Ayah Utari Renti Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya: Analisis Sosiologi Sastra

Karena kecemburuannya, Weda melebih-lebihkan perkataannya di hadapan penduduk desa ketika kelapa desa menanyakan keberadaan Subali. Weda berjuang dalam hatinya. Kedongkolan pada David tiba-tiba muncul lagi. Cemburunya membakar. “Dia bilang kita semua bodoh. Pemalas. Kita sudah menyalahgunakan hak- hak desa untuk membuat……” Weda bercerita panjang lebar. Kebenciannya pada David membuat ia sedikit menambah-nambah. Hal. 68

h. Ibu Utari

Ibu Utari memiliki watak yang mudah terpengaruh terhadap perkataan orang lain. Ibu Utari berperan sebagai pelengkap. Orang tua itu tiba-tiba jadi sedih. Kini ia baru berpikir mungkin Utari sudah kena guna-guna. Ia sudah beberapa kali menyarankan Utari untuk memperhatikan Ngurah. Ya, dia bukan tidak ingin mempunyai menantu kaya. Tapi hati Utari rupanya sudah begitu terjerat Sunatha. Tiba-tiba saja orang tua itu menangis. Ia menggapai memegang tangan Renti. Tetapi lelaki itu mulai bosan. Melihat air mata itu ia Cuma bertambah kesal. Lalu cepat ditinggalkannya. Orang tua itu makin keras menangis. Ia menyesal sekali. Hal. 12- 13

i. Ayah Utari

Ayah Utari sebenarnya orang yang baik. Ia juga berperan sebagai pelengkap dalam novel ini. Dia tahu hal-hal apa saja yang salah yang telah dilakukan oleh keluarganya. Tapi dia tidak berani mengambil tindakan karena takut pada istrinya. Ayah Utari sebenarnya tak setuju dengan tindakan itu. Tapi kemudian ia terpaksa mengikuti istrinya setelah wanita itu menjauh beberapa langkah. Sebenarnya dia berusaha menyadarkan istrinya karena kesalahan mereka yang menyerahkan Utari kepada Ngurah untuk berobat, tetapi istrinya membantah. Kemudian mereka bertengkar karena ketidakcocokan pendapat mereka. Mereka berpamitan. Bapak Utari diam-diam saja. Tapi sekilas terlihat bahwa dia tidak menyetujui hal itu. Tatkala mobil bergerak, dia mulai memperlihatkan ketidakcocokannya. “Kamu sadar apa yang kita lakukan ini?” ”Ya” teriak isterinya galak. Universitas Sumatera Utara “Ingat, Wayan masih istri Sunatha.” “Istria apa Disentuh saja tidak. Dikirimi surat tidak. Malah ditinggal. Lelaki apa itu. Tidak bertanggung jawab” “Tapi….” “Sudah Sudah Bapak kok malah bela Sunatha anak wangdu itu….” Mereka bertengkar. Hal. 54

j. Renti

Renti adalah pengawal Ngurah dan berperan sebagai pelengkap dalam novel ini. Di desa dia merasa jagoan. Penduduk desa banyak yang takut padanya karena kegagahannya, dan karena dia juga mau main kasar kepada orang. “Kita rebut saja sekarang, larikan ke Jawa. Saya yang menanggung risikonya,” usulnya. Ngurah lelaki itu hanya tersenyum. Ia member isyarat agar anak buahnya sabar. Walaupun dia merasa jagoan, tetapi dia memiliki rasa sayang dan peduli pada majikannya, Ngurah. Entah kenapa ia merasa seperti ia sendirilah yang ditinggal oleh pacar. Ia tahu benar bagaimana Ngurah sudah berkhayal-khayal untuk kawin dengan Utari. Meskipun hal itu dipendamnya diam- diam, tetapi Renti tahu anak muda itu sedang mempersiapkan diri untuk melamar. Ia telah membangun rumah. Membeli kendaraan Renti bisa merasakan betapa hancur hati saudagar muda itu.

