Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis/ Co-Katalis Pembuatan Gas Hidrogen Dan Oksigen Dari Air

(1)

HIDROGEN DAN OKSIGEN DARI AIR

DISERTASI

OLEH

MINTO SUPENO

NIM: 038103003

Program Doktor (S-3) Ilmu Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

Disertasi

Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kimia pada Universitas

Sumatera Utara dengan wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara

Profesor Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K)

dipertahankan pada tanggal 28 Maret 2007

di Medan, Sumatera Utara

Oleh

MINTO SUPENO

NIM: 038103003

Program Doktor (S-3) Ilmu Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Nama : MINTO SUPENO

NIM : 038103003

Program : Doktor (S-3)

Program Studi : Kimia

MENYETUJUI, Promotor

Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc.

Co. Promotor, Co. Promotor,

Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D. Prof. Dr. H. R. Brahmana, M.Sc.

PROGRAM STUDI DOKTOR SEKOLAH PASCASARJANA

ILMU KIMIA

Ketua, Direktur,


(4)

PROMOTOR

Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc.

Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Anorganik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

CO – PROMOTOR

Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D.

Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Polimer

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

CO – PROMOTOR

Prof. Dr. Hemat R. Brahmana, M.Sc.

Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Organik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


(5)

Ketua

: Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc.

Anggota

: Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D.

Prof. Dr. Hemat R. Brahmana, M.Sc.

Prof. Dr. Tonel Barus

Prof. Dr. Yunazar Manjang


(6)

BENTONIT ALAM TERPILAR SEBAGAI MATERIAL

KATALIS/ Co-KATALIS PEMBUATAN GAS

HIDROGEN DAN OKSIGEN DARI AIR

DISERTASI

Saya mengakui bahwa disertasi ini adalah hasil kerja saya sendiri,

kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing

disebutkan sumbernya.

Medan, 28 Maret 2007

MINTO SUPENO NIM: 038103003


(7)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan desertasi ini berjudul “BENTONIT ALAM TERPILAR SEBAGAI MATERIAL KATALIS/ Co-KATALIS PEMBUATAN GAS HIDROGEN DAN OKSIGEN DARI AIR”. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Medan, Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), yang telah memberikan bantuan biaya pendidikan selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.

3. Bapak Ketua Program Studi Ilmu Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H.R. Brahmana, M.Sc.

4. Bapak Pembimbing penulis Prof. Dr. Seribima Sembiring, M.Sc., Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D., dan Prof. Dr. H.R. Brahmana, M.Sc. yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan sumbangan pikiran baik maupun saran kepada penulis.

5. Bapak dan Ibu Staf Pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Program Studi Ilmu Kimia.

6. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Program Studi Ilmu Kimia.

Akhirnya penulis ingin juga mengucapkan terima kasih yang sedalamnya dan penghargaan setingginya kepada Ayahanda Miskandar dan Ibuku Supiah, beserta istriku tercinta Dra. Dwitri Saulina, M.Si. dan anakku Puspa Ayu


(8)

Medan, 28 Maret 2007

Penulis,


(9)

ABSTRAK

Berdasarkan analisis, maka bentonit Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat merupakan jenis Na–bentonit. Bentonit ini dijenuhkan dengan larutan natrium klorida NaCl 1 M selama 1 (satu) hari untuk memperkaya Na–bentonit. Na–bentonit selanjutnya diaktivasi menggunakan asam sulfat (0,5 – 2,0) M selama 24 jam, lalu dikeringkan. Material ini diinterkalasi dan dipilarisasi menggunakan larutan TiCl4 0,82 M dan dikalsinasi pada suhu 350°C menghasilkan bentonit terpilar TiO2 dan selanjutnya dianalisa menggunakan XRD, FTIR, Luas Permukaan (BET) dan SEM. Dari data hasil analisa diketahui bahwa aktivasi yang terbaik untuk bentonit terpilar yang baik terjadi pada konsentrasi asam sulfat 1,5 M.

Pengetsaan bentonit terpilar TiO2 dilakukan dengan menggunakan larutan (HNO3/ HF/ CH3COOH/ I2) dan larutan HF/ H2O/ NH4F dengan maksud untuk memperbanyak rongga pada jarak antar muka dalam silikat, setelah itu dipanaskan pada 400–500°C selama 1 jam. Hasil etsa pada 450°C menghasilkan material dengan luas permukaan terbesar 92,01 m2/g dan volum pori 0,044 cc/g, dan difoto SEM. Silikat yang telah dietsa ini dapat digunakan sebagai co-katalis, yang berfungsi mempercepat terjadinya reaksi peruraian gas hidrogen dan oksigen. Gas total yang dihasilkan sebanyak 78,5% selama 4 hari dibandingkan dengan bentonit TiO2 yang tidak dietsa menghasilkan 60,4 % dalam waktu yang sama.


(10)

ABSTRACT

Bentonite obtanained from Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat was a Na–bentonite. This bentonite was saturated with 1 M NaCl solution for 1 day to enrich the Na–bentonite. Then the Na–bentonite was activated by (0.5 – 2.0) M H2SO4 for 24 hours, then was dried. In the end this material was intercalated and pillaried with 0.82 M Ti complex solution and calcinated at 350°C to produce TiO2–bentonite and analyzed using XRD, FTIR, Surface area (BET) and SEM. From the analysis data, it was known that the best activation condition for Na– bentonite was at the H2SO4 at concentration of 1,5 M.

Etching TiO2–bentonite using (HNO3/ HF/ CH3COOH/ I2) and HF/ H2O/ NH4F solutions was made to increase the hole at the between the layer distances inside the silica, then heated at 400–500°C for 1 hour. The resulting etched TiO2– bentonite which was heated at 450°C produce the material with a wide surface area 92,01 m2/g and the porous volum 0,044 cm3/g and was scanned with SEM.

The etched pillary TiO2–bentonite was used as a co-catalyst in the hydrolisis of H2O, and showed that the total hydrogen and oxygen gases produced was 78.5 % after 4 days, compared was only 60.4 % using non-etched TiO2– bentonite.


(11)

Halaman

UCAPAN TERIMA KASIH vii

ABSTRAK ix ABSTRACT x DAFTAR ISI xi DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 4

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Manfaat Penelitian 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Koloid Anorganik 6

2.1.1. Kaolinit (Tipe 1 : 1) 13

2.1.2. Haloisit (Tipe 1 : 1) 15

2.1.3. Montmorilonit (Tipe 2:1) 16

2.1.4. Ilit (Tipe 2:1) 19

2.1.5. Vermikulit (Tipe 2 : 1 ) 20

2.1.6. Khlorit (Tipe 2 : 2) 22

2.2. Bentonit 23

2.2.1. Proses Terjadinya Bentonit di Alam 23

2.2.2. Komposisi Bentonit 25


(12)

2.3. Lempung Terpilar 42 2.3.1. Prinsip Pilarisasi Lempung Terpilar 44

2.3.2. Jenis-jenis Agen Pemilar 46

2.3.3. Interkalasi Agen Pemilar 50

2.3.4. Preparasi Lempung Terpilar 54

2.3.5. Lempung Induk 56

2.3.6. Larutan Pemilar 57

2.3.7. Reaksi Pertukaran Ion 57

2.4. Aplikasi Lempung Terpilar 61

2.5. Proses Etsa terhadap Silikon 62

2.6. Luas Permukaan dan Porositas Padatan 65 2.7. Sifat-sifat Adsorpsi Lempung Terpilar 70

2.8. Titania (TiO2) 73

2.9. Semikonduktor Titania 75

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat Penelitian 77

3.2. Bahan Penelitian 77

3.3. Lokasi Penelitian 78

3.4. Metode Penelitian 78

3.4.1. Penyediaan Na–Bentonit 78

3.4.2. Aktivasi Na-Bentonit dengan Asam 79 3.4.3. Interkalasi dan Pilarisasi 80 3.4.4. Pengetsaan Bentonit TiO2 80 3.4.5. Pembuatan Gas Hidrogen dan Oksigen

Menggunakan Katalis/ Co-katalis Bentonit TiO2 81

3.4.6. Pengujian Gas Hidrogen 81


(13)

4.2.1. Pembuatan Na–Bentonit 95 4.2.2. Interkalasi dan Pilarisasi 96

4.2.3. Pengetsaan Bentonit Terpilar TiO2 96

4.2.4. Bentonit Terpilar TiO2 sebagai Katalis

Pembuatan Gas Hidrogen 97

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 99

5.2. Saran-saran 99

DAFTAR REFERENSI 100


(14)

Halaman

Gambar 2.1. Struktur Kristal Memperlihatkan Pola Kelompok Atom

akan Berulang-ulang pada Tiga Arah 9

Gambar 2.2. Struktur Tunggal Silika Tetraeder 11 Gambar 2.3. Struktur Kaolinit dari Lembar-lembar Silika

Tetrahedral dan Oktahedral 14

Gambar 2.4. Model Struktur Montmorilonit 17

Gambar 2.5. Skematis Proses Pengolahan Bentonit 31 Gambar 2.6. Sketsa Diagram Struktur Montmorilonit 41 Gambar 2.7. Mekanisme Hidrasi dan Dispersi Ca–Bentonit 42 Gambar 2.8. Hidrasi dan Dehidrasi yang Terjadi pada Lempung dan

PILC 45 Gambar 2.9. Prinsip Pilarisasi pada Lempung Terpilar 46

Gambar 2.10. Struktur Spesies Polimer 48

Gambar 2.11. Ilustrasi dari Beberapa Hasil Lempung Terpilar dengan

menggunakan Agen Pemilar 50

Gambar 2.12. Prosedur Preparasi Lempung Terpilar 55

Gambar 2.13. Struktur Lempung Terpilar 60

Gambar 2.14. Klasifikasi 5 Tipe Adsosrpsi 69

Gambar 2.15. Struktur Lapisan Terpilar 71

Gambar 2.16. Penggambaran Ideal Sampel yang Diperoleh Melalui


(15)

Radiasi dan Sebelum Radiasi 76 Gambar 4.1. Hasil Difraktogram untuk Na–Bentonit 86 Gambar 4.2. Hasil Difraktogram Bentonit Terpilar 88 Gambar 4.3. Spektrum Serapan FT-IR untuk Na–Bentonit 91 Gambar 4.4. Spektrum Serapan FT-IR Bentonit Terpilar–TiO2 91

Gambar 4.5. Foto SEM untuk Na–Bentonit 94

Gambar 4.6. Foto SEM untuk Bentonit Terpilar Tio2 yang Dietsa dan

Dipanaskan 450°C 95

Gambar 4.7. Pilarisasi Bentonit Menggunakan TiO2 dan

Terbentuknya Hole pada Silika Setelah Dietsa 97 Gambar 4.8. Bentonit Terpilar TiO2 sebagai Katalis Pembuatan


(16)

Halaman

Tabel 2.1. Beberapa Mineral dari Keenam Tipe Silikat Tanah 7 Tabel 2.2. Mineral-mineral Filosilikat Utama dalam Tanah 8

Tabel 2.3. Hasil Analisis Sampel Bentonit 26

Tabel 2.4. Beberapa Agen Pemilar 47

Tabel 2.5. Evaluasi Luas Permukaan 2 (dua) Zr-PILC Kalsinasi pada

Temperatur Berbeda 52

Tabel 2.6. Pengaruh Kation Asal Lempung terhadap Sifat Tekstur

Lempung Terpilar 53

Tabel 2.7. Beberapa Jenis Bahan Pengetsa untuk Semikonduktor 64 Tabel 4.1. Beberapa Mineral yang Terdapat pada Analisa Difraksi

Sinar-X 87 Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Basal Spacing 90

Tabel 4.3. Analisa Gugus dari FTIR 92

Tabel 4.4. Penentuan Luas Permukaan dan Volum Pori Total dengan

Menggunakan Persamaan BET 93


(17)

