Studi Pengetsaan Bentonit Terpilar Fe2O3

(1)

STUDI PENGETSAAN

BENTONIT TERPILAR-Fe2O3

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

YEDID NOVRIANUS LAROSA 010802032

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(2)

PERSETUJUAN

Judul : STUDI PENGETSAAN

BENTONIT TERPILAR-Fe2O3

Kategori : SKRIPSI

Nama : YEDID NOVRIANUS LAROSA

Nomor Induk Mahasiswa : 010802032

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN

ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU)

Disetujui di

Medan, Desember 2007 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2

Dr. Minto Supeno, M.S NIP. 131 689 299

Pembimbing 1

Dra. Nurhaida Pasaribu, M.Si NIP. 131 653 993

Diketahui/ Disetujui Oleh: Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 131 459 466


(3)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pengetsaan terhadap bentonit terpilar-Fe2O3.

Dalam penelitian ini, bentonit alam yang digunakan adalah bentonit alam Malaysia. Pengetsaan bentonit terpilar-Fe2O3 ini melalui beberapa tahap. Tahap pertama, yaitu

pembuatan bentonit terpilar-Fe2O3 dari bentonit alam dalam suasana H2SO4 dengan

menggunakan agen pemilar larutan FeCl3 dan dikalsinasi pada variasi suhu 400oC,

450oC, dan 500oC. Tahap kedua, yaitu pengetsaan bentonit terpilar-Fe2O3 yang telah

terbentuk, dengan menggunakan larutan pengetsa jenis CP-4, yaitu campuran antara: 3ml HF(p) + 5ml HNO3 (p) + 3ml CH3COOH(glasial) dan dikalsinasi pada variasi suhu:

400oC, 450oC, dan 500oC. Selanjutnya, bentonit alam, bentonit terpilar-Fe2O3, dan

bentonit terpilar-Fe2O3 hasil etsa, dikarakterisasi porositasnya dengan menggunakan

SEM (Scanning Electron Microscope), dan luas permukaannya dikarakterisasi dengan menggunakan Surface Area Analyser. Porositas dan luas permukaan bentonit terpilar-Fe2O3 lebih tinggi/ besar dibandingkan dengan porositas dan luas

permukaan bentonit alam, dimana porositas dan luas permukaan bentonit terpilar-Fe2O3 tersebut paling tinggi/ besar didapatkan pada bentonit

terpilar-Fe2O3 yang dikalsinasi pada suhu 450oC. Demikian juga halnya porositas dan luas

permukaan bentonit terpilar-Fe2O3 hasil etsa, lebih tinggi/ besar dibandingkan

dengan porositas dan luas permukaan bentonit alam dan bentonit terpilar-Fe2O3,

dimana porositas dan luas permukaan bentonit terpilar-Fe2O3 hasil etsa

tersebut paling tinggi/ besar didapatkan pada bentonit terpilar-Fe2O3 hasil etsa yang


(4)

STUDY OF Fe2O3-PILLARED INTER LAYERED BENTONITE ETCHING

ABSTRACT

The research of etching to Fe2O3-pillared inter layered bentonite had been done. In

this research, nature bentonite which applied is nature bentonite from Malaysia. The etching of Fe2O3-pillared inter layered bentonite through several steps. First steps,

that is making of Fe2O3-pillared inter layered bentonite from natural bentonite in

H2SO4 by using pillared agent: FeCl3 solution, and calcinated at variation

temperature: 400oC, 450oC, and 500oC. Second steps, that is etching of Fe2O3

-pillared inter layered bentonite which have been formed, by using etchant solution: type CP-4, that is mixture: 3ml HF(p.a) + 5ml HNO3 (p.a) + 3ml

CH3COOH(glacial), and calcinated at temperature variation: 400oC, 450oC, and 500oC.

Hereinafter, the porosity of natural bentonite, Fe2O3-pillared inter layered bentonite,

and Fe2O3-pillared inter layered bentonite etched, characterized by using SEM

(Scanning Electron Microscope), and the surface area characterized by using Surface Area Analyser. The porosity and the surface area of Fe2O3-pillared inter layered

bentonite is higher/ larger than the porosity and the surface area of natural bentonite, where the porosity and the surface area of Fe2O3-pillared inter layered bentonite is

highest/ largest at Fe2O3-pillared inter layered bentonite which calcinated at

temperature 450oC. And so do the porosity and the surface area of Fe2O3-pillared

inter layered bentonite etched is higher/ larger than the porosity and the surface area of natural bentonite and Fe2O3-pillared inter layered bentonite, where the porosity

and the surface area of Fe2O3-pillared inter layered bentonite etched is highest/

largest at Fe2O3-pillared inter layered bentonite etched which calcinated at


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, kasih, dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Ibu Dra. Nurhaida Pasaribu, M.Si selaku Pembimbing 1, dan Bapak Dr. Minto Supeno, MS selaku

Pembimbing 2 yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini hingga selesai, dan kepada Bapak Prof. Dr. Seri Bima Sembiring, M.Sc selaku Kepala Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ketua Departemen Kimia FMIPA USU, yakni Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan Sekretraris Departemen Kimia FMIPA USU, yakni Bapak Drs. Firman Sebayang, MS, Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA USU, seluruh Dosen pada Departemen Kimia FMIPA USU. Kepada Dosen Wali saya, yakni Bapak Drs. Chairuddin Lubis, M.Sc yang telah memberikan bimbingan selama mengikuti kuliah di Departemen Kimia FMIPA USU. Kepada Bapak Ir. Warman, Staff Dosen Laboratorium Analisis Material PTKI Medan, dan kepada Staff Laboratorium Surface Area Analyser PT.Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Kuala Tanjung, Asahan-Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dalam analisis produk yang dihasilkan dalam penelitian ini. Kepada seluruh Asisten Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU: B’Zulvan, B’Hiras, K’Yuni, K’Dorma, K’Tety, B’Joseph, B’Soehardi, K’Shinta, K’Liny, K’Helen, B’Sony, K’Keristyna, Saor, Dony, Evelyn, Sondang, Trisna, Ida, Joan, Ariston, Sepri, Boy, Lasma, Dasma, dan buat teman seperjuanganku: Januardo, yang telah


(6)

memberikan dukungan, semangat, dan perhatian kepada penulis. Kepada Sahabat-sahabat yang kukasihi: B’Erick, OnlyHu, B’Harry, Anis, ForMan-USU, dan rekan-rekan Mahasiswa ’01 yang telah membantu penulis selama perkuliahan. Akhirnya, Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Orang Tuaku: Ys.Larosa (Alm.), dan Ch.Harefa, serta Saudara-saudaraku: B’Witman Larosa, K’Ratna Larosa, Trisman Larosa, serta seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu penulis hingga selesainya Skripsi ini. Semoga Allah Bapa, PutraNya, dan Rohul Kudus yang penuh Kasih, melimpahkan Berkat dan KaruniaNya kepada kita semua.


(7)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bentonit merupakan salah satu jenis lempung yang banyak mengandung Mineral Montmorilonit (lebih dari 85%), dengan Rumus Kimia: [(OH)4 Si8 Al4 O20 nH2O].

(Stanley, J. Lefond, 1975). Bentonit terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Swelling Bentonite (Bentonit yang dapat mengembang), atau sering juga disebut Bentonit jenis Wyoming atau Na-bentonit. Bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan lumpur bor, penyumbat kebocoran bendungan, bahan pencampur cat, sebagai bahan baku farmasi, bahan perekat pada pasir cetak dalam industri pengecoran, dan lain sebagainya.

2. Non Swelling Bentonite (Bentonit yang kurang dapat mengembang), atau sering juga disebut Ca-bentonit. Bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap (pemucat) warna.

(Proyek Kerja Dinas Pertambangan Daerah Sumatera Utara 1999/2000, 2000). Preparasi pertama Lempung Terpilar (Pillared Inter Layered Clays / PILC) menggunakan ion tetra-alkil-amonium dan menghasilkan lempung yang mengembang yang dapat berfungsi sebagai penyaring molekuler (molecular sieves) untuk adsorbsi molekular organik. Montmorilonit yang telah diinterkalasi oleh 1,4-diazobisiklo 2,2,2 oktana ditemukan memiliki sifat penyaring molekul dan aktivitas katalitik yang baik untuk reaksi esterifikasi asam karboksilat. Stabilitas thermal lempung organik ini lebih rendah dari 300oC sehingga membatasi penggunaannya sebagai katalis. Kebutuhan dunia industri terhadap masalah material yang memiliki sifat katalitik berkembang sangat cepat, sehingga memacu munculnya material Lempung Terpilar kation polioksida yang stabil di atas suhu 600oC. (Cool P., Vansant E.F., 2002).


(8)

Dalam penelitian berikutnya, pembuatan Bentonit Terpilar dilakukan dengan menggunakan Kation Al3+ dan Zr2+ sebagai Agen Pemilar, yang menghasilkan suatu bentonit dengan ukuran pori yang besar. Prinsipnya, berbagai ion bermuatan positif dapat digunakan sebagai agen pemilar. Interkalasi kation Cr2+ dan Ti2+ ke dalam struktur bentonit juga dapat menghasilkan suatu bentonit dengan ukuran pori yang besar. (Http://www.chem.ui.ac.id/profil/staff/jnz/jnz.html).