4. 1. 2 Alur

Alur tidak dapat diarahkan dalam cerita rekaan fiksi. Dalam cerita yang sesungguhnya tidak mungkin tidak ada alur. Dalam cerita rekaan modern yang eksperimental sekalipun masih ditemui alur, orang tidak akan menyebutnya cerita apalagi cerita rekaan, melainkan hanya sebuah lukisan atau paparan belaka. Menurut U. U. Hamidy 1983: 26 alur suatu cerita atau plot dapat dipandang sebagai pola atau kerangka cerita dari bagian-bagian lain cerita itu disangkutkan sehingga cerita itu kelihatan menjadi suatu bangunan yang utuh. Perlu ditambahkan adalah tidak perlu dipersoalkan bahwa akhir cerita masih menimbulkan persoalan baru lagi karena akhir suatu kejadian atau peristiwa bisa menjadi awal Universitas Sumatera Utara dari kejadian lain atau awal dari tragedy itu merupakan sebuah diskusi yang pada gilirannya menjadi bagian pendahuluan dari kisah berikutnya. Untuk membatasi titik tinjauan, maka perlu diberi batasan terhadap apa yang dimaksud cerita di dalam sebuah novel, yaitu rangkaian tindakan yang terdiri dari tahap-tahap yang penting dalam sebuah struktur yang terikat oleh waktu. Mochtar Lubis 1981: 17 mengatakan bahwa suatu cerita terdiri dari lima bagian, yaitu: a. Situation pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, b. Generating Circumstante peristiwa yang bersangkut- paut dan mulai bergerak, c. Racing Action keadaan mulai memuncak, d. Climax peristiwa- peristiwa mencapai puncaknya, dan e. Denoument pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa. Namun bukan berarti bahwa suatu cerita harus disusun menurut urutan peristiwa di atas, karena ini hanya merupakan penjelas terhadap unsur- unsur yang membangun alur tersebut. Bagian-bagian tersebut dapat saja berpindah ke bagian lain, denoument dapat saja berpindah ke bagian situation, demikian pula bagian situation dapat berubah ke posisi ke tempat climax. Pertukaran atau perpindahan posisi tersebut berguna untuk bagian-bagian tertentu, seperti ketakterdugaan, keterkejutan, dan kelogisan cerita. Bagaimana cerita itu disusun tergantung kepada fantasi pengarangnya. Pada dasarnya alur dibagi atas dua bagian besar, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju sering juga disebut alur biasa. Disebut alur maju apabila suatu cerita mengikuti urutan- urutan situation, generating circumstance, racing action, climax, dan denoument. Sedangkan pengertian alur mundur ialah apabila cerita tidak mengikuti konsep di atas. Alur mundur dapat diketahui apabila pengarang memulai suatu cerita yang menefangkan atau klimaks, kemudian diceritakan penyebab konflik besar tersebut. Universitas Sumatera Utara Menurut fungsinya, Boulton 1975: 47- 48 membagi alur cerita atas fungsi dan pengarang dan pembaca. Bagi pengarang, alur adalah arah supaya penulis tetap jelas. Sedangkan bagi pembaca, alur membawa pembaca bergerak maju meskipun tidak setiap hal kecil dapat ditangkapnya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, penulis memberikan batasan alur sebagai berikut, alur ialah rangkaian peristiwa dalam cerita berdasarkan sebab-akibat yang logis. Batasan ini selanjutnya penulis jadikan dasar kajian dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis. Sebagai pegangan tentang kriteria pembangunan alur, penulis mengambil pembagian dari Mochtar Lubis. Alur yang terdapat dalam novel Tiba-Tiba Malam ini adalah alur maju. Bagian-bagian alur cerita ini dapat digambarkan dan dimulai dari pemaparan Situation. a. Situation Pada bagian ini pengarang mulai melukiskan suatu keadaan. Pemaparan Situation merupakan suatu kondisi permulaan yang menyampaikan informasi permulaan kepada pembaca cerita ini dimulai saat pernikahan Sunatha dengan Utari yang banyak diceritakan banyak orang di desa. Upacara perkawinan Sunatha dilangsungkan dengan sederhana dan mendadak. Banyak orang heran dan bertanya-tanya, mengapa hal tersebut terjadi. Mempelai wanita adalah bunga dalam desa, dipujikan kecantikan maupun kelakuannya. Di samping orang cemburu kenapa guru SMP yang gemar menyanyi lagu-lagu rakyat itu yang mampu merobohkan hati Utari, orang juga merasa belum waktunya desa kehilangan putrinya yang tercantik. Hal. 1 Pernikahan itu terjadi mendadak karena Sunatha akan pergi ke Kupang untuk mengajar. Hal ini yang membuat warga desa heran karena kepergian Sunatha ke Kupang sehari setelah pernikahannya berlangsung. Pemuda itu hanya tersenyum Universitas Sumatera Utara “Kalian jangan begitu, beli Sunatha kan mau berangkat ke Kupang besok pagi.” Semuanya terperanjat. Hal. 4 b. Generating Circumstance Peristiwa yang tersangkut-paut