Halaman

Lampiran 1. Hasil FT-IR untuk Bentonit Terpilar TiO2 pada H2SO4

0,5 M 104

Lampiran 2. Hasil FT-IR untuk Bentonit Terpilar TiO2 pada H2SO4

1 M 105

Lampiran 3. Hasil FT-IR untuk Bentonit Terpilar TiO2 pada H2SO4

2 M 106

Lampiran 4. Hasil Diffraksi Sinar-X Bentonit Terpilar TiO2 pada

H2SO4 0,5 M 107

Lampiran 5. Hasil Diffraksi Sinar-X Bentonit Terpilar TiO2 pada

H2SO4 1 M 108

Lampiran 6. Hasil Diffraksi Sinar x Bentonit Terpilar TiO2 pada

H2SO4 2 M 109

Lampiran 7. Hasil Luas Permukaan untuk Alumina sebagai Standar 110 Lampiran 8. Hasil Luas Permukaan untuk Bentonit Terpilar TiO2

pada Asam Sulfat 0,5 M 111

Lampiran 9. Hasil Luas Permukaan untuk Bentonit Terpilar TiO2

pada Asam Sulfat 1 M 112

Lampiran 10. Hasil Luas Permukaan untuk Bentonit Terpilar TiO2

pada Asam Sulfat 1,5 M 113

Lampiran 11. Hasil Luas Permukaan untuk Bentonit Terpilar TiO2

pada Asam Sulfat 2 M 114

Lampiran 12. Hasil Luas Permukaan Bentonit-TiO2 yang Dietsa

(450°C) 115 Lampiran 13. Hasil Luas Permukaan Bentonit-TiO2 yang Dietsa


(18)

(19)

1.1. Latar Belakang

Di Sumatera Utara terdapat dua jenis bentonit alam yaitu bentonit wyoming dan non bentonit wyoming, dan keduanya mempunyai komposisi utama SiO2/ Al2O3 dengan perbandingan (4 – 6 : 1). Bentonit merupakan nama umum dari jenis tanah liat yang dapat digunakan untuk mengadsorpsi warna, minyak, lemak dan lilin. Tanah pemucat adalah suatu silikat dari bermacam-macam komposisi, dengan penyusun utama SiO2 dan Al2O3 yang mengandung air dan terikat secara kimia. Selain kedua senyawa di atas bentonit juga mengandung CaO, MgO, Fe2O3, Na2O dan K2O. Berdasarkan teori dari Davis dan Masser bahwa perbedaan pada perbandingan kadar SiO2 dan Al2O3 akan mempengaruhi daya aktif. Tanah yang mempunyai perbandingan SiO2 dan Al2O3 yang besar adalah tanah yang paling baik mengadsorpsi. Sedangkan tanah yang mempunyai perbandingan SiO2 dan Al2O3 kecil mempunyai kemampuan mengadsorpsi yang kecil. Perbandingan SiO2 dan Al2O3 untuk bentonit yang baik 5 – 6 : 1 yang mampu mengadsorpsi, dan mempunyai luas permukaan besar.

Bentonit mempunyai kemampuan daya koloid yang kuat, bila bercampur dengan air maka dapat mengembang (wyoming). Bentonit dalam keadaan kering berwarna krem sampai hijau dengan berat jenis antara 2,4 – 2,8


(20)

g/mm3 dan titik leleh antara 1330 – 1430°C. Bentonit alam pada umumnya mengandung sedikit kalsit, karbonat, gipsum dan kwarsa. Permukaan dan pori-pori bentonit alam dapat diperbesar dengan teknik aktivasi kimia maupun fisik (Burch, R., 1997), atau dengan pemilaran menggunakan unsur Zr, Ti, Fe, Na, Ca melalui teknik interkalasi dan kalsinasi pada suhu 450°C menghasilkan bentonit terpilar yang disebut serbuk fotokatalis ( Vansant, E.R., 1998; Palverejen, M., 2002).

Serbuk fotokatalis semikonduktor telah banyak dipelajari ditemukan bahwa aktivitas dari fotokatalis ini semakin baik dengan turunnya ukuran partikel yang menyebabkan naiknya luas permukaan. Penurunan ukuran partikel antara 5–10 nm menyebabkan perubahan struktur pita energi menjadi semikonduktor yang dikenal sebagai efek samping kwantum. Penelitian lebih lanjut telah dilakukan menghasilkan fotokimia dari berbagai macam ukuran dan bentuk, partikel semikonduktor kolokogenide seperti CdS, ZnS, CdSe, GeSe, ZnSe dan semikonduktor oksida dari jenis ZnO, Fe2O3, TiO2 telah banyak digunakan untuk fotokatalis untuk memproduksi hidrogen dari air (Miyoshi, H., 1989).

Prinsip mengubah permukaan dan pori-pori bentonit adalah dengan melarutkan logam-logam yang terdapat pada pori bentonit dengan suatu asam dan karena logam sudah larut maka pori-pori menjadi lebih luas. Metode lain untuk memperluas pori dengan cara pemilaran, dalam hal ini pori-pori bentonit yang mengandung logam Na dan K diinterkalasi dengan kation logam yang diameternya lebih besar sehingga pori tersebut mengembang, selanjutnya dikalsinasi pada suhu 300 – 500°C (Bask,1992, Long dan Yang, 1999).


(21)

Logam-logam akan membentuk oksida-oksida yang berikatan dengan antar lapis, menghasilkan bentonit terpilar (Palverejen, M., 2002). Melalui teknik ini porositas bentonit akan menjadi besar, oksida-oksida logam sebagai agen pemilar dapat digunakan untuk katalis.

Pada penelitian ini dilakukan interkalasi pori-pori bentonit menggunakan TiO2 dan suhu kalsinasi dari 300 – 500°C untuk menghasilkan bentonit terpilar– TiO2. Bagian isolatornya yaitu oksida-oksidanya dapat dietsa untuk menghilangkan oksida-oksida dengan menggunakan campuran HF/ H2O/ NH4F atau HF/ HNO3/ H2O atau dengan menggunakan CF4/ H2 yang menghasilkan lapisan silikon yang bebas dari oksida dan silikon ini selanjutnya dietsa dengan larutan HF/ HNO3/ CH3COOH/ I2 sehingga silikon akan terlarut. Besarnya luas permukaan yang dihasilkan tergantung waktu yang digunakan untuk mengetsa. Jika waktu yang digunakan terlalu lama SiO2 atau Si larut semua dan hal demikian tidak diharapkan sehingga waktu yang digunakan untuk mengetsa perlu dikontrol (Wouter, I., 1999; Sze, S.M., 1997).

Jika teknik pengetsaan ini tercapai maka permukaan dan pori-pori bentonit terpilar menjadi lebih besar yang diduga menghasilkan makropori bentonit terpilar. Pemilaran dengan menggunakan TiO2 dan pengetsaan silikat bentonit ini dapat mengubah sifat fisik dan kimia, meningkatkan basal spasing (d001), luas permukaan spesifik, volume total, keasaman permukaan dan menurunkan jejari rerata pori.


(22)

Bentonit terpilar TiO2 ini dapat digunakan untuk katalis pada pembuatan gas hidrogen dan oksigen dari air, maka dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti penyediaan bentonit terpilar ini sebagai katalis.

1.2. Permasalahan

Bentonit alam mempunyai 60% kandungan silikatnya, untuk menyediakan material ini sebagai katalis maka perlu meningkatkan luas permukaan dan volum porinya dengan cara melakukan interkalasi dengan TiO2 dan menjadi bentonit terpilar–TiO2.Oksida logam titania ini merupakan material yang sensitif terhadap cahaya dan baik menjadi katalis fotokimia. Jika bentonit terpilar TiO2 dilakukan pengetsaan dengan bahan kimia maka bentonit terpilar yang teretsa dapat menjadi co-katalis. Sehingga perlu dipelajari pembuatan katalis yang sensitif terhadap cahaya matahari dari bentonit alam dan apakah bentonit terpilar TiO2 yang telah dietsa dapat sebagai co-katalis pembuatan gas hidrogen dan oksigen dari air.

1.3. Tujuan Penelitian

Pemilaran bentonit menggunakan TiO2 menghasilkan bentonit–TiO2 yang akan meningkatkan basal spacing, atau porositas dan luas permukaan. Dengan menggunakan campuran HF/ CH3COOH/ HNO3 / I2 akan mengetsa silikat dan menjadi hole (h+) yang ada pada SiO2. Karena material ini telah menjadi makropori maka dapat menyerap molekul air dan pilar oksida logam (titania) sebagai katalis dan silikat yang dietsa sebagai co-katalis pada pembuatan


(23)

gas hidrogen dari air. Dengan demikian tujuan penelitian ini mempelajari apakah bentonit terpilar TiO2 yang dibuat dapat digunakan katalis dan co-katalis pada pembuatan gas hidrogen dan oksigen dari air.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu terutama rekayasa nanopori serta dapat juga digunakan untuk mempelajari penyediaan katalis dari bentonit.


(24)

2.1. Koloid Anorganik

Fraksi anorganik tanah terdiri dari pecahan batuan dan mineral dengan komposisi dan ukuran yang berbeda-beda. Selain komposisi beragam, fraksi anorganik itu di dalam tanah didominasi oleh ikatan-ikatan silikat dan oksida. Fraksi anorganik kadang-kadang dapat dibedakan menurut mineral primer dan sekunder. Namun kadang-kadang pembagian ini menimbulkan kesulitan oleh karena seringkali dalam endapan mineral sekunder dianggap mineral primer, karena mineral sekunder sering tercampur mineral primer.

Dengan berdasarkan ukuran, maka dikenal tiga fraksi utama anorganik di dalam tanah:

1. Fraksi kasar (0,05 – 2,00 mm) disebut fraksi pasir 2. Fraksi halus (0,002 – 0,05 mm) disebut debu

3. Fraksi sangat halus < 0,002mm disebut liat (USDA, 1975).

Dalam ilmu tanah biasanya liat dianggap koloid, meskipun ada liat dalam jumlah yang sedikit yang tidak bermuatan. Atas dasar penyusunan SiO4– tetrahedral dalam strukturnya, maka dikenal enam tipe silikat tanah yaitu: siklo, ino, neso, filo, soro dan tekto-silikat. Seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut ini.


(25)

Tabel 2.1. Beberapa Mineral dari Keenam Tipe Silikat Tanah

Silikat tanah Mineral

Siklosilikat Inosilikat Nesosilikat Filosilikat Sorosilikat Tetosilikat Turmalin

Amfibol, Piroksi, Hornblende Garnet, Olifin, Zirkon, Topaz

Kaolinit, Montmorillonit, Ilit, Vermikulit, Klorit Epidot

Felspat, Zeolit (Tan, 1982)

Fraksi pasir dan sebagian besar debu termasuk ke dalam siklo, ino, neso, soro atau tektosilikat. Faksi-fraksi ini merupakan “Kerangka” dari tanah. Oleh karena ukuran mineral termasuk kasar, maka luas permukaannya yang kecil dan tidak memperlihatkan sifat-sifat koloid. Meskipun tidak aktif dalam melaksanakan reaksi-reaksi kimia, fraksi ini berpartisipasi sedikit dalam hal serapan. Kebanyakan mineral-mineral pasir dan debu diketahui penting pula dalam pembentukan liat. Fraksi liat termasuk tipe filosilikat.

Tanah liat memegang peranan penting dalam kimia tanah, karena sifat permukaannya yang berbeda dengan butir-butir mineral yang ukurannya lebih besar. Kebanyakan mineral tanah liat berstruktur kristal, sedangkan fraksi lain memperlihatkan perkembangan kristal yang sangat lemah (poorly exhibit crystal) atau tidak mengkristal sama sekali. Beberapa tipe tanah liat dapat pula berbentuk amorf, misalnya gel silika, alumina, okida besi dan sebagainya. Fraksi tanah liat yang lain dapat disebutkan poligorskit (mineral berstruktur rantai), misalnya kuarsa dengan ukuran butir <2μm. Tanah liat kebanyakan berwujud kristal


(26)

ataupun amorf. Jika tanah liat itu bersifat amorf, maka bentuknya sukar dikenal. Dengan metode analisis yang canggih dapat dilihat perbedaan yang jelas antara tanah liat mengkristal dan amorf.

Tabel 2.2. Mineral-mineral Filosilikat Utama dalam Tanah

Tipe Lapisan Nama Kelompok Mineral

1 : 1

2 : 1

2 : 2

Kaolinit Montmorilonit Mika Ilit Vermikulit Khlorit Kaolinit Haloisit Khrisotil Lizardit Antogorit Montmorilonit Beidelit Saponit Hektorit Saukonit Muskovit Paragonit Biotit Flogopit Ilit Vermikulit Khlorit (Tan,1982)

Dalam ilmu tanah tanah liat dianggap amorf jika mineral memperlihatkan bentuk yang tidak dibatasi bidang-bidang datar, jika diperiksa dengan sinar-x, penyusunan atom dalam tanah liat amorf tidak beraturan, sehingga difraktogram yang dihasilkan sinar-x tidak memperlihatkan bentuk yang jelas.


