PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG (Studi kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya).

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

HENGKI ADI PRASETYA NPM. 0771010138

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA 2011


(2)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG

(Studi kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya)

Disusun oleh :

HENGKI ADI PRASETYA

NPM. 0771010138

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

MENGETAHUI DEKAN

Hariyo Sulistiyantoro.S.H.,MM. NIP. 19620625 199103 1 001

PEMBIMBING UTAMA

Subani, SH, M.Si.

NIP. 19510504 198303 1 001

PEMBIMBING PENDAMPING

MAS ANIENDA TIEN F., SH., MH. NPT. 3 7709 07 0223


(3)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG

(Studi kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya)

Disusun oleh :

HENGKI ADI PRASETYA

NPM. 0771010138

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur Pada tanggal : 13 Mei 2011

Tim Penguji : Tanda Tangan

1. H. Sutrisno.S.H.,M.Hum. : (...)

NIP. 19601212 198803 1 001

2. Hariyo Sulistiyantoro.S.H.,MM. : (...) NIP. 19620625 199103 1 001

3. Subani SH, MSi. : (...)

NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui DEKAN

Hariyo Sulistiyantoro.S.H.,MM. NIP. 19620625 199103 1 001


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Hengki Adi Prasetya

Tempat/Tgl Lahir : Gresik / 27 Juni 1989

NPM : 0771010138

Konsentrasi : Perdata

Alamat : Jl. Semolowaru Utara 8/15, Surabaya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul :

“PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG (Studi kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya)“

dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat).

Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka, saya bersedia dituntut di depan pengadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui Surabaya, 31 Mei 2011

KAPROGDI Penulis

Subani, SH, M.Si. Hengki Adi Prasetya


(5)

Alhamdulillah puji syukur yang sedalam-dalamnya penyusun panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG (studi kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya)“.

Skripsi ini disusun dalam rangka untuk melengkapi salah satu syarat guna menyelesaikan sarjana hukum program studi Strata I Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional " Veteran " Jawa Timur. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan bimbingan serta saran yang sangat berharga kepada :

1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H., MM., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur .

3. Bapak Drs. Ec. Gendut Sukarno, MS., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur .

4. Bapak Subani, S.H., M.Si., selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, serta selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik.


(6)

pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik. 6. Bapak Didik Sahadi M.Si., selaku ketua Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) Surabaya, yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan data yang dibutuhkan penyusun guna menyelesaikan skripsi ini serta seluruh pegawai BPSK Surabaya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, atas kerjasamanya dalam pelaksanaan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

8. Bapak Sariyanto selaku Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

9. Kedua orang tua tercinta, adik Adi D.Yulianto., adik Nizzar A.Sayidan., serta seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil serta doanya selama ini.

10.Sahabat-sahabat tercinta, Tigor, Koko, Dani, Wimar, Yuda, Ajeng, Adit, Gita, Permana, serta seluruh Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah membantu dan memberikan saran sebagai masukan di dalam pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, untuk itu segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun sangat penulis perlukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.


(7)

Allah SWT. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Surabaya, 31 Mei 2011


(8)

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN REVISI ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... ix

ABSTRAKSI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Kajian Pustaka ... 6

1.5.1. Pengertian Konsumen ... 6

1.5.2. Pengertian Pelaku Usaha ... 10

1.5.3. Perlindungan Konsumen ... 14

a). Azas Perlindungan Konsumen... 14

b). Tujuan Perlindungan Konsumen…... 15

1.5.4. Pengertian produk….. ... 17

1.5.5. Cacat produk……….. ... 18

1.6. Metode Penelitian ... 20


(9)

2). Bahan Hukum Sekunder ... 21

3). Bahan Hukum Tersier ... 22

1.6.3. Metode Pengumpulan Data ... 22

1.6.4. Metode Analisis Data ... 22

1.7. Lokasi Penelitian ... 23

1.8. Waktu Penelitian ... 23

1.9. Sistematika Penulisan ... … 23

BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG ... 25

2.1. Produk Cacat Carang ... 25

2.2. Tanggung Jawab Produk ... 29

2.3. Sanksi ... 34

BAB III UPAYA-UPAYA HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG… ... 39

3.1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan ... 40

3.2. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan ... 45

BAB IV PENUTUP ... 53

4.1. Kesimpulan ... 53

4.2. Saran…… ... 53

DAFTAR PUSTAKA…. ... 55


(10)

Nama Mahasiswa : HENGKI ADI PRASETYA

NPM : 0771010138

Tempat Tanggal Lahir : Gresik, 27 Juni 1989

Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG

CACAT BARANG

(Studi Kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya)

ABSTRAKSI

Sebagai pihak yang lemah, konsumen perlu mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap konsumen dirasa sangat penting mengingat masih dapat diketemukannya produk cacat dipasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bentuk perlindungan hukum bagi pihak konsumen terhadap produk yang cacat barang serta untuk mengetahui bagaimana bentuk upaya hukum dalam penyelesaian sengketa konsumen bila mengalami kerugian akibat produk yang cacat barang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama penelitian ini. Sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan menggunakan studi kepustakaan, perolehan bahan hukum melalui penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan cara metode diskriptif analisis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen yang mengalami kerugian akibat cacat produk dapat menuntut ganti kerugian sebagai tanggung jawab produk pelaku usaha. Selain itu, terdapat sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang telah merugikan konsumen akibat cacat produk tersebut sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Adapun upaya hukum yang ditempuh oleh konsumen yang mengalami kerugian akibat cacat produk yaitu dapat melalui litigasi maupun non litigasi. Dalam kasus yang penulis angkat, proses penyelesaiannya menggunakan non litigasi yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan kepada BPSK serta pihak-pihak yang terkait agar lebih tegas dalam menyelesaikan masalah konsumen dan menerapkan hak-hak yang diberikan undang-undang kepada konsumen.


(11)

 

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan perekonomian nasional yang diarahkan untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha, akan mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan jasa yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian bagi konsumen.

Perkembangan ekonomi yang pesat menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplomenter satu terhadap lainnya. Dengan perkembangan produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produk domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.

Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal atau sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal


(12)

 

ini, pada satu sisi menguntungkan masyarakat karena tersedianya barang dan/atau jasa kebutuhan mereka, tetapi dari sisi lain menyangkut mutu, syarat-syarat penjualan dan pelayanan kondisi purna jual dari barang atau jasa konsumen, dan kondisi konsumen yang pada umunya lemah. 1

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan posisi konsumen lemah yaitu antara lain:

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya.

2. Belum terkondisikannya “masyarakat konsumen” karena memang sebagian masyarakat ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan kemana hak-haknya dapat disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya.

3. Belum terkondisikannya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan untuk menuntut hak-haknya.

4. Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu berkepanjangan. 5. Posisi konsumen yang selalu lemah.2

Sebagai pihak yang lemah, konsumen perlu mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor pergerakan produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. di Indonesia, perlindungan konsumen merupakan suatu keharusan yang wajib untuk ditingkatkan mengingat pada dasarnya setiap orang di Indonesia merupakan konsumen. 3

      

1

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 22

2

 Happy Susanto, Hah-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Seri Panduan Praktis, Visimedia, Jakarta Selatan, 2008, hal 29-30

3 


(13)

 

Sebagaimana kita ketahui, dari keterbukaan ruang arus perdagangan barang dan/ jasa akan memberikan begitu banyak tantangan baik sebagai konsumen, produsen/pengusaha ataupun pemerintah, salah satu aspeknya adalah bahwa akan semakin meningkat permasalahan perlindungan konsumen.4 Permasalahan yang menyangkut tentang perlindungan konsumen begitu kompeks apalagi sekarang dengan semakin berkembangnya alat komunikasi seperti internet yang belakangan ini sangat marak sekali tanpa pandang usia pemakainya menyebabkan perubahan terhadap pola hidup masyarakat terutama di kota-kota besar yang menginginkan serba cepat dan efisien dalam mengkonsumsi suatu barang dan / atau jasa.

Salah satu barang yang dewasa ini dapat membantu efisiensi dalam berkomunikasi dan sangat pesat perkembangannya yaitu alat komunikasi telepon gengam atau handphone. Berbagai merk telah hadir di tengah-tengah masyarakat, mulai dari merk global yang lebih terdahulu dikenal masyarakat, hingga merk-merk lokal buatan Tiongkok yang akhir-akhir ini membanjiri pasar handphone di tanah air.

Hal ini sepatutnya diiringi dengan kualitas terhadap barang tersebut mengingat alat komunikasi adalah hal penting bagi kebanyakan orang. Tetapi akibat perang harga yang berlomba- lomba memberikan harga termurah, pada akhirnya kualitas dikesampingkan, dengan harapan biaya produksinya dapat

      

4

Husni Syawali, Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 6


(14)

 

ditekan seminimal mungkin supaya menjadi harga yang termurah dan cepat laku dipasaran sehingga dapat bersaing dengan merk-merk yang lain.

Akhirnya, pihak konsumenlah yang dirugikan. Hal ini dapat diketahui dari peristiwa yang merugikan konsumen dan pernah diadukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Surabaya yaitu salah satu handphone bermerk lokal buatan Tiongkok. Pihak konsumen merasa bahwa produk yang telah dibelinya terdapat cacat produk karena tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Dari kasus tersebut diatas, konsumen sebagai pihak yang lemah perlu mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan konsumen di Indonesia merupakan suatu keharusan yang wajib untuk ditingkatkan mengingat pada dasarnya setiap orang di Indonesia adalah konsumen, dan pada masalah ini kebanyakan orang Indonesia adalah pengguna telepon genggam.

Berpijak dari peristiwa-peristiwa yang banyak merugikan konsumen di Indonesia, maka pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat Indonesia dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi yang tegas. Mengingat dampak penting yang dapat ditimbukan akibat tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, di


(15)

 

samping ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen belum memadai. 5

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/ jasa yang berkualitas. 1.2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka pembahasan dalam Proposal yang berjudul “ Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Yang

Cacat Barang“, akan dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pihak konsumen terhadap produk yang cacat barang?

2) Bagaimana bentuk upaya hukum yang dapat dilakukan untuk penyelesaian sengketa konsumen bila mengalami kerugian akibat produk yang cacat barang?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk :

1) Mengetahui tentang bentuk perlindungan hukum bagi pihak konsumen terhadap produk yang cacat barang.

      

5

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Pernada Group, Jakarta, 2008, hal. 2


(16)

 

2) Mengetahui bagaimana bentuk upaya hukum dalam penyelesaian sengketa konsumen bila mengalami kerugian akibat produk yang cacat barang.

1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya terkait mengenai bentuk perlindungan hukum bagi pihak konsumen terhadap produk yang cacat barang.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum perdata khususnya bagi hakim, pengacara, pengugat, ketika mengajukan upaya hukum yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa konsumen.

1.5. Kajian Pustaka

Tinjauan Umum mengenai konsumen, pelaku usaha, perlindungan konsumen, pengertian produk serta cacat produk.

1.5.1. Pengertian Konsumen.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Menurut UUPK pasal 1 ayat 2, “konsumen adalah setiap orang pemakai


(17)

 

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Dari definisi yuridis formal diatas, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya.

Sebelum muncul UUPK, yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000 praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam garis-garis besar haluan negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut.

Diantara ketentuan normatif itu, terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU ini memuat suatu definisi tentang konsumen, Yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Isitilah lain yang sedikit dekat dengan konsumen adalah ”pembeli”. Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 6

       6


(18)

 

Adapun yang memberikan arti lain, yaitu konsumen berasal dari

”consumer”, secara harfiah berarti seseorang atau suatu perusahaan yang

membeli barang atau menggunakan jasa atau seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang-barang tertentu atau menggunakan persediaan atau sejumlah barang. 7

Sebagai konsumen barang dan jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap konsumen, konsumen secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya.8

Berdasarkan UUPK pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut: a. Hak atas kenyamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi

barang/jasa.

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi seta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

       7

Az. Nasution, op.cit., h. 69

8


(19)

 

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya.

Disamping hak-hak konsumen yang telah disebutkan diatas, konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam UUPK pasal 5, dinyatakan bahwa kewajiban konsumen sebagai berikut.

