Dimensi Work Engagement Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

menjalankan peran mereka dilingkungan pekerjaan. Organizational citizenship behavior berkaitan dengan perilaku informal dan sukarela yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus dari engagement adalah peran keterlibatan karyawan job involvement Robinson, Perryman, Hayday 2004. Menurut May 2004 engagement dihubungkan dengan job involvement. Job involvement didefinisikan sebagai suatu situasi pekerjaan yang menjadi pusat identitas dari karyawan dan keadaan psikologis yang terdiri dari kognitif atau belief. Hal ini berbeda dengan engagement yang lebih fokus pada bagaimana individu bekerja dan lebih aktif menggunakan emosi. Kesimpulannya engagement adalah faktor penyebab dari job involvement.

3. Dimensi Work Engagement

Dimensi atau aspek-aspek dari work engagement terdiri dari tiga Schaufeli, et al., 2002, yaitu: a. Vigor Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan. Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya Universitas Sumatera Utara dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja, dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau kegagalan. b. Dedication Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi, dan tantangan. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. c. Absorption Dikarakteristikan denga konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa tertarik dengan pekerjaanya, tenggelam dalam pekerjaannya, dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat. Sedangkan individu dengan skor rendah pada absorption tidak tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling danwaktu Schaufeli Bakker, 2003. Absorpsi ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam pekerjaan dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Universitas Sumatera Utara

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement yang akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan organisasi. secara umum McBain 2007 menjelaskan bahwa ada tiga kluster utama yang menjadi penggerak work engagement, yaitu: a. Organisasi Faktor organisasi yang dapat menjadi penggerak work engagement adalah budaya organisasi, visi dan nilai yang dianut, brand organisasi. b. Manajemen dan kepemimpinan Engagement dibangun melalui proses, butuh waktu yang panjang serta komitmen yang tinggi dari pemimpin, untuk itu dibutuhkan kekonsistenan pemimpin dalam memonitoring karyawan. Dalam menciptakan work engagement, pimpinan organisasi diharapkan memiliki beberapa keterampilan. Beberapa diantaranya adalah teknik berkomunikasi, teknik memberikan feedback, dan teknik penilaian kinerja. c. Kondisi lingkungan pekerjaan Kenyamanan kondisi lingkungan kerja menjadi pemicu terciptanya work engagement. Selain itu Vazirani 2007 juga mengemukakan beberapa hal yang berhubungan dengan work engagement yaitu: a. Equal opportunities and fair treatment Universitas Sumatera Utara tingkat keterlibatan karyawan akan tinggi jika bos mereka memberikan kesempatan yang sama bagi pertumbuhan dan kemajuan bagi semua karyawan b. Performance appraisal Evaluasi yang adil dari seorang karyawan adalah kriteria penting untuk menentukan tingkat engagement pegawai. Organisasi yang mengikuti teknik penilaian kinerja yang sesuai akan memiliki tingkat engagement yang tinggi. c. Pay and Benefits Organisasi harus memiliki sistem pembayaran yang tepat sehingga pegawai termotivasi untuk bekerja dalam organisasi. Untuk meningkatkan level engagement pegawai, organisasi juga harus memberikan dengan manfaat dan kompensasi tertentu. d. Health and Safety Penelitian menunjukkan bahwa tingkat engagement rendah jika karyawan tidak merasa aman saat bekerja. Untuk itu setiap organisasi harus mengadopsi metode dan sistem yang tepat untuk kesehatan dan keselamatan pegawai mereka. e. Job Satisfaction Hanya pegawai yang puas yang bisa menjadi karyawan yang engaged. Oleh karena itu sangat penting bagi suatu organisasi untuk memastikan bahwa pekerjaan yang diberikan kepada pegawai sesuai Universitas Sumatera Utara dengan tujuan karirnya yang akan membuat dia menikmati pekerjaan dan pada akhirnya akan puas dengan pekerjaannya f. Communication Organisasi harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Komunikasi dengan menggunakan saluran komunikasi telah sesuai dalam organisasi baik komunikasi keatas dan komunikasi kebawah. Jika pegawai diberikan hak suara dalam pengambilan keputusan dan memiliki hak untuk didengar oleh atasannya, maka level engagement akan cenderung tinggi. g. Family Friendliness Kehidupan keluarga mempengaruhi kehidupan pekerjaannya. Ketika seorang pegawai menyadari bahwa organisasi sedang mempertimbangkan manfaat keluarganya, ia akan memiliki keterikatan emosional dengan organisasi yang mengarah kepada engagement h. Co-operation Jika seluruh organisasi bekerja sama dengan saling membantu; semua pegawai serta pengawas, mengkoordinasikannya dengan baik, maka pegawai akan memiliki engagement. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi work engagement di atas, family friendliness adalah salah satu faktor yang berkaitan dengan keluarga. Kehidupan keluarga akan mempengaruhi kehidupan pekerjaan, jadi apabila terjadi konflik dalam keluarga tentunya akan mempengaruhi pekerjaan seseorang, Universitas Sumatera Utara yang mengindikasikan bahwa work family conflict merupakan faktor yang mempengaruhi work engagement.

B. Work- Family Conflict 1. Definisi

Work-Family Conflict Work-family conflict WFC adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran di dalam keluarga Greenhaus Beutell, 1985. Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work-family conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga Frone, 2000; Greenhaus Beutell, 1985. Frone 1992 mengatakan kehadiran salah satu peran pekerjaan akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain keluarga, harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain. Frone 2000 mendefinisikan work family conflict sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak Universitas Sumatera Utara dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya. Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga dan anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota yang lain Yang, Chen, Choi, Zou, 2000. Frone, Russell Cooper 1992 mendefinisikan work-family conflict sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana disatu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan disisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Work- family conflict ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan Universitas Sumatera Utara tanggung jawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Selanjutnya Greenhaus Parasuraman 1986 mengemukakan bahwa work-family conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun yang berasal dari pekerjaannya. Greenhauss dan Beutell 1985 mendefinisikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik peran dalam diri seseorang yang muncul karena adanya tekanan peran dari pekerjaan yang bertentangan dengan tekanan peran dari keluarga. Work-family conflict bisa terjadi akibat lamanya jam kerja dari individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu harus menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan dan dalam keluarga, sehingga faktor emosi dalam satu wilayah menganggu wilayah lainnya Greenhaus Beutell, 1985. Definisi lain juga diungkapkan Simon dan Hansselhorn 2004 menyatakan bahwa work-family conflict muncul karena adanya beberapa faktor yaitu, adanya tuntutan dari pekerjaan dan keluarga, kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, dan adanya tekanan dari pekerjaan yang membuat seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan kewajiban pekerjaan yang seringkali merubah rencana bersama keluarga. Sedangkan Thomas Ganster 1995 mendefinisikan work-family conflict sebagai suatu bentuk khusus dari konflik antar peran yang terjadi karena Universitas Sumatera Utara tuntutan dari pekerjaan bertentangan atau tidak sesuai dengan tuntutan dari keluarga. Dari definisi yang diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah konflik yang terjadi karena ketidakmampuan menyeimbangkan tuntutan keluarga dan pekerjaan.

2. Dimensi Work-family Conflict