2.2.3. Tri Hita Karana
Konsep yang telah melembaga demikian kuat di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, selalu menghendaki tetap terjaganya keseimbangan dan
keharmonisan antara tiga faktor yakni buana alit diri sendiri, buana agung alam semesta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa. Konsep
pemikiran tersebut telah menjadi nilai budaya, sehingga keyakinan tersebut telah demikian membudaya dengan kuat ke dalam tatanan kehidupan masyarakat adat
di Bali.
76
Tri Hita Karana sebagai nilai budaya yang berakar pada ajaran suci Agama Hindu, mempunyai kesamaan secara kualitas dengan pandangan
Kluckholn bahwa semua sistem nilai budaya mengandung unsur yang berkaitan dengan masalah:
a. Mengenai hakekat dari hidup manusia. b. Mengenai hakekat dari karya manusia
c. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu d. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya
e. Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
77
Secara etimologi Tri Hita Karana mengandung pengertian tri berarti tiga, hita berarti kemakmuran dan karana berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita
Karana berarti tiga penyebab atau tiga unsur yang dapat melahirkan kemakmuran atau kesejahteraan yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang mana
ketiga unsur itu mempunyai makna dan fungsi saling terkait yang melahirkan
76
I Made Legawa, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pembangunan Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi
Bali Dengan Universitas Mahasaraswati Denpasar, h. 6
77
Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT Gramedia, Jakarta, h. 67
substansi masyarakat Bali Hindu yang hidup dalam pola interaksi simbolik. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Parhyangan istilah dari pemaknaan Tuhan. Parhyangan atau kahyangan berarti Ketuhanan atau Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah suatu
kekuatan Maha Pencipta Prima Causa, sumber dari pada segala yang ada di alam semesta ini Phurusah Parikirtitah. Beliaulah kekuatan yang
sangat esa, yang satu yang tiada duanya, sebagai awal atau asal dan akhir dari kehidupan, karena itu oleh masyarakat Bali Hindu Parhyangan
diwujudkan dalam berbagai Kahyangan bangunan suci untuk menyembah Tuhan. Bangunan suci kahyangan dipersepsikan sebagai
tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhatara-bhatari ataupun Hyang leluhur untuk memberikan kehidupan dan kesejahteraan
serta sebagai obyektivasi kolektif bagi masyarakat Bali Hindu. 2. Pawongan, berasal dari kata wong yang berarti orang, sehingga aspek
pawongan dimaksudkan hubungan manusia dengan manusia di dalam kehidupan bersama, dimana organisasi atau kelembagaan baik kedinasan
maupun adat, organisasi komunitas dan keluarga sebagai wadah interaksinya. Dalam hubungan ini dipahami sebagai tindakan yang
berdasarkan atas hubungan sosial yang diikat oleh nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Nilai sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Bali
Hindu terkonsepsikan dengan ajaran Trikaya Parisuda yaitu bertindak
kayika, berkata wacika dan berfikir manacika yang baik dari setiap individu dalam ikatan bersama.
3. Palemahan yang berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan berarti bhuwana atau alam. Dalam hal ini palemahan dimaksudkan suatu
wilayah pemukiman atau lingkungan tempat tinggal. Masyarakat Desa Pekraman dan subak memahami atas dasar sradha yaitu sikap percaya
kadangkala pemahaman tanpa pengetahuan keilmuan ataupun kealaman mereka percaya dan melaksanakan, karena didasari oleh sifat gugontuwon
yaitu percaya karena diakui memang sudah begitu adanya, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Krama desa sebagai kelompok
manusia yang bermasyarakat memerlukan bhuwana atau palemahan sebagai alam tempatnya berpijak, karena disadari manusia tidak bisa
hidup tanpa alam dan dari alam.
78
Berkaitan hal tersebut maka konsep waktu diinsyafi dan memacu manusia untuk berbuat bagaimana hidup dan menghidupi alam ini. Waktu dikonsepsikan
ke dalam tiga dimensi yaitu masa lampau atita, masa sekarang nagata dan masa akan datang wartamana, yang berarti adanya proses keseimbangan dari
masa lalu ke masa akan datang di dasarkan atas keadaan masa sekarang. Dari tatanan nilai ini masyarakat desa adat atau pakraman dan juga subak dihadapkan
kepada konsekuensi pemikiran dalam perspektif ke depan. Dikaitkan dengan upaya pelestarian tampak masyarakat desa adat atau pakraman dan subak
78
I Gusti Putu Raka, dkk, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Denpasar MPLA Dati I Bali, h. 89
mengusahakan menciptakan kesejahteraan hidup bukan hanya untuk sesaat, tetapi kesejahteraan dapat diwariskan kepada pewarisnya.
Manusia wajib melakukan bhuta hita atau mensejahterakan alam lingkungannya. Dalam Lontar Purana Bali diungkapkan untuk menjaga
kelestarian alam lingkungan, hendaknya berpegang pada Sad Kerti yaitu Samudra Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang artinya kita wajib membangun
kelestarian samudra, hutan dan danau atau sumber-sumber air. Upaya untuk memelihara keberlangsungan alam lingkungan dilakukan melalui perbuatan nyata
di samping pelaksanaan yadnya baik pelaksanaan Rerahinan Tumpek Tumpek Uduh, atau pengatag maupun kegiatan upacara yadnya lainnya seperti mecaru
dalam Bhuta Yadnya yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dirinya melaksanakan upaya pelestarian
kesejahteraan alam.
2.3. Tinjauan Umum Tentang Investasi