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/ jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan asalkan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku.

Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dengan cara demikian, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan


(20)

 

menimpanya. Untuk itulah, perhatian terhadap kewajiban sama pentingnya dengan perhatian terhadap hak-haknya sebagai konsumen. 9

Adapun terjadi pelanggaran terhadap hak konsumen, akan dikenakan sanksi. Pada dasarnya, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha adalah hubungan hukum keperdataan, tapi UUPK juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar hak-hak konsumen.10 Sebagaimana disebutkan dalam UUPK pasal 45 ayat 3, “Penyelesaian

sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang”.

1.5.2. Pelaku Usaha.

Berdasarkan UUPK pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa “pelaku

usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain-lain. Dengan demikian, pelaku usaha tidak

      

9

Ibid, hal 28 10


(21)

 

hanya diartikan sebagai pihak pembuat yang menghasikan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ketangan konsumen.

Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari telaah terhadap hak-hak dan kewajiban produsen. Berdasarkan Directive, pengertian “produsen” meliputi:11

(1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya.

(2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk.

(3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain dalam produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.

Dalam pasal 6 UUPK, produsen disebut sebagai pelaku usaha mempunyai hak sebagai berikut:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

      

11


(22)

 

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Disamping hak-hak pelaku usaha yang telah disebutkan diatas, pelaku usaha juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam UUPK pasal 7, dinyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau


(23)

 

jasa. Itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk, yang akan sangat merugikan kosumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.

Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi terhadap suatu produk. Selain representasi, peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu


(24)

 

produk yang merupakan informasi bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan penggunaan produk. 1.5.3. Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan UUPK pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak kosumen. Dengan adanya UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dengan demikian konsumen dapat menggugat atau menuntut apabila ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. 12

Upaya perlindungan konsumen didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam penerapannya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

      

12


(25)

 

a. Asas Perlindungan Konsumen

Berdasarkan UUPK pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen. 1) Asas Manfaat

Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2) Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3) Asas Keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.

4) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5) Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. b. Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam UUPK pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut.

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang/jasa.

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,


(26)

 

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6) Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.13

Upaya mewujudkan tujuan tersebut tidak mudah, karena kendala yang dihadapi tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan hak-haknya, tetapi juga adanya persepsi yang salah dikalangan sebagian besar pelaku usaha bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap pelaku usaha. 14

Persepsi tersebut akan mudah diluruskan bila disadari bahwa:

1. Konsumen dan pelaku usaha adalah pasangan yang saling

membutuhkan. Usaha pelaku usaha tidak akan dapat berkembang dengan baik bila konsumen banyak dirugikan oleh banyaknya produk yang tidak memenuhi syarat.

2. Bila ada pelaku usaha yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya, maka kecurangan ini tidak akan merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.

       13

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal, 33

14

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pedoman Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Bagi Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota, Jakarta, 2003, hal. 5


(27)

 

3. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi pelaku usaha yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui peningkatan mutu dan daya saing produk yang memenuhi syarat perlindungan konsumen.

4. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

1.5.4. Pengertian produk.

Dalam pengertian luas, produk ialah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan teknologi. Berdasarkan UUPK pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa “Barang

adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”. 15

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada

      

15

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2010, hal. 18


(28)

 

pengertian barang. Dalam dunia perbankan misalnya, istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan. 16

1.5.5. Cacat Produk.

Tim Kerja Penyusun Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI merumuskan pengertian produk yang cacat sebagai berikut.

“Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya diharapkan orang”.

Pengertian cacat dalam KUH Perdata diartikan sebagai cacat yang “sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda itu atau cacat itu mengakibatkan “berkurangnya manfaat” benda tersebut dari tujuan yang semestinya. Dari pengertian ini maka ada satu tanggung jawab bagi produsen untuk mengutamakan kualitas barang yang diproduksi daripada mengejar kuantitas atau jumlah yang diproduksi. 17

Untuk mengetahui kapan suatu produk mengalami cacat, dapat dibedakan atas tiga kemungkinan, yaitu kesalahan produksi, cacat desain

      

16

Shidarta, op.cit., hal 8 17

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hal. 62


(29)

 

dan informasi yang tidak memadai, yang selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kesalahan produksi.

Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu pertama adalah kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu, sedangkan yang kedua adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksudkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.

b. Cacat desain.

Pada cacat desain ini, cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri atas desain, komposisi atau konstruksi.

c. Informasi yang tidak memadai.

Informasi yang tidak memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk, dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat


(30)

 

dipergunakan sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya.18

Disamping itu, ada juga yang membagi kecacatan atas empat, yaitu kesalahan produksi, cacat desain, cacat instruksi, dan misrepresentasi. Pembagian kecacatan produk atas beberapa tipe tersebut mendapat sanggahan-sanggahan, karena misrepresentasi tidak dianggap sebagai cacat produk, sedangkan cacat instruksi digolongkan sebagai cacat desain, demikian pula dengan cacat produksi dan cacat desain juga tidak jelas perbedaannya.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan, khususnya yang berkaitan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 19

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif analisis. Dalam artian penelitian ini diharapkan mampu melukiskan gambaran secara sistematis, terperinci dan menyeluruh tentang “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Yang Cacat

Barang“. Dalam hal ini pembahasan analisis menganai ruang lingkup

perlindungan konsumen dimaksudkan untuk dapat memperoleh gambaran

      

18

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hal 160-161 19


(31)

 

tentang pokok permasalahan yang ada di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Surabaya.

Jadi dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian menggunakan penelitian hukum deskriptif analisis.

1.6.2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah data dari penelitian kepustakaan di mana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas terdiri dari :

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

b) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

d) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya


(32)

 

berupa buku literatur, hasil karya sarjana untuk memperluas wawasan penulis mengenai bidang penulisan.

3. Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai perangkap dari kedua bahan hukum sebelumnya terdiri dari :

a. Kamus hukum

b. Kamus bahasa Indonesia

1.6.3. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

Untuk mendapatkan bahan hukum ynag diperlukan dalam penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan, perolehan bahan hukum melalui penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana.