mulai bergerak. Pada tahap ini, pembaca mulai memahami bahwa cerita akan diceritakan sedikit demi sedikit oleh pengarang, tetapi cerita belum jelas, masih samar-samar. Pada tahap ini dapat kita lihat bahwa Utari yang tidak mau tinggal di rumah Subali. Kesedihannya karena ditinggal oleh Sunatha semakin menjadi-jadi. Dia mengatakan bahwa Sunatha telah mengguna-guna dia. Utari meronta. “Aku mau pulang Aku sudah diguna-guna.” Hal. 31 Perang mulut akhirnya terjadi. Ayah dan Ibu Utari mulai percaya bahwa ada sesuatu yang tak beres. Hal. 32 Pertengkaran antara dua keluarga pun sudah terjadi. Subali mengancam Utari. Tak sadar Subali menampar menantunya. Waktu itu ayah Utari segera campur tangan menarik tangan anaknya. “Baik” teriak Subali. “Sejak dulu orang selalu menyebarkan fitnah atas keluargaku. Kamu mau kawin dengan Sunatha secara baik-baik, sekarang kamu tuduh anak saya mengguna-guna kamu, setelah dia tak ada disini untuk membela dirinya. Ini pasti ada orang yang campur tangan. Baik Sekarang pilih saja, kamu pulang atau tinggal di rumah suamimu. Kalau kamu mau pulang, tak usah lagi kamu balik ke rumah kami. Kamu dengar?” Hal. 32- 33 Kemarahan Subali terhadap menantunya membuat Subali semakin dekat dengan David, dan mempercayai segala ide-ide David yang menginginkan agar kebiasaan-kebiasaan lama ditinggalkan dan hidup dengan hal-hal yang praktis. “Bapak harus bikin pembaruan di desa ini. Kalau tidak siapa lagi? Di sini harus ada rumah-rumah sekolah, harus ada listrik, dan harus hidup lebih praktis.” “kami merencanakan untuk memperbaiki pura kami menjelang odalan besar- besaran yang akan datang.” Universitas Sumatera Utara “Ah, buat apa Kan ada orang lain. Masa kalau satu tidak datang kerja itu tidak bisa diteruskan. Omong kosong. Apa artinya satu orang. Kasih saja uang untuk ganti kerugian. Pokoknya besok kita harus ada di Denpasar. Saya bawa mobil.” “Tapi bagaimana kata orang nanti?” “Sudahlah. Jadilah orang praktis, jangan tenggelam dengan sistem yang sudah bobrok ini. Sebab coba…..” Hal. 51- 52 c. Racing Action Tahap ini berisi peristiwa-peristiwa yang mulai mengarah ke puncak cerita, namun belum sampai menimbulkan klimaks puncak cerita. Dalam cerita ini dapat dilihat tahap racing action yaitu terjadinya insiden atau konflik. Walaupun konflik telah terjadi, namun belum menimbulkan suatu perubahan yang mendasar terhadap tokoh utama. Hal ini disebabkan konflik atau insiden yang terjadi sifatnya tidak terlalu fatal, dengan perkataan lain konflik yang terjadi adalah konflik- konflik kecil. Konflik dalam cerita ini dimulai dengan Subali yang tidak pernah ikut dalam rapat desa. “Sekarang saya dengar bapak Subali tidak pernah datang kalau ada kerepotan desa.” “Waktu istri saya mati dulu dia tidak kelihatan, padahal dia ada di rumah. Mengakunya sakit.” “Ya. Sudah sering dia tidak keluar, waktu ada kerja bakti di pura.” Hal. 66 Subali yang tidak pernah ikut dalam setiap kerepotan desa membuat warga desa sangat marah. “kalau besok Subali tidak datang memugar pura bersama kita, keluarkan dia dari karma desa kita harus tegas” Orang banyak berteriak menyambut. “Setujuuuu” “Kita cari dia ke rumahnya sekarang” “Setujuuuuuuu” Rapat itu kacau. Ngurah cepat bertindak dan menenangkan mereka. Hal. 67 d. Climax Apabila tahap ketiga tadi menceritakan tentang berbagai macam konflik kecil dan sifatnya menjurus ke konflik besar, maka pada tahap ke empat atau puncak, konflik pecah. Universitas Sumatera Utara Biasanya, konflik-konflik yang menuju konflik besar atau puncak akan berakibat pada perubahan nasib para tokoh utama. Pada tahap ini dapat dilihat dengan jelas bahwa ada beberapa konflik besar yang terjadi dalam novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya. Konflik yang pertama dimulai ketika Subali tidak ikut dalam kegiatan di desa dan Subali memberikan amplop pada kepala desa sebagai pengganti dirinya yang tidak bisa ikut kerja karena pergi bersama David ke Denpasar. “Maaf sekali ini saya tidak bisa ikut bekerja. Ada keperluan di Denpasar, saya sakit saya harus berobat kesana. Ini saya membayar uang ganti diri saya bekerja.” Ia mengulurkan segenggam uang yang tadi disisipkan oleh David. Kepala Desa terpaku. Semua orang terpaku. Uluran tangan itu tidak disambut. Subali jadi gugup. Tapi kemudian dia memegang tangan Kepala Desa dan meletakkan uang itu disana. Waktu itu David cepat menjepret. “Semuanya masih diam. Semuanya masih memperhatikan Kepala Desa. orang tua itu gemetar. Ia menggenggam uang ditangannya. Tak ada yang berani bicara. Orang tua itu berusaha menahan dirinya. Kemudian