertulis dengan memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan, karena dapat dijadikan tanda bukti bahwa permohonan sudah diajukan.

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen harus memuat secara benar dan lengkap mengenai:

b. nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. barang atau jasa yang diadukan;

d. bukti perolehan (bon, faktur, kuitansi dan dokumen bukti lain);

34 Pasal 15 ayat (4), Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK

35 Pasal 15 ayat (5) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK

36 Pasal 15 ayat (6) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.


(47)

e. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut; f. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

g. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan (jika ada).38

Terhadap formulir pengaduan penyelesaian sengketa konsumen konsumen dilakukan penelitian yang meliputi penelitian kelengkapan formulir pengaduan dan bukti-bukti pendukung.39

Data pengaduan yang diterima secara benar dan lengkap diajukan oleh kepala sekretaiat kepada ketua BPSK, selanjutnya ketua BPSK membuat surat panggilan kepada tergugat dan pengguagat agar hadir pada sidang pertama. Ketua BPSK juga harus membentuk majelis dan menunjuk panitera, hal ini harus dilakukan sebelum sidang pertama. Bagi pengaduan yang tidak lengkap, pengaduan tersebut dikembalikan kepada pengadu untuk dilengkapi.

40

Ketentuan Pasal 17 tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Pedoman Operasional BPSK yang dikelurkan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan, yaitu menjadi:

Pasal 17 Kepmenprindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen, apabila permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350 Tahun 2001 atau permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.

41

a. Setiap permohonan secara tertulis tidak dapat diterima, apabila tidak disertai dengan bukti-bukti secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350 Tahun 2001.

38 Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

39 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 153.

40 Ibid.,


(48)

b. Setiap permohonan pengaduan secara lisan tidak dapat diterima bilamana tidak mengisi dan menyerahkan formulir pengaduan pada angka 1 di atas. Formulir dibuat dalam rangkap 4.

c. Pengaduan yang bukan merupakan kewenangan BPSK tidak dapat diterima meskipun penggugatnya konsumen akhir, adalah:

1) Tergugatnya adalah lembaga atau instansi pemerintah baik sipil maupun militer (contohnya dalam masalah SIUP, KTP, sertifikat, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain-lain).

2) Barang atau jasa yang dikonsumsi, secara hukum dilarang untuk dikonsumsi atau diperdagangkan (contohnya dalam masalah narkoba, barang purbakala, jasa kenikmatan yang dilarang, dan lain-lain).

3) Kasus pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha.

d. Pengadu yang bukan konsumen akhir atau gugatan joinder tidak dapat diterima oleh BPSK.

e. Pelaku usaha tidak boleh mengajukan gugatan kepada konsumen melalui BPSK.


(49)

SKEMA 2.1

Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK

B. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa Konsumen

Diaturnya ketentuan mengenai pembatasan jangka waktu dalam UUPK yang menyangkut tentang penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK merupakan solusi yang cukup baik untuk menghindari proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut atau mengendap di lingkungan BPSK. Pasal 55 UUPK menyebutkan bahwa BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat


(50)

dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Namun berdasarkan wawancara42

Ketentuan Pasal 56 Ayat (1) yang menetapkan jangka waktu pelaksanaan putusan 7 (tujuh) hari, lebih singkat daripada jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) yaitu 14 (empat belas) hari, merupakan suatu kekeliruan. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin pelaku usaha melaksanakan putusan jika secara hukum belum dapat dianggap menerima putusan, karena belum habis masa untuk mengajukan keberatan, yaitu 14 (empat belas) hari.

dengan Ibu Dana yang merupakan anggota sekretariat BPSK Kota Medan, menyatakan bahwa penerapan jangka waktu ini tidak selalu dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja BPSK belum dapat mengeluarkan putusan dikarenakan dalam beberapa perkara sengketa konsumen, para pihak tidak selalu telah siap dengan alat bukti.

Pada Pasal 56 Ayat (1) ditentukan bahwa dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUPK pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut, Pasal 56 Ayat (2) menentukan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

43

42 Wawancara pada tanggal 8 Agustus 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 11.00 WIB.

43 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” (PT. RajaGrafindo Persada), Jakarta, 2004, hal.262.

Pasal 41 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa:


(51)

(1) Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. (2) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan

BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK.