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan pembahasan skripsi ini juga dikumpulkan, Bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan tersebut selanjutnya akan dilakukan penyuntingan bahan hukum, pengklasifikasian bahan hukum yang relevan dan penguraian secara sistematis.

1.6.4. Metode Analisis Data

Berdasarkan bahan hukum yang diperolah, maka penulisan skripsi ini menggunakan metode deduktif, yaitu metode yang menganalisis peraturan perundang-undangan sebagai hal umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Selanjutnya dibahas, disusun,


(33)

 

diuraikan, dan ditafsirkan, serta dikaji permasalahan sehingga diperoleh suatu kesimpulan sebagai upaya pemecahan masalah.

1.7. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat pengumpulan data dilapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi yang dipilih sebagai penelitian adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Surabaya.

1.8. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah 2 (dua) bulan, dimulai dari bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Maret 2011. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari minggu pertama. Tahap persiapan penelitian ini meliputi : penentuan judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, dan perbaikan proposal. Tahap pelaksanaan penelitian selama 2 bulan terhitung mulai minggu kedua bulan Februari sampai bulan Maret minggu pertama, meliputi pengumpulan sumber data primer dan sumber data sekunder.

1.9. Sistematika Penulisan

Pada penulisan skripsi ini penulis membagi empat bab pokok bahasan untuk memperoleh pembahasan atas permasalahan secara menyeluruh dan terperinci, berikut akan dijelaskan pembahasan dalam tiap babnya.

Dalam bab pertama adalah pendahuluan, bab ini memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi, meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan


(34)

 

penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini serta pertanggung jawaban sistematika. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada pembaca agar dapat mengetahui secara garis besar pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

Sedangkan bab kedua menguraikan jawaban dari permasalahan yang pertama, penulis akan membahas tentang bentuk perlindungan hukum bagi pihak konsumen atas produk yang cacat barang. Pada bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu, pertama mengenai tanggung jawab produk (product liability). Kedua mengenai sanksi.

Pada bab ketiga, penulis menguraikan jawaban dari permasalahan yang kedua yaitu, tentang upaya-upaya hukum dalam penyelesaian sengketa konsumen bila mengalami kerugian akibat produk yang cacat barang. Pada bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu, pertama penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi). Kedua, penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi).

Bab keempat, penutup merupakan bagian terakhir dan sebagai penutup dalam penulisan skripsi ini yang berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan juga berisikan saran-saran dari permasalahan tersebut. Dengan demikian bab penutup ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini sekaligus merupakan rangkuman jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.


(35)

 

BAB II

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG

2.1. Produk Cacat Barang

Setiap orang sebagai individu pada suatu waktu, dalam posisi tunggal maupun berkelompok bersama orang lain dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang dinginkan dapat terpenuhi, namun pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan yang berposisi sebagai konsumen, sehingga tidak mempunyai kedudukan yang aman.

Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka dalam hal ini diperlukan adanya suatu perlindungan terhadap konsumen, dalam pembahasan ini ditekankan pada perlindungan konsumen terhadap produk yang cacat barang.

Suatu barang dan/atau jasa dapat dikategorikan sebagai produk cacat, apabila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan orang, dengan mempertimbangkan


(36)

 

berbagai keadaan, terutama tentang penampilan produk, kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk, dan saat produk itu diedarkan.

Suatu produk dapat dikatakan tidak aman dalam penggunaannya apabila produk tersebut tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya diharapkan orang.

Jadi yang menjadi hal utama dalam produk cacat adalah aspek keamanan dan keselamatan produk tersebut dan kerugian yang ditimbulkan di pihak konsumen terutama yang disebabkan oleh adanya cacat dalam pemenuhan persyaratan keamanan dan keselamatan produk yang bersangkutan bagi kosumen.

Untuk mengetahui kapan suatu produk mengalami cacat, serta berkenaan dengan masalah cacat produk yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam, yaitu kesalahan produksi, cacat desain, dan informasi yang tidak memadahi yang selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kesalahan produksi.

Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu pertama adalah kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu, sedangkan yang kedua adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksudkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.

b. Cacat desain.

Pada cacat desain ini, cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri atas desain, komposisi atau konstruksi.


(37)

 

c. Informasi yang tidak memadai.

Informasi yang tidak memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk, dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya. 20

Salah satu contoh peristiwa yang pernah terjadi dan merupakan kasus penggunaan produk yang cacat barang yaitu pembelian telepon genggam buatan salah satu merk tiongkok. Sebagaimana penulis dapatkan data di BPSK, pihak konsumen pembeli produk tersebut mendapati barang yang dibelinya terdapat kekurangan/kecacatan dibagian tutup belakang. Hal ini mengakibatkan terganggunya fungsi penggunaan daripada produk tersebut. Atas kecacatan pada produk yang dibelinya, akhirnya pihak konsumen komplain kepada pihak pelaku usaha (dalam kasus ini penjual telepon genggam) dengan meminta penggantian produk sejenis yang baru dan tidak ada kecacatan.

Akan tetapi, pihak pelaku usaha menolak dengan alasan bahwa produk yang dijualnya berkondisi normal serta menuduh bahwa kecacatan tersebut disebabkan oleh pihak konsumen itu sendiri. Karena pihak konsumen merasa tidak puas dan dirugikan, akhirnya diadukan ke BPSK.

Oleh BPSK ditentukan terlebih dahulu cara penyelesaiannya dengan dimusyawarahkan kedua belah pihak yang bersengketa. Setelah dimusyawarahkan, akhirnya ditemukan kesepakatan bahwa masalah tersebut diselesaikan dengan cara

      

20


(38)

 

mediasi. Adapun proses penyelesaiannya yaitu dengan memanggil kedua belah pihak yang bersengketa.

Setelah diadakan mediasi, ditemukan kesepakatan bahwa pihak pelaku usaha bersedia mengganti produk yang cacat tersebut yang produk sejenis yang baru. Hal ini disebabkan karena ditemukan bukti bahwa kecacatan disebabkan oleh pihak penjual karena bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan mengurangi/menukar beberapa bagian dari produk yang dijualnya ketika proses penjualan berlangsung dan tanpa sepengetahuan dari konsumen pembelinya.