ia memperhatikan dengan sedih orang- orang di sekelilingnya. “Puluhan tahun Bapak memimpin kamu semuanya. Puluhan tahun Bapak memimpin desa ini. Kita semua rukun seperti saudara satu sama lain. Kita tidak pernah bertengkar. Tapi sekali ini Bapak merasa sudah tua sekali. Mungkin dunia sudah berubah. Bapak takut mengatakan apa-apa, takut nanti salah di belakang hari. Tapi Bapak benar- benar merasa seperti muka Bapak dikentuti oleh orang yang Bapak anggap mengerti tata karma desa” Hal. 77- 78 Tindakan yang dilakukan oleh Subali membuat warga desa marah, dan akhirnya Kepala Desa memutuskan untuk mengucilkan keluarga Subali. “Tak usah begini saja. Begini, katakan kepada bapak kalau nanti pulang, sudahlah, tidak usah lagi ikut kerja di pura. Kalau memang selalu repot kami juga tidak memaksa. Tapi tentunya demikian juga sebaliknya nanti. Jelasnya, kami memutuskan untuk mengeluarkan bapak dari ikatan krama-desa. Ini, supaya Nyoman tahu saja.” Hal. 85 Setibanya Sunatha di desa dia melihat iring-iringan mayat ibunya. Setelah acara penguburan selesai Sunatha menanyakan keberadaan istrinya pada Weda, dan Weda menceritakan kejadian yang terjadi selama ini. Hal ini membuat Sunatha marah dan pergi Universitas Sumatera Utara menemui keluarga Utari menanyakan keberadaan istrinya. Pada saat itu hadir Ngurah. Merekapun berkelahi. Sunatha langsung saja menggebrak kedua orang tua itu. “Mana istriku Mana” Mertuanya itu ketakutan. Mereka tidak bisa menjawab. Sunatha memaki-maki. Kesadarannya sudah mulai hilang. Sunithi dan Weda mencoba menyabar-nyabarkannya. Tapi waktu itu datang Ngurah. Guru ini menjadi kalap. Ngurah yang langsung turun untuk mendamaikan, dianggapnya menantang. Sunatha langsung menghajarnya. Sunatha menghajar Ngurah. Mula-mula Ngurah tidak melawan. Kemudian ia jadi tergerak juga. Serangan Sunatha dibalasnya. Mereka berkelahi dengan kasar. Sunatha sudah gila. Ia tidak memedulikan apa-apa lagi. Waktu itulah Renti datang. Tak banyak tanya ia langsung melabrak Sunatha. Guru ini mencoba untuk melawan. Sekarang kebalikannya yang terjadi. Ngurah cepat berdiri dan berusaha nyetop Renti. Tapi lelaki ini sangat asyik. Ia terus menghajar Sunatha. Hal. 215- 216 Perkelahian yang terjadi antara Sunatha dan Ngurah membuat warga desa lebih memihak pada Ngurah, sehingga warga desa membongkar kembali mayat ibunya, dan ketika pagi keluarga Subali melihat kembali mayat ibunya yang sudah dikubur di halaman rumah mereka. Inilah yang membuat Sunatha ingin marah sekali melihat mayat ibunya dibongkar oleh warga, tetapi dia tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Dilihatnya warga desa mengelilingi rumah mereka sambil membawa senjata tajam. “Bangun Bangun” Weda tersentak Sunithi cepat mendorongnya ke pintu. Lelaki itu terhuyung- huyung ke luar. Ia mengusap-usap matanya. Tapi waktu ia menoleh ke halaman, mulutnya jadi ternganga. Seluruh tubuhnya seperti disiram air panas. Di tengah halaman itu, menggeletak mayat yang kemarin mereka kubur. Hal. 222 e. Denoument Tahap denoumen ini adalah tahap yang bersifat final. Pada tahap ini cerita berakhir biasanya mempunyai dua pilihan, pertama berakhir dengan kegembiraan, dan kedua akan berakhir dengan tragis ataupun berakhir dengan kesedihan. Dalam novel Tiba-Tiba Malam ini cerita diakhiri pengarang dengan rasa kebahagiaan bercampur dengan rasa duka. Rasa duka itu Universitas Sumatera Utara muncul ketika Sunatha melepas Utari kepada Ngurah. Melihat Utari yang sedang hamil dari anak Ngurah, hati Sunatha jadi sedih dan dia melepaskan Utari pada Ngurah. “Saya serahkan Utari dengan rela.” Ngurah menerima pernyataan itu dengan wajar. Ia menjabat tangan Sunatha. “Benar- benar dengan rela?” “Ya.” Mereka bersalam-salaman lagi meski hati mereka hancur. Hal. 230 Akhir cerita yang berujung pada kebahagiaan dapat kita lihat ketika kepala desa meminta kepada penduduk desa agar mau memaafkan keuarga Subali dan menerima mereka kembali dalam banjar disambut baik oleh warga desa. “Kawan-kawan,” katanya,anak ini telah meminta maaf, kita hormati dia, sebagai orang yang berkelakuan baik. Lihat, bapaknya pun telah menyesal. Benar kamu menyesal?” Subali menganggukkan kepalanya. “Jadi mari kita kuburkan dengan sepatutnya, istrinya yang tidak bersalah itu. Hari ini kita sudah banyak belajar, bagaimana caranya hidup bersama-sama sekarang.” Orang-orang banyak mulai bergerak.. Mula-mula mereka bercakap sesamanya. Kemudian kepala desa memberikan perintah-perintah. Perdamaian itu mereka sambut dengan baik. Meskipun ada juga yang menggerutu. Renti misalnya. Hal. 226

