1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan investasi merupakan indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah maupun nasional. Investasi yang dilakukan secara tepat akan mendukung
meningkatkan perkembangan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan. Tantangan pelaksanaan investasi
di daerah didorong melalui kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah diatur dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola urusan pemerintahannya sendiri. Salah satu implikasinya adalah setiap
daerah dituntut untuk mampu mengelola keuangan daerahnya secara mandiri. Pada perekonomian daerah, investasi dapat menjadi penggerak
pengembangan produksi sehingga output yang dihasilkan semakin baik. Istilah terminologi ekonomi there is no economic growth without investment.
1
Pernyataan ini mengandung makna bahwa investasi mempunyai peranan penting untuk pembangunan ekonomi, walaupun investasi bukan satu – satunya
komponen dalam pembangunan ekonomi. Investasi mempunyai dua peranan penting dalam menentukan pertumbuhan ekonomi. Pertama, pengaruhnya
terhadap permintaan agregat jangka pendek, dalam hal ini akan dianggap sebagai
1
Nurjana Ladjin, 2008, “Analisis Kemandirian Fiskal di Eka Otonomi Daerah studi Kasus Di Propinsi Sulawesi Tengah,” Tesis Program Studi Magister S2 Ilmu ekonomi dan
Studi Pembangunan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, h. 62
pendorong peningkatan output serta memberikan kesempatan kerja. Kedua, efeknya terhadap pembentukan kapital. Adanya investasi akan menambah
berbagai peralatan, mesin, bangunan dan sebagainya. Tindakan ini akan meningkatkan potensi output dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan dalam jangka panjang.
2
Sektor pariwisata merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan negara. Berdasarkan data
statistik yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali selanjutnya disebut BPS Bali pada bulan Desember 2015 menunjukkan bahwa kunjungan
wisatawan mancannegara ke Bali mencapai 370, 640 kunjungan atau mengalami peningkatan sebesar 6, 70 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada
bulan yang sama ditahun sebelumnya 2014 yang tercatat sebanyak 347,370 kunjungan. Begitu pula jika dibandingkan dengan November 2015, jumlah
kunjungan wisman pada bulan Desember 2015 naik sebesar 1, 85 persen.
3
Bertambahnya tingkat kunjungan wisatawan, berdampak pada permintaan – permintaan berupa jasa pariwisata yang disediakan oleh masyarakat disekitar
tempat kunjungan wisata.
4
Kondisi yang diuraikan diatas nantinya akan memberikan pengaruh cukup signifikan bagi perekonomian nasional atau dunia secara keseluruhan. Pendapat
2
Marsuki, 2006, Masalah Dan Strategi Menarik Investasi Di Daerah, Makalah disampaikan Pada Seminar Investasi PUKTI di Hotel Quality, Makasar, 15 Juni 2006
3
Badan Pusat Statistik, 2015, Perkembangan Pariwisata Bali Desember 2015, http:bali.bps.go.idwebbetawebsitebrs_indbrsInd-20160201131345.pdf, diakses tanggal 3
Februari 2016.
4
Muljadi A.J., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, cetakan ke-3, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 6.
Parikesit Widiatedja juga mempertegas bahwa kontribusi sektor pariwisata memberikan peningkatan kontribusi untuk roda perekonomian nasional.
5
Beliau menyebutkan didalam bukunya,
bahwa sektor pariwisata memiliki potensi yang bernilai ekonomi dengan daya saing yang tinggi, bahwa bahan baku pariwisata
tidak akan habis – habis, sedangkan bahan baku usaha – usaha lainnya sangatlah terbatas jumlahnya.