Menurut UUPK pasal 8, seorang pelaku usaha (dalam kasus ini penjual telepon genggam) dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dengan kriteria sebagai berikut:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, dan kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;

h. Tidak mengikuti berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat mana barang, ukuran, berat/isi, bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal


(39)

 

pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lan untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2.2. Tanggung jawab produk

Menurut Black’s Law Dictionary, Tanggung jawab produk adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk, atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. 21

Adapun pengertian lain tentang tanggung jawab produk menurut Andrew, ialah suatu tanggung jawab yang ditekankan kepada tanggung jawab perusahaan atau penjual yang menjual produknya yang membahayakan atau mengakibatkan penderitaan pembeli, pengguna atau orang lain yang bukan pembeli, tetapi ia memperoleh barang yang rusak/cacat tersebut. 22

Dari beberapa definisi tanggung jawab produk diatas, tampak bahwa tanggung jawab produk terletak pada pelaku usaha baik pihak yang menghasilkan produk (produsen) maupun pihak yang mendistribusikan (penjual) atas timbulnya kerugian pada pihak konsumen sebagai akibat dari produknya.

Dalam kasus telepon genggam yang penulis angkat, pihak konsumen mendapati produk yang dibelinya terdapat kecacatan yang mengakibatkan terganggunya penggunaan/pemanfaatan dari produk tersebut sehingga menyebabkan

      

21

Adrian Sutedi, op.cit., hal. 65 22


(40)

 

kerugian bagi pihak konsumen. Hal ini perlu dipertanggungjawabkan oleh pelaku usaha (dalam kasus ini penjual telepon genggam), mengingat pelaku usaha memiliki tanggung jawab produk atas barang yang telah diperdagangkannya.

Salah satu bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha atas produknya yang cacat didalam tanggung jawab produk adalah tuntutan ganti kerugian. Tuntutan ganti kerugian ini setidak-tidaknya harus memenuhi unsur-unsur perbuatan melanggar hukum, yakni:

1. Unsur perbuatan melawan hukum yang harus dibuktikan oleh pengusaha, 2. Unsur kerugian yang dialami oleh konsumen,

3. Adanya hubungan kausal antara unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian. 23

Mengenai kerugian yang bagaimanakah yang dapat dituntut dari pelaku usaha, menurut pasal 19 UUPK terdiri dari:

a. Kerugian atas kerusakan; b. Kerugian karena pencemaran;

c. Kerugian konsumen sebagai akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 24

Selain itu, ketika mengemukakan tuntutan/klaim mengenai tanggung jawab produk dari pelaku usaha, dilakukan dengan mendasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

1. Pelanggaran jaminan

      

23

Ibid., hal. 72-73 24


(41)

 

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha, bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bias terjadi dalam konstruksi barang, desain, dan/atau pelabelan.

2. Kelalaian

Yang dimaksud dengan kelalaian adalah bila si pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukkan bahwa ia cukup berhati-hati dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang. 3. Tanggung jawab mutlak

Tanggung jawab mutlak terjadi dimana pembeli yang mengalami kerugian memperoleh penggantian tanpa harus mengajukan bukti-bukti yang tidak beralasan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa produk barang yang dibelinya rusak dan tergugat tidak perlu menunjukkan hal-hal yang tidak rasional atas proses produk suatu barang atau penjualan barangnya. Kerusakan ini biasanya disebut cacat produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi barang, kerusakan pada desain produk tidak cukup aman, ketiadaan petunjuk-petunjuk pada barang mengenai informasi penggunaannya. Dengan penerapan tanggung jawab mutlak ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen. Kepada pemakai produk berlaku tanggung jawab tanpa kesalahan, kecuali apabila dapat membuktikan keadaan sebaliknya, yaitu kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. 25

      

25


(42)

 

Dengan adanya tanggung jawab produk maka terhadap kerugian pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan berdasarkan adanya kewajiban pelaku usaha untuk menjamin kualitas produk. Tuntutan ini dapat berupa pengembalian barang sambil menuntut kembali harga pembelian atau penukaran dengan barang yang baik mutunya. Tuntuan ganti rugi ini dapat ditujukan kepada produsen dan juga kepada penjual sebagai pihak yang menyediakan jasa untuk menyalurkan barang/produk dari produsen kepada pihak konsumen atau pembeli.

Mengingat UUPK pasal 4, hak-hak konsumen yaitu antara lain: a. Hak atas kenyamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi seta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya. Oleh karena itu, baik produsen maupun penjual berkewajiban menjamin kualitas produk yang mereka pasarkan guna mematuhi hak-hak atas konsumen pengguna barang dan/atau jasanya sebagaimana yang terdapat dalam pasal 4 UUPK. Yang dimaksud dengan jaminan atas kualitas produk ini adalah suatu jaminan atau garansi bahwa barang-barang yang akan dibeli akan sesuai dengan standar kualitas


(43)

 

produk tertentu. Jika standar ini tidak dipenuhi, maka pembeli atau konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak produsen/penjual.

Jaminan atas kualitas produk dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sebagai berikut:

1. Express warranty (jaminan secara tegas)

Express warranty adalah suatu jaminan atas kualitas produk, baik dinyatakan

secara lisan maupun tertulis. Dengan adanya jaminan ini, berarti produsen sebagai pihak yang menghasilkan barang (produk) dan juga penjual sebagai pihak yang menyalurkan barang atau produk dari produsen atau pembeli bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban terhadap adanya kekurangan atau kerusakan dalam produk yang dipasarkan.

2. Implied warranty

Implied warranty adalah suatu jaminan yang dipaksakan oleh UU atau hukum,

sebagai akibat otomatis dari penjualan barang-barang dalam keadaan tertentu. Jadi, dengan Implied warranty dianggap bahwa jaminan ini selalu mengikuti barang yang dijual, kecuali dinyatakan lain. 26

Pasal 1504 KUH Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat yang tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya. Cacat ini harus yang sungguh-sungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang tidak dapat dipergunakan dengan sempurna, sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati

      

26


(44)

 

oleh benda itu sendiri. Atau cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat benda tersebut dari tujuan pemakaian yang semestinya.

Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang di beli, pembeli (konsumen) dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tuntutan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan pasal 1508 KUH Perdata.

1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual, maka penjual wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian, dan bunga.

2. Kalau cacat itu memang benar-benar tidak diketahui oleh penjual, maka penjual hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya ongkos yang dikeluarkan oleh pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang.

3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada pembeli.

Terkecuali apabila penjual telah minta diperjanjikan tidak menanggung sesuatu apapun dalam halnya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya (pasal 1506), maka itu berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibelinya menjadi risiko pembeli sendiri.

2.3. Sanksi

Adapun sanksi menurut UUPK No. 8 Tahun 1999 yang akan diberikan kepada produsen / pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat berupa sanksi


(45)

 

administratif. Dalam UUPK memberikan konsekuensi logis yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa diantaranya pasal 7 huruf b, d, e, dan g UUPK, diantaranya “memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”, “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku”, “memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan”, selain itu pelaku usaha juga “memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.

Besarnya ganti kerugian dan wujud penggantian kerugian yang lazim adalah mempergunakan uang, yang para ahli hukum ataupun yurisprudensi dianggap paling praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa. Bentuk lain adalah benda. Dalam UUPK pasal 19 ayat (2) memberikan pedoman tentang jumlah, bentuk, atau wujud ganti kerugian, yaitu:

a. Pengembalian uang

b. Penggantian barang dan/atau sejenis atau setara nilainya c. Perawatan kesehatan


(46)

 

d. Pemberian santunan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 27

Karena pasal 19 ayat (2) diatas masih menunjuk peraturan perundang-undangan lain sebagai pedoman, maka dapat dikemukakan ketentuan KUH Perdata. Untuk menentukan besarnya jumlah ganti kerugian, KUH Perdata memberikan pedoman, yaitu:

a. Basarnya ganti kerugian sesuatu dengan fakta tentang kerugian yang benar-benar terjadi dan dialami oleh konsumen.

b. Sebesar kerugian yang dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari kreditur harus sama seperti seandainya debitur memenuhi kewajibannya. Kerugian yang jumlahnya melampaui batas-batas yang dapat diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur.

c. Besarnya kerugian yang dapat dituntut adalah kerugian yang merupakan akibat langsung dari peristiwa yang terjadi, yaitu sebagai akibat dari wanprestasi atau sebagai akibat dari peristiwa perbuatan melawan hukum.

d. Besar ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh UU, misalnya yang diatur pada pasal 1250 KUH Perdata, yang mengatakan, antara lain bahwa dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas biaya yang ditentukan oleh UU dengan tidak

      

27


(47)

 

mengurangi peraturan UU khusus. Dalam kaitan ini, UUPK tidak menentukan batas kerugian yang dapat dihukumkan kepada pelaku usaha sehubungan dengan gugatan ganti kerugian dalam sengketa konsumen. Akan tetapi, dalam pasal 60 ayat (2) disebutkan bahwa sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian yang ditetapkan oleh BPSK paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

e. Ganti kerugian sebesar isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagaimana yang dimungkinkan oleh pasal 1249 KUH Perdata. 28

Dalam UUPK, ketentuan yang mengatur mengenai produk yang cacat barang, khususnya yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tepatnya pada pasal 8 ayat (2) yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Pelanggaran terhadap pasal 8 ayat (2) , sebagaimana diatur dalam pasal 62 ayat (1), antara lain menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Pasal 63 UUPK terhadap sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa: a. Perampasan barang tertentu;

      

28


(48)

 

b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha.

Mengacu pada data pengguna produk cacat pada kasus yang penulis angkat dan terdapat di BPSK Surabaya, bentuk sanksi yang dikenakan adalah sanksi adminitratif, yaitu berupa penggantian produk yang cacat tersebut dengan yang baru serta memberikan sejumlah uang ganti rugi. Sanksi administratif lebih sering digunakan karena menyangkut tentang wanprestasi atas perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dalam hal ini konsumen dengan produsen atau pelaku usaha. Akan tetapi, apabila dalam proses penyelesaian kasus tersebut kemudian ditemukan pelanggaran yang memasuki ranah pidana, tidak menutup kemungkinan akan dikenakan sanksi pidana.


(49)

 

BAB III

UPAYA-UPAYA HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG

Seperti pada umumnya, suatu sengketa terjadi apabila terdapat pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu tentang hal-hal tertentu, satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedang yang lain tidak. Demikian halnya dengan sengketa konsumen, dimana sengketa itu dapat berupa salah satu pihak (konsumen) tidak mendapatkan atau menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan (pelaku usaha) tidak memenuhi kewajibannya.

Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu:

1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di dalam undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya.

2. Pelaku usaha atau konsumen tidak mentaati isi perjanjian, yang berarti baik pelaku usaha maupun konsumen tidak mentaati kewajibannya sesuai dengan kontrak isi perjanjian yang dibuat di antara mereka. 29

      

29


(50)

 

Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen, dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya. Penyelesaian sengketa secara hukum ini bertujuan untuk memberi penyelesaian yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak kedua belah pihak yang bersengketa. UUPK memberi dua macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Hal ini dapat dilihat dalam UUPK pasal 45 ayat (2), yaitu yang berbunyi “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa”.

3.1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan pasal 45 tersebut.

Adapun yang berhak mengajukan sengketa konsumen ke pengadilan, pasal 46 UUPK menentukan sebagai berikut:

(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran


(51)

 

dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

Oleh karena itu, sehubungan dengan perkara konsumen, yang dapat mengajukan gugatan adalah:

1) Setiap konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baik berupa perseorangan maupun kelompok.

2) Lembaga konsumen swadaya masyarakat. 3) Pemerintah. 30

Menurut pasal 48 UUPK menyatakan bahwa “Penyelesaian sengketa

konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45 di atas”.

Penunjukan pasal 45 dalam hal ini, lebih banyak tertuju pada ketentuan tersebut dalam ayat (4). Artinya penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila:

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau

      

30


(52)

 

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak yang bersengketa.