Beberapa peneliti lainnya juga telah berhasil membuat Bentonit Terpilar dengan menggunakan Agen Pemilar dari Kation-kation Organik, Kompleks Organologam, Senyawa-senyawa Kluster logam, Kation-kation Polioksida, Sol-sol Oksida, dan Pilar-pilar Oksida Campuran. Salah satu contoh Bentonit Terpilar yang telah dibuat yaitu Bentonit Terpilar-Fe2O3.

Konsep pilarisasi ini pada dasarnya sederhana, dan terdiri atas 2 (dua) langkah utama. Langkah pertama, kation-kation kecil antar lapisan digantikan dengan ion-ion yang lebih besar. Langkah kedua (langkah kalsinasi), yakni menempatkan prekursor kation polioksida anorganik ke dalam lapisan antar lapisan lempung, stabilisasi terhadap pilar logam oksida, serta mengikatnya secara kuat ke dalam layer-layer lempung. (Cool P., Vansant E.F., 2002).

Pada Tahun 2005, Saudari Damaris H.D. Sihotang, telah berhasil membuat Bentonit Terpilar-TiO2, dimana didapatkan peningkatan jarak antar lapis pada

Bentonit Terpilar-TiO2 tersebut sebesar 0,7389 Å. Jarak antar lapis pada Bentonit

sebelum dilakukan pemilaran, yaitu: 14,9167 Å, sementara Jarak antar lapis pada Bentonit Terpilar-TiO2 (setelah dilakukan pemilaran), yaitu: 15,6556 Å.

(Sihotang, Damaris H.D., 2005). Luas permukaan (surface area) dan ukuran pori/ porositas (porosity) Bentonit Terpilar masih dapat diperbesar (ditingkatkan) lagi melalui Pengetsaan (Etching) terhadap Bentonit Terpilar tersebut. Untuk material-material semikonduktor, pengetsaan kimia secara basah biasanya berlangsung melalui oksidasi, yang diikuti dengan penguraian oksida dalam suatu reaksi kimia. Untuk Silikon, bahan pengetsa


(9)

(etchants) yang lazim digunakan adalah campuran antara, Asam fluorida (HF), Asam Nitrat (HNO3), dan Asam Asetat (CH3COOH). (Sze S.M., 1985).

Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk melakukan Pengetsaan terhadap Bentonit Terpilar-Fe2O3.

1.2. Permasalahan

Apakah Proses Etsa (Etching) dapat memperbesar ukuran pori/ porositas (porosity), dan meningkatkan luas permukaan (Surface area) dari Bentonit Terpilar- Fe2O3?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mempelajari pengaruh Proses Etsa (Etching) terhadap ukuran pori/ porositas (porosity), dan luas permukaan (Surface area) dari Bentonit Terpilar- Fe2O3.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan Bentonit Terpilar- Fe2O3 Hasil Etsa dapat digunakan

sebagai Katalis Pembuatan Gas Hidrogen (H2) dari air (H2O), sebagai Adsorben, dan

sebagai Penukar Ion.

1.5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik F.MIPA-USU-Medan, dan analisa Produk dengan Foto SEM (Scanning Electron Microscope) di lakukan di PTKI-Medan, dan analisa Produk dengan Surface Area Analyser di lakukan di PT.Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Kuala Tanjung, Asahan-Sumatera Utara.


(10)

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Pengambilan Sampel Bentonit

Bentonit alam Malaysia dihaluskan dan diayak dengan menggunakan ayakan 400 mesh. Bentonit yang telah halus tersebut diambil sebanyak 5 g untuk

dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser. Sisanya digunakan dalam pembuatan Bentonit Terpilar-Fe2O3 berikutnya.

1.6.2. Pembuatan Bentonit Terpilar-Fe2O3

Bentonit dengan kehalusan 400 mesh diambil sebanyak 75 g, kemudian direndam dalam 250 ml larutan NaCl 1 M selama 7 hari. Setelah 7 hari, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi, dan direndam lagi dalam 250 ml larutan NaCl 6 M selama 2 hari. Setelah 2 hari, endapan dipisahkan dari larutannya, dan direndam lagi dalam 250 ml larutan NaCl jenuh selama 7 hari. Setelah 7 hari, endapan dipisahkan dari larutannya, dan dicuci dengan 250 ml Aqua Bidestilata untuk menghilangkan sisa ion kloridanya, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Bentonit ini disebut Na-bentonit. Selanjutnya, Na-bentonit tersebut direndam dalam 250 ml larutan H2SO4

1 M selama 1 hari, kemudian didekantasi. Endapan dikeringkan di bawah sinar matahari. Selanjutnya, endapan tersebut direndam dalam 250 ml larutan FeCl3 1 M

selama 1 hari, kemudian didekantasi. Endapan dicuci dengan 250 ml Aqua Bidestilata untuk menghilangkan sisa ion kloridanya, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Selanjutnya, endapan tersebut dibagi ke dalam 3 bagian. Bagian 1 ditanur (kalsinasi) pada suhu 400oC, Bagian 2 ditanur (kalsinasi) pada suhu 450oC, dan Bagian 3 ditanur (kalsinasi) pada suhu 500oC. Proses kalsinasi ini menghasilkan Bentonit Terpilar-Fe2O3. Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang telah dikalsinasi pada suhu

400oC, 450oC, dan 500oC tersebut masing-masing dibagi lagi ke dalam 2 bagian. Masing-masing Bagian 1 untuk dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser, dan masing-masing Bagian 2 digunakan untuk Pengetsaan berikutnya.


(11)

Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang telah dikalsinasi pada suhu 400oC, 450oC, dan 500oC,

diambil masing-masing sebanyak 5 g, kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing 3 wadah plastik. Selanjutnya, masing-masing ditambahkan Larutan Pengetsa (Campuran antara: 3ml HF(p) + 5ml HNO3 (p) + 3ml CH3COOH (glasial) ). Kemudian

diaduk dengan menggunakan pengaduk plastik selama 10 menit. Setelah 10 menit, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi menggunakan pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh dinetralkan pH-nya dengan menggunakan Aqua Bidestilata, kemudian didekantasi menggunakan pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh ditanur pada masing-masing suhu kalsinasinya (400oC, 450oC, dan 500oC) selama 1 jam. Kemudian hasilnya dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bentonit

Istilah “Bentonit” pertama kali diperkenalkan oleh Knight pada tahun 1898, berselang satu tahun setelah dia menamakan sejenis lempung ini sebagai “Taylorit”. Sementara istilah “Bentonit” itu sendiri diambil dari kata “Benton Shale”, yakni nama tempat lempung ini pertama kali ditemukan.

Ross dan Shannon (1926) mendefinisikan Bentonit sebagai batuan yang tersusun oleh suatu lempung kristalin (seperti mineral lempung) yang terbentuk akibat devitrifikasi yang diikuti dengan alterasi kimiawi suatu material yang bersifat gelas (glassy) yang biasanya berupa tufa gelas atau abu vulkanik, dan mengandung berbagai macam butiran kristal, seperti feldspar (umumnya ortoklas dan oligoklas), biotit, kaca, piroksen, zirkon, dan mineral-mineral lainnya seperti yang terkandung dalam batuan-batuan vulkanik. (Stanley, J. Lefond, 1975).

Bentonit adalah istilah perdagangan untuk sejenis lempung yang banyak mengandung mineral Montmorilonit (sekitar 85%), yaitu suatu mineral hasil pelapukan, pengaruh hidrothermal, atau akibat transformasi/ devitrifikasi dari tufa gelas yang diendapkan di dalam air dalam suasana alkali. Fragmen sisanya pada umumnya terdiri dari campuran mineral kuarsa/ kristobalit, feldspar, kalsit, gypsum, kaolinit, plagioklas, illit, dan lain sebagainya.

(Zulkarnaen, Wardoyo S., Marmer D.H., 1990). Lempung merupakan salah satu komponen tanah yang tersusun atas senyawa alumina silikat dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari 2μm. Struktur dasarnya merupakan filosilikat atau lapisan silikat yang terdiri dari lembaran tetrahedral silisium-oksigen dan lembaran oktahedral aluminium-oksigen-hidroksida.


(13)

2.1.1. Proses Terjadinya Bentonit di Alam

Secara Umum, asal mula terjadinya endapan bentonit ada 4 (empat), yaitu: 1. Terjadi karena proses pelapukan batuan.

Faktor utama yang menyebabkan pelapukan batuan adalah komposisi kimiawi mineral batuan induk, dan kelarutannya dalam air. Mineral-mineral utama dalam pembentukan bentonit adalah plagioklas, kalium-feldspar, biotit, muskovit, serta sedikit kandungan senyawa alumina dan ferromagnesia. Secara umum, faktor yang mempengaruhi pelapukan batuan ini adalah iklim, jenis batuan, relief, dan tumbuh-tumbuhan yang berada di atas batuan tersebut.

Pembentukan bentonit sebagai hasil pelapukan batuan dapat juga disebabkan oleh adanya reaksi antara ion-ion Hidrogen yang terdapat di dalam air, dan di dalam tanah dengan persenyawaan silikat yang terdapat di dalam batuan. 2. Terjadi karena proses hidrothermal di alam.