(27)

Berbeda dalam sistem kristal, penyusunan atom biasanya berulang-ulang beraturan (regular pattern) dengan arah tiga dimensi. Dalam bahan yang bersifat amorf seperti gelas, ikatan kimia dan komponen-komponen atom acapkali hanya pengulangan unit-unitnya. Penyusunan atom-atom akan menghasilkan satu unit bangunan kristal yang disebut sel satuan, bangunan ini memperlihatkan pola kelompok atom-atom yang posisinya berulang-ulang dalam arah tiga dimensi dalam ruang menurut sumbu x, y dan z

Gambar 2.1. (A) Struktur kristal memperlihatkan pola kelompok atom yang kedudukan atom akan berulang-ulang pada tiga arah di dalam ruang menurut sumbu x, y, z. (B) Gambar dari satu satuan sel, menunjukkan panjang satuan a, b dan c pada garis terputus-putus yang terletak pada sumbu x, y, dan z dan membentuk kristal kubus (Tan,1982).

Sumbu z kadang-kadang disebut sumbu c, ukuran atau panjang pinggiran (edges) sel satuan pada tiap arah dinyatakan dengan istilah-istilah a, b dan c yang masing-masing memiliki panjang tertentu menurut kristalnya. Dalam


(28)

kristal berbentuk kubus, panjang a, b dan c adalah sama dan sudut-sudut α, β dan γ masing-masing 90°. Dalam tanah liat sudut-sudut ini bervariasi menurut struktur, dengan menempatkan beberapa sel satuan secara bersama-sama susunan kristal akan menghasilkan apa yang disebut struktur kisi. Sebuah kristal yang sempurna dapat terdiri dari beberapa sel satuan, yang masing-masing satuan selnya mempunyai volum lebih kurang 1 μm3. Kelompok-kelompok atom di dalam kisi kristal dapat tersusun dalam bidang-bidang pada jarak yang sama di sepanjang arah kristal. Beberapa tipe bidang atom dapat digambarkan di dalam kristal dengan jarak antar bidang yang disebut dengan jarak d (d-spacing). Bidang yang dibatasi oleh a dan b paralel dengan sumbu-sumbu x dan y (Gambar 2.1) memotong sumbu z dan c, tetapi tidak memotong sumbu x dan y. Menurut sistem “Indeks” dari Miller (Miller Indices System, Grimshaw, 1971) bidang ini diberi kode 001, jarak dasar (Basal (001) Spacing) memegang peranan penting dalam mengidentifikasikan mineral liat dengan analisis difraksi sinar-x. Bidang yang memotong sumbu a sejajar sumbu b dan c diberi kode 100, sedangkan yang memotong sumbu a dan c diberi kode 010.

Silikat dibangun menurut silika tetrahedral, dalam hal ini setiap atom oksigen menerima satu valensi dari atom silikon. Agar kebutuhan divalensinya tercapai, maka atom-atom oksigen dapat mengadakan ikatan dengan kation lainnya (Gambar 2.2). Ikatan silika tetrahedral menghasilkan tiga kelompok penyusunan struktur dari silikat-silikat: rantai, lembar, dan struktur jaringan (frame work structure). Mineral-mineral silikat tanah liat dicirikan oleh struktur lembar. Kebalikan dengan silikat lainnya, struktur tanah liat tidak


(29)

menggambarkan kerangka tiga dimensi dari ikatan sederhana dari unit-unit silikon-oksigen. Akan tetapi ia dibangun oleh lapisan mampat (Stacked layer) dari lembar-lembar silika tetrahedral dan oktahedral. Lembar-lembar ini dibangun oleh pengikatan tiga atom oksigen di dalam sel tiap tetrahedral dengan satuan silika tetraheral yang berhadapan, silika tetraeder disusun menurut cincin heksagonal.

Gambar 2.2. Struktur tunggal silika tetraeder (atas), penyusunan beberapa silika tetraeder ke dalam bentuk lembar dengan bekerjasama atom-atom oksigen (Tan, 1982).

Dalam pola silika tetrahedral seperti ini, satu atom oksigen dalam tiap tetrahedral secara elektris tetap tidak berimbang. Agar tercapai kebutuhan valensi dua, maka yang terakhir diikatkan pada Al dalam koordinasi oktahedral. Dengan susunan serupa ini yakni lapisan dan lembar-lembar silika tetrahedral dan Al oktahedral, maka struktur berlapis dari tanah liat terbentuk. Beberapa lapisan lembar silika tetra dan aluminium oktahedral dapat lengket satu sama lainnya.


(30)

Namun setiap lapisan merupakan satuan yang bebas dan dianggap sebagai satuan kristal. Ikatan lapisan-lapisan secara relatif kuat, misalnya kaolinit, atau relatif lemah seperti montmorilonit. Di dalam tiap lapisan, kelompok atom tertentu akan berulang-ulang atomnya dalam arah lateral. Kelompok ini atau unit lapisan (Unit Layer) disebut satuan sel, sementara jumlah lapisan ditambah dengan bahan antar lapisan disebut struktur unit.

Dengan dasar jumlah lembar-lembar tetraeder dan oktaeder dalam satu lapis, maka dikenal tipe struktur tanah liat sebagai berikut :

1:1 (Diamorfik) 2:1 (Trimorfik) 2:2 (Tetramorfik) 2:1:1 (Tetramorfik)

Golongan kaolinit termasuk kedalam tipe 1 : 1 karena komposisinya terdiri atas satu lembar Si–tetraeder dan satu lembar Al–oktaeder, golongan montmorilonit termasuk kedalam tipe 2 : 1, karena strukturnya terbangun dari dua lembar Si–tetraeder dan satu lembar Al–oktaeder. Golongan khlorit adalah contoh dari tipe 2 : 2. Sedangkam paligorskit dan sepiolit termasuk tipe 2 : 1 :1. Setiap golongan mineral tanah liat dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni: diokdaeder dan trioktaeder. Jika dua dari tiga posisi oktaeder diduduki oleh Al3+, maka keadaan ini disebut diokataeder, jika semua posisi oktaeder diduduki Mg 2+, maka ini disebut trioktaeder.

Sebagai tambahan dari uraian di atas, pelekatan (stacking) dari lapisan-lapisan dapat juga dilakukan oleh tipe yang berbeda dari satuan lapisan-lapisan-lapisan-lapisan di


(31)

dalam pola beraturan ataupun tidak, gejala ini menghasilkan mineral bertingkat (interstratified group) atau mineral lapisan tercampur. Struktur mineral ini amat beragam jika dua atau lebih tipe berbeda dari satuan lapisan dapat melekatkan bersama-sama. Misalnya unit-unit vermikulit dengan khlorit dengan smektit, mika dengan smektit, dan kaolinit dengan smektit.

2.1.1. Kaolinit (Tipe 1 : 1)

Mineral kaolinit adalah alumino-silikat yang terhidrasi dengan komposisi kimia umum Al2O3 : SiO2 : H2O = 1:1:2 atau 2SiO2.Al2O3.2H2O per satuan sel. Seperti telah dinyatakan, golongan ini termasuk tanah liat filosilikat dengan tipe 1 : 1. Kristalnya terdiri dari lapisan aluminium oktahedral tersusun di atas lembar silika tetraeder (Gambar 2.3). Lembar-lembar ini memanjang terus menerus dengan arah a dan b dan satu tersusun di atas lembar lainnya dalam arah sumbu z atau c. Satuan sel adalah non-simetris, dengan satu lembar silika tetraeder pada satu sisi dan satu lembar aluminium oktaeder pada sisi lain. Sebagai akibatnya, bidang dasar (basal – plane) atom-atom oksigen pada satu unit krsital berseberangan dengan bidang dasar ion-ion OH dari lapisan berikutnya. Gejala terakhir menghasilkan mineral-mineral memiliki dua tipe permukaan. Kedua lembar yang membentuk satu satuan lapisan (unit layer) diikat oleh atom oksigen. Atom oksigen ini satu valensinya berpegangan erat dengan silikon, sedangkan yang lain memegang Al secara ikatan koordinasi sedangkan satuan-satuan lapisan berpegangan satu sama lain melalui ikatan H (Hydrogenbonding), menghasilkan


(32)

ruang antar-misel dengan dimensi tertentu. Basal spacing dari mineral kaolinit adalah 7,14 Å.

Gambar 2.3. Struktur kaolinit terdiri dari lembar-lembar silika tetrahedral dan aluminium oktahedral (Tan, 1982)

Hanya sedikit jika tidak nol berlangsung substitusi isomorf dan muatan permanen persatuan sel. Namum berhubung dengan terdapatnya gugusan OH yang tersembul (exposed), maka muatan negatis kaolinit beragam tergantung pH. Seperti terlihat strukturnya, posisi gugusan OH membuka kesempatan bagi disosiasi ion H, yang menjadi alasan untuk perkembangan muatan beragam terutama bidang gugusan OH yang tertentu pada permukaan yang tersembul dari tapak Al–oktahedral (Octahedral site). Bidang gugusan OH yang lain juga


(33)

terdapat, tetapi gugusan ini terletak sebagai bidang bagian permukaan dari Al-okta yang ditutupi oleh jaringan atom-atom oksigen. Kemungkinan disosiasi H+ melalui jaringan oksigen ini masih belum diketahui. Sebagai akibatnya nilai KTK kaolinit menjadi kecil dan dapat berubah jika pH berubah, nilai KTK biasanya antara 1-10 me/ 100 g. Oleh karena kuatnya ikatan struktural, maka partikel kaolinit tidak mudah pecah. Keadaan ini juga menyebabkan kaolinit bersifat sukar mengerut dan mengembang serta kurang plastis.

Keterbatasan permukaan aktif menyebabkan daya adsorpsinya rendah. Luas permukaan spesifik kaolinit kira-kira 7 – 30 m2/g. Ada tidaknya kaolinit dalam suatu tanah dapat diidentifikasi dengan difraksi sinar-x dengan menetapkan nilai d (jarak antara bidang atom di dalam kristal). Nilai d untuk kaolinit d001 adalah 7,14 Å. Anggota golongan kaolinit adalah kaolinit, dikit, nakrit dan haloisit. Kecuali haloisit, mineral lainnya tidak dapat mengebang dalam air. Dari mineral-mineral disebutkan di atas mineral kaolinit yang distribusinya terluas. Mineral ini banyak didapati pada tanah ordo ultisol dan oxisol di daerah tropik.

2.1.2. Haloisit (Tipe 1:1)

Mineral ini mempunyai komposisi umum Al2O3.2SiO2.4H2O. Strukturnya mirip kaolinit, perbedaan dengan kaolinit terletak pada susunan yang tidak beraturan dari lapisan-lapisan dan terdapatnya dua atau lebih antar lapisan air (water interlayer). Molekul-molekul air terikat bersama-sama menurut pola heksagonal, molekul air ini selanjutnya terikat dengan lapisan-lapisan kristal melalui ikatan H. Oleh karena terdapatnya air di antara lapisan maka haloisit


(34)

memiliki nilai α =10,1 Å lebih besar dari kaolinit. Jika haloisit dipanaskan, maka nilai d turun menjadi 7,2 Å. Mineral yang airnya telah keluar disebut metahaloisit. Haloisit dilaporkan cepat berubah menjadi metehaloisit jika suhu menjadi 50°C. Haloisit umumnya berbentuk pipa (tubular) jika dilihat melalui mikroskop elektron, bentuk ini berbeda dengan kaoilinit yang berbentuk heksagonal. Proses pembentukan dan kemantapan haloisit di dalam tanah diketahui dipengaruhi oleh kelembaban tanah. Kondisi tanah lembab diperlukan untuk perkembangan mineral itu. Terdapat indikasi bahwa haloisit dipercaya sebagai bahan asal dari kaolinit. Proses pembentukan kaolinit mengikuti urutan (sequence) pelapukan berikut ini:

Montmorilonit Haleisit Metahaloisit Kaolinit

2.1.3. Montmorilonit (Tipe 2 : 1)

Mineral dalam kelompok ini kadang-kadang disebut smektit dan mempunyai komposisi beragam. Namun rumus umum dinyatakan sebagai Al2O3.4SiO2.H2O + xH2O. Nama montmorilonit diperuntukkan bagi jenis aluminosilikat berhidrasi dengan substitusi rendah. Tipe tanah liat ini sering pula disebut bentonit. Montmorilonit memiliki ion-ion Mg2+ dan Fe3+ di dalam posisi oktaeder, sementara beidelit yang baik tidak mengdung Mg dan Fe di dalam lembar oktaeder. Beidelit dicirikan oleh kandungan Al yang tinggi. Muatan lapisan silika semua berasal dari penggantian Si4+ oleh Al3+.