(3) Konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan.

(4) Pelaku usaha yang menyatakan menerima keputusan BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK.

(5) Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) setelah batas waktu dalam ayat (4) dilampaui, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui.

(6) Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud ayat (5), maka BPSK menyerahkan putusan


(52)

tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Pasal 56 Ayat (2) UUP K para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan BPSK. Atas pengajuan keberatan dimaksud, Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.44 Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.45 Mahkamah Agung RI wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.46

C. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

dan Kepaniteraan

Susunan majelis BPSK adalah ganjil yaitu minimal 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud Pasal 54 ayat (2) UUPK yang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum. 47

44 Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 45 Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 46 Pasal 58 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 47 Pasal 18 Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

Pasal 54 ayat (4) UUPK memberikan kewenangan kepada menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk membuat ketentuan teknis tentang


(53)

Pelaksanaan Tugas Majelis BPSK di mana ketentuan yang dimaksud ialah Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2002.

Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan oleh majelis yang dibentuk berdasarkan keputusan ketua BPSK dan dibantu oleh panitera. Jumlah anggota majelis BPSK harus ganjil dan minimal 3 (tiga) orang yang mewakili unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha yang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum. Ketua majelis BPSK ditetapkan dari unsur pemerintah. Jadi anggota majelis BPSK harus ada yang berpendidikan Sarjana Hukum (S.H) tidak peduli asal unsur yang diwakilinya, sedangkan ketua majelis BPSK harus dari unsur pemerintah, meskipun tidak berpendidikan Sarjana Hukum. 48

Dalam menjalankan tugasnya, majelis dibantu oleh seorang panitera. Panitera berasal dari anggota sekretariat BPSK yang ditunjuk dengan surat penetapan ketua BPSK.49

Tugas panitera meliputi:

50

a. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen.

b. Menyimpan berkas laporan. c. Menjaga barang bukti.

d. Membantu majelis menyusun putusan.

e. Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha. f. Membuat berita acara persidangan.

g. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa konsumen.

48 Yusuf Shofie, “Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukumnya” (PT. Citra Aditya Bakti), Jakarta, 2003, hal.31-32.

49 Pasal 19 ayat (1) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

50 Pasal 19 ayat (2) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.


(54)

Terdapat kewajiban pada ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK atau panitera untuk mengundurkan diri, baik atas permintaan ataupun tanpa permintaan ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK atau pihak yang bersengketa, jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami-istri meskipun telah bercerai, dengan pihak yang bersengketa. Khusus panitera, diminta ataupun tidak mengundurkan diri oleh ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK atau pihak yang bersengketa, sudah pada tempatnya ia mengundurkan diri karena alas an tersebut, apalagi sudah ditegaskan adanya kewajiban tersebut. Jadi, diminta ataupun tidak oleh pihak-pihak yng telah ditentukan secara limitatif itu, panitera harus tetap mengundurkan diri jika dipenuhinya alasan tersebut. 51

D. Proses Pengambilan Keputusan Sengketa Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK tidak berjenjang. Para pihak dibebaskan untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang mereka inginkan. Setelah para pihak menyetujui cara apa yang akan digunakan, maka para pihak wajib mengikutinya. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara yang ada di BPSK, maka majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang ada.


(55)

SKEMA 2.2

Proses Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa

1. Melalui Cara Konsiliasi

Dalam Pasal 1 butir 9 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/KEP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan “Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”.

Konsiliasi adalah suatu bentuk proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada proses tersebut dilibatkan pihak lain di luar pihak yang sedang bersengketa, pihak lain tersebut bertindak sebagai konsiliator yang bersikap pasif.


(56)

Pada sengketa konsumen, yang bertindak sebagai konsiliator adalah majelis yang telah disetujui oleh BPSK. Tujuan dilibatkannya konsiliator adalah agar dapat dengan mudah tercapai kata sepakat atas pemasalahan yang terjadi. Adanya konsiliator yang memilliki latar belakang pengetahuan mengenai konsumen tentunya akan dapat mempermudah para pihak untuk mencapai kata sepakat. 52

Proses dan tahapan yang harus dilalui oleh para pihak yang telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui konsiliasi, sebagai berikut:

Konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwewenang memutus perkaranya. Dalam hal ini majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya. Terhadap usulan konsiliator, para pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa.