Proses hidrothermal mempengaruhi alterasi yang sangat lemah, sehingga mineral-mineral yang kaya akan Magnesium, seperti hornblende dan biotit cenderung membentuk mineral klorit. Pada alterasi lemah, kehadiran unsur-unsur logam alkali dan alkali tanah (kecuali Kalium), mineral mika, ferromagnesia, feldspar, dan plagioklas pada umumnya akan membentuk montmorilonit, terutama disebabkan karena adanya unsur Magnesium.

Larutan hidrothermal merupakan larutan yang bersifat asam dengan kandungan klorida, sulfur, karbon dioksida, dan silika. Larutan alkali ini selanjutnya akan terbawa keluar dan bersifat basa, dan akan tetap bertahan selama unsur alkali tanah tetap terbentuk sebagai akibat penguraian batuan asal. Pada alterasi lemah, adanya unsur alkali tanah akan membentuk bentonit.

3. Terjadi karena proses transformasi dan devitrifikasi mineral-mineral dari gunung berapi.

Proses transformasi (pengubahan) abu vulkanis yang mempunyai komposisi gelas akan menjadi mineral lempung (mengalami devitrifikasi secara


(14)

perlahan-lahan) yang lebih sempurna, terutama pada daerah danau, lautan, dan cekungan sedimentasi. Transformasi dari gunung berapi yang sempurna akan terjadi apabila debu gunung berapi diendapkan dalam cekungan seperti danau dan air. Bentonit yang berasal terjadi akibat proses transformasi pada umumnya bercampur dengan sedimen laut lainnya yang berasal dari daratan, seperti batu pasir dan danau.

4. Terjadi karena proses pengendapan batuan.

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali) yang sangat silika (Authegenic neoformation), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana unsur pembentuknya antara lain: karbonat, silika pipih, fosfat laut, dan unsur lainnya yang bersenyawa dengan unsur Aluminium dan Magnesium.

(Proyek Kerja Dinas Pertambangan Daerah Sumatera Utara 2000/2001, 2001).

2.1.2. Komposisi Bentonit

Berdasarkan hasil analisis terhadap sampel bentonit yang diambil langsung di lapangan, diperoleh komposisi bentonit adalah sebagai berikut:

X Kalsium oksida (CaO) 0,23%, X Magnesium oksida (MgO) 0,98%, X Aluminium oksida (Al2O3) 13,45%,

X Ferri oksida (Fe2O3) 2,18%,

X Silika (SiO2) 74,9%,

X Kalium oksida (K2O) 1,72%,

X Air (H2O) 4%.

2.1.3. Sifat-sifat Umum Bentonit


(15)

1. Memiliki kilap lilin,

2. Memiliki warna yang cukup bervariasi, mulai dari warna dasar putih, hijau muda kelabu, merah muda dalam keadaan segar, dan akan berubah warna menjadi krem apabila telah melapuk, dan lama-kelamaan akan menjadi kuning dengan sedikit kemerahan, atau kecoklatan, serta hitam keabu-abuan, tergantung pada jenis dan jumlah fragmen mineralnya,

3. Bersifat sangat lunak, dan plastis, memiliki porositas yang tinggi, ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun, mudah menyerap air, dan dapat melakukan pertukaran ion (Ion exchanging),

4. Mempunyai berat jenis berkisar antara 2,4-2,8 g/ml. (Soedjoko T.S., 1987).

2.1.4. Jenis-jenis Bentonit

Ada 2 (dua) jenis bentonit yang banyak dijumpai, yaitu:

3. Swelling Bentonite (bentonit yang dapat mengembang), atau sering juga disebut bentonit jenis Wyoming atau Na-bentonit, yaitu jenis mineral montmorilonit yang mempunyai Lapisan partikel air tunggal (Single Water Layer Particles), yang mengandung kation Na+ yang dapat dipertukarkan. Bentonit jenis ini mempunyai kemampuan mengembang hingga 8 (delapan) kali apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering, berwarna putih, atau kuning gading, sedangkan dalam keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap. Perbandingan antara kation Na+ dan kation Ca+ yang terdapat di dalamnya sangat tinggi, serta suspensi koloidalnya mempunyai pH 8,5 sampai 9,8. Kandungan Na2O dalam bentonit jenis ini, pada

umumnya lebih besar dari 2%.

Karena sifat-sifat yang dimilikinya, maka bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan lumpur bor, penyumbat kebocoran bendungan, bahan pencampur cat, sebagai bahan baku farmasi, bahan perekat pada pasir cetak dalam industri pengecoran, dan lain sebagainya.

4. Non Swelling Bentonite (Bentonit yang kurang dapat mengembang), atau sering juga disebut Ca-bentonit, yaitu jenis mineral montmorilonit yang kurang dapat


(16)

mengembang apabila dicelupkan di dalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam, maka akan memiliki sifat menyerap sedikit air, dan akan cepat mengendap tanpa membentuk suspensi. pH-nya sekitar 4,0-7,1. Daya tukar ionnya juga cukup besar. Bentonit jenis ini mengandung Kalsium dan Magnesium yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan kandungan Natriumnya.

Karena sifat-sifat yang dimilikinya, maka bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap (pemucat) warna (Bleaching Earth).

(Soedjoko T.S., 1987).

2.1.5. Kegunaan Bentonit

Pemanfaatan bentonit dalam bidang industri, sangat erat kaitannya dengan sifat yang dimiliki oleh bentonit itu sendiri, yaitu:

a. Komposisi dan jenis mineral.

Untuk mengetahui komposisi dan jenis mineral yang terkandung dalam bentonit, dilakukan pengujian dengan menggunakan Difraksi Sinar-X. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara kualitatif komposisi mineral yang terkandung di dalamnya.

b. Sifat Kimia.

Pengujian terhadap beberapa sifat kimia yang terkandung di dalam bentonit perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas (mutu) yang dimilikinya.

c. Sifat Teknologi.

Pemanfaatan bentonit berkaitan dengan sifat teknologi yang dimiliki bentonit tersebut, yaitu antara lain: sifat pemucatan, sifat bagian suspensi, sifat mengikat dan melapisi untuk pembuatan makanan ternak dan industri logam.


(17)

d. Sifat Pertukaran Ion.

Pengujian terhadap sifat pertukaran ion bertujuan untuk mengetahui seberapa besar jumlah air (uap air) yang dapat diserap oleh bentonit, sehingga akan tercapai kesetimbangan reaksi kimia yang diperlukan untuk proses selanjutnya. Hal ini sangat penting diketahui, karena bentonit diharapkan dapat membentuk dinding diafragma yang mencegah terjadinya perembesan air.

e. Daya Serap.

Sifat daya serap yang dimiliki bentonit terjadi karena adanya ruang pori-pori antar ikatan mineral lempung, serta ketidak seimbangan antara muatan listrik dalam ion-ionnya. Daya serap tersebut pada umumnya berada pada ujung permukaan kristal, serta diameter ikatan mineral lempung. Hal ini disebabkan karena bentonit dapat digunakan sebagai bahan penyerap dalam berbagai keperluan, baik dalam keadaan basah (suspensi), maupun kering (tepung).

f. Luas Permukaan.

Luas permukaan bentonit dinyatakan dalam jumlah luas permukaan kristal, atau butir kristal bentonit yang berbentuk tepung, setiap gram massa bentonit tersebut (m2/g). Semakin tinggi luas permukaannya, maka semakin banyak pula zat-zat yang terbawa atau melekat pada bentonit. Sifat ini dimanfaatkan sebagai bahan pembawa (carrier) dalam insektisida dan pestisida, serta sebahai bahan pengisi (filler) dalam industri kertas (pulp), dan bahan pengembang industri makanan dan plastik.

g. Kekentalan dan Suspensi.

Sifat kekentalan dan daya serap yang tinggi sangat diharapkan terutama untuk pengeboran minyak, eksplorasi, industri cat, dan industri kertas.

(Soedjoko T.S., 1987). Sebelum digunakan dalam berbagai aplikasi, bentonit harus diaktifkan dan diolah terlebih dahulu. Ada 2 (dua) cara yang dapat dilakukukan untuk aktivasi bentonit, yaitu:


(18)

1. Secara Pemanasan (heat activation and extrusion). Pada proses ini, bentonit dipanaskan pada temperatur 300-350oC untuk memperluas permukaan butiran bentonit.

2. Secara Kontak asam.

Tujuan dari aktivasi kontak asam adalah untuk menukar kation Ca+ yang ada dalam Ca-bentonit menjadi ion H+ dan melepaskan ion Al, Fe, dan Mg dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur, sehingga secara fisiknya, bentonit tersebut menjadi lebih aktif. Untuk keperluan tersebut, asam sulfat dan asam klorida adalah zat kimia yang umum digunakan. Selama proses bleaching tersebut, Al, Fe, dan Mg larut dalam larutan, kemudian terjadi penyerapan asam ke dalam struktur bentonit, sehingga rangkaian struktur (framework) mempunyai area yang lebih luas. Proses pelepasan Al dari bentonit disajikan dalam persamaan berikut ini:

(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 3 H+ (Al3)(Si8)O20(OH)2 + Al3+ + 2 H2O

(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 6 H+ (Al2)(Si8)O20(OH)2 + 2 Al3+ + 4 H2O

Pada kondisi di atas, separuh dari atom Al berpindah dari struktur, bersama dengan gugus hidroksil. Menurut Thomas, Hickey, dan Stecker,

atom-atom Al yang tersisa masih terkoordinasi dalam rangkaian tetrahedral dengan 4 (empat) atom oksigen tersisa.