4. 1. 3 Latar

Latar dalam sebuah novel sangat diperlukan. Latar ini merupakan tempat yang biasanya menerangkan berlangsungnya sebuah kejadian di dalam sebuah cerita. Pengarang memberikan secara fiktif tempat terjadinya cerita akan dirasakan oleh pembaca sebagai suatu suasana yang ikut bergerak ke dalam suatu tempat kejadian. Latar ialah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra Panuti Sudjiman, 1984: 46. Bagi Hudson, latar berarti tempat dan waktu. Pada kedua unsur tersebut ditambahkannya “situasi” yaitu seluruh milik sebagai cerita seperti tata cara kebiasaan, cara hidup, latar belakang alam, dan lingkungan sekitar. Hudson Universitas Sumatera Utara membedakan latar atas latar sosial dan latar material. Kedua jenis latar itu dikenal sebagai ruang atau tempat. Di mana tokoh-tokoh cerita mendasarkan lakunya. Latar juga adalah pembangkit alasan psikologis pertumbuhan tokoh 1995: 158. Apa yang disebut latar sosial oleh Hudson di atas, menurut Mursal Esten 1982: 93 tidak hanya kelas sosial dari masyarakat seperti pedagang, petani, intelektual, dan lain-lain, tapi juga lingkungan sosial masyarakat desa, lingkungan masyarakat kota, rural, ataupun urban. Yang dimaksud dengan latar material material setting bagi Brooks dan Warren 1959: 687 adalah latar belakang fisik physical background, unsur tempat dan ruang dalam suatu cerita. Dari pendapat para ahli di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud latar ialah waktu, tempat, dan situasi dimana cerita tersebut terjadi. Pengertian inilah yang penulis pakai sebagai dasar bagi analisis karya sastra dalam penelitian ini. a. Waktu Latar waktu terjadi selama satu tahun pada saat musim salju di Negara barat. Jauh disana. Di sebuah tempat yang jauh lebih bagus. Sementara salju turun. David sendirian dalam flatnya. Ia terbenam dalam musik Bali dari kasetnya. Hal. 151 Latar waktu terjadi pada pagi hari, siang, dan malam. Matahari pagi, mencak langit dengan warna merah yang lembut. Beberapa ekor burung tampak melesat dan memuntah suara yang segar. Udara gunung yyang masih sejuk mengendap rendah di jalan desa juga masih ada kabut tipis yang membuat pemandangan agak buram. Akan tetapi pada saat itu justru pura yang terletak di tempat yang ketinggian dengan berlatar Gunung Batukau itu jadi kelihatan penuh wibawa, anggun, dan melindungi. Hal. 71 Latar waktu yang terjadi pada siang hari dapat kita lihat ketika rombongan keluarga Sunatha berada di pelabuhan memberangkatkan Sunatha yang akan pergi ke Kupang. Utari, istri Sunatha, tampak bengkak matanya. Mereka memasuki kedai dan bermaksud untuk makan siang, menunggu kapal berangkat. Sementara itu, kelihatannya ada diskusi kecil antara Sunatha dan orang asing itu. Hal. 21 Universitas Sumatera Utara Dan latar waktu yang terjadi pada malam hari adalah ketika pertunjukan Drama Gong pada malam pernikahan Sunatha, dan pada saat rapat desa dilakukan. Malam hari dipertunjukkan Drama Gong. Subali tampak bicara terus menerangkan segala sesuatu pada David. Hal. 10 Malam hari. Orang tua tukang pukul kentongan itu menaiki tangga di pohon beringin menuju ke tempat kentongan. Hal. 58 b. Tempat Latar tempat terjadi di desa tokoh, Tabanan, Denpasar, dan Banyuwangi. Boleh kita sebutkan juga desa itu, sebuah dusun kecil di lereng bukit yang mungill. Udaranya segar. Ia memiliki puncak Gunung Batukau yang selalu kelihatan. Ia memiliki sungai yang jernih airnya. Pancuran-pancuran tempat mandi kebanyakan orang desa. serta sawah-sawah yang rapi. Penduduknya hamper kenal satu sama lain, sebagai keluarga besar. Hal. 42 David memasuki Denpasar bersama Subali. Orang asing itu tiba-tiba berubah tingkah. Ia menjadi pendiam. Tak banyak ketawa dan serius sekali. Ia tidak suka lagi menjepret. Seakan-akan ia sedang memasuki watak yang lain. Hal. 79 Ia turun di Tabanan. Entah kenapa tidaj tergesa-gesa pulang. Ada yang berat rasanya untuk kembali ke kampong. Ia mengerti telah melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh banyak orang. Sulit untuk menatap semuanya itu kembali. Lebih mudah untuk melupakannya saja. Hal. 102 Di Banyuwangi keduanya tinggal dalam satu kamar. Utari sama sekali tidak canggung lagi. Ngurah awal-awal sudah menerangkan ini dilakukan untuk mengirit biaya. Juga untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang lain. Hal. 114 c. Situasi Latar situasi yaitu seluruh yang meliputi cerita antara lain: tata cara, kebiasaan, cara hidup, dan lingkungan sekitar Hudson, 1955: 158. Latar sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam ini adalah kehidupan sosial di pulau Bali. Kehidupan sosial Bali yang masih mengutamakan sifat gotong-royong dalam desa. Dan di tengah desa ada sebuah pohon beringin dengan rumah-rumahan tempat kentongan desa tergantung, tampak terpelihara rapi. Bila seorang tua petugas desa itu kelihatan memanjat tangga untuk mencapai kentongan itu, setiap warga desa bersiap-siap untuk melakukan kerja bersama. Baik perbaikan jalan, merapikan pura atau kerja bakti yang lain. Mereka berbondong-bondong datang dan melakukan semua kerja bersama itu dengan gembira, penuh seloroh dan bangga. Hal. 42 Universitas Sumatera Utara Karena keadaan sosial yang seperti di atas, apabila warga tidak mematuhi aturan, warga desa berhak mengeluarkan warga yang melakukan pelanggaran dari krama desa. “Tak usah begini saja. Begini, katakan kepada bapak kalau nanti pulang, sudahlah, tidak usah lagi ikut kerja di pura. Kalau memangselalu repot kami juga tidak memaksa. Tapi tentunya demikian juga sebaliknya nanti. Jelasnya, kami memutuskan untuk mengeluarkan bapak dari ikatan krama-desa. Ini, supaya Nyoman tahu saja.” Hal. 85

