BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra yang tercipta merupakan hasil dari proses kreativitas pengarang. Pengarang merupakan bagian dari masyarakat, dan hidup dalam masyarakat dengan beraneka ragam
permasalahan, misalnya masalah sosial. Hasil dari kreatifitas pengarang dapat diperoleh dari keadaan masyarakat dimana pengarang tinggal yang dituangkan ke dalam karya sastra. Jabrohim
2001: 167 mengatakan bahwa pengalaman dan pengamatan sastrawan terhadap lingkungan sosialnya tersebut kemudian menginspirasi lahirnya sebuah karya sastra. Sehingga, sastra bukan-
lah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terkait erat dengan situasi kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.
Menurut Goldmann dalam Ratna, 2003: 89, karya sastra yang valid adalah karya sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator sebagai
warisan tradisi dan konvensi. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mencerminkan zaman serta situasi yang berlaku dalam masyarakat melalui proses kreatifitas
pengarang terhadap realita kehidupan sosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan Damono 1984: 1 yang menyatakan bahwa,
Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan merupakan masyarakat yang terikat dengan status sosial tertentu.
Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan
adalah suatu kenyataan sosial. Seluruh peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau
masyarakat. Masyarakat dan karya sastra merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karya
sastra muncul berdasarkan hasil pemikiran dari seorang pengarang yang terinspirasi lewat
Universitas Sumatera Utara
kehidupan masyarakat sekitarnya dan pengalaman pribadi seorang pengarang. Pengaruh masyarakat terhadap pengarang akan terlihat dari isi karya sastra yang menggambarkan
kehidupan masyarakat yang ia kenal. Kondisi dan permasalahan sosial yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari merangsang imajinasi sastrawan untuk mengungkapkan permasalahan
sosial tersebut dengan sudut pandang sosial tertentu, sehingga lahirlah kenyataan baru dalam karyanya. Wellek dan warren 1984: 276 mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan
pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan penafsiran kehidupan yang mengalami proses kreatifitas dari seorang pengarang. Pengungkapan
realitas yang dilakukan pengarang di dalam karya sastra tidak terlepas dari berbagai faktor yang turut mempengaruhi ide, visi, atau sikap pengarang. Keseluruhan faktor tersebut berasal dari
lingkungan masyarakat yang ditempati pengarang. Albrecht dalam Ratna, 2003: 82 mengatakan bahwa karya sastra sebagai cara
komunikasi antarperson. Aparatus interaksi sosial, yang keberadaannya mesti dinilai melalui sistem antarhubungan peranan. Untuk menilai karya sastra dapat dilihat dari sudut pandang yang
berbeda, misalnya dari sudut sosiologi. Karya sastra Indonesia sangat erat kaitannya dengan masyarakat dimana karya sastra tersebut diciptakan. Karya sastra yang menciptakan konflik yang
terjadi dalam masyarakat, baik dari struktur sosial, perubahan sosial, dan proses sosial sering kita jumpai dalam masalah-masalah sosial antar masyarakat. Karya sastra yang diciptakan oleh
seorang pengarang dewasa ini kebanyakan menceritakan masalah-masalah sosial, misalnya dalam novel “Tuhan Tiri” karya Aris Wahyudi. Novel ini berisi masalah-masalah sosial yang
sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat, yaitu pandangan masyarakat terhadap wanita
Universitas Sumatera Utara
pekerja seksual. Kita mengetahui bahwa masyarakat memiliki pandangan yang “miring” kepada pekerja seksual. Masalah-masalah seperti ini sudah sering kita jumpai, mungkin pernah kita
alami. Sastra dan sosiologi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan karena memiliki objek
yang sama yaitu masyarakat. Lotman dalam Faruk, 1994: 47 menyebutkan sastra sebagai sistem pemodelan tingkat kedua. Maksudnya, sastra merupakan sistem pemodelan yang
ditumpangkan pada sistem pemodelan tingkat pertama, yaitu bahasa. Sedangkan sosiologi menurut Tamotsu Shibutani dalam Soekanto,1990: 65 adalah ilmu yang mempelajari
transaksi-transaksi sosial yang mencakup usaha-usaha bekerja sama antara para pihak, karena semua kegiatan-kegiatan manusia didasarkan pada gotong-royong. Maksudnya adalah bahwa
sosiologi merupakan kajian yang membahas segala proses dalam kehidupan masyarakat, karena transaksi-transaksi dan usaha-usaha untuk bekerja sama merupakan proses-proses kehidupan
masyarakat untuk mencapai satu tujuan yang sama. Sastra dan proses sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Proses-proses sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
dapat digambarkan melalui karya sastra. Karya sastra sebagai hasil ciptaan dari seorang pengarang menggambarkan realita kehidupan masyarakat, beserta proses-proses yang dialami
oleh masyarakat dalam melangsungkan kehidupannya. Diantara keduanya saling memerlukan dan saling melengkapi agar menjadikan hidup masyarakat mengerti akan kebudayaan masing-
masing dan tetap melestarikan adat-istiadat yang telah ada sebelumnya dan memperbaharui kehidupan menjadi lebih baik lagi dengan melihat dampak positif dari proses-proses sosial yang
ada dalam kehidupan masyarakat. Kesusastraan Indonesia saat ini tidak sedikit yang membicarakan masalah proses sosial,
karena proses sosial merupakan segala bentuk proses yang terjadi dalam kehidupan
Universitas Sumatera Utara
bermasyarakat, baik itu proses kerja sama, pertikaian, pertentangan, dan akomodasi. Sastra merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena sastra menceritakan
masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat merupakan proses dalam berlangsungnya kehidupan masyarakat sosial.