Dua macam teori struktur dari montmorilonit ialah (1) menurut Hofmann dan Endell serta (2) menurut Edelman dan Favajee. Kedua teori itu menunjukkan kemiripan yakni dalam hal struktur unit sel yang dianggap simetris,


(35)

sehingga berlawanan dengan kaolinit. Satu lembar aluminium oktaeder terselip atau terjepit di antara dua lembar silika tetraeder.

Ikatan antara lapisan relatif lemah dan mempunyai ruang antar lapisan yang dapat mengembang jika kandungan air meningkat. Perbedaan antara struktur Hofmann dan Endell dengan struktur menurut Edelman dan Favajee adalah dalam penyusunan jaringan silika tetraeder seperti yang dilukiskan pada Gambar 2.4. Edelmann dan Favajee berpendapat bahwa susunan alternatif dari silika tetraeder terwujud dengan ikatan Si-O-Si bersudut 180°, dengan bidang dasar terdiri dari gugusan OH yang diikat oleh silika di dalam tetraeder.

Gambar 2.4. (a) Model Struktur montmorilonit menurut Edelman dan Favajee, dan (b) Model struktur menurut Hofmann dan Endell (Tan, 1982)

Muatan negatif montmorilonit umumnya berasal dari substitusi isomorfik yaitu penggatian kation bervalensi tinggi dengan kation valensi yang


(36)

lebih rendah dengan syarat jari-jari atom relatif sama. Hanya terdapat sedikit muatan berubah, karena semua gugusan hidroksil berlokasi dalam bidang permukaan yang ditutupi oleh jaringan atom-atom oksigen. Van Olphen (1977) mengemukakan nilai KTK monmorilonit kira-kira 70 me/ 100g, luas permukaan antara 700–800 m2/g dan oleh karena besarnya nilai ini maka montmorilonit memperlihatkan sifat plastis dan melekat kuat jika basah. Montmorilonit umumnya berukuran sangat halus, sedangkan komponen-komponen dalam lapisan tidak terikat kuat. Jika mengadakan persentuhan dengan air, maka ruang di antara lapisan mineral mengembang, menyebabkan volume tanah liat dapat berlipat ganda. Terdapat tanda bahwa jarak dasar (basal spacing) montmorilonit meningkat secara seragam jika terjadi penyerapan air. Beberapa peneliti mencatat bahwa meningkatnya jarak dasar dapat berlangsung perlahan-lahan, yaitu pertanda pembentukan kulit hidrasi di sekeliling kation-kation yang terdapat di antara lapisan.

Tingginya daya mengembang atau mengerut dari montmorilonit menjadi alasan kuat, mengapa mineral ini dapat menyerap dan memfiksasi ion-ion logam dan persenyawaan organik. Jerapan persenyawaan organik menjurus pembentukan kompleks organo-mineral. Ion-ion organik dipercaya dapat menggantikan kedudukan kation-kation organik di dalam ruang antar misel. Jerapan persenyawaan organik sperti gliserol dan etilen glikol merupakan penciri dalam mengidentifikasi montmorilonit dengan analisa difraksi sinar-x. Jika montmorilonit dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C, maka biasanya mineral


(37)

ini dicirikan oleh puncak difraksi dari jarak dasar 10 Å, sedangkan nilai untuk kondisi kering udara adalah 12,4 – 14 Å.

Dari keanekaragaman jenis tanah liat, monmorilonit ditemukan dalam bentuk tanah kebanyakan montmorilonit termasuk oktaeder, dan banyak ditemukan pada jenis tanah Vertisol, Mollisol, Affisol maupun Entisol. Tingginya daya plastis, mengembang dan mengkerut mineral ini menyebabkan tanah menjadi plastis jika basah dan keras jika kering. Retakan-retakan pada permukaan tanah akan terlihat jika permukaan tanah mengering.

2.1.4. Ilit (Tipe 2 : 1)

Golongan mineral ini termasuk mineral mika (2 : 1) yang tidak mengembang, namun berbeda dengan mika sesungguhnya yang termasuk dalam mineral sekunder. Mineral ini juga dikenal dengan nama mika berair (hydrous mica) atau mika tanah. Dalam kelompok ini ilit digunakan untuk mineral berbutir halus sedangkan berbutir kasar dinamakan mika berair. Sejumlah peneiliti menolak mengklasifikasikan ilit sebagai tanah liat, mereka mengukakan ilit adalah mika berukuran tanah liat sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam mineral tanah liat (Theng, 1974). Namum mineralogi tanah liat ilit dimasukkan dalam soil taxonomy (USDA,1975). Van Olphen (1977) berpendapat, bahwa mika terutama muskovit adalah prototipe dari ilit, hubungannya yang dekat dengan mika menjadi alasan namanya disebut sebagai mika berair atau mika tanah.

Mineral ilit hampir mirip komposisinya dengan muskovit, tetapi mengandung lebih banyak SiO2 dan lebih sedikit K. Beberapa peneliti


(38)

berpendapat bahwa suatu seri yang berkelanjutan dari suatu ilit terjadi ketika berlangsung perubahan mineral muskovit menjadi montmorilonit.

H2KAl3Si3O12 Seri Ilit Al2O3.4 SiO2.H2O + x H2O

Muskovi Montmorilonit

Oleh karena ilit mengandung K dalam ruang di antara lapisan, maka unit lapisan terikat lebih kuat dibandingkan dengan monmorilonit. Jadi ruang di antara misel dari ilit dapat mengembang jika ditambahkan air. Nilai jarak dasar (basal spacing) adalah 10 Å, sedangkan KTK kira-kira 30 me/ 100 g. Plastisitas, pengerutan dan pengembangan mineral ilit jauh lebih kecil dibandingkan dengan montmorilonit sehingga sifat mineral ini lebih mirip kaolinit daripada montmorilonit, kandungan K dalam ilit berkisar antara 5 – 8 %.

Ilit ditemukan pada tanah-tanah mollisol, alfisol, spodosol, aridisol, inceptisol dan entisol. Pada tanah yang dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi, mineral ilit cenderung berubah menjadi montmorilonit, sedangkan di bawah pengaruh iklim sedang atau bersuhu tinggi, strutur ilit dilaporkan dapat berubah menjadi strutur kaolinit.

2.1.5. Vermikulit (Tipe 2:1)

Nama vermikulit berasal dari “vermiculare” atau “vermicularis” dalam bahasa latin berarti mirip cacing = wormlike, yang jika dipanaskan mineralnya dapat memanjang hingga 20–30 kali dari ukuran semula. Kelompok mineral ini membentuk jonjotan mirip mika sperti ilit. Vermikulit dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu vermikulit sesungguhnya (true vermiculite) dan vermikulit liat


(39)

(clay vermiculit). Vermikulit sesungguhnya tidak dianggap sebagai mineral tanah liat, tetapi sebagai mineral pembentuk batuan (Douglas, 1977). Vermikulit berukuran tanah liat ditemukan dalam tanah dianggap sebagai “vermikulit liat” atau vermikulit tanah. Kehadiran dalam fraksi tanah liat untuk pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1974 di Skodlandia. Pelacakan mineral ini dalam tanah dilakukan dengan alat Sinar–x dengan puncak difraksi pada 14 Å sehingga acapkali mineral ini disebut sebagai mineral 14 Å. Tanah liat vermikulit adalah magnesium–aluminium silikat, dengan Mg menduduki posisi oktaeder di antara dua lembar silika tetraeder, beberapa atom Fe juga ditemukan. Rumus kimia secara umum dituliskan sebagai berikut:

22 MgO. 5Al2O3. Fe2O3. 22 SiO2. 40 H2O atau Mg3 Si4O10(OH)2x H2O

Struktur vermikulit amat mirip dengan struktur khlorit, perbedaannya ialah terdapatnya lapisan yang terdiri dari molekul-molekul air setebal 5 Å di dalam ruang antar misel. Di dalam lapisan tetraeder terjadi penggantian Si4+ oleh Al3+, sehingga muatan negatif pada mineral ini adalah tinggi. Vermikulit termasuk mieneral tanah liat yang tertinggi nilai KTK-nya. Nilai KTK vermikulit kira-kira 150 me/ 100 g dan lebih besar dari montmorilonit. Kebanyakan vermikulit tanah berstruktur dioktaeder dan diketahui dapat menfiksasi K+, NH4, dan kation lainnya. Daya menfiksasi ini lebih besar dibandingkan dengan bentonit atau ilit. Pengenalan tanah liat vermikulit biasanya dilakukan dengan analisa difraksi sinar-x dan dengan metode Defferential Termal Analysis (DTA). Dengan sinar-sinar-x puncak difraksi yang dihasilkan adalah 14 Å. Jika suhu ditingkatkan menjadi


(40)

700°C, maka nilai d akan turun menjadi 11,8 atau 9,3 Å. Dalam tanah umumnya sebagian vermikulit berlapis tercampur dengan montmorilonit, khlorit, dan biotit, jika vermikulit diberi larutan KCl akan dihasilkan mineral dengan struktur mika.

Vermikulit dalam jumlah yang relatif sedikit diketemukan pada tanah-tanah ultisol, mollisol, dan aridisol. Ionnya lebih mudah terbentuk pada tanah-tanah berdrainase baik dan berlawanan dengan pembentukan montmorilonit yang menghendaki lembab.

2.1.6. Khlorit (Tipe 2:2)

Mineral tanah liat ini tersusun dari magnesium dan aluminium silikat berair yang memiliki hubungan dengan mineral mika. Kebanyakan khlorit berwarna hijau, struktur khlorit mirip dengan talk atau tanah liat tipe 2:1 yang memperlihatkan kemiripan dengan vermikulit. Namun kini sejumlah penulis bersepakat menyebut khlorit sebagai mineral tipe 2:2. Lapisan oktaeder terdiri dari hidroksida Al dan Mg yang terjepit di antara dua lembar silika tetraeder. Lembar Mg atau Mg(OH)2 sebelumnya disebut lembar brusit. Dalam ruang antar misel juga ditempati oleh lembar brusit, sehingga disebut tanah liat tipe 2 :2. Komposisi mineral beragam, tetapi komposisi umum dilaporkan adalah:

(Mg, Fe, Al)6(Si, Al)4 O10 (OH)8.

Substitusi isomorfik berlangsung di dalam kedua lapisan tetraeder maupun oktaeder. Kation Si dapat digantikan oleh Al dan Fe dapat menggantikan Mg di dalam posisi oktaeder.


(41)

Jika pergantian Mg oleh Al dalam lembar brusit, maka menimbulkan muatan positip. Muatan positip ini akan menetralisir muatan negatif dari lapisan mika sebagai akibatnya khlorit memiliki muatan yang rendah dan dengan nilai KTK yang kecil. Khlorit ditemukan dalam jumlah sedikit tercampur dengan jenis tanah liat lain. Pada tanah afisol, mollisol, dan andosol kebanyakan mineral khlorit termasuk trioktaeder.

2.2. Bentonit

Bentonit adalah istilah perdagangan untuk sejenis lempung yang banyak mengandung mineral montmorilonit (sekitar 85 %), yaitu suatu mineral hasil pelapukan, pengaruh hidrotermal, atau akibat transformasi/ devitrifikasi dari tufa gelas yang diendapkan di dalam air dalam suasana alkali. Fragmen sisanya pada umumnya terdiri dari campuran mineral kuarsa/ kristobalit, feldspar, kalsit, gipsum, kaolinit, plagioklas, illit, dan lain sebagainya (Zulkarnaen, Wardoyo, S., Marmer, D.H., 2002).

Lempung merupakan salah satu komponen tanah yang tersusun atas senyawa alumina silikat dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari 2 μm. Struktur dasarnya merupakan filosilikat atau lapisan silikat yang terdiri dari lembaran tetrahedral silikon–oksigen dan lembaran oktahedral aluminium– oksigen–hidroksida (Lestari, S., 2002).