6
Berdasarkan pada konsep ekonomi, perkembangan perusahaan yang khususnya bergerak dibidang pariwisata yaitu mencari keuntungan lebih menekan
pengeluaran, mengabaikan aspek-aspek lain yang sebenarnya sangat vital bagi perusahaan terkadang diabaikan, misalnya upah karyawan yang murah dijadikan
alasan untuk mendirikan perusahaan, hak – hak karyawan perusahaan, sumber daya alam diolah tanpa memperhatikan aspek – aspek lingkungan hidup. Sehingga
tanggung jawab ekonomi akan dikatakan berhasil, bilamana perusahaan aspek – asepek diluar dari tanggung jawab ekonomi dan mengedepankan keuntungan yang
maksimal bagi perusahaan Tanggung jawab perusahaan tidak hanya tanggung jawab ekonomi saja,
dilain sisi tanggung jawab pada aspek sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan segala aspek penunjang berhasilnya perusahaan tersebut. Pengaturan
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan secara eksplisit terdapat pada aturan hukum Indonesia, ketika pemerintah memberlakukan Undang – Undang
5
IGN parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata, kontruksi konsep ragam masalah dan alternative solusi, Udayana University Press, Bali, Selanjutnya disebut IGN
Parikesit Widiatedja I, h. 38
6
IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II, h. 69
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Selanjutnya disebut UU PM, Pasal 15 UUPM secara tegas menyebutkan bahwa setiap penanam modal
perseorangan atau perusahaan, berbadan hukum ataupun bukan badan hukum berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan Ditegaskan tanggungjawab sosial perusahaan sebagai kewajiban
penanaman modal, maka Pasal 15 UUPM telah meletakkan landasan yuridis perubahan paradigma sifat tanggung jawab sosial dari sukarela menjadi
kewajiban. Tidak hanya UUPM yang mencantumkan arah tujuan pembangunan nasional dan tanggung jawab sosial. Setingkat dengan UUPM yang terkait dengan
bidang usaha jasa pariwisata yakni secara lex specialis, Undang – Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan selanjutnya disebut UU Kepariwisataan
menyatakan dengan tegas adanya kewajiban terhadap pelaku usaha pariwisata melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan berdasarkan pada Pasal 26
UU kepariwisataan. Adapun bagi pelaku usaha pariwisata yang tidak melakukannya, akan
mendapatkan penjatuhan sanksi berupa administratif mulai dari teguran hingga penghentian sementara kegiatan usaha pada ketentuan Pasal 63 UU
Kepariwisataan. Ketentuan mewajibkan pelaku usaha pariwisata untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan didasari atas prinsip
penyelenggaraan kepariwisataan pada kententuan Pasal 5 huruf a UU kepariwisataan: Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip menjunjung
tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup
dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan
lingkungan. Kebijakan Pemerintah dalam membina pengembangan kepariwisataan
nasional yang merupakan faktor potensial dalam usaha pembangunan dan masyarakat Indonesia agar segala kegiatan yang menunjangnya dapat diatur
secara menyeluruh dan terkoordinasikan dengan UU Kepariwisataan. Pemerintah Provinsi Bali selanjutnya disebut Pemprov Bali di tingkat daerah membuat
Peraturan Daerah No. 2 tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali selanjutnya disebut Perda Kepariwisataan Budaya Bali yang menjadi landasan
yuridis utama pembangunan kepariwisataan Bali. Berkenaan dengan asas dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan di Bali pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3
Perda Kepariwisataan Budaya Bali yang juga mengarah pelestariaan kebudayaan Bali, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melestarikan alam, lingkungan dan
sumber daya, telah sesuai dengan kebijakan UU Kepariwisataan. Tingginya investasi yang masuk belum dibarengi regulasi yang kuat,
sehingga investor hitam leluasa melenggang di Pulau Dewata ini. Pada forum diskusi Bali Post Viraguna Bagoes Oka berpendapat, investasi yang terjadi di Bali
mulai bergeser.
7
Sebab, investor yang masuk ke Pulau Dewata ini tidak lagi semata-mata berorientasi pada sektor pariwisata, tetapi sudah menjadi kegiatan
bisnis segala macam. Pada awalnya Bali merupakan tujuan pariwisata, tetapi tampaknya ada tiga tujuan pariwisata yang terkenal, sebagai tempat perhelatan
7
Anonim, 2013. Investasi Hitam di Bali 1 aturan lemah, investor hitam leluasa melenggang, Bali Post, Tgl. 10 November 2013, Halaman 1, kolom 6
Meeting, Incentive, Convention, Exhibition MICE, dan sebagai tempat bisnis properti, keuangan, spekulasi hingga bisnis-bisnis kuliner.
Hadirnya perkembangan investasi di Bali khususnya investasi pariwisata memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat Bali, terciptanya
lapangan kerja, serta pengurangan angka penggangguran di Bali. Namun di sisi lain, investasi pariwisata juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan
hidup dan sosial budaya masyarakat Bali. Dampak negatif pada lingkungan hidup nampak pada lahan peruntukan pertanian, setiap tahun mengalami penurunan
yang diakibat permintaan lahan non pertanian meningkat, terbukti pada tahun 2014 total lahan sawah di Bali tercata seluas 80.542 Ha, dibandingkan pada tahun
2010 total lahan sawah tercatat 81.908 Ha. Hal ini dimaksudkan bahwa selama kurun waktu 5 lima tahun dari 2010 sampai dengan 2014 tercatat alih fungsi
lahan sawah sebesar 1.366 Ha.