53

a. Konsumen yang merasa dirugikan atau ahli waris atau kuasanya atau wali, terlebih dahulu harus mengajukan pengaduan untuk menyelesaikan sengketa kepada BPSK, baik secara lisan maupun secara tertulis;

b. Setelah segala persyaratan untuk membuat pengaduan dipenuhi oleh konsumen, Sekretariat BPSK melaporkan pengaduan tersebut kepada ketua BPSK;

c. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari, ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis dengan melampirkan salinan pengaduan;

52 Jimmy Joses Sembiring, Op.cit., hal. 181. 53Ibid.,


(57)

d. Surat panggilan yang ditujukan kepada pelaku usaha berisikan tentang hari, jam, tanggal dan tempat persidangan sengketa konsumen dan terhadap panggilan tersebut, pelaku usaha wajib untuk memberikan surat jawaban atas aduan tersebut dan menyampaikan surat jawaban tersebut pada hari sidang pertama;

e. Acara pemeriksaan dilakukan oleh majelis yang terdiri atas tiga orang yang merupakan unsur dari pemerintah, pelaku usaha dan konsumen dengan dibantu oleh seorang panitera;

f. Pada pemeriksaan tersebut, majelis bersikap pasif dan hanya memberikan pendapat atas pertanyaan dari para pihak yang bersengketa mengenai peraturan-peraturan dan ketentuan perundangn-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;

g. Pelaku usaha harus dapat mengajukan alat-alat bukti untuk memperkuat argument masing-masing. Alat-alat bukti tersebut dapat berupa barang, keterangan dari para pihak, keterangan saksi dan/atau saksi ahli, surat maupun dokumen lain yang berhubungan dengan sengketa;

h. Proses persidangan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa sehingga para pihaklah yang menentukan bentuk maupun jumlah dari ganti rugi. Apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak, maka majelis akan membuat keputusan selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari sejak permohonan diterima;


(58)

i. Para pihak harus membuat perjanjian penyelesaian sengketa secara tertulis apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh seluruh majelis dan ketua majelis.

Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.54 Keputusan yang dibuat oleh majelis tersebut tidak memuat sanksi administratif. 55

2. Melalui Cara Mediasi

Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. 56

Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peran penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika

54 Pasal 37 Ayat (1) dan Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001.

55 Pasal 37 Ayat (3) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.


(1)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang masih

memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis sehingga penulis

akhirnya dapat merampungkan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga tidak lupa

penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. yang merupakan sosok yang

diidolakan oleh penulis.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orang yang masih sadar bahwa

konsumen adalah warga negara yang hak-haknya harus dijamin terlindungi oleh

negara. Di mana penyelenggara negara adalah pemerintah yang notabenenya

merupakan pelayan rakyat di negara yang masih percaya akan arti demokrasi

seperti Indonesia.

Di dalam pengerjaan skripsi ini sendiri banyak pihak yang membantu

penulis sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan dalam

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

USU.

2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum USU.

3. Kakanda Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen

Hukum Perdata Fakultas Hukum USU sekaligus Dosen Pembimbing I


(2)

4. Kakanda Edy Ikhsan, S.H., M.A. selaku Dosen Pembimbing yang berkat

bimbingannyalah penulis dapat menghasilkan suatu karya penelitian ini.

5. Kakanda Ahsanul Fuad Saragih, S.H. yang telah memberikan arahan

dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Kedua orang tuaku, Nyanyak dan Abah yang selalu memberikan dukungan

dan motivasi untuk memberikan dan melakukan yang terbaik selama masa

pendidikan di Fakultas Hukum USU ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang memberikan ilmu dan arahan dalam

melakukan aktifitas selama masa pendidikan, semoga ilmu yang diberikan

akan berguna bagi penulis untuk dapat terus berjuang melawan

penindasan.

8. Seluruh teman-teman dan sahabat stambuk 2007, Ami, Wina, Ninda,

Karin, Ferdiansyah(kakek), Babet Unggul, Pepiitoo, Dedek Ferdian

Dedek, Uciin, Mita, Dian, Helen, Agnez, Andi Sitorus(yang sama2

berjuang agar bisa selesai sama2), Cardo, Ermel, Dinda, Rini(Jolee),

Dinan, Dipoomagto, Hendri(asun ponsel), Akmal, Farid, Anggi Ale2 dan

lain-lain, yang selama ini telah mengalami suka duka bersama penulis.