2.2.1. Proses Terjadinya Bentonit di Alam


(42)

1. Terjadi karena proses pelapukan batuan

Faktor utama yang menyebabkan pelapukan batuan adalah komposisi kimiawi mineral batuan induk dan kelarutannya dalam air. Mineral-mineral utama dalam pembentukan bentonit adalah plagioklas, kalium– feldspar, biotit, muskovit, serta sedikit kandungan senyawa alumina dan ferromagnesia. Secara umum faktor yang mempengaruhi pelapukan batuan ini adalah iklim, jenis batuan, relief, dan tumbuh-tumbuhan yang berada di atas batuan tersebut.

Pembentukan bentonit sebagai hasil pelapukan batuan dapat juga disebabkan oleh adanya reaksi antara ion-ion hidrogen yang terdapat di dalam air dan di dalam tanah dengan persenyawaan silikat yang terdapat di dalam batuan.

2. Terjadi karena proses hidrotermal di alam

Proses hidrotermal mempengaruhi alterasi yang sangat lemah, sehingga mineral-mineral yang kaya akan magnesium, seperti hornblende dan biotit cenderung membentuk mineral klorit. Pada alterasi lemah, kehadiran unsur-unsur logam alkali dan alkali tanah (kecuali kalium), mineral mika, ferromagnesia, feldspar, dan plagioklas pada umumnya akan membentuk montmorilonit, terutama disebabkan karena adanya unsur magnesium.

Larutan hidrotermal merupakan larutan yang bersifat asam yang mengandung klorida, sulfur, karbon dioksida, dan silika. Larutan alkali ini selanjutnya akan terbawa keluar dan bersifat basa dan akan tetap bertahan


(43)

selama unsur alkali tanah tetap terbentuk sebagai akibat penguraian batuan asal. Pada alterasi lemah, adanya unsur alkali tanah akan membentuk bentonit. 3. Terjadi karena proses transformasi dan devitrifikasi mineral-mineral dari

gunung berapi

Proses transformasi (pengubahan) abu vulkanis yang mempunyai komposisi gelas akan menjadi mineral lempung (mengalami devitrifikasi secara perlahan-lahan) yang lebih sempurna, terutama pada daerah danau, lautan, dan cekungan sedimentasi. Transformasi dari gunung berapi yang sempurna akan terjadi apabila debu gunung berapi diendapkan dalam cekungan seperti danau dan air. Bentonit yang berasal proses transformasi pada umumnya bercampur dengan sedimen laut lainnya yang berasal dari daratan, seperti batu pasir dan danau.

4. Terjadi karena proses pengendapan batuan

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali) dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, di mana unsur pembentuknya antara lain: karbonat, silika pipih, fosfat laut, dan unsur lainnya yang bersenyawa dengan unsur aluminium dan magnesium (Proyek Kerja Dinas Pertambangan Daerah Sumatera Utara, 2001).

2.2.2. Komposisi Bentonit

Berdasarkan hasil analisis terhadap sampel bentonit yang diambil langsung di lapangan, diperoleh komposisi bentonit adalah sebagai berikut:


(44)

Tabel 2.3. Hasil Analisis Sampel Bentonit

Komposisi %

Kalsium oksida (CaO) Magnesium oksida (MgO) Aluminium oksida (Al2O3) Ferri oksida (Fe2O3) Silika (SiO2)

Kalium oksida (K2O) Air 0,23 0,98 13,45 2,18 74,9 1,72 4

2.2.3. Sifat-sifat Umum Bentonit

Sifat-sifat umum dari bentonit adalah: 1. Memiliki kilap lilin,

2. Memiliki warna yang cukup bervariasi, mulai dari warna dasar putih, hijau muda kelabu, merah muda dalam keadaan segar, dan akan berubah warna menjadi krem apabila telah melapuk, dan lama-kelamaan akan menjadi kuning dengan sedikit kemerahan, atau kecoklatan, serta hitam keabu-abuan, tergantung pada jenis dan jumlah fragmen mineralnya,

3. Bersifat sangat lunak, dan plastis, memiliki porositas yang tinggi, ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun, mudah menyerap air, dan dapat melakukan pertukaran ion (ion exchanging),

4. Mempunyai berat jenis berkisar antara 2,4 – 2,8 g/ml.

2.2.4. Jenis-jenis Bentonit


(45)

1. Swelling Bentonite (bentonit yang dapat mengembang) atau sering juga disebut Bentonit Jenis Wyoming atau Na-bentonit, yaitu jenis mineral montmorilonit yang mempunyai partikel lapisan air tunggal (Single Water Layer Particles) yang mengandung kation Na+ yang dapat dipertukarkan. Bentonit jenis ini mempunyai kemampuan mengembang hingga 8 (delapan) kali apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering, berwarna putih, atau kuning gading, sedangkan dalam keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap. Perbandingan antara kation Na+ dan kation Ca+ yang terdapat di dalamnya sangat tinggi, serta suspensi koloidalnya mempunyai pH 8,5 sampai 9,8. Kandungan NaO dalam bentonit jenis ini, pada umumnya lebih besar dari 2 %. Karena sifat-sifat yang dimilikinya, maka bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan lumpur bor, penyumbat kebocoran bendungan, bahan pencampur cat, sebagai bahan baku farmasi, bahan perekat pada pasir cetak dalam industri pengecoran, dan lain sebagainya.

2. Non Swelling Bentonite (Bentonit yang kurang dapat mengembang) atau

sering juga disebut Ca-bentonit, yaitu jenis mineral montmorilonit yang kurang dapat mengembang apabila dicelupkan di dalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam, maka akan memiliki sifat menyerap sedikit air dan akan cepat mengendap tanpa membentuk suspensi. Yang mempunyai pH-nya sekitar 4,0 – 7,1. Daya tukar ionnya juga cukup besar. Bentonit jenis ini mengandung kalsium dan magnesium yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan kandungan natriumnya. Karena sifat-sifat yang dimilikinya, maka


(46)

bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap (pemucat) warna (Bleaching Earth).

2.2.5. Kegunaan (Pemanfaatan) Bentonit

Pemanfaatan bentonit dalam bidang industri, sangat erat kaitannya dengan sifat yang dimiliki oleh bentonit itu sendiri, yaitu:

a. Komposisi dan jenis mineral

Untuk mengetahui komposisi dan jenis mineral yang terkandung dalam bentonit, dilakukan pengujian dengan menggunakan Difraksi Sinar–X. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara kualitatif komposisi mineral yang terkandung di dalamnya.

b. Sifat Kimia

Pengujian terhadap beberapa sifat kimia yang terkandung di dalam bentonit perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas (mutu) yang dimilikinya. c. Sifat Teknologi

Pemanfaatan bentonit berkaitan dengan sifat teknologi yang dimiliki bentonit tersebut, yaitu antara lain: sifat pemucatan, sifat bagian suspensi yang dapat digunakan untuk pengerasan semen, sifat mengikat dan melapisi untuk pembuatan makanan ternak dan industri logam.

d. Sifat Pertukaran Ion

Pengujian terhadap sifat pertukaran ion bertujuan untuk mengetahui seberapa besar jumlah air (uap air) yang dapat diserap oleh bentonit, sehingga akan tercapai kesetimbangan reaksi kimia yang diperlukan


(47)

untuk proses selanjutnya. Hal ini sangat penting diketahui karena bentonit diharapkan dapat membentuk dinding diafragma yang mencegah terjadinya rembesan air.

e. Daya Serap

Sifat daya serap yang dimiliki bentonit terjadi karena adanya ruang pori-pori antar ikatan mineral lempung, serta ketidakseimbangan antara muatan listrik dalam ion-ionnya. Daya serap tersebut pada umumnya berada pada ujung permukaan kristal, serta diameter ikatan mineral lempung. Hal ini disebabkan karena bentonit dapat digunakan sebagai bahan penyerap dalam berbagai keperluan, baik dalam keadaan basah (suspensi) maupun kering (tepung).

f. Luas Permukaan

Luas permukaan bentonit dinyatakan dalam jumlah total luas permukaan kristal atau butir kristal bentonit yang berbentuk tepung dalam setiap gram massa bentonit tersebut (m2/g). Semakin tinggi luas permukaannya maka semakin banyak pula zat-zat yang terbawa atau melekat pada bentonit. Sifat ini dimanfaatkan sebagai bahan pembawa (carrier) dalam insektisida dan pestisida serta sebahai bahan pengisi (filler) dalam industri kertas (pulp), dan bahan pengembang industri makanan dan plastik.

g. Kekentalan dan Suspensi

Sifat kekentalan dan daya serap yang tinggi sangat diharapkan terutama untuk pengeboran minyak, eksplorasi, industri cat, dan industri kertas.


(48)

Sebelum digunakan dalam berbagai aplikasi, bentonit harus diaktifkan dan diolah terlebih dahulu. Ada 2 (dua) cara yang dapat dilakukukan untuk aktivasi bentonit, yaitu:

1. Secara Pemanasan (heat activation and extrusion)

Pada proses ini, bentonit dipanaskan pada temperatur 300 – 350°C untuk memperluas permukaan butiran bentonit.

2. Secara Kontak Asam

Tujuan dari aktivasi kontak asam adalah untuk menukar kation Ca+ yang ada dalam Ca-bentonit menjadi ion H+ dan melepaskan ion Al, Fe, dan Mg dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur, sehingga secara fisik bentonit tersebut menjadi lebih aktif. Untuk keperluan tersebut asam sulfat dan asam klorida adalah zat kimia yang umum digunakan. Selama proses bleaching tersebut, Al, Fe, dan Mg larut dalam larutan, kemudian terjadi penyerapan asam ke dalam struktur bentonit, sehingga rangkaian struktur (framework) mempunyai area yang lebih luas. Proses pelepasan Al dari bentonit disajikan dalam persamaan berikut ini:

(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 3 H+ (Al3)(Si8)O20(OH)2 + Al3+ + 2 H2O (Al4)(Si8)O20(OH)4 + 6 H+ (Al2)(Si8)O20(OH)2 + 2 Al3+ + 4 H2O

Pada kondisi di atas, separuh dari atom Al berpindah dari struktur bersama dengan gugus hidroksida. Menurut Thomas, Hickey, dan Stecker, atom-atom Al yang tersisa masih terkoordinasi dalam rangkaian tetrahedral dengan 4 (empat) atom oksigen tersisa.


(49)

Perubahan dari gugus oktahedral menjadi tetrahedral membuat kisi kristal bermuatan negatif pada permukaan kristal, sehingga dapat dinetralisir oleh ion hidrogen. Pada proses aktivasi selanjutnya terjadi pelarutan lebih banyak lagi. Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut ini:

(Al2)(Si8)O20(OH)4 + 3 H+ Al3+ + (Al)(Si8H4)O20 (Al2)(Si8)O20(OH)4 + 6 H+ 2 Al3+ + (Si8H8)O20

Sementara proses pengolahan bentonit dapat dilihat secara skematis berikut:

Bentonit Alam

Basa

- Soda abu

- Soda api Asam

- Asam sulfat

- Asam klorida

Bentonit aktif

- Bahan penyerap (Bleaching earth)

Bentonit aktif

- Bahan perekat

- Bahan pengisi

- Bahan lumpur bor

Gambar 2.5. Skematis Proses Pengolahan Bentonit

Setelah bentonit selesai diaktivasi dan diolah, maka bentonit tersebut siap untuk digunakan untuk beberapa aplikasi selanjutnya, yaitu:

1. Bentonit sebagai Bahan Penyerap (Adsorben) atau Bahan Pemucat pada Industri Minyak Kelapa Sawit


(50)

Proses penyerapan zat warna (pigmen) merupakan proses yang sering digunakan, seperti penyerapan zat warna pada minyak hewani, minyak nabati, minyak bumi, dan lain-lain. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu bahan penyerap yang tepat dan murah.

Dalam keadaan awal, bentonit mempunyai kemampuan tinggi untuk menjernihkan warna. Kemampuan penyerapan warna ini dapat ditingkatkan melalui proses pengolahan dan pemanasan.

Berdasarkan kandungan alumino silikat hidrat yang terdapat dalam bentonit, maka bentonit tersebut dapat dibagi atas 2 (dua) golongan, yaitu:

a. Activated clay, merupakan lempung yang mempunyai daya pemucatan

yang rendah,

b. Fuller’s earth, biasanya digunakan sebagai bahan pembersih bahan wool

dari lemak.