Perubahan dari gugus oktahedral menjadi tetrahedral membuat kisi kristal bermuatan negatif pada permukaan kristal, sehingga dapat dinetralisir oleh ion Hidrogen. Pada proses aktivasi selanjutnya terjadi pelarutan lebih banyak lagi. Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut ini:

2 H+

(Al2)(Si8)O20(OH)4 + 3 H+ Al3+ + (Al)(Si8H4)O20

2 H+


(19)

Sementara proses pengolahan bentonit dapat dilihat secara skematis berikut ini:

Bentonit Alam

(Zulkarnaen, Wardoyo S., Marmer D.H., 1990). Setelah bentonit selesai diaktivasi dan diolah, maka bentonit tersebut siap untuk digunakan untuk beberapa aplikasi selanjutnya, yaitu:

1. Bentonit Sebagai Bahan Penyerap (Adsorben) atau Bahan Pemucat pada Industri Minyak Kelapa Sawit.

Proses penyerapan zat warna (pigmen) merupakan proses yang sering digunakan, seperti penyerapan zat warna pada minyak hewani, minyak nabati, minyak bumi, dan lain-lain. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu bahan penyerap yang tepat dan murah.

Dalam keadaan awal, bentonit mempunyai kemampuan tinggi untuk menjernihkan warna. Kemampuan penyerapan warna ini dapat ditingkatkan melalui proses pengolahan dan pemanasan.

Berdasarkan kandungan alumino silikat hidrat yang terdapat dalam bentonit, maka bentonit tersebut dapat dibagi atas 2 (dua) golongan, yaitu:

X Activated Clay, merupakan lempung yang mempunyai daya pemucatan yang rendah,

Asam

- Asam sulfat - Asam klorida

Basa - Soda abu - Soda api

Bentonit aktif - Bahan penyerap

(Bleaching earth)

Bentonit aktif - Bahan perekat - Bahan pengisi - Bahan lumpur bor


(20)

X Fuller’s earth, biasanya digunakan sebagai bahan pembersih bahan wool dari lemak.

Fuller’s earth adalah sejenis lempung yang secara alami mempunyai sifat daya serap terhadap zat warna pada minyak, lemak, dan pelumas. Karakteristik dari lempung jenis ini adalah mempunyai kandungan air yang tinggi, plastisitas yang rendah, dan struktur yang berlapis-lapis. Sebagian besar fuller’s earth menunjukkan perbandingan silika terhadap alumina antara 4-6. Sifat alami lain adalah pH antara 6,5-7,5; dengan porositas 60-70%, dan luas permukaan butiran 170-200Å. Mineral ini pada umumnya didominasi oleh mineral montmorilonit, atapulgit, dengan mineral ikutan berupa kaolinit, halloysit dan illit.

Proses penyerapan zat warna organik yang terdapat dalam minyak, lemak, dan pelumas terdiri atas penyerapan fisika dan kimia. Penyerapan secara kimia pada prinsipnya adalah merusak zat warna dengan penambahan oksidator, misalnya Hidrogen peroksida. Penyerapan secara fisika adalah karena kontak antara permukaan butiran pada kondisi tertentu, yang meliputi temperatur, waktu kontak, pengadukan dan konsentrasi yang dinyatakan oleh persamaan Friendleuich.

Proses pemucatan kelapa sawit dengan menggunakan Adsorben, pada prinsipnya adalah merupakan proses adsorbsi, dimana pada umumnya minyak kelapa sawit dipucatkan dengan kombinasi antara adsorben dengan pemanasan. Hal inii disebabkan karena minyak kelapa sawit adalah salah satu minyak nabati yang sulit untuk dipucatkan karena mengandung pigmen beta-karotenoid yang tinggi dibandingkan dengan minyak biji-bijian lainnya.

Penggunaan adsorben dengan pemanasan yang dilakukan dalam proses pemucatan ini tidak selalu sama untuk semua produk pengolahan minyak kelapa sawit, tetapi tergantung kepada kondisi minyak kelapa sawit, proses pabrik dan sifat adsorben yang digunakan.

Pada umumnya, penggunaan adsorben adalah 1-5% dari massa minyak dengan pemanasan pada suhu 120oC selama ± 1 jam. Dalam hal ini, adsorben yang


(21)

sering digunakan adalah bentonit (dalam hal ini berfungsi sebagai bleaching earth (tanah pemucat), dan arang aktif (activated charcoal).

Bahan pemucat ini merupakan sejenis tanah dengan komposisi utama terdiri dari Silikat, air terikat, serta ion-ion Kalsium, Magnesium oksida, dan Besi oksida. Daya pemucatan Bleaching earth ditimbulkan oleh adanya ion-ion Al3+ pada permukaan partikel adsorben yang dapat mengadsorbsi partikel zat warna (pigmen). Sementara daya pemucatan tersebut tergantung pada perbandingan antara komponen SiO2 dan AlO2 yang terdapat dalam Bleaching earth tersebut.

Aktivasi adsorben dengan asam mineral (misalnya HCl/ H2SO4) akan

mempertinggi daya pemucatan, karena asam mineral tersebut akan bereaksi, dan melarutkan komponen, berupa tar, garam Ca, dan Mg yang menutupi pori-pori adsorben. Di samping itu, asam mineral melarutkan Al2O3, sehingga menaikkan

perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2-3) : 1, menjadi (5-6) : 1.

Bentonit yang telah ditambang diangkut ke tempat penampungan sementara (stock pile). Bentonit dalam bentuk bongkahan atau lepas, baik dalam kondisi basah maupun kering dilakukan penirisan dan pengeringan. Kemudian dimasukkan ke dalam reaktor (aktivasi) dengan menambahkan air dan asam sulfat. Langkah selanjutnya adalah pencucian untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada mineral montmorilonit untuk selanjutnya akan masuk ke dalam Thickener. Media pemisahannya adalah air. Setelah itu, akan masuk ke dalam proses penyaringan oleh air dan dilakukan pengeringan.

Bentonit yang telah kering dimasukkan ke proses pengerusan untuk mendapatkan ukuran butiran kurang lebih 200 mesh.

2. Bentonit Sebagai Katalis.

Penggunaan lempung sebagai katalis telah lama diperkenalkan, yaitu pada proses perengkahan minyak bumi dengan menggunakan mineral montmorillonit yang telah diasamkan. Namun, penggunaan lempung sebagai katalisa memiliki kelemahan, yaitu tidak tahan terhadap suhu tinggi. Oleh karena itu, diperkenalkan


(22)

jenis material baru, yakni Lempung Terpilar yang memiliki stabilitas thermal relatif lebih tinggi dari material asal.

3. Bentonit Sebagai Bahan Penukar Ion.

Pemanfaatan bentonit sebagai bahan penukar ion didasarkan pada sifat permukaan bentonit yang bermuatan negatif, sehingga kation-kation dapat terikat secara elektrostatik pada permukaan bentonit. Sifat ini juga merupakan hal yang penting dalam pengubahan Ca-bentonit menjadi Na-bentonit. Bentonit di Indonesia memiliki daya penukar kation dengan ukuran kapasitas tukar kation (KTK) yang berbeda-beda untuk masing-masing daerah, yaitu berkisar antara 50-100 meq/ 50-100g. Hal ini disebabkan karena perbedaan komposisi kandungan kimianya.

4. Bentonit Sebagai Lumpur Bor.

Penggunaan utama mineral lempung adalah pada industri lumpur bor, yaitu sebagai lumpur pemilar dalam pengeboran minyak bumi, gas bumi, serta uap panas bumi.

Bentonit yang telah ditambang, dipersiapkan untuk proses pengolahan, dimana jika kondisinya masih basah, harus ditiriskan terlebih dahulu, sedangkan jika kondisinya telah kering, maka dapat langsung dilakukan penghancuran. Setelah mencapai ukuran tertentu, maka dilakukan proses pengeringan kembali, dimana sumber panas untuk pengeringan tersebut berasal dari energi listrik. Langkah selanjutnya adalah, setelah butiran bentonit telah sesuai dengan ukuran tertentu, maka dimasukkan ke dalam reaktor untuk proses aktivasinya. Dalam hal ini, fraksi pasir harus sudah hilang untuk mempertinggi kualitas bentonit sebagai lumpur pengeboran. Ke dalam reaktor aktivasi dimasukkan sejumlah air dan H2SO4. Setelah proses ini selesai, maka dilakukan pengeringan kembali dengan

sumber panas dari energi listrik. Tahap berikutnya adalah penggerusan untuk mencapai ukuran butiran halus bentonit (200 mesh) sebelum dimasukkan ke dalam siklon. Hasil siklon berupa produk dicampur dengan reagen CMC, dan ditampung di Silo.


(23)

Aktivasi bentonit untuk lumpur bor adalah merupakan suatu perlakuan untuk mengubah Ca-bentonit menjadi Na-bentonit dengan penambahan bahan alkali. Bahan alkali yang umum digunakan adalah Natrium karbonat dan Natrium hidroksida. Dengan perubahan tersebut, diharapkan sifat hidrasi, dispersi, reologi, swelling, dan lain-lain akan berubah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan lumpur bor.