4. 1. 4 Tema

Tema adalah pokok persoalan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Atar Semi 1984: 34 mengatakan, tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca. Menurut Sulastin 1983: 92 tema adalah semacam kesimpulan bahan cerita karena itu dinyatakan sesingkat-singkatnya, misalnya tema suatu cerita ialah kawin paksa. Dalam cerita dengan tema tersebut persoalan kawin paksa akan terbayang sepanjang cerita karena tema itulah yang menjadi pangkal penulisan cerita. Untuk menafsirkan tema suatu karya sastra dapat digunakan kata kunci, yaitu lewat judul suatu karya sastra Sulastin, 1983: 129. Menurut Mursal Esten 1982: 92 menyodorkan tiga criteria untuk mengidentifikasi tema dalam cerita, yaitu: Pertama tentulah dilihat persoalan mana yang paling menonjol. Kedua, secara kuantitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa. Cara yang ketiga ialah menentukan waktu penceritaan, yaitu diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh di dalam sebuah sastra. Dengan menggunakan criteria itu akan menghilangkan keraguan kita untuk menentukan persoalan mana yang merupakan tema dari sebuah karya sastra. Ketiga criteria tersebut tidak mutlak harus digunakan sekaligus. Ketiganya baru digunakan menurut urutan, bila ada keraguan Universitas Sumatera Utara dalam menentukan persoalan mana yang merupakan tema dari karya sastra tersebut. U. U. Hamidy 1983: 16 menyodorkan empat langkah yang harus ditempuh untuk dapat memperoleh tema suatu karya fiksi itu, yaitu pertama, buatlah kesatuan-kesatuan yang amat penting, yang terdapat dalam karya fiksi itu. Susunlah kesatuan-kesatuan peristiwa yang penting itu menurut jalan cerita. Rumusan itulah yang menjadi tema cerita tersebut. Henry Guntur Tarigan 1984: 125 mengatakan bahwa walaupun misalnya pengarang yidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu harus dapat dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah selesai membacanya. Tema dalam novel Tiba-Tiba Malam ini adalah pelanggaran tanggung jawab dan norma yang mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan. Arti dari judul novel ini dapat kita ketahui bahwa dari suasana yang bahagia berujung pada penderitaan yang berkepanjangan. Kebahagiaan Sunatha dan Utari atas permikahan mereka tampak dari keadaan sebagai berikut. Iring-iringan itu, meskipun mendadak, tapi cukup meriah. Kedua mempelai berusaha menyembunyikan kegembiraannya, tetapi tidak bisa menutupi keinginan tahu mereka. Sunatha sendiri melirik-lirik sepanjang jalan. Ia heran melihat kehadiran orang asing yang sibuk memotret itu. Desa mereka belum pernah kedatangan turis, karena memang tidak ada yang pantas untuk dijual dalam kegiatan pariwisata. Ia merasa mendapat firasat yang tak enak. Tapi tak lama kemudian ia terpaksa mengalihkan perhatiannya dari orang asing itu, karena melihat Ngurah dan kawan- kawannya menggabungkan diri dengan barisan. Walaupun terlambat rupa- rupanya juragan yang kata itu suka juga datang. Sunatha jadi menaruh hormat pada sportivitasnya. Diam- diam ia menyentuh tangan Utari. Wanita itu membalas dan mencubit tangan Sunatha. Beberapa anak kecil sempat memperhatikan kejadian itu. Mereka terus merapat dan bersorak setiap kali Sunatha mencoba menyentuh lagi tangan calon istrinya. Kebahagiaan Sunatha dan Utari jelas terlihat dalam kutipan di atas. Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah Sunatha berangkat ke Kupang banyak masalah yang terjadi dalam keluarga Subali, ayah Sunatha. Masalah tersebut dimulai dari Utari yang tidak mau tinggal di rumah Sunatha yang mengatakan bahwa dia telah diguna-guna sehingga Subali menampar Utari dan mengancamnya. Universitas Sumatera Utara Utari meronta. “Aku mau pulang Aku sudah diguna-guna.” Hal. 31 Perang mulut akhirnya terjadi. Ayah dan Ibu Utari mulai percaya bahwa ada sesuatu yang tak beres. Hal. 32 Tak sadar Subali menampar menantunya. Waktu itu ayah Utari segera campur tangan menarik tangan anaknya. “Baik” teriak Subali. “Sejak dulu orang selalu menyebarkan fitnah atas keluargaku. Kamu mau kawin dengan Sunatha secara baik-baik, sekarang kamu tuduh anak saya mengguna-guna kamu, setelah dia tak ada disini untuk membela dirinya. Ini pasti ada orang yang campur tangan. Baik Sekarang pilih saja, kamu pulang atau tinggal di rumah suamimu. Kalau kamu mau pulang, tak usah lagi kamu balik ke rumah kami. Kamu dengar?” Hal. 32- 33 Kemudian Subali dan keluarganya yang telah dikarma oleh desa karena Subali yang tidak pernah ikut dalam kegiatan desa. “Tak usah begini saja. Begini, katakana kepada bapak kalau nanti pulang, sudahlah, tidak usah lagi ikut kerja di pura. Kalau memangselalu repot kami juga tidak memaksa. Tapi tentunya demikian juga sebaliknya nanti. Jelasnya, kami memutuskan untuk mengeluarkan bapak dari ikatan krama- desa. Ini, supaya Nyoman tahu saja.” Hal. 85 Karena Subali dan keluarganya telah dikeluarkan dari banjar, pada saat kematian istrinya tak ada yang mau melihat mayat istrinya, bahkan tidak ada yang mau membantu untuk membuatkan kuburan buat istrinya. Sementara di kuburan, tampak Subali. Diam- diam ia telah mengambil cangkul dari dapur. Dengan mulut bisu dalam kegelapan ia mulai menggali. Kunang-kunang berserakan di sekitarnya. Juga suara- suara serangga. Kuburan itu sunyi dan angker. Tetapi ia tidak takut. Ia menggali sebuah lubang untuk istrinya. Tepat waktu fajar, lubang itu telah rampung. Hal. 206 Tidak hanya sampai disitu saja penderitaan yang dialami oleh keluarga Subali. Ketika mayat itu telah dikuburkan, keesokan paginya mereka melihat kembali mayat itu telah dibongkar oleh penduduk karena peristiwa perkelahian antara Sunatha dengan Ngurah. Sunatha memaki-maki. Kesadarannya sudah mulai hilang. Sunithi dan Weda mencoba menyabar-nyabarkannya. Tapi waktu itu datang Ngurah. Guru ini menjadi kalap. Ngurah yang langsung turun untuk mendamaikan, dianggapnya menantang. Sunatha langsung menghajarnya. Universitas Sumatera Utara Sunatha menghajar Ngurah. Mula-mula Ngurah tidak melawan. Kemudian ia jadi tergerak juga. Serangan Sunatha dibalasnya. Mereka berkelahi dengan kasar. Sunatha sudah gila. Ia tidak memedulikan apa-apa lagi. Waktu itulah Renti datang. Tak banyak tanya ia langsung melabrak Sunatha. Guru ini mencoba untuk melawan. Hal. 216

4. 2 Bentuk-Bentuk Proses Sosial Dalam Novel Tiba-Tiba Malam Karya Putu Wijaya

Proses sosial menurut Basrowi 2005:136, Merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di dalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Proses hubungan tersebut berupa interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus. Interaksi sosial yang dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antara kedua belah pihak, yaitu antara individu yang satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai sesuatu atau tujuan tertentu. Menurut Basrowi 2005: 138 interaksi sosial adalah hubungan dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok dengan kelompok maupun orang dengan kelompok manusia. Bentuknya tidak hanya bersifat kerja sama, tetapi bisa juga berbentuk tindakan persaingan, pertikaian dan sejenisnya.