8
Banyaknya permintaan investor terhadap lahan untuk membuat gedung- gedung, hotel-hotel, restaurant, villa bahkan lapangan golf di Bali membuat lahan
pertanian semakin habis, tentunya untuk kedepan kebudayaan tradisional Bali yang berkaitan dengan unsur tanah, seperti pura-pura subak yang terdapat disetiap
sawah, tanah yang dikeramatkan oleh masyarakat Bali menjadi hilang, dan akibatnya investor-investor akan mulai beralih ke tempat lain.
Dampak negatif investasi pariwisata yang telah dipaparkan tersebut harus segera ditanggulangi melalui pengaturan hukum yang mengakomodasi nilai-nilai
budaya lokal yang dianut masyarakat dalam usaha pengembangan pariwisata
8
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2014, Luas Lahan Menurut Penggunaannya Di Provinsi Bali, Badan Pusat Provinsi Bali, Bali, h. 12
berkelanjutan. Usaha ini salah satunya dengan melakukan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang berwawasan budaya. Pariwisata budaya adalah
suatu pola pengembangan pariwisata dalam keterkaitan fungsional dengan kebudayaan dan lingkungan secara serasi, selaras, seimbang, sehingga pariwisata
dan kebudayaan dapat berkembang secara berkelanjutan. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pariwisata haruslah mampu mengakomodir kebudayaan
setempat, begitu juga sebaliknya, budaya harus dipertahankan untuk kelanjutan perkembangan dan pengembangan pariwisata.
Konsep tanggungjawab sosial pada ketentuan UUPM dan UU Kepariwisataan serta Perda Kepariwisataan Budaya Bali, pada dasarnya tercernin
dalam perilaku masyarakat, seperti halnya gotong royong, kegiatan yang tumbuh dari nilai-nilai luhur masyarakat Bali dan patut dipertahankan. Keseimbangan dan
keserasian hubungan yang harmonis di Pulau Bali dikenal dengan konsep Tri Hita Karana Tiga hal untuk mencapai kesejahteraan hidup. Konsep Tri Hita Karana
mengandung nilai-nilai universal yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis.
9
Tampaknya, jika dielaborasi dengan prinsip penyelenggaraan kepariwisataan sejalan dengan nilai – nilai luhur yang
terkandung dalam Tri Hita Karana seperti nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan unsur Parahyangan, antara manusia dengan sesama
unsur Pawongan dan antara manusia dengan alam lingkungannya unsur Palemahan.
9
Wayan Windia dan Ratna Komala Dewi, 2011, Analisis Bisnis Berlandaskan Tri Hita Karana, Udayana University Press, Bali, h. 10
Nilai kearifan lokal yang akrab dianut masyarakat ini dapat dipergunakan sebagai filterisasi dalam menjaga budaya masyarakat. Konsep ini merupakan
sebuah konsep yang didasarkan atas prinsip keselarasan atau keharmonisan hidup yang terdiri atas tiga unsur yang saling terkait satu sama lain. Walaupun didasari
atas konsep keagamaan agama Hindu di Bali, konsep Tri Hita Karana ini telah mendapatkan pengakuan dunia sebagai konsep yang universal. Konsep Tri Hita
Karana tampaknya sesuai dengan Kode Etik Pariwisata Dunia yang dikembangkan oleh World Tourism Organization WTO.
Kode Etik Pariwisata Dunia diharapkan dapat mengembangkan konsep pariwisata berkelanjutan, dalam hal ini manfaat kegiatan pariwisata terbagi secara
merata antara semua sektor masyarakat, dalam ruang lingkup ekonomi internasional yang bebas dan terbuka. Disisi lainnya konsep Tri Hita Karana
diharapkan dapat dipadukan dengan penerapan Pasal 5 UU Kepariwisataan tentang Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan khususnya pada aspek
menjunjung tinggi norma agama dan nilai kebudayaan maupun pada ketentuan Pasal 15 UUPM yang berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dengan
demikian investasi disektor pariwisata selain dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan perekonomian masyarakat lokal, dan dapat pula memperhatikan
aspek lingkungan dan budaya serta menjaga kelestariannya. Hal ini merupakan sebuah koridor ideal penyelenggaraan investasi yang sangat tepat untuk
mengantisipasi dampak arus global saat ini yang mengagungkan efesiensi dan produktivitas sebagai dampak dari pemikiran yang dilandaskan pada kegiatan
bisnis dengan paradigma kompetitif. Sehingga Prinsip penyelenggaraan kepariwisataan yang berbudaya relevan diterapkan dikalangan dunia bisnis.
Berdasarkan pemaparan latar belakang, maka peneliti menyajikan satu karya tulis yang berjudul: Implementasi Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan
Berdasarkan Undang – Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Dalam Kegiatan Investasi di Bali
1.2. Rumusan Masalah