Persyaratan bentonit untuk lumpur bor menurut API (American Petroleum Institute) adalah sebagai berikut:

X Kekentalan suspensi bentonit untuk 10g dalam 350 ml air adalah 8,

X Dapat lewat melalui penyaringan melalui kertas saring (filter), yakni untuk larutan 10g dalam 350 ml air, harus lebih kecil dari 14 ml,

X Sisa tertampung oleh ayakan 200 mesh adalah < 2,5%, X Kandungan uap air (kelembaban) adalah < 12%.

Sementara persyaratan bentonit untuk lumpur bor menurut OCMA (Oil Companies Materials Association) adalah sebagai berikut:

X Kekentalan suspensi bentonit untuk 6,5g dalam 100 ml air adalah 15,

X Dapat lewat melalui penyaringan melalui kertas saring (filter), yakni untuk larutan 6,5g dalam 100 ml air, harus lebih kecil dari 15 ml,

X Sisa tertampung oleh ayakan 200 mesh adalah <15%,

X Sisa tertampung oleh ayakan 100 mesh (dalam keadaan basah) adalah <2,5%, X Sisa tertampung oleh ayakan 100 mesh (dalam keadaan kering) adalah <15%, X Kandungan uap air (kelembaban) adalah <15%.

5. Bentonit Sebagai Bahan Konstruksi Bangunan.

Kepulauan Indonesia sebagaimana pada umumnya berada di daerah tropis mempunyai bermacam–macam jenis tanah, dimana diantaranya mempuyai sifat yang kurang baik. Diantaranya sifat fisik, seperti plastisitasnya tinggi, degradasi kurang baik, akibatnya sifat teknik yang dimiliki juga menjadi kurang baik, seperti daya dukungnya yang rendah. Seperti yang telah diketahui, tanah merupakan bahan konstruksi dalam bangunan sipil. Namun yang tersedia tidak terlalu seperti yang diharapkan. Bentonit merupakan salah satu jenis lempung


(24)

yang banyak terdapat dibeberapa wilayah di Indonesia. Bentonit mempunyai sifat fisik dan sifat teknik yang buruk jika digunakan sebagai bahan konstruksi. Bentonit juga bersifat ekspansif, yang mempunyai kemampuan mengembang cukup besar bila kondisinya jenuh, akibat “Compressibility“-nya tinggi dan sulit memadatkannya, sehingga bentonit jenuh ini tidak akan mampu memikul gaya– gaya yang bekerja padanya.

Pemakaian bentonit sebagai bahan konstruksi bangunan haruslah dikombinasikan dengan suatu bahan tertentu untuk memperbaiki sifat-sifat bentonit tersebut sebelum digunakan. Salah satu bahan yang dapat digunakan adalah kapur, yang merupakan sisa atau limbah industri gas asetilen. Limbah pada proses pengolahan asetilen berbentuk butiran halus yang masih mengandung air. Secara fisik, limbah ini menyerupai kapur, sedangkan secara kimia, limbah ini mengandung oksida-oksida logam, dan persenyawaan kimia lainnya.

Berdasarkan sifat fisik dan komposisi kimianya, limbah ini dapat digunakan sebagai bahan aditif kimia dalam stabilitas tanah. Karena dengan kandungan: 70,90% Kalsium hidrat; 0,31% Magnesium oksida; 0,66% Silika; 2,56% Alumina; 1,76% Besi oksida; pH 12,5, dan kadar air 3,76%, maka limbah ini memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai bahan alternatif pengganti kapur yang merupakan salah satu bahan aditif kimia yang digunakan untuk stabilisasi tanah.

6. Bentonit Sebagai Bahan Perekat Pasir Cetak.

Untuk keperluan pasir cetak, teknik pengolahannya cukup sederhana, yaitu:

Bentonit yang telah ditambang, dipersiapkan untuk proses pengolahan, dimana jika kondisinya masih basah, maka perlu dilalukan penirisan untuk mengurangi kadar airnya. Sedangkan jika kondisinya telah kering, maka telah siap untuk dilakukan pengeringan selanjutnya, dimana sumber panas berasal dari energi listrik.


(25)

Tahap berikutnya adalah penggerusan untuk memperkecil ukuran butiran, sampai 200 mesh. Hasil penggerusan ini diproses lebih lanjut di dalam siklon. Setelah proses siklon selesai, maka bentonit sebagai bahan perekat pada pembuatan pasir cetak disimpan di silo.

7. Bentonit Untuk Pembuatan Tambahan Makanan Ternak (Urea Mollases Block). Untuk dapat digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

X Kandungan bentonit yang digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak < 30%,

X Ukuran butiran bentonit adalah 200 mesh, X Memiliki daya serap >60%,

X Memiliki kandungan mineral montmorilonit sebesar 70%.

8. Bentonit Untuk Industri Kosmetik.

Untuk dapat digunakan dalam industri kosmetik, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

X Mengandung mineral magnesium silikat (Ca-bentonit), X Mempunyai pH netral,

X Kandungan air dalam bentonit adalah <5%,

X Tidak mengalami perubahan panas selama dan setelah pemanasan, X Ukuran butiran bentonit adalah 325 mesh. (Soedjoko T.S., 1987).

2.2. Mineral Montmorilonit

Secara umum, dapat dikemukakan bahwa mineral montmorilonit termasuk ke dalam kelompok smektit. Beberapa mineral yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah beidelit, hektorit, dan stevensit.

Pada praktiknya, komposisi montmorilonit itu sendiri adalah berbeda dari bentonit yang satu dengan bentonit yang lain, dan kandungan elemennya bervariasi, tergantung pada proses pembentukannya di alam. Setiap struktur kristal montmorilonit mempunyai 3 (tiga) lapisan utama, yaitu lapisan oktahedral dari lapisan aluminium


(26)

dan oksigen yang terletak di antara 2 (dua) lapisan silikon dan oksigen. Kandungan air kristalnya juga bervariasi, sehingga jarak antar partikelnya dapat berubah-ubah, sehingga dapat mengembang (swelling). (Mark, 1967).

2.2.1. Struktur Mineral Montmorilonit

Adapun Rumus Umum Kimia dari montmorilonit itu sendiri, yaitu: [Al2O3 . 4SiO2 x H2O]. Molekul montmorilonit terdiri dari lapisan-lapisan yang

berjarak beberapa Amstrong. Salah satu lapisan berbentuk silika terkoordinasi dan dikombinasikan dengan lapisan alumina dan magnesia yang oktahedral. Struktur montmorilonit dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1 Struktur Montmorilonit.

(Mark, 1967). Partikel montmorilonit sangatlah kecil, sehingga strukturnya hanya dapat

disimpulkan melalui penelitian menggunakan Difraksi Sinar-X (X-Ray Difraction).

Pada gambar 2.2 di bawah ini, menunjukkan sketsa diagram dari struktur montmorilonit. Kation yang dapat dipertukarkan dapat terjadi di antara lapisan silika dan ruang sumbu alumino silikat dari montmorilonit tersebut yang terhidrasi sempurna, tergantung pada ukuran kation-kation antar lapisan.


(27)

Gambar 2.2 Sketsa Diagram Struktur Montmorilonit.

(Grim, 1961).

2.2.2. Hidrasi pada Mineral Montmorilonit

Secara teori dapat diterangkan, bahwa susunan partikel lempung umumnya terdiri dari atas lapisan–lapisan yang bertumpuk seperti tumpukan kartu. Tumpukan tersebut terdiri dari lapisan silikat, alumina, dan terdapat di dalamnya gugusan hidrosil serta logam–logam. Bila tersuspensi di dalam air akan memperbesar jarak antara lapisan sampai beberapa angstrom, dan ini berarti akan meningkatkan daya mengembang (swelling) dari lempung tersebut. Jenis lempung yang terbaik yang berkenaan dengan hal ini adalah jenis Na-montmorilonit. Di dalam air, lempung jenis ini akan


(28)

mengembang sampai lapisan–lapisan tersebut terpisah dari kelompoknya dan membentuk suspensi.

Jarak antar lapisan pada Na-bentonit kering adalah 9,8 Å, sedangkan pada Ca-bentonit adalah 12,1 Å. Pada saat terjadinya hidrasi yang disebabkan oleh udara yang lembab ataupun suatu kondisi yang berair, maka jarak tersebut akan bertambah. Pada Ca-bentonit menjadi 17 Å dan pada Na-bentonit akan bertambah menjadi 17 – 40 Å dan selanjutnya, tumpukan tersebut akan berpisah dan membentuk suspensi.

Gambar 2.3 menyajikan mekanisme hidrasi dan dispersi pada Ca-bentonit.

Gambar 2.3 Mekanisme Hidrasi dan Dispersi pada Ca-bentonit.

(Figureas F., 1988).

2.3. Lempung Terpilar (Pillared Inter Layered Clay/ PILC)

Lempung Terpilar (PILC) adalah sebuah kelas yang menarik dari material-material dengan ukuran pori yang kecil secara 2 dimensi. Oleh karena Lempung Terpilar (PILC) mempunyai luas permukaan yang tinggi dengan porositas yang tetap, maka sangat baik digunakan untuk adsorbsi dan sebagai katalis. Sejak pori-pori Lempung Terpilar (PILC) dapat dilokalisasikan ke dalam daerah pori yang kecil, substrat ini membentuk sebuah jembatan antara mikropori zeolit pada suatu sisi, dengan padatan mesopori dan makropori anorganik (seperti silika dan alumina) pada sisi lainnya.