Menurut Basrowi 2005: 136, Proses sosial merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di dalamnya terdapat
suatu proses hubungan antara manusia satu dengan lainnya. Proses hubungan tersebut berupa interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus.
Interaksi sosial yang dimaksudkan sebagai pengaruh timbal-balik antara kedua belah pihak, yaitu antara individu yang satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam
rangka mencapai sesuatu atau tujuan tertentu. Kehidupan manusia saat ini, proses-proses sosial sangat dibutuhkan, karena tanpa adanya
proses-proses sosial maka manusia tidak dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, tanpa adanya kegiatan dan interaksi dengan sesama masyarakat. Proses-proses sosial tersebut terjadi
akibat adanya hubungan antara individu dengan individu maupun dengan kelompok-kelompok masyarakat.
Kehidupan masyarakat budaya Minahasa dan Bali mengenal adanya kerja sama sebagai proses dalam menjalankan kehidupan antara sesama masyarakat. Kerja sama merupakan proses
sosial kehidupan bermasyarakat. Dalam budaya Minahasa mengenal adanya solidaritas dan kerja sama yang disebut sebagai Mapalus. Menurut Kalangi dalam Koentjaraningrat, 2007: 156,
Mapalus diartikan sebagai kegiatan bantu-membantu dan kerja sama. Dalam menghadapi hal-hal yang penting seperti kematian dengan serangkaian upacara perkabungan dan
penghiburan, perkawinan, dan perayaan-perayaan lainnya, serta dalam mengerjakan berbagai pekerjaan pertanian dan kepentingan rumah tangga maupun komunitas, tampak
adanya gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerja sama, terutama didasarkan pada prinsip resiprositas.
Budaya Bali juga sangat erat dengan kerja sama sebagai bukti masih adanya sikap
tolong-menolong diantara mereka. Gotong-royong merupakan bentuk dari adanya kerja sama. Dalam masyarakat Bali mengenal dua macam cara dan sistem gotong-royong yaitu gotong-
Universitas Sumatera Utara
royong antara individu dengan individu, atau antara keluarga dan keluarga. Menurut Bagus dalam Koentjaraningrat, 2007: 298,
Gotong-royong disebut dengan Nguopin dan meliputi lapangan-lapangan aktivitas di sawah seperti menanam, menyiangi, panen, dan sebagainya, sekitar rumah tangga
memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya, dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam
peristiwa kecelakaan dan kematian.
Kedua budaya di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita harus saling bantu-membantu atau saling bekerja sama sebagai bentuk dari proses sosial dalam
kehidupan antar individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok masyarakat. Kerja sama dalam novel ini dapat kita lihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh penduduk desa yang
saling bergotong-royong seperti membersihkan pura, selokan, pembangunan desa, memperbaiki rumah penduduk, gotong-royong ketika ada acara-acara pernikahan maupun kematian semuanya
dilakukan oleh penduduk dalam novel ini secara bekerja sama. Secara umum proses sosial bukan hanya dilakukan dengan cara kerja sama saja, tetapi dapat diwujudkan dengan aspek-aspek lain,
seperti persaingan, pertentangan, maupun akomodasi. Persaingan secara umum sudah sering kita lihat dalam kehidupan masyarakat saat ini, baik persaingan untuk merebut jabatan atau
kedudukan, persaingan atas harta dan kekayaan, maupun persaingan atas prestasi dalam suatu organisasi. Pertikaian dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan pendapat yang
berhubungan dengan ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Pertikaian atau pertentangan dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu wijaya ini secara garis besar dapat kita lihat ketika Subali
marah kepada Utari karena Utari tidak mau tinggal di rumah mereka. Karena Subali marah pada Utari, kedua orang tua Utari pun marah kepada Subali, merasa tidak diterima anaknya mendapat
perlakuan yang dilakukan oleh Subali. Begitu juga dengan akomodasi secara umum dapat kita lihat dari adanya suatu konflik yang mendapat penyelesaian, dan membuat situasi yang tegang
Universitas Sumatera Utara
kembali menjadi seperti semula. Akomodasi dalam novel ini dapat kita lihat melalui upaya damai yang diberikan oleh kepala desa untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara keluarga
Subali dan penduduk desa. Novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya menceritakan tentang kebudayaan Bali.
Indonesia memiliki beraneka ragam suku dengan budaya yang berbeda. Karena keanekaragaman budaya inilah penulis tertarik menganalisis novel ini, dan Bali juga merupakan provinsi yang
terkenal dengan pemandangan alam yang menarik perhatian orang luar negri dan masyarakat Indonesia sendiri dengan melihat proses sosial yang ada dalam suku Bali dalam novel Tiba-Tiba
Malam karya Putu Wijaya melalui tinjauan sosiologi sastra, agar kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia tetap terjaga dan tetap terlestarikan.
1.2 Rumusan Masalah