Fuller’s earth adalah sejenis lempung yang secara alami mempunyai sifat daya serap terhadap zat warna pada minyak, lemak, dan pelumas. Karakteristik dari lempung jenis ini adalah mempunyai kandungan air yang tinggi, plastisitas yang rendah, dan struktur yang berlapis-lapis. Sebagian besar fuller’s earth menunjukkan perbandingan silika terhadap alumina antara 4 – 6. Sifat alami lain adalah pH antara 6,5 – 7,5, dengan porositas 60 – 70 %, dan luas permukaan butiran 170 – 200 Å. Mineral ini pada umumnya didominasi oleh mineral montmorilonit, atapulgit, dengan mineral ikutan berupa kaolinit, halloysit dan illit.


(51)

Proses penyerapan zat warna organik yang terdapat dalam minyak, lemak, dan pelumas terdiri atas penyerapan fisika dan kimia. Peyerapan secara kimia pada prinsipnya adalah merusak zat warna dengan penambahan oksidator, misalnya hidrogen peroksida. Penyerapan secara fisika adalah karena kontak antara permukaan butiran pada kondisi tertentu, yang meliputi temperatur, waktu kontak, pengadukan, dan konsentrasi yang dinyatakan oleh Frieundlich.

Proses pemucatan kelapa sawit dengan menggunakan adsorben pada prinsipnya adalah merupakan proses adsorbsi, di mana pada umumnya minyak kelapa sawit dipucatkan dengan kombinasi antara adsorben dengan pemanasan. Hal ini disebabkan karena minyak kelapa sawit adalah salah satu minyak nabati yang sulit untuk dipucatkan karena mengandung pigmen – karotenoid yang tinggi dibandingkan dengan minyak biji-bijian lainnya.

Penggunaan adsorben dengan pemanasan yang dilakukan dalam proses pemucatan ini tidak selalu sama untuk semua produk pengolahan minyak kelapa sawit, tetapi tergantung kepada kondisi minyak kelapa sawit, proses pabrik, dan sifat adsorben yang digunakan.

Pada umumnya, penggunaan adsorben adalah 1 – 5 % dari massa minyak dengan pemanasan pada suhu 120°C selama ± 1 jam. Dalam hal ini, adsorben yang sering digunakan adalah bentonit (dalam hal ini berfungsi sebagai bleaching earth/ tanah pemucat) dan arang aktif (activated charcoal).

Bahan pemucat ini merupakan sejenis tanah dengan komposisi utama terdiri dari silikat, air terikat, ion-ion kalsium, magnesium oksida, dan


(52)

besi oksida. Daya pemucatan bleaching earth ditimbulkan oleh adanya ion-ion Al3+ pada permukaan partikel adsorben yang dapat mengasorbsi partikel zat warna (pigmen). Sementara daya pemucatan tersebut tergantung pada perbandingan antara komponen SiO2 dan AlO2 yang terdapat dalam bleaching earth tersebut.

Aktivasi adsorben dengan asam mineral (misalnya HCl/ H2SO4) akan mempertinggi daya pemucatan, karena asam mineral tersebut akan bereaksi dan melarutkan komponen berupa tar, garam Ca dan Mg yang menutupi pori-pori adsorben. Di samping itu, asam mineral melarutkan Al2O3 sehingga menaikkan perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2 – 3) : 1 menjadi (5 – 6) : 1.

Bentonit yang telah ditambang diangkut ke tempat penampungan sementara (stock pile). Bentonit dalam bentuk bongkahan atau lepas, baik dalam kondisi basah maupun kering, dilakukan penirisan dan pengeringan. Kemudian dimasukkan ke dalam reaktor (aktivasi) dengan menambahkan air dan asam sulfat. Langkah selanjutnya adalah pencucian untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada mineral montmorilonit untuk selanjutnya akan masuk ke dalam thickener. Media pemisahannya adalah air. Setelah itu, akan masuk ke dalam proses penyaringan dan dilakukan pengeringan.

Bentonit yang telah kering dimasukkan ke proses penggerusan untuk mendapatkan ukuran butiran kurang lebih 200 mesh.


(53)

Penggunaan lempung sebagai katalis telah lama diperkenalkan, yaitu pada proses perengkahan minyak bumi dengan menggunakan mineral montmorillonit yang telah diasamkan. Namun, penggunaan lempung sebagai katalis memiliki kelemahan, yaitu tidak tahan terhadap suhu tinggi. Oleh karena itu diperkenalkan jenis material baru lempung terpilar yang memiliki stabilitas termal relatif lebih tinggi dari material asal.

3. Bentonit sebagai Bahan Penukar Ion

Pemanfaatan bentonit sebagai bahan penukar ion didasarkan pada sifat permukaan bentonit yang bermuatan negatif, sehingga kation-kation dapat terikat secara elektrostatik pada permukaan bentonit. Sifat ini juga merupakan hal yang penting dalam pengubahan Ca–bentonit menjadi Na– bentonit. Bentonit di Indonesia memiliki daya penukar kation dengan ukuran kapasitas tukar kation (KTK) yang berbeda-beda untuk masing-masing daerah, yaitu berkisar antara 50–100 meq/ 100 g. Hal ini disebabkan karena perbedaan komposisi kandungan kimianya.

4. Bentonit sebagai Lumpur Bor

Penggunaan utama mineral lempung adalah pada industri lumpur bor, yaitu sebagai lumpur pemilar dalam pengeboran minyak bumi, gas bumi, serta uap panas bumi.

Bentonit yang telah ditambang, dipersiapkan untuk proses pengolahan, di mana jika kondisinya masih basah, harus ditiriskan terlebih dahulu sedangkan jika kondisinya telah kering maka dapat langsung dilakukan penghancuran. Setelah mencapai ukuran tertentu maka dilakukan proses


(54)

pengeringan kembali, di mana sumber panas untuk pengeringan tersebut berasal dari energi listrik. Setelah butiran bentonit sesuai dengan ukuran tertentu maka dimasukkan ke dalam reaktor untuk proses aktivasinya. Dalam hal ini, fraksi pasir harus dihilangkan untuk mempertinggi kualitas bentonit sebagai lumpur pengeboran. Ke dalam reaktor aktivasi dimasukkan sejumlah air dan H2SO4. Setelah proses ini selesai maka dilakukan pengeringan kembali dengan sumber panas dari energi listrik. Tahap berikutnya adalah penggerusan untuk mencapai ukuran butiran halus bentonit (200 mesh) sebelum dimasukkan ke dalam siklon. Hasil siklon berupa produk dicampur dengan karbosil metil selulosa (CMC) dan ditampung di silo.

Aktivasi bentonit untuk lumpur bor adalah merupakan suatu perlakuan untuk mengubah Ca–bentonit menjadi Na–bentonit dengan penambahan bahan alkali. Bahan alkali yang umum digunakan adalah natrium karbonat dan natrium hidroksida. Dengan perubahan tersebut diharapkan sifat hidrasi, dispersi, reologi, swelling, dan lain-lain akan berubah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan lumpur bor.

Persyaratan bentonit untuk lumpur bor menurut API (American Petroleum Institute) adalah sebagai berikut:

• Kekentalan suspensi bentonit untuk 10 g dalam 350 ml air adalah 15. • Dapat lewat melalui penyaringan melalui kertas saring (filter), yakni untuk

larutan 10 g dalam 350 ml air harus lebih kecil dari 15 ml. • Sisa tertampung oleh ayakan 200 mesh adalah < 2,5 %. • Kandungan uap air (kelembaban) adalah < 12 %.


(55)

Sementara persyaratan bentonit untuk lumpur bor menurut OCMA (Oil Companies Materials Association) adalah sebagai berikut:

• Kekentalan suspensi bentonit untuk 6,5 g dalam 100 ml air adalah 15. • Dapat lewat melalui penyaringan melalui kertas saring (filter), yakni untuk

larutan 6,5 g dalam 100 ml air harus lebih kecil dari 15 ml. • Sisa tertampung oleh ayakan 200 mesh adalah <15 %.

• Sisa tertampung oleh ayakan 100 mesh (keadaan basah) adalah <2,5 %. • Sisa tertampung oleh ayakan 100 mesh (keadaan kering) adalah >98 %. • Kandungan uap air (kelembaban) adalah <15 %.

5. Bentonit sebagai Bahan Konstruksi Bangunan

Kepulauan Indonesia sebagaimana pada umumnya berada di daerah tropis, mempunyai bermacam–macam jenis tanah, di antaranya mempuyai sifat yang kurang baik. Di antaranya sifat fisik, seperti plastisitasnya tinggi, degradasi kurang baik, akibatnya sifat teknik yang dimiliki juga menjadi kurang baik, seperti daya dukungnya yang rendah. Seperti yang telah diketahui, tanah merupakan bahan konstruksi dalam bangunan sipil. Namun yang tersedia tidak terlalu seperti yang diharapkan. Bentonit merupakan salah satu jenis lempung yang banyak terdapat di beberapa wilayah di Indonesia. Bentonit mempunyai sifat fisik dan sifat teknik yang buruk jika digunakan sebagai bahan konstruksi. Bentonit juga bersifat ekspansif, yaitu mempunyai kemampuan mengembang cukup besar bila kondisinya jenuh akibat “Compressibility”-nya tinggi dan sulit


(56)

memadatkannya, sehingga bentonit jenuh ini tidak akan mampu memukul gaya-gaya yang bekerja padanya.

Pemakaian bentonit sebagai bahan konstruksi bangunan haruslah dikombinasikan dengan suatu bahan tertentu untuk memperbaiki sifat-sifat bentonit tersebut sebelum digunakan. Salah astu bahan yang dapat digunakan adalah kapur yang merupakan sisa atau limbah industri gas asetilen. Limbah pada proses pengolahan asetilen berbentuk butiran halus yang masih mengandung air. Secara fisik, limbah ini menyerupai kapur sedangkan secara kimia, limbah ini mengandung oksida-oksida logam dan persenyawaan kimia lainnya.

Berdasarkan sifat fisik dan komposisi kimianya, limbah ini dapat digunakan sebagai bahan aditif kimia dalam stabilitas tanah. Karena dengan kandungan: 70,90 % kalsium hidrat; 0,31 % magnesium oksida; 0,66 % silika; 2,56 % alumina; 1,76 % besi oksida; pH 12,5; dan kadar air 3,76 %, maka limbah ini memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai bahan alternatif pengganti kapur yang merupakan salah satu bahan aditif kimia yang digunakan untuk stabilisasi tanah.

6. Bentonit sebagai Bahan Perekat Pasir Cetak

Untuk keperluan pasir cetak, teknik pengolahannya cukup sederhana, yaitu:

Bentonit yang telah ditambang, dipersiapkan untuk proses pengolahan, di mana jika kondisinya masih basah, maka perlu dilalukan penirisan untuk mengurangi kadar airnya. Sedangkan jika kondisinya telah kering, maka telah


(57)

siap untuk dilakukan pengeringan selanjutnya di mana sumber panas berasal dari energi listrik.

Tahap berikutnya adalah penggerusan untuk memperkecil ukuran butiran sampai 200 mesh. Hasil penggerusan ini diproses lebih lanjut di dalam siklon. Setelah proses siklon selesai maka bentonit sebagai bahan perekat pada pembuatan pasir cetak disimpan di silo.

7. Bentonit untuk Pembuatan Tambahan Makanan Ternak (Urea Mollases Block) Untuk dapat digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

• Kandungan bentonit yang digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak < 30 %.

• Ukuran butiran bentonit adalah 200 mesh. • Memiliki daya serap >60 %.

• Memiliki kandungan mineral montmorilonit sebesar 70 %. 8. Bentonit untuk Industri Kosmetik

Untuk dapat digunakan dalam industri kosmetik, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

• Mengandung mineral magnesium silikat (Ca–bentonit). • Mempunyai pH netral.

• Kandungan air dalam bentonit adalah <5 %.

• Tidak mengalami perubahan panas selama dan setelah pemanasan. • Ukuran butiran bentonit adalah 325 mesh.


(58)

Secara umum dapat dikemukakan bahwa mineral montmorilonit termasuk ke dalam kelompok smektit. Beberapa mineral yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah beidelit, hektorit, dan stevensit.