9. Seluruh keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Hukum USU, Pengurus

periode 2009-2010, Pengurus periode 2010-2011, Pengurus KOHATI

periode 2010-2011, Presidium KOHATI-Icha, Maya, Septi, Bitha, Tika,

Juni, Manda, Sari, Dayah, dan seluruh anggota KOHATI ( KOHATI Terus

Berjuang!!! Gak perlu besar untuk melakukan perubahan, biarkan kecil


(3)

10.Adinda-adindaku di Fakultas Hukum, Izma, Tia, Tiesa, Nurul, Tasha,

Rani, Ratih, Dedek, Angga, Hamdan, Hary, Agung, Yusuf, Fadil, Fadlan,

Ihsan, Purnomo, Frans, Abdul, bagus-bagus kelen kuliah, tapi jangan lupa

ma organisasi..!!!

11.Untuk dia yang selalu berada di alam bawah sadarku, yang tak hilang di

alam sadar, yang selalu memberikan pengarahan dan pengaruh..

12.Untuk mahasiswa yang masih tulus memekikkan “Hidup mahasiswa!!!”

Dalam kesempatan ini penulis juga berharap bahwa penelitian skripsi ini

dapat berguna dan menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Medan, 10 September 2011

Penulis,


(4)

ABSTRAKSI

Skripsi yang berjudul “Efektivitas Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen” ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengambilan putusan sengketa konsumen oleh BPSK dan bagaimana upaya hukum terhadap putusan tesebut serta apa saja yang menjadi hambatan yang dihadapi BPSK dalam pelaksanaan putusannya. Topik ini diajukan dengan alasan penting: pertama, sesuai dengan hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang salah satunya menyebutkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut; kedua, dibentuknya BPSK sebagai upaya pemerintah dalam rangka menyejahterakan masyarakat dari segi perwujudan pemerataan keadilan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen; ketiga, dibentuknya BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat, mudah, dan murah; keempat, untuk mengetahui pelaksanaan dari putusan BPSK dan hambatannya di BPSK Kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, yaitu melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, dan untuk memperoleh data pendukung dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang mengetahui masalah yang menjadi objek penelitian.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan putusan BPSK sudah efektif sesuai dengan harapan dibentuknya BPSK yaitu menyelenggarakan penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, mudah dan murah. Di samping adanya beberapa hambatan yang dapat mempengaruhi implementasi putusan BPSK, yaitu hambatan pada pelaksanaan permohonan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri, dan selain itu peran serta lembaga peradilan umum dalam memeriksa upaya keberatan menjadikan putusan arbitrase BPSK dipertanyakan kekuatan hukumnya, sehingga perlu dilakukan revisi peraturan yang mengatur tentang BPSK.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan revolusi peraturan perundang perlindungan hak-hak konsumen. Yang mana harus disadari benar-benar oleh pihak penyelenggara negara bahwa konsumen adalah rakyat yang perlindungan terhadap hak-haknya merupakan tanggung jawab negara.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSI ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan dan Manfaat ... 14

D. Keaslian Penulisan ... 15

E. Tinjauan Kepustakaan ... 15

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 23

B. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 27

C. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Kepaniteraan ... 30

D. Proses Pengambilan Keputusan Sengketa Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 32

1. Melalui Cara Konsiliasi ... 33

2. Melalui Cara Mediasi ... 36

3. Melalui Cara Arbitrase ... 39

BAB III UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Kekuatan Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 46


(6)

B. Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) ... 47 C. Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Di BPSK Medan Sejak Berdirinya ... 50 D. Proses Peralihan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ke Pengadilan Negeri 53

BAB IV HAMBATAN DAN EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A. Hambatan dalam Pelaksanaan Permohonan Eksekusi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 56 B. Hambatan dari Peran Serta Lembaga Peradilan Umum dalam

Memeriksa Upaya Hukum Keberatan ... 60 C. Efektivitas Pelaksanaan Putusan Sengketa Konsumen di Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Medan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA ... 86 LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN I Daftar Wawancara ... 87 LAMPIRAN II Salinan Putusan Arbitrase BPSK Kota Medan

LAMPIRAN III Formulir Pengaduan Konsumen