Sunatha Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra

berpusat pada tokoh utama ini; sedangkan pada sementara fiksi, misalnya novel atau roman, tokoh utamanya mungkin lebih dari seorang. Di bawah ini akan dideskripsikan penokohan dari tokoh- tokoh yang ada dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya sebagai berikut:

a. Sunatha

Sunatha adalah tokoh utama dalam novel ini. Dia adalah seorang pemuda yang berwawasan luas, komitmen yang tinggi terhadap janji, dan setia kepada pasangan. Sunatha merupakan seorang guru yang ditugaskan ke Kupang. Karena tugas yang harus diembannya mengajar ke Kupang, dia harus rela berpisah dengan istrinya sehari setelah pernikahan. Dia menuntun tangan Utari ke tempat tidur. “Besok pagi kita harus bangun pagi- pagi benar, sebab dari sini ke pelabuhan memakan waktu 6 jam. Saya tidak boleh ketinggalan kapal. Kita harus banyak beristirahat. Saya tidak mau kamu menanggung resiko sepeninggal saya nanti. Jadi apapun kata orang nanti, biarlah kita tidur terpisah mala mini. Nanti kalau kita sudah bersama- sama, kita akan berbuat sebagai suami istri. Saya minta kamu memahami hal ini.” Dia membaringkan tubuh istrinya di tempat tidur. Kemudian dia sendiri mengambil tikar dan menggelarnya di lantai. “Saya tidur di sini. Tetapi hati kita telah bersatu.” Hal. 18-20. Ketabahan Sunatha sedang diuji ketika dia mengetahui bahwa keluarganya sedang dalam masalah dengan warga desa akibat tindakan yang dilakukan oleh Subali ayahnya, dan karena istrinya sudah tidak lagi menjaga janji yang telah disepakati oleh mereka ketika malam pernikahan mereka. Tetapi dengan keadaan seperti ini, Sunatha masih tetap tabah dan berbesar hati akan hukuman yang diberikan oleh adat desa kepada keluarga mereka. Suntha juga tidak malu mengungkapkan kesalahan yang telah diperbuat oleh keluarganya dan meminta maaf kepada penduduk desa. Sunatha menarik napas panjang-panjang. Sekarang kebesaran jiwanya, ketabahannya, kejantanannya sedang diuji. Ia mengangguk kepada bapaknya. Kemudian Universitas Sumatera Utara ia berjalan perlahan-lahan. Fajar telah membayang. Sunatha berjalan-jalan ke depan orang banyak itu dengan tangan terbuka. Di belakang Sunatha, Subali mengekor seperti kerbau. Dan Sunatha pun meminta maaf kepada seluruh penduduk desa. “Saudara- saudara, kawan-kawan semua, para sesepuh desa, saya dan bapak saya sekeluarga, menyerahkan diri saya untuk diadili oleh desa. Keluarga saya, bapak saya, telah melakukan kesalahan besar terhadap adat, sekarang Hyang Widdhi Wasa sudah menjatuhkan hukumannya. Saya terima semua ini dengan penuh pengertian. Seandainya pun ini belum cukup, izinkanlah saya meminta maaf, atas kekeliruan bapak saya. Juga kesalahan-kesalahan saya sendiri. Hukumlah kami sesuai dengan kesalahan-kesalahan kami, akan tetapi satu permintaan saya, jangan buang kami dari pergaulan desa, berikan kami kesempatan sekali lagi. Ini semua adalah pelajaran berat bagi kami. Dan izinkanlah ibu saya beristirahat dengan tenang. Biar saya sendiri sajalah yang memikul semua ini” Hal.224- 225 Sunatha sangat ikhlas terhadap apa yang telah terjadi kepada keluarganya, khususnya melihat apa yang telah terjadi dalam pernikahannya dengan Utari. Sunatha rela kehilangan