Pada praktiknya, komposisi montmorilonit itu sendiri adalah berbeda dari bentonit yang satu dengan bentonit yang lain dan kandungan elemennya bervariasi tergantung pada proses pembentukannya di alam. Setiap struktur kristal montmorilonit mempunyai 3 (tiga) lapisan utama, yaitu lapisan oktahedral dari lapisan aluminium dan oksigen yang terletak di antara 2 (dua) lapisan silikon dan oksigen. Kandungan air kristalnya juga bervariasi sehingga jarak antar partikelnya dapat berubah-ubah, sehingga dapat mengembang (swelling). Adapun rumus umum kimia dari montmorilonit itu sendiri, yaitu: [Al2O3.4SiO2.xH2O]. Molekul montmorilonit terdiri dari lapisan-lapisan yang berjarak beberapa Amstrong. Salah satu lapisan berbentuk silika terkoordinasi dan dikombinasikan dengan lapisan alumina dan magnesia yang oktahedral.

Partikel montmorilonit sangatlah kecil sehinngga strukturnya hanya dapat disimpulkan melalui penelitian menggunakan Difraksi Sinar-X (X-Ray Difraction).

Gambar 2.6 di bawah ini menunjukkan sketsa diagram dari struktur montmorilonit. Kation yang dapat dipertukarkan dapat terjadi di antara lapisan silika dan ruang sumbu alumino silikat dari montmorilonit tersebut yang terhidrasi sempurna tergantung pada ukuran kation-kation antar lapisan.


(59)

Gambar 2.6. Sketsa Diagram Struktur Montmorilonit (Cool, P., 2002)

2.2.6. Hidrasi pada Mineral Montmorilonit

Secara teori dapat diterangkan bahwa susunan partikel lempung umumnya terdiri atas lapisan-lapisan yang bertumpuk seperti tumpukan kartu. Tumpukan tersebut terdiri dari lapisan silikat, alumina, dan oksigen yang di dalamnya terdapat gugusan hidrosil serta logam–logam. Bila tersuspensi di dalam air akan memperbesar jarak antara lapisan sampai beberapa Amstrong dan ini berarti akan meningkatkan daya swelling dari lempung tersebut. Jenis lempung yang terbaik yang berkenaan dengan hal ini adalah jenis Na–montmorilonit. Di dalam air, lempung jenis ini akan mengembang sampai lapisan-lapisan tersebut terpisah dari kelompoknya dan membentuk suspensi.


(60)

Jarak antar lapisan pada Na–bentonit kering adalah 9,8 Å sedangkan pada Ca–bentonit adalah 12,1 Å. Pada saat terjadinya hidrasi yang disebabkan oleh udara yang lembab ataupun suatu kondisi yang berair, maka jarak tersebut akan bertambah. Pada Ca–bentonit menjadi 17 Å dan pada Na–bentonit akan bertambah menjadi 17 – 40 Å dan selanjutnya tumpukan tersebut akan berpisah dan membentuk suspensi. Gambar 2.7 menyajikan mekanisme hidrasi dan dispersi pada Ca–bentonit.

Gambar 2.7. Mekanisme Hidrasi dan Dispersi pada Ca-bentonit (Figueras, F., 1988)

2.3. Lempung Terpilar (Pillaried Inter Layered Clay/ PILC)

Lempung Terpilar (PILC) adalah sebuah kelas yang menarik dari material-material dengan ukuran pori yang kecil secara 2 dimensi. Oleh karena Lempung Terpilar (PILC) mempunyai luas permukaan yang tinggi dengan porositas yang tetap, maka sangat baik digunakan untuk adsorbsi dan sebagai katalis. Sejak pori-pori Lempung Terpilar (PILC) dapat dilokalisasikan ke dalam daerah pori yang kecil, substrat ini membentuk sebuah jembatan antara mikropori zeolit pada suatu sisi dengan padatan mesopori dan makropori anorganik (seperti


(61)

silika dan alumina) pada sisi lainnya. Sejarah dari Lempung Terpilar (PILC) dimulai pada tahun 1955, namun studi intensifnya yang pertama dinyatakan sekitar pada tahun 1980. Selama perintisan kerja ini, kation organik dan pilar organometalik adalah yang terutama digunakan. Sekarang kation polioksida anorganik merupakan yang paling baik karena stabil pada suhu tinggi. Dengan cara mengubahnya secara alami, ukuran pilar dan porositas, maka akan didapatkan Lempung Terpilar (PILC) yang berbeda. Pori-porinya dikombinasikan dengan bahan-bahan antar pilar dengan bahan dasar lempung, sangat penting dalam berbagai aplikasi seperti adsorbsi gas, reaksi-reaksi katalitik, dan lain sebagainya.

Preparasi pertama Lempung Terpilar (PILC) menggunakan ion tetra-alkil-amonium dan menghasilkan lempung yang mengembang yang dapat berfungsi sebagai penyaring molekuler (molecular sieves) untuk adsorbsi molekular organik. Montmorilonit yang telah diinterkalasi oleh 1,4–diazobisiklo– 2,2,2–oktana ditemukan memiliki sifat penyaring molekul dan aktifitas katalitik yang baik untuk reaksi esterifikasi asam karboksilat. Meskipun stabilitas termal lempung organik ini lebih rendah dari 300°C sehingga membatasi penggunaannya sebagai katalis. Kebutuhan dunia industri terhadap masalah material yang memiliki sifat katalitik berkembang sangat cepat sehingga memacu munculnya material Lempung Terpilar kation polioksida yang stabil di atas suhu 600°C.

Preparasi Lempung Terpilar (PILC) atau Cross-Lined Smectite (CLS) didasarkan pada fenomena swelling (mengembang) yang merupakan sifat khas smektit. Swelling dimungkinkan terjadi karena layer/ lembaran paralel dari


(62)

struktur ini terikat satu sama lain oleh gaya elektrostatik sehingga ia dapat mengembang oleh penetrasi spesies polar antar lapisannya.

2.3.1. Prinsip Pilarisasi Lempung Terpilar

Meskipun lempung sangat luas penggunaannya dalam berbagai macam aplikasi (sebagai katalis, adsorbsi, dan pertukaran ion), kekurangannya adalah mempunyai porositas yang tetap. Smektit akan mengembang pada saat terjadi hidrasi namun pada saat terjadinya dehidrasi layer akan terbuka dan pada permukaan antar layer tidak akan memungkinkan terjadinya proses kimia.

Untuk menghindari hal tersebut, beberapa peneliti menemukan cara untuk membuka lapisan-lapisan lempung yakni dengan memasukkan berupa pilar yang stabil ke dalam daerah antar lapisan lempung tersebut. Dengan cara tersebut maka akan diperoleh volume pori lempung yang tinggi. Lempung Terpilar (PILC) mempunyai porositas selama terjadinya proses hidrasi dan dehidrasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.8 berikut ini:


(63)

Gambar 2.8. Hidrasi dan Dehidrasi yang terjadi pada Lempung dan Lempung Terpilar (PILC) (Pinnavaia, 1985)

Prinsip pilarisasi ini diperbaharui oleh Barrer dan McLeod yang menunjukkan porositas yang tetap dalam montmorilonit dengan mengganti ion-ion alkali dengan ion-ion tetraalkil amonium. Selama terjadinya krisis minyak (1973), Lempung Terpilar (PILC) ini mendapat perhatian khusus para peneliti dalam bidang katalisis di mana mereka menemukan Lempung Terpilar (PILC) dengan porositas tinggi namun tidak stabil pada suhu tinggi. Untuk menghadapi ketidakstabilan termal Lempung Terpilar (PILC) ini, maka Brindley, Sempels, dan Vaughan mulai mengembangkan Lempung Terpilar (PILC) anorganik. Studi pertama yang sangat mendasar dalam hal Lempung Terpilar (PILC) anorganik ini


(64)

muncul pada akhir tahun 1970-an. Tipe Lempung Terpilar (PILC) ini tetap mendapatkan perhatian sejak ditemukan stabil pada suhu tinggi, di atas 773°K.

Konsep pilarisasi ini pada dasarnya sederhana dan terdiri atas 2 (dua) langkah utama. Langkah pertama, kation-kation kecil antar lapisan digantikan dengan ion-ion yang lebih besar. Langkah kedua (langkah kalsinasi), yakni menempatkan prekursor kation polioksida anorganik ke dalam lapisan antar lapisan lempung, stabilisasi terhadap pilar logam oksida, serta mengikatnya secara kuat ke dalam layer lempung. Konsep pilarisasi ini dapat dilihat pada gambar 2.9 berikut ini:

Gambar 2.9. Prinsip Pilarisasi pada Lempung Terpilar (PILC) (Figureas, F., 1988)

2.3.2. Jenis-jenis Agen Pemilar (Prekursor)


(65)

Tabel 2.4. Beberapa Agen Pemilar

Kelas Contoh

Kation-kation organik Alkil amonium

Dialkil amonium

Kation-kation kompleks organik Co(en)33+

Kompleks M(2,2-bipiridin)

Kompleks M(O-penantrolin)

Si(acac)33+

Fe3O(OCOCH3)6CH3COOH+

Senyawa-senyawa kluster logam Nb6Cl12n+ ,Ta6Cl12n+ , Mo8Cl84+ Kation-kation polioksida Al13O4(OH)24(H2O)127+

Zr4(OH)8(H2O)168+

(TiO)8(OH)124+

Crn(OH)m (3n-m)+

Garam Fe-hidrolis

Sol-sol oksida Sol TiO2,TiO2-SiO2

Si2Al4O6(OH)8 atau imogolit

Pilar-pilar oksida campuran Fe/Al

Fe/Cr, Fe/Zr

La/Al

GaAl12O4(OH)24(H2O)127+

Cr/Al

LaNiOx

(Sumber C. P., 2002)

Penggunaan reaktan organik sebagai agen pemilar telah lama dilaporkan oleh Barrer. Pinnavaia telah melaporkan interkalasi smektit menggunakan kompleks organometalik di mana stabilitas struktur mencapai suhu 450°C. Kation logam hidroksida polinuklear menghasilkan spasi/ jarak yang lebih tinggi, mencapai 15 Å, sehingga memiliki stabilitas pada suhu tinggi.

Prinsipnya, berbagai ion bermuatan positif digunakan sebagai agen pemilar. Interkalasi ion kromium dan titanium menghasilkan lempung dengan ukuran pori yang besar. Interkalasi menggunakan Al–hidroksidakation telah


(66)

dipelajari secara mendalam. Pertama kali digunakan teknik potensiometrik yang memperkirakan pembentukan oligomer, seperti Al6(OH)153+ atau Al8(OH)204+. Dengan menggunakan small-angle X-Ray Scattering, Rausch dan Bale mengusulkan: untuk ratio OH/Al antara 1 dan 2,5; formasi spesies polimer [Al13O4(OH)24(H2O)12]7+. Spesies polimer ini tersusun atas 12 Al oktahedral dan satu pusat Al tetrahedral, seperti pada Gambar 2.10 berikut ini:

Gambar 2.10. Struktur Spesies Polimer Al13 (a), Zr4 (b) dan Si8 (c) (Burch, R., 1997)


(67)

Pada kasus Zirkonil klorida secara umum disetujui bahwa hidrolisis parsial garam menghasilkan kation tetrometrik [Zr4(OH)8(H2O)16]8+. Analisis larutan dengan menggunakan small-angle X-Ray Scattering menunjukkan hal tersebut. Tetromer ini juga ditemukan sebagai unit struktural padatan. Situasi ini analog dengan kasus Al di mana terdapat kemungkinan bahwa kation ini akan menjadi spesies mayor dalam larutaan dengan adanya kompleks logam yang berat molekulnya lebih besar.

Pendekatan yang berbeda telah diajukan oleh Lewis dengan menggunakan senyawa organosilika yang bermuatan positif. Struktur silikat tiga dimensi seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas dikenal sebagai polihedral oligosilsesquioxon. Struktur tersebut terdiri dari skeleton polihedral silikon oksigen yang mengandung substituen organik atau anorganik yang terikat pada atom silikon. Z merupakan moiety organik yang mengandung spesies kationik (ion amonium, posponium, dan piridium) yang memungkinkan terjadinya pertukaran ion. Selanjutnya, kalsinasi material terinterkalasi, mendekomposisi senyawa organik dan membentuk pilar sehingga struktur layer menjadi lebih stabil.

Di bawah ini akan diberikan Gambar 2.11 yang menunjukkan beberapa hasil Lempung Terpilar (PILC) dengan menggunakan prekursor (agen pemilar) yang berbeda.


(68)

Gambar 2.11. Ilustrasi dari Beberapa Hasil Lempung Terpilar dengan Menggunakan Prekursor (agen pemilar) yang Berbeda: (A) Al-PILC, (B) Zr-Al-PILC, (C) Ti-Al-PILC, dan (D) Fe-PILC (Vansant, 1998)

2.3.3. Interkalasi Agen Pemilar

Al–lempung dan Zr–lempung dapat dipertimbangkan sebagai sebuah model sehingga preparasinya lebih mendetil dan diskusinya difokuskan pada kedua sistem ini. Proses kimia yang terjadi adalah pertukaran ion (Ion Exchanging). Dapat diprediksikan kemudian bahwa faktor fisika dan kimia akan mempengaruhi derajat pertukaran dan distribusi kation dalam partikel lempung. Faktor tersebut antar lain: konsentrasi dan pH larutan, adanya kation lain di satu sisi, dan batas difusi di sisi lain.


(69)

Secara umum, berbagai spesies ion terdapat dalam larutan seperti Al137+, Al3+, Al84+ dan H+. Proses yang terjadi dapat dijelaskan sebagai kompetisi antara ion ini dengan kation asli lempung. Selektivitas pertukaran kation dalam silikat tergantung pada muatan dan ukuran kation. Selektivitas akan tinggi apabila kation bermuatan besar dan laju pertukaran menjadi lebih rendah untuk spesies yang lebih meruah. Dapat diperkirakan bahwa pada kesetimbangan termodinamik, kation Al137+ dan Zr48+ akan mengalami pertukaran secara spesifik meskipun situasi intermediet mungkin saja berbeda bila kation ini memiliki ukuran yang besar, yang seharusnya dapat dikeluarkan dari lempung.

Al dan Zr yang terdapat pada keadaan steady state tidak tergantung pada kondisi eksperimen kecuali pH yang mengontrol distribusi spesies ionik dalam larutan. Hal ini dapat diamati dengan membandingkan hasil yang berbeda dalam literatur yaitu d(001) spacing dan luas permukaan (surface area).

Distribusi spesies polimer kationik dalam partikel tergantung pada batas difusi dan kompetisi dengan kation lain, dan hal ini lebih sulit untuk direproduksi karena tergantung pada kondisi eksperimen. Pertukaran makro kation Zr dalam lempung montmorilonit merupakan suatu proses random, seperti ditunjukkan dengan evolusi garis (001). Inisial sampel adalah sangat kristalin dan garis (001) pertama yang melebar dan menurun intensitasnya selama pertukaran ion selanjutnya meningkat dan menajam saat derajat pertukaran meningkat.

Luas permukaan juga berpengaruh, yaitu akan menurun apabila ukuran partikel lempung meningkat. Menarik untuk dicatat bahwa stabilitas termal dari 2 (dua) sampel yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut ini:


(70)

Tabel 2.5. Evolusi Luas Permukaan 2 (dua) Zr-PILC Kalsinasi pada Temperatur yang Berbeda

Luas Permukaan (m2/g) setelah Kalsinasi pada Suhu Sampel

250°C 500°C 700°C

Zr-PILC 360 260 205

Zr-PILC 280 210 130

Pengaruh distribusi pilar dalam lempung terhadap stabilitas termal Lempung Terpilar (PILC) dapat dijelaskan dengan fakta jarak rata-rata antar pilar, sehingga dapat memfasilitasi sintering yang tergantung pada distribusi ini. Jadi, dapat dihipotesis bahwa stabilitas termal merupakan determinasi tidak langsung dari distribusi pilar yang tergantung pada kondisi eksperimen pertukaran ion.

Secara garis besar, pengaruh temperatur yang digunakan terhadap penampilan pertukaran ion telah diselidiki oleh Bartley dan Burch. Keduanya mengamati stabilitas termal yang lebih baik untuk Zr–lempung yang dipreparasi melalui refluks terhadap larutan ZrOCl2 dengan lempung.

Kation dari lempung juga menunjukkan beberapa pengaruh, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.6 dalam kasus Zr–lempung dan Al–lempung. Pada Zr– lempung, stabilitas termal sangat jelas berpengaruh dan struktur lempung terinterkalasi rusak pada suhu yang lebih rendah bila padatan dipreparasi dari bentuk Na–lempung menggunakan jenis lempung yang sama. Pada sampel ini, garis (001) tidak muncul melalui kalsinasi pada suhu 500°C. Dapat dikatakan, bahwa luas permukaan sedikit lebih tinggi pada sampel yang dipreparasi dari bentuk Ca–lempung. Pada kasus Al–lempung, pengaruh kation lempung terhadap


(71)

tekstur material yang dihasilkan juga sangat jelas. Difraksi Sinar-X tidak merefleksikan variasi terlalu banyak tetapi luas permukaan menunjukkan interkalasi lempung yang lebih baik bila kation lempung memiliki muatan positif yang lebih besar. Pengaruh ini dapat dijelaskan melalui kompetisi antara kation asal dengan agen pemilar. Selektivitas pertukaran kation meningkat dengan meningkatnya muatan sehingga kompetisi antara Na+ dengan Al137+ lebih baik atau lebih menguntungkan terhadap inkorporasi Al dibandingkan dengan kompetisi antara Ce3+ dengan Al137+. Dengan tidak adanya kompetisi ion, Al137+ bertukar secara cepat dan akan bergerak ke pusat partikel. Penggunaan kompetisi ion, seperti Cl3+, akan menurunkan kekuatan adsorbsi dan daya kation Al137+ dalam partikel sehingga menghasilkan distribusi kation yang homogen dan luas permukaan yang lebih besar.

Tabel 2.6. Pengaruh Kation Asal Lempung terhadap Sifat Tekstur Lempung Terpilar (PILC) (a)

250°C 400°C / 500°C (b)

Kation Asal

d(001) Å

(25°C) mS 2

/g

d(001) Å

d’(001) Å

S m2/g Zr-montmorilonit

Na 21,5 288 21 Rusak - Ca 21 323 21 18,0 284

Al-montmorilonit

Na-Ca 20 18,4 329

Li 20 18,0 295

Ca 20 18,2 453

La 20 18,6 430


(72)

Keterangan: (a) Jenis lempung yang digunakan adalah Na–bentonit

(b)

Zr–montmorilonit dikalsinasi pada suhu 500°C dan Al–montmorilonit dikalsinasi pada suhu 400°C.

2.3.4. Preparasi Lempung Terpilar

Prosedur preparasi Lempung Terpilar (PILC) secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.12 berikut ini, yang terdiri atas 4 langkah utama, yaitu: 1. Pemurnian dan penjenuhan lempung induk ke dalam bentuk Na+-lempung. 2. Preparasi larutan pemilar.

3. Reaksi pertukaran antara ion-ion Na+ antar lapisan lempung dengan kation-kation polioksida yang terdapat dalam larutan pemilar.


(73)

Gambar 2.12. Prosedur Preparasi Lempung Terpilar (PILC) secara Umum (Burch, R., 1997)


(74)

2.3.5. Lempung Induk

Lempung induk selalu berada dalam bentuk Na–lempung pada saat dipergunakan sebagai bahan dasar (substrat) untuk pilarisasi. Seperti yang telah diketahui, Na+ sebagai ion penyeimbang muatan menghasilkan hidrasi yang baik, pada gilirannya akan memfasilitasi proses interkalasi prekursor-prekursor pemilar. Pada lempung alam yang ukuran fraksinya <2 m di mana cukup kecil untuk mendapatkan suatu lempung yang dapat mengembang. Lempung alam masih mengandung pengotor-pengotor dan perlu dipisahkan, dimurnikan, serta dijenuhkan dengan larutan natrium sebelum digunakan dalam pemilaran. Sementara pada lempung alam yang ukuran fraksinya >2 m juga masih mengandung pengotor-pengotor dapat dipisahkan secara sentrifugasi.

Smektit hektorit alam yang dapat diperoleh dari Clay Repository of the Clay Minerals Society masih mengandung pengotor karbonat. Untuk menghilangkan pengotor ini hektorit tersebut perlu ditambahkan dengan larutan Natrium asetat/ asam asetat pada pH 4 sehingga pengotor karbonat diubah bentuknya menjadi H2CO3, yang selanjutnya akan dibebaskan menjadi H2O dan CO2 di dalam larutan. Setelah dipisahkan dari pengotor karbonatnya, hektorit ini kemudian dimasukkan ke dalam laruran jenuh NaCl kemudian dicuci dengan air suling untuk menghilangkan ion-ion kloridanya sehingga akan diperoleh Na– hektorit. Laponit sintetik yang dapat diperoleh dari Laporte Inorganics telah tersedia dalam bentuk Na–laponit yang bebas dari pengotor-pengotornya.


(1)

116

Lampiran 13. Hasil Luas Permukaan Bentonit TiO2 yang Dietsa (400°C)

Minto Supeno: Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis/ Co-Katalis Pembuatan Gas Hidrogen Dan Oksigen Dari Air, 2007. USU e-Repository © 2008


(2)

(3)

118

Lampiran 15. Hasil Analisa Komposisi Bentonit

Minto Supeno: Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis/ Co-Katalis Pembuatan Gas Hidrogen Dan Oksigen Dari Air, 2007. USU e-Repository © 2008


(4)

Nama : Drs. Minto Supeno, M.S. Tempat/ tanggal lahir : Magelang/ 9 Mei 1961

N I P : 131 689 799

Alamat kantor : Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU, Medan – 20155 Fakultas : Departemen Kimia MIPA – USU

Nama Orang Tua : Miskandar

Nama istri : Dra. Dwitri Saulina Silitonga, M.Si. Anak : 1. Puspa Ayu Maretha (SMP)

2. Arya Saka Wicaksono (SD)

1. Pendidikan

No Pendidikan Kota Tahun Lulus Bidang Studi

1 S2 FMIPA-ITB Bandung 1992 Kimia Fisik

2 S1 FMIPA-USU Medan 1986 Kimia Fisik

3 SMA Magelang 1980 IPA

4 SMP Magelang 1977 IPA


(5)

120

2. Pelatihan

1. Kursus Singkat Teknologi Polimer HEDS-JICA Medan (1993). 2. Pelatihan Wafer dan IC di ITB Bandung (1993).

3. Magang Polimer di ITB Bandung (1994). 4. Training MS, NMR, dan GC di Medan (1994).

5. Pelatihan UV, AAS, dan Flame di Lampung Heds (1995).

3. Seminar Nasional yang Diikuti

1. Pemakalah dan Presentasi Penelitian Nasional Hibah Bersaing; DIKTI, Cisarua.

2. Pemakalah dan Presentasi Penelitian Nasional Riset Unggulan Terpadu; BPPT, Jakarta.

3. Pemakalah dan Presentasi Penelitian Nasional Program Katalis Teknologi; BPPT, Jakarta.

4. Pemakalah dan Presentasi Penelitian Basic Science Award III; DIKTI, Cisarua.

4. Pengalaman Riset Nasional

1. Peranan Aditif dalam Poliblend dan Gejala Antarmuka; Basic Science, Jakarta (1993).

2. Efek Substitusi Hitam Karbon dengan Arang terhadap Perbaikan Sifat Mekanik dan Listrik; BBI-DIKTI, Jakarta (1994).

3. Irradiasi UV dan Termal sebagai Inisiator Termoplastik Ketermoset dari Blend PE/ Karbon; Basic Science Award III, Jakarta (1995).

4. Pemanfaatan Arang Berkerapatan Rendah dan Tinggi sebagai Bahan Pengisi Ban; RUT III, Jakarta (1995 – 1997).

5. Efek Penyimpanan dan Luas Permukaan Bahan Pengisi Karbon terhadap Sifat Mekanik Polipropilena/ Karbon; BBI-DIKTI , Jakarta (2001).

Minto Supeno: Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis/ Co-Katalis Pembuatan Gas Hidrogen Dan Oksigen Dari Air, 2007. USU e-Repository © 2008


(6)

5. Patent Nasional

Batok Sebagai Antena Televisi, Paten Indonesia melalui UBER HAKI - DIKTI (2005).

6. Penghargaan

1. Piala Presiden R.I., Gelar Teknologi Tepat Guna di Bandung (2001). Judul: Antena Batok Indoor sebagai Antena UHF

2. Piala RISTEK, Gelar Teknologi Tepat Guna di Medan (2004). Judul: Antena Batok Outdoor sebagai Antena UHF

3. Piala Gubernur SUMUT, INOTEK di Medan (2004) Judul: Antena Batok

Medan, 28 Maret 2007

Minto Supeno NIP. 131 689 799