4. 2. 1 Kerja Sama

Menurut Hendropuspito 1989: 236 yang mengatakan bahwa kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan guna mencapai tujuan yang sama. Kerja sama dalam bentuk apapun apabila dilakukan secara gotong-royong sangat diperlukan dalam kebudayaan Bali. Semua suku sangat memperhatikan dan mengutamakan sistem gotong- royong karena kita tinggal dan hidup saling berkesinambungan dengan anggota masyarakat yang lain. Kerja sama menurut Dirdjosisworo 1985: 276 adalah suatu kegiatan dalam proses sosial untuk mencapai tujuan yang sama dengan cara saling membantu dan saling menolong dengan komunikasi yang efektif. Universitas Sumatera Utara Dalam kehidupan masyarakat budaya Minahasa dan Bali mengenal adanya kerja sama sebagai proses dalam menjalankan kehidupan antara sesama masyarakat. Kerja sama merupakan proses sosial kehidupan bermasyarakat. Dalam budaya Minahasa mengenal adanya solidaritas dan kerja sama yang disebut sebagai Mapalus. Menurut Kalangi dalam Koentjaraningrat, 2007: 156, Mapalus diartikan sebagai kegiatan bantu-membantu dan kerja sama. Dalam menghadapi hal-hal yang penting seperti kematian dengan serangkaian upacara perkabungan dan penghiburan, perkawinan, dan perayaan-perayaan lainnya, serta dalam mengerjakan berbagai pekerjaan pertanian dan kepentingan rumah tangga maupun komunitas, tampak adanya gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerja sama, terutama didasarkan pada prinsip resiprositas. Lain dari itu, budaya Bali juga sangat erat dengan kerja sama sebagai bukti masih adanya sikap tolong-menolong diantara mereka. Gotong-royong merupakan bentuk dari adanya kerja sama. Dalam masyarakat Bali mengenal dua macam cara dan sistem gotong-royong yaitu gotong-royong antara individu dengan individu, atau antara keluarga dan keluarga. Menurut Bagus dalam Koentjaraningrat, 2007: 298, Gotong-royong disebut dengan Nguopin dan meliputi lapangan-lapangan aktivitas di sawah seperti menanam, menyiangi, panen, dan sebagainya, sekitar rumah tangga memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya, dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. Dalam novel Tiba-Tiba Malam terdapat kerja sama yaitu kerja sama dalam pembangunan pura maupun acara-acara pernikahan dan kematian yang terdapat dalam novel ini. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa contoh yang tertera berikut ini: Dan di tengah desa ada sebuah pohon beringin dengan rumah-rumahan tempat kentongan desa tergantung, tampak terpelihara rapi. Bila seorang tua petugas desa itu kelihatan memanjat tangga untuk mencapai kentongan itu, setiap warga desa bersiap-siap untuk melakukan kerja bersama.baik perbaikan jalan, merapikan pura atau kerja bakti yang lain. Mereka berbondong-bondong datang dan melakukan semua kerja bersama itu dengan gembira, penuh seloroh dan bangga. Hal. 42 Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa adanya kerja sama dalam novel tersebut. Kerja sama yang dilakukan oleh seluruh warga desa dalam memperbaiki jalan, merapikan pura dan kerja bakti yang lainnya. Universitas Sumatera Utara Di sana tampak orang-orang bekerja. Pura itu dipugar dalam suasana gotong- royong yang tulus. Semua orang tampak gembira dan bekerja dengan giat. Hal. 76 Ketika kita melakukan pekerjaan secara bersama- sama dengan anggota masyarakat lainnya, maka perasaan bahagia dapat kita rasakan, selain itu kerja sama juga dapat menanamkan rasa kekeluargaan dengan anggota masyarakat yang lainnya karena kita melakukannya dengan bersama-sama dan denga tujuan yang sama, sehingga interaksi dengan anggota masyarakat yang lain dapat berjalan dengan baik. Hari itu juga, penguburan dilakukan dengan patut. Hal. 226 Tidak hanya kegiatan kerja sama dapat kita lihat dalam pekerjaan pembangunan desa. dalam novel ini juga dapat kita lihat kerja sama dalam acara kematian, seperti yang telah kita lihat dalam kutipan di atas.