(29)

Sejarah dari Lempung Terpilar (PILC) dimulai pada tahun 1955, namun studi intensifnya yang pertama dinyatakan sekitar pada tahun 1980. Selama perintisan kerja ini, kation organik dan pilar organometalik adalah yang terutama digunakan. Sekarang, kation polioksida anorganik merupakan yang paling baik, karena stabil pada suhu tinggi. Dengan cara mengubahnya secara alami, ukuran pilar dan porositas, maka akan didapatkan Lempung Terpilar (PILC) yang berbeda. Pori-porinya dikombinasikan dengan bahan-bahan antar pilar dengan bahan dasar lempung, sangat penting dalam berbagai aplikasi seperti adsorbsi gas, reaksi-reaksi katalitik, dan lain sebagainya.

Preparasi pertama Lempung Terpilar (PILC) menggunakan ion tetra-alkil-amonium dan menghasilkan lempung yang mengembang yang dapat berfungsi sebagai penyaring molekuler (molecular sieves) untuk adsorbsi molekular organik. Montmorilonit yang telah diinterkalasi oleh 1,4-diazobisiklo 2,2,2 oktana ditemukan memiliki sifat penyaring molekul dan aktivitas katalitik yang baik untuk reaksi esterifikasi asam karboksilat. Stabilitas thermal lempung organik ini lebih rendah dari 300oC sehingga membatasi penggunaannya sebagai katalis. Kebutuhan dunia industri terhadap masalah material yang memiliki sifat katalitik berkembang sangat cepat, sehingga memacu munculnya material Lempung Terpilar kation polioksida yang stabil di atas suhu 600oC.

Preparasi Lempung Terpilar (PILC) atau Cross-Lined Smectite (CLS) didasarkan pada fenomena mengembang (swelling) yang merupakan sifat khas smektit. Mengembang (swelling) dimungkinkan terjadi karena lapisan/ layer paralel dari struktur ini terikat satu sama lain oleh gaya elektrostatik, sehingga ia dapat mengembang oleh penetrasi spesies polar antar lapisannya.

(Cool P., Vansant E.F., 2002).

2.3.1. Prinsip Pilarisasi Lempung Terpilar

Meskipun lempung sangat luas penggunaannya dalam berbagai macam aplikasi (sebagai katalis, adsorbsi, dan pertukaran ion), kekurangannya adalah mempunyai


(30)

porositas yang tetap. Smektit akan mengembang pada saat terjadi hidrasi, namun pada saat terjadinya dehidrasi, layer akan terbuka, dan pada permukaan antar layer tidak akan memungkinkan terjadinya proses kimia.

Untuk menghindari hal tersebut, beberapa peneliti menemukan cara untuk membuka lapisan-lapisan lempung, yakni dengan memasukkan berupa pilar yang stabil ke dalam daerah antar lapisan lempung tersebut. Dengan cara tersebut, maka akan diperoleh volume pori lempung yang tinggi. Lempung Terpilar (PILC) mempunyai porositas selama terjadinya proses hidrasi dan dehidrasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut ini:

Gambar 2.4 Hidrasi dan Dehidrasi yang terjadi pada Lempung dan Lempung Terpilar (PILC). (Occeli M.L., Robson H.E., 1992). Prinsip pilarisasi ini diperbaharui oleh Barrer dan McLeod yang menunjukkan porositas yang tetap dalam Montmorilonit, dengan mengganti ion-ion alkali dengan ion tetraalkil amonium. Selama terjadinya krisis minyak (1973), Lempung Terpilar (PILC) ini mendapat perhatian khusus para peneliti dalam bidang katalisis, dimana mereka menemukan Lempung Terpilar (PILC) dengan porositas tinggi, namun tidak stabil pada suhu tinggi. Untuk menghadapi ketidak stabilan thermal Lempung Terpilar (PILC) ini, maka Brindley, dan Sempels, serta Vaughan mulai mengembangkan Lempung Terpilar (PILC) anorganik. Studi pertama yang sangat mendasar dalam hal Lempung Terpilar (PILC) anorganik ini muncul pada


(31)

akhir tahun 1970an. Tipe Lempung Terpilar (PILC) ini tetap mendapatkan perhatian sejak ditemukan stabil pada suhu tinggi, di atas 773oK.

Konsep pilarisasi ini pada dasarnya sederhana, dan terdiri atas 2 (dua) langkah utama. Langkah pertama, kation-kation kecil antar lapisan digantikan dengan ion-ion yang lebih besar. Langkah kedua (langkah kalsinasi), yakni menempatkan prekursor kation polioksida anorganik ke dalam lapisan antar lapisan lempung, stabilisasi terhadap pilar logam oksida, serta mengikatnya secara kuat ke dalam layer-layer lempung. Konsep pilarisasi ini dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut ini:

Gambar 2.5 Prinsip Pilarisasi pada Lempung Terpilar (PILC).

(Barrer R.M., 1978).

2.3.2. Jenis-jenis Agen Pemilar (Prekursor)

Beberapa agen pemilar dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1 Beberapa Agen Pemilar

Kelas Contoh Kation-kation organik Alkil amonium


(32)

Kompleks organologam Co(en)33+

Kompleks M(2,2bipiridin)

Kompleks M(O-penantrolin)

Si(acac) 33+

Fe3O(OCOCH3)6CH3COOH+

Senyawa-senyawa kluster logam Nb6Cl12n+ ,Ta6Cl12n+ , Mo8Cl84+

Kation-kation polioksida Al13O4(OH)24(H2O)127+

Zr4(OH)8(H2O)168+

(TiO)8(OH)124+

Crn(OH)m (3n-m)+

Garam Fe-hidrolis

Sol-sol oksida Sol TiO2-,TiO2-SiO2

Si2Al4O6(OH)8 atau imogolit

Pilar-pilar oksida campuran Fe/Al

Fe/Cr, Fe/Zr

La/Al

GaAl12O4(OH)24(H2O)127+

Cr/Al

LaNiOx

(Cool P., Vansant E.F., 2002).

Penggunaan reaktan organik sebagai agen pemilar telah lama dilaporkan oleh Barrer. Pinnavaia telah melaporkan interkalasi smektit menggunakan kompleks organometalik, dimana stabilitas struktur mencapai suhu 450oC. Kation logam hidroksida polinuklear menghasilkan spasi/ jarak yang lebih tinggi, mencapai 15 Å, sehingga memiliki stabilitas pada suhu tinggi..

Prinsipnya, berbagai ion bermuatan positif digunakan sebagai agen pemilar. Interkalasi ion kromium dan titanium menghasilkan lempung dengan ukuran pori yang besar. Interkalasi menggunakan kation Al-hidroksida telah dipelajari secara mendalam. Pertama kali digunakan teknik potensiometrik yang memperkirakan pembentukan oligomer, seperti Al6(OH)153+ atau Al8(OH)204+. Dengan menggunakan


(33)

antara 1 dan 2,5; formasi spesies polimer [Al13O4(OH)24(H2O)12]7+. Spesies polimer

ini tersusun atas 12 Al oktahedral dan satu pusat Al tetrahedral, seperti pada gambar 2.6 berikut ini:

Gambar 2.6 Struktur Spesies Polimer Al13 (a), Zr4 (b), dan Si8 (c).

(Pinnavaia, 1985. Pada kasus Zirkonil klorida, secara umum disetujui bahwa hidrolisis parsial garam menghasilkan kation tetrometrik [Zr4(OH)8(H2O)16]8+. Analisis larutan dengan

menggunakan small-angle X-Ray Scattering menunjukkan hal tersebut. Tetromer ini juga ditemukan sebagai unit struktural padatan. Situasi ini analog dengan kasus Al, dimana terdapat kemungkinan bahwa kation ini akan menjadi spesies utama dalam larutan, dengan adanya kompleks logam yang berat molekunya lebih besar.

Pendekatan yang berbeda telah diajukan oleh Lewis dengan menggunakan senyawa organosilika yang bermuatan positif. Struktur silikat tiga dimensi seperti


(34)

yang ditunjukkan pada gambar di atas dikenal sebagai polihedral oligosilsesquioxanes. Struktur tersebut terdiri dari skeleton polihedral silikon oksidagen yang mengandung substituen organik, atau anorganik yang terikat pada atom silikon. Z merupakan moiety organik yang mengandung spesies kationik (ion amonium, phospin, dan pirimidin) yang memungkinkan terjadinya pertukaran ion. Selanjutnya, Kalsinasi terhadap material terinterkalasi akan mendekomposisi senyawa organik dan membentuk pilar, sehingga struktur layer menjadi lebih stabil. (Plee, 1985).

Di bawah ini akan diberikan gambar 2.7 yang menunjukkan beberapa hasil Lempung Terpilar (PILC) dengan menggunakan agen pemilar (prekursor) yang berbeda.


(35)

Gambar 2.7 Ilustrasi dari beberapa hasil Lempung Terpilar dengan Menggunakan agen pemilar (prekursor) yang berbeda: Al-PILC (A), Zr-PILC (B), Ti-PILC (C), dan Fe-PILC (D). (Cool P., Vansant E.F., 2002).