Adapun hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herziene Inlands Regaling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan Madura. Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang mendasar.

a. Pengajuan Gugatan

Dalam sengketa konsumen, pihak-pihak yang digugat adalah produsen, yaitu segala pihak yang ikut serta dalam penyediaan dan peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Pada umumnya gugatan diajukan secara tertulis. Namun, gugatan pun dapat juga diajukan secara lisan kecuali kuasanya.

Pengajuan gugatan disertai dengan pembayaran sejumlah uang administrasi yang besarnya ditetapkan oleh ketua pengadilan setempat. Dalam gugatannya, penggugat mengemukakan dalil-dalil yang berupa dasar tuntutan yang terdiri dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum.

Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan. Disini, konsumen sebagai penggugat menguraikan dengan jelas hubungan hukum antara konsumen dengan


(53)

 

pelaku usaha produsen dengan konsumen sampai pada peristiwa adanya kerugian yang diderita konsumen.

Hubungan hukum itu dapat berupa hubungan yang timbul karena adanya perjanjian atau dapat pula berupa hubungan hukum yang timbul karena terjadinya peristiwa melanggar hukum. Jadi ada dua peristiwa yang dapat diajukan sebagai dasar hak konsumen untuk mengajukan tuntutan, yaitu peristiwa wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.

b. Pemeriksaan dan pembuktian

Gugatan atas ganti kerugian didasarkan pada peristiwa wanprestasi, konsumen sebagai penggugat perlu membuktikan:

1) Adanya hubungan perikatan

2) Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi oleh produsen 3) Timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat). 31

Sedang gugatan ganti kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan melawan hukum, haruslah dibuktikan:

1) Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhait-hati, pelanggaran norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma kepatutan.

2) Adanya kesalahan dari produsen, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.

3) Adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat.

4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum yang salah itu dan kerugian. 32

      

31

Ibid, hal. 152 32


(54)

 

Pembuktian terhadap hal-hal diatas dilakukan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang. Menurut pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti yang dapat diajukan adalah:

1) Surat; 2) Saksi;

3) Persangkaan; 4) Pengakuan; 5) Sumpah.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang peristiwa yang diajukan. Dengan jalan pembuktian, menjadi jelas bagi hakim tentang hukumnya suatu perkara sehingga memudahkan hakim untuk mengualifikasikannya.

Dalam hubungannya dengan tanggung jawab produk, pada gugatan yang diajukan konsumen yang berada dalam hubungan kontrak jual beli, ia harus membuktikan wanprestasi tergugat (produsen). Wanprestasi yang harus dibuktikan itu meliputi seluruh kewajiban yang tidak dilaksanakan oleh produsen sebagai tergugat, yaitu kewajiban-kewajiban yang tidak dilaksanakan menurut perjanjian jual beli termasuk kewajiban untuk menanggung cacat tersembunyi.

Jadi, pedoman untuk membuktikan dipenuhi atau tidak dipenuhinya kewajiban produsen penjual adalah perjanjian yang sudah ada. Di sini, norma


(55)

 

yang dilanggar adalah norma kontraktual. Pada gugatan yang didasarkan pada wanprestasi, konsumen penggugat tidak perlu membuktikan adanya kesalahan tergugat sehingga ia wanprestasi. Jadi, cukup dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa produsen tergugat telah tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik. Hal inilah yang membedakan proses penyelesaian sengketa produk cacat dengan sengketa yang lain pada umumnya.

Namun demikian, penyelesaian sengketa yang timbul dalam dunia bisnis merupakan masalah tersendiri, karena apabila para pelaku bisnis menghadapi sengketa tertentu, maka dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan dalam dunia bisnis, penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah yang dapat berlangsung cepat dan murah. Disamping itu, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulit ditemukan apabila pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan pihak lainnya.

3.2. Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan.

Menurut pasal 19 ayat (1) jo pasal 23 UUPK, “Pelaku usaha bertanggung

jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau


(56)

 

diperdagangkan”. “Apabila pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”.

Sedangkan menurut pasal 47 UUPK, “Penyelesaian sengketa konsumen di

luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution

(ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. Adapun cara tersebut dapat berupa

arbitrase, mediasi, konsiliasi, ministrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya. 33

Sedangkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli.

Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK hanya memperkenalkan 3 (tiga) macam yaitu ; arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas

      

33


(57)

 

BPSK. Adapun tugas dan wewenang BPSK dapat dilihat dalam pasal 52 UUPK, yaitu meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan

cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf G dan huruf H, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Walaupun terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, namun yang akan dibahas lebih lanjut hanya arbitrase, konsiliasi, dan mediasi sebagaimana ditentukan dalam huruf a dari pasal 45 diatas. a. Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak tersebut telah


(58)

 

mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa diantara kedua belah pihak.34

Pada kasus telepon genggam yang penulis angkat, proses penyelesaian sengketanya tidak menggunakan cara arbitrase. Hal ini disebabkan tidak ditemukannya suatu perjanjian tentang prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati para pihak terdahulu. Sedangkan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara demikian, harus terlebih dahulu memperhatikan perjanjian tentang prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati para pihak terdahulu. Selain itu, para pihak menyatakan tidak menggunakan cara penyelesaian sengketa demikian karena biaya yang mahal, serta proses penyelesaiannya yang lambat. Hal ini tidak sesuai dengan nilai kerugian yang diderita akibat kecacatan pada produk tersebut.

b. Konsiliasi

Konsiliasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa yang juga dapat ditempuh di luar pengadilan. Cara penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak.

Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Ketidakterikatan para pihak terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang

      

34


(59)

 

dihadapi para pihak tersebut, menyebabkan penyelesaiannya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak.

Pada kasus sengketa konsumen yang pernah terjadi di BPSK Surabaya, belum pernah sekalipun cara penyelesaian sengketanya menggunakan cara konsiliasi. Hal ini disebabkan karena cara demikian kurang efektif dibandingkan dengan cara penyelesaian sengketa yang lainnya.

c. Mediasi

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, dimana majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat.

Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian dalam bentuk kompromi terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya.

Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Selain itu cara penyelesaian demikian cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak


(60)

 

terbuka untuk umum seperti di pengadilan), saling memberikan keuntungan dalam kompromi, hubungan kedua pihak bersifat kooperatif, tidak ada pihak yang kalah atau menang, tapi sama-sama menang, serta tidak emosional.35

Pada kasus telepon genggam yang penulis angkat, dari beberapa cara penyelesaian sengketa konsumen yang terdapat di UUPK, para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi oleh BPSK sepakat bahwa cara penyelesaian sengketanya menggunakan mediasi. Adapun prosedur mulai dari awal pengajuan hingga akhir penyelesaian sengketa pada kasus tersebut yaitu antara lain sebagai berikut:

Secara teknis bentuk pengajuan permohonan penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 15-17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Bentuk permohonan penyelesaian sengketa konsumen diajukan kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan penyelesaian sengketa dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya, apabila konsumen meninggal, sakit, belum dewasa atau orang asing.

Permohonan penyelesaian sengketa secara tertulis yang telah diterima oleh sekretatriat BPSK diberikan bukti tanda terima kepada pemohon. Sedangkan apabila secara lisan harus dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu format yang disediakan untuk itu dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti

      

35


(1)

tanda terima. Berkas permohonan tersebut, baik tertulis maupun lisan oleh sekretariat BPSK dicatat dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.

Adapun isi daripada permohonan penyelesaian sengketa secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai:

a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;

b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. Barang atau jasa yang diajukan;

d. Bukti perolehan (bon, faktur, kuitansi dan dokumen lain);

e. Keterangan tempat, waktu, dan taggal diperoleh barang atau jasa tersebut; f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.

Permohonan penyelesaian sengketa ditolak oleh BPSK apabila:

a. Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan penyelesaian sengketa konsumen tersebut;

b. Permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.

Setelah secara teknis bentuk pengajuan permohonan penyelesaian sengketa selesai atau terpenuhi, oleh BPSK dilakukan pemanggilan pelaku usaha beserta konsumen untuk menghadiri persidangan dengan cara tertulis disertai dengan salinan permohonan penyelesaian sengketa. Adapun surat pemanggilan tersebut memuat hari, tanggal, jam dan tempat persidangan.


(2)

Selain itu, dibentuk surat tugas oleh ketua BPSK Kota Surabaya untuk membentuk majelis. Adapun dalam kasus telepon genggam ini yang menjadi majelis/meditor yaitu dr. Slamet Santoso, M. Kes (selaku Ketua Majelis), Nuriyanto, SH. dan Ir. Chairuddin Ramli (selaku Anggota Majelis).

Secara aktif BPSK mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa serta memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.

Hasil daripada mediasi antara kedua belah pihak tersebut dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh pihak konsumen dan pihak pelaku usaha yang bersangkutan. Perjanjian tersebut kemudian dikuatkan dengan Keputusan Majelis BPSK serta ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. (Pasal 37 ayat (1) dan (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Adapun sifat daripada putusan BPSK yang menguatkan perjanjian tadi, merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (Pasal 42 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001).


(3)

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan mengenai Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Yang Cacat Barang (studi kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya) pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen pengguna produk yang cacat barang merupakan hal yang sangat penting dan mendasar, mengingat penduduk Indonesia sebagian besar merupakan pengguna daripada produk alat komunikasi atau telepon genggam, maka dari itu pelaku usaha berkewajiban untuk menjaga serta bertanggung jawab atas apa yang telah diperdagangkannya dengan demikian pada kemudian hari dapat diminimalkan bahkan tidak terjadi lagi hal-hal yang bersifat merugikan konsumen pengguna produknya.

b. Konsumen pengguna produk yang telah dirugikan atas kecacatan pada barang yang telah dibelinya dapat mengajukan upaya hukum yang merupakan bagian dari hak yang melekat setiap individu sebagai konsumen, dan hal tersebut tentunya sudah diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang terkait/berlaku. 4.2. Saran

a. Perlunya pengawasan yang ketat terhadap produk alat komunikasi yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, agar terjamin kenyamanan konsumen yang bersangkutan dalam pemanfaatan produk tersebut. Dalam hal ini juga


(4)

diperlukan adanya itikad baik dari pelaku usaha dalam memperdagangkannya sehingga hak-hak dari konsumen terpenuhi.

b. Perlunya kemudahan dalam pengaduan masalah yang tengah dihadapi konsumen, seperti contoh pengadaan kotak pengaduan BPSK Kota Surabaya. Kotak tersebut nantinya ditempatkan di pasar-pasar modern yang ada di Kota Surabaya. Tujuannya ialah agar konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat dipermudah dalam mengadukan yang dialaminya untuk segera ditindak lanjuti oleh BPSK. Dengan demikian, konsumen akan timbul kesadaran untuk memperjuangkan hak-hanya, serta mengetahui apa fungsi daripada BPSK.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pedoman Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Bagi Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota, Jakarta, 2003. Kristiyanti, Tri Siwi, Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,

2008.

Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008.

Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Pernada Media Group, Jakarta, 2008.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi 2006, Grasindo, Jakarta, 2006.

Shofie, Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Sidabalok ,Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.

Soekanto, Soerjono., Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 1985.

Susanto, Happy, Hah-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Seri Panduan Praktis, Visimedia, Jakarta Selatan, 2008.

Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008.

Syawali, Husni.,dan Imaniyati, Neni Sri., Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000.


(6)

Peraturan perundang-undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Subekti, R., Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.


Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Studi Kasus Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan)

3 85 96

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

6 80 130

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Produsen

0 46 132

Perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terkait penyelesaian sengketa sebelum dan sesudah disahkannya undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang janinan produk halal

2 76 0

MEDIASI DAN KONSUMEN “Studi Tentang Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Mediasi Dan Konsumen Studi Tentang Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Semarang.

0 2 19

KAJIAN TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGANTIAN KERUGIAN SEBAGAI AKIBAT PENGGUNAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN KOTA SURABAYA.

0 0 13

ANALISIS TENTANG ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN : STUDI TENTANG EFEKTIFITAS BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 13

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI EKSISTENSI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DI SURAKARTA

0 0 17

KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

0 1 20

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG CACAT BARANG (Studi kasus di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surabaya)

0 0 34