4. 2. 2 Pertikaian

Pertentangan atau pertikaian menurut Basrowi 2005: 148 adalah bentuk persaingan yang berkembang kearah negatif, artinya karena di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainnya. Pertentangan atau pertikaian menurut Dirdjosisworo 1985: 277 mengatakan bahwa, Suatu bentuk dalam interelasi sosial di mana terjadi usaha-usaha pihak yang satu berusaha untuk menjatuhkan pihak yang lain, atau berusaha mengenyahkan yang lain yang menjadi rivalnya. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan-perbedaan pendapat antara pihak-pihak tersebut. Pertikaian ini bisa berhubungan dengan masalah-masalah ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya. Dari bentuk ini proses akan membawa berbagai dampak sosial yang luas. Pertikaian dalam novel ini dimulai dari Utari yang merasa bahwa dirinya telah diguna- guna dan dia tidak mau tinggal di rumah Subali. Utari meronta. “Aku mau pulang Aku sudah diguna-guna.” Subali memegangnya agak keras. “Diam Kamu bilang apa itu fitnah Universitas Sumatera Utara “Meme bawa aku pulang. Aku tidak mau disini. Bawa aku pulang” Perang mulut akhirnya terjadi. Ayah dan Ibu Utari mulai percaya bahwa ada sesuatu yang tak beres. Subali menyeret Utari pulang “Tolong Tolong” Perempuan itu kemudian memegang tangan Utari dan menariknya. “Ini menantu saya, jangan ikut campur lagi” “Ini anak saya” dia langsung mendekap Utari. Subali segera menjamahnya kembali. “Ayo pulang Rumahmu sekarang di rumah suamimu Ayo” Mereka bertengkar keras. Tak sadar Subali menampar menantunya. Waktu itu ayah Utari segera campur tangan menarik tangan anaknya. “Baik” teriak Subali. “Sejak dulu orang selalu menyebar fitnah atas keluargaku. Kamu mau kawin dengan Sunatha baik- baik, sekarang kamu tuduh anak saya mengguna- guna kamu, setelah dia tidak ada disini untuk membela dirinya. Ini pasti ada orang yang campur tangan. Baik Sekarang pilih saja, kamu mau pulang atau tinggal di rumah suamimu. Kalau kamu mau pulang, tak usah lagi kamu balik ke rumah kami. Kamu dengar” Hal 31- 33 Dari kutipan di atas jelas sekali bahwa terdapat adanya perbedaan- perbedaan pendapat antara Subali dan keluarga Utari. Utari yang selalu saja memaksa untuk tinggal di rumahnya ditentang oleh Subali. Bahkan Subali sendiri mengancam Utari apabila dia tinggal di rumah orang tua nya, Utari tidak diperbolehkan lagi datang ke rumah Subali. Dari pertikaian di atas melahirkan dampak sosial yang lain. Keluarga Subali menjadi sedih meme semakin sakit-sakitan, Subali sendiri juga sudah semakin percaya dengan David. Hubungan kedua keluarga pun menjadi tidak baik. “Tapi meme sakit. Bapak tidak boleh pergi. Bapak tidak ikut kerja ke pura sekarang?” Subali diam saja. David mencoba menerangkan untuk mengusut. Tapi kemudian Subali marah. “Bapak sekarang tidak peduli sama meme lagi” “Diam Anak mulai kurang ajar. Berani-berani kamu sekarang” Sunithi ketakutan. Dia belum pernah dibentak bapaknya. Dia belum pernah melihat perangai bapaknya seperti itu. Waktu itu didengarnya ada yang memanggil di luar. Ia bergegas ke luar. Hal. 72 Universitas Sumatera Utara Pertikaian antara Sunithi dan bapaknya jelas menggambarkan suatu perbedaan- perbedaan pendapat antara mereka. Sunithi yang melarang bapaknya untuk pergi karena ibunya sedang sakit ditentang oleh Subali. Subali tetap pergi bersama David. Mereka bertengkar. Akhirnya mereka berkelahi. Sunithi melawan karena merasa benar. Weda memukul Sunithi. Sunithi membalas. “Kalau begitu kita putus” teriak Weda. “Ayo putus kalau mau putus. Biar” “Biar kamu ditipu orang asing itu. Biar bapakmu dikeluarkan krama desa. putus” “Biar Biar Aku tidak mau peduli” Weda terus lari sambil mengacungkan telunjuknya. Sunithi membalas. Tapi kemudian dia sadar dia sudah terlalu mengikuti perasaannya. Waktu Weda lenyap ke jalan, dia berteriak-teriak memanggil-manggil. Weda tak kembali. Hal. 73- 74 Perkelahian antara Sunatha dengan Ngurah juga dapat kita lihat dalam novel ini sebagai salah satu bentuk dari proses-proses sosial. Kemarahan Sunatha pada Ngurah karena telah mengambil Utari saat Sunatha berada di Kupang semakin menjadi-jadi. Sunatha menghajar dan menendang Ngurah. Sunatha memaki-maki. Kesadarannya sudah mulai hilang. Sunithi dan Weda mencoba menyabar-nyabarkannya. Tapi waktu itu datang Ngurah. Guru ini menjadi kalap. Ngurah yang langsung turun untuk mendamaikan, dianggapnya menantang. Sunatha langsung menghajarnya. Sunatha menghajar Ngurah. Mula-mula Ngurah tidak melawan. Kemudian ia jadi tergerak juga. Serangan Sunatha dibalasnya. Mereka berkelahi dengan kasar. Sunatha sudah gila. Ia tidak memedulikan apa-apa lagi. Ngurah dibetotnya habis-habisan. Pemuda ini lama-lama mulai kendor. Kalau dibiarkan lebih lama lagi, mungkin dia akan parah. Weda kemudian cepat memegangi kembali Sunatha. Waktu itulah Renti datang. Tak banyak tanya ia langsung melabrak Sunatha. Guru ini mencoba untuk melawan. Tapi Renti bukan tandingannya. Dengan mudah saja pengawal yang perkasa itu meremukkannya. Sekarang kebalikannya yang terjadi. Ngurah cepat berdiri dan berusaha nyetop Renti. Tapi lelaki ini sangat asyik. Ia terus menghajar Sunatha. Hal. 216- 217

c. Akomodasi