2.3.3. Interkalasi Agen Pemilar

Al-lempung dan Zr-lempung dapat dipertimbangkan sebagai sebuah model, sehingga preparasinya lebih mendetail, dan diskusinya difokuskan pada kedua sistem ini. Proses kimia yang terjadi adalah pertukaran ion (Ion Exchanging). Dapat diprediksikan kemudian bahwa faktor fisika dan kimia akan mempengaruhi derajat pertukaran dan distribusi kation dalam partikel lempung. Faktor tersebut antar lain: konsentrasi dan pH larutan, adanya kation lain di satu sisi dan batas difusi di sisi lain.

Secara umum, berbagai spesies ion terdapat dalam larutan, seperti Al137+,,

Al3+, Al84+ dan H+. Proses yang terjadi dapat dijelaskan sebagai kompetisi antara ion

ini dengan kation asli lempung. Selektivitas pertukaran kation dalam silikat tergantung pada muatan dan ukuran kation. Selektivitas akan tinggi apabila aktion bermuatan besar, dan laju pertukaran menjadi lebih rendah untuk spesies yang lebih meruah. Dapat diperkirakan bahwa pada kesetimbangan termodinamik, kation Al137+ dan Zr48+

akan mengalami pertukaran secara spesifik, meskipun situasi intermediet mungkin saja berbeda bila kation ini memiliki ukuran yang besar, yang seharusnya dapat dikeluarkan dari lempung.


(36)

Al dan Zr yang terdapat pada keadaan dasar (steady state) tidak tergantung pada kondisi eksperimen, kecuali pH yang mengontrol distribusi spesies ionik dalam larutan. Hal ini dapat diamati dengan membandingkan hasil yang berbeda dalam literatur, yaitu d(001) spacing dan luas permukaan (surface area).

Distribusi spesies polimer kationik dalam partikel tergantung pada batas difusi dan kompetisi dengan kation lain, dan hal ini lebih sulit untuk direproduksi, karena tergantung pada kondisi eksperimen. Pertukaran kation makro Zr dalam lempung montmorilonit merupakan suatu proses random, seperti ditunjukkan dengan evolusi garis (001). Inisial sampel adalah sangat kristalin, dan garis (001) pertama yang melebar dan menurun intensitasnya selama pertukaran ion, selanjutnya meningkat dan menajam saat derajat pertukaran meningkat.

Luas permukaan juga berpengaruh, yaitu akan menurun apabila ukuran partikel lempung meningkat. Menarik untuk dicatat bahwa stabilitas thermal dari 2 (dua) sampel yang berbeda dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Evolusi Luas Permukaan 2 (dua) Zr-PILC Kalsinasi pada

Temperatur yang berbeda

Luas Permukaan (m2/g) setelah kalsinasi pada suhu Sampel

250oC 500oC 700oC

S 360 260 205 V 280 210 130

Pengaruh distribusi pilar dalam lempung terhadap stabilitas thermal Lempung Terpilar (PILC) dapat dijelaskan dengan fakta jarak rata-rata antar pilar, sehingga dapat memfasilitasi sintering, yang tergantung pada distribusi ini. Jadi, dapat


(37)

dihipothesis bahwa stabilitas thermal merupakan determinasi tidak langsung dari distribusi pilar yang tergantung pada berbagai kondisi eksperimen pertukaran ion.

Secara garis besar, pengaruh temperatur yang digunakan terhadap penampilan pertukaran ion telah diselidiki oleh Bartley dan Burch. Keduanya mengamati stabilitas thermal yang lebih baik untuk Zr-lempung yang dipreparasi melalui refluks terhadap larutan ZrOCl2 dengan lempung. (Burch R., 1997).

Kation dari lempung juga menunjukkan beberapa pengaruh, seperti

ditunjukkan pada tabel 2.3 dalam kasus Zr-lempung dan Al-lempung. Pada Zr-lempung, stabilitas thermal sangat jelas berpengaruh, dan struktur lempung

terinterkalasi rusak pada suhu yang lebih rendah bila padatan dipreparasi dari bentuk Na-lempung menggunakan jenis lempung yang sama. Pada sampel ini, garis (001) tidak muncul melalui kalsinasi pada suhu 500oC. Dapat dikatakan, bahwa luas permukaan sedikit lebih tinggi pada sampel yang dipreparasi dari bentuk Ca-lempung. Pada kasus Al-lempung, pengaruh kation lempung terhadap tekstur material yang dihasilkan juga sangat jelas. Difraksi Sinar-X tidak merefleksikan variasi terlalu banyak, tetapi luas permukaan menunjukkan interkalasi lempung yang lebih baik bila kation lempung memiliki muatan positif yang lebih besar. Pengaruh ini dapat dijelaskan melalui kompetisi antara kation asal dengan agen pemiliar. Selektivitas pertukaran kation meningkat dengan meningkatnya muatan, sehingga kompetisi antara Na+ dengan Al137+ lebih baik atau lebih menguntungkan terhadap inkorporasi Al,

dibandingkan dengan kompetisi antara Ce3+ dengan Al137+. Dengan tidak adanya

kompetisi ion, Al137+ bertukar secara cepat, dan akan bergerak ke pusat partikel.

Penggunaan kompetisi ion, seperti Ce3+, akan menurunkan kekuatan adsorbsi dan daya kation Al137+ dalam partikel, sehingga menghasilkan distribusi kation yang

homogen dan luas permukaan yang lebih besar.

Tabel 2.3 Pengaruh Kation Asal Lempung terhadap Sifat Tekstur Lempung Terpilar (PILC) (a)

250oC 400oC / 500oC (b) Kation

Asal

d(001)


(38)

m2/g Å Å m2/g Zr-montmorilonit

Na 21,5 288 21 Rusak -

Ca 21 323 21 18 284

Al-montmorilonit

Na-Ca 20 18,4 329

Li 20 18 295

Ce 20 18,2 453

La 20 18,6 430

Keterangan: (a) jenis lempung yang digunakan adalah Na-bentonit (b)

Zr-montmorilonit dikalsinasi pada suhu 500oC, dan Al-montmorilonit dikalsinasi pada suhu 400oC.

(Pinnavaia, 1985).

2.3.4. Preparasi Lempung Terpilar

Prosedur preparasi Lempung Terpilar (PILC) secara umum terdiri atas 4 langkah utama, yaitu:

1. Pemurnian dan penjenuhan lempung induk ke dalam bentuk Na+-lempung, 2. Preparasi larutan pemilar,

3. Reaksi pertukaran antara ion-ion Na+ antar lapisan lempung dengan kation-kation polioksida yang terdapat dalam larutan pemilar,


(39)

2.3.4.1.Lempung Induk

Lempung induk selalu berada dalam bentuk Na-lempung pada saat dipergunakan sebagai bahan dasar (substrat) untuk pilarisasi. Seperti yang telah diketahui, Na+ sebagai ion penyeimbang muatan menghasilkan hidrasi yang baik, pada gilirannya akan memfasilitasi proses interkalasi prekursor-prekursor pemilar. Pada lempung alam yang ukuran fraksinya <2 m, dimana cukup kecil untuk mendapatkan suatu lempung yang dapat mengembang. Lempung alam masih mengandung pengotor-pengotor, dan perlu dipisahkan, dimurnikan, serta dijenuhkan dengan larutan Natrium sebelum digunakan dalam pemilaran. Sementara pada lempung alam yang ukuran fraksinya >2 m, juga masih mengandung pengotor-pengotor, dapat dipisahkan secara sentrifugasi.

Smektit hektorit alam yang dapat diperoleh dari Clay Repository of the Clay Minerals Society, masih mengandung pengotor karbonat. Untuk menghilangkan pengotor ini, hektorit tersebut perlu ditambahkan dengan larutan Natrium asetat/ asam asetat pada pH 4, sehingga pengotor karbonat diubah bentuknya menjadi H2CO3, yang

selanjutnya akan dibebaskan menjadi H2O dan CO2 di dalam larutan. Setelah

dipisahkan dari pengotor karbonatnya, hektorit ini kemudian dimasukkan ke dalam laruran jenuh NaCl, kemudian dicuci dengan air suling untuk menghilangkan ion-ion kloridanya, sehingga akan diperoleh Na-hektorit. Laponit sintetik yang dapat diperoleh dari Laporte Inorganics telah tersedia dalam bentuk Na-laponit yang bebas dari pengotor-pengotornya.

2.3.4.2.Larutan Pemilar

Larutan pemilar untuk Al dan Zr telah ditemukan. Dalam Metode Lahav, AlCl3 0,2 M dihidrolisis dengan NaOH 0,2, menghasilkan perbandingan

OH/Al 2,33 pada pH 4. Konsentrasi akhir larutan Al adalah 0,07 M. Proses akhir dilakukan pada kondisi refluks selama 24 jam.


(40)

Untuk larutan pemilar Zr, digunakan ZrOCl2.8H2O 0,1 M. Proses akhir juga

dilakukan pada kondisi refluks, dan pH larutan akhir didapatkan mendekati 1.

2.3.4.3.Reaksi Pertukaran Ion

Proses Interkalasi dilakukan dengan menambahkan lempung (dalam bentuk tepung atau suspensi) ke dalam larutan pemilar. Mekanisme ini didasarkan pada proses pertukaran antara ion-ion Na+ (antar lapisan/ layer lempung) dengan agen pemilar (prekursor), yaitu ion-ion Al atau Zr.

2.3.4.4.Pencucian dan Pengeringan

Setelah reaksi pertukaran ion, Lempung Terpilar (PILC) dipisahkan dari larutan secara sentrifugasi, dan mencucinya dengan air demineralisata, untuk membuang larutan pemilar dan ion-ion Cl-. Sangat penting artinya mencuci Lempung Terpilar (PILC) tersebut untuk meningkatkan kualitas dari Lempung Terpilar (PILC) itu. Hal ini mendukung distribusi homogen pilar antar lapisan/ layer, menghasilkan jarak antar lapisan lempung meningkat (dari 12 Å tanpa pencucian menjadi 18 Å setelah pencucian).

Pengeringan juga merupakan parameter penting dalam pembuatan Lempung Terpilar (PILC). Pengeringan yang baik akan menghasilkan Lempung Terpilar (PILC) dengan Struktur Bangunan Kartu (Card House Structure). Struktur ini terlihat pada lempung laponit. Lempung Terpilar (PILC) yang telah kering memiliki mesoporositas yang tinggi, namun kristalinitasnya rendah.

Beberapa metode telah diajukan untuk mengeringkan produk interkalasi, di antaranya adalah pengeringan dengan sistem semprot atau diovenkan, dan metode freeze drying. Pinnavaia membandingkan metode ini dengan mengamati pengaruh metode yang digunakan terhadap porositas. Pengeringan di udara mengarah pada produk seperti zeolit yang tidak mengabsordsi 1,3,5-trietil benzen, dengan diameter


(41)

kinetik 9,2 Å dan 10,4 Å. Sedangkan lempung yang menggunakan metode freeze drying menunjukkan absorbsi yang besar untuk reaktan terebut, atau memiliki ukuran porositas yang tinggi. Pengeringan dalam oven dapat memadatkan lempung, sehingga menjadi sangat teraglumerasi.

2.3.4.5.Kalsinasi

Langkah kalsinasi yang dilakukan pada temperatur 573-773 oK mengubah prekursor kation polioksida Al dan Zr menjadi pilar-pilar Aluminium oksida dan Zirkonium oksida. Proses pemanasan sangat diperlukan untuk mendapatkan Lempung Terpilar (PILC) yang stabil dengan mikroporositas yang permanen, tanpa memperhatikan fenomena mengembang dan hidrolisis. Selama proses kalsinasi, berlangsung reaksi dehidrasi dan dehidroksidasi terhadap prekursor pemilar bermuatan yang akan menghasilkan partikel-partikel oksida yang netral.

Persamaan reaksi dalam kesetimbangan elektrik diperoleh dengan melepaskan proton selama konversi pada temperatur naik:

[Al13O4(OH)24(H2O)12]7+ 6,5 Al2O3 + 20,5 H2O + 7 H+

[Zr4(OH)8(H2O)16]8+ 4 ZrO2 + 16 H2O + 8 H+

2.3.5. Delaminasi

Pada struktur partikulat smektit, lapisannya terpisah dan tidak mempunyai struktur range yang panjang, sehingga dapat diamati. Efek ini semakin jelas pada dilusi yang tinggi. Saat pertukaran ion dan pengeringan produk, menghasilkan disordered structure, yang dikarakterisasi dengan luas permukaan (surface area analyser), dan tidak adanya garis Difraksi Sinar-X (001) yang dapat dijelaskan sebagai struktur bangunan kartu (Card House Structure). Produk ini memiliki stuktur makropori yang dengan mudah mengadsorbsi 1,3,5-trietil benzen dari fase gas. Delaminasi merupakan sifat yang unuk dari struktur layer, yang memberi tambahan kemungkinan penyesuaian porositas pada penggunaannya sebagai katalis.


(42)

2.3.6. Modifikasi Lempung Terpilar

Untuk tujuan adsorbsi dan pemisahan, tambahan modifikasi Lempung Terpilar (PILC) kadang kala sangat diperlukan. Aplikasi ini membutuhkan kapasitas adsorbsi yang tinggi, selektivitas terhadap molekul-molekul gas, dan kekuatan adsorbsi yang tinggi. Modifikasi ini dapat dilakukan selama sintesis atau setelah sintesis Lempung Terpilar (PILC) tersebut.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan porositas Lempung Terpilar/ PILC (dalam hal ini dilakukan modifikasi) adalah dengan cara pra-adsorbsi dari molekul-molekul awal ke dalam reaksi pertukaran ion dengan agen pemilar (prekursor). Ion-ion n-alkil amonium lebih dahulu dipertukarkan dengan Na-lempung dalam suatu massa yang lebih rendah dari massa kapasitas tukar kation (Cation Exchanged Capacity/ CEC). Sebagai hasilnya, densitas pilar menurun semenjak jarak antar lapisan/ layer Lempung Terpilar (PILC) bertindak sebagai templet. Selama proses kalsinasi, molekul-molekul templet organik dibuang, dan diperoleh distribusi pilar yang homogen.

Heylen et al., melaporkan bahwa luas permukaan (Surface area) dan volume mikropori pada Lempung Terpilar-Fe (Fe-PILC) yang disintesis (dimodifikasi) dengan menggunakan Butil amonium sebagai templet adalah 2,5 kali lebih besar jika dibandingkan dengan Lempung Terpilar-Fe (Fe-PILC) yang tidak dimodifikasi. Suatu peningkatan yang juga penting dapat dilihat dari kapasitas adsorbsinya terhadap gas N2, O2, dan CO pada temperatur 194oK, (Peq= 4,5 x 104 Pa), telah diteliti pada

Lempung Terpilar-Fe (Fe-PILC) yang disintesis (dimodifikasi) dengan menggunakan Butil amonium sebagai templet (BuA-Fe-PILC), dimana didapatkan: kapasitas

adsorbsi untuk gas N2= 0,23 mmol/g; untuk gas O2= 0,17 mmol/g; dan untuk

gas CO= 0,30 mmol/g. Sedangkan pada Lempung Terpilar-Fe (Fe-PILC) yang tidak dimodifikasi, didapatkan: kapasitas adsorbsi untuk gas N2= 0,00 mmol/g; untuk gas


(43)

2.3.7. Lempung Terpilar versus Lempung Berlapis

Struktur Bangunan Kartu (Card House Structure) biasanya digunakan untuk menggambarkan struktur lempung berlapis. Hal ini membedakan struktur Face-to-Face lamelar pada Lempung Terpilar (PILC) yang menyerupai struktur kue dadar. Struktur kedua lempung ini dapat dilihat pada gambar 2.8 berikut ini:

Gambar 2.8 Struktur Lempung Terpilar/ PILC (kiri), dan Struktur Lempung Berlapis

2.3.8. Aplikasi dari Lempung Terpilar

Aplikasi utama dari Lempung Terpilar (PILC) adalah pada bidang Katalitik dan Adsorpsi. Sifat Keasaman (Acidity) Lempung Terpilar (PILC) sangat penting dalam mengontrol reaksi katalitik. Lempung Terpilar (PILC) menunjukkan sifat keasaman Lewis, dan juga Bronsted-Lowry. Pilar yang terdapat pada Lempung Terpilar (PILC) adalah sumber utama untuk sifat keasaman Lewis, sementara gugus Hidroksida (OH) yang terdapat pada Lempung Terpilar (PILC) tersebut menyumbangkan sifat keasaman Bronsted-Lowry. Pada Lempung Terpilar yang mengandung kation Al3+ yang berkoordinasi 3 dan tersubstitusi untuk Si4+ dalam lapisan T (T-layer), Al3+ bertindak sebagai Asam Lewis. Namun, ketika hidrasi terjadi (dalam Lempung


(44)

Terpilar/ PILC tersebut), Al3+ diubah ke bentuk Al terkoordinasi oktahedral oleh keasaman Bronsted-Lowry.

Beberapa reaksi yang dikatalisis oleh asam yang terkandung dalam Lempung Terpilar (PILC) di antaranya:

X Pemecahan Kumene (Cumene Cracking) dilakukan sebagai reaksi pengujian terhadap keasaman Bronsted-Lowry.

X Oligomerisasi poli-propilen dikatalisis oleh bagian Asam Lewis pada montmorilonit terpilar-Al (Al-pillared Montmorillonite).

X Pada Reaksi Disproporsionasi terhadap Trimetil benzen yang mungkin akan menghasilkan Durene (1,2,4,5- tetrametil benzen), bagian Asam Lewis pada Lempung Terpilar (PILC) mengkatalisis reaksi ini, sementara dalam reaksi isomerisasi Trimetil benzen (Reaksi samping), bagian Asam Bronsted-Lowry pada Lempung Terpilar (PILC) juga ikut berperan.

Pada proses pemisahan gas N2, dan O2 dari udara yang dilakukan melalui

destilasi kriogenik dan melalui adsorpsi tekanan putar (Pressure Swing Adsorption/ PSA), penggunaan Lempung Terpilar (PILC) sebagai alternatif juga menarik sebagai penyaring molekul Carbon, dan Lempung Terpilar (PILC) ini digunakan sebagai adsorben dalam teknik PSA ini. Kapasitas dan selektivitas terhadap komponen-komponen udara adalah sifat Lempung Terpilar (PILC) yang sangat berguna dalam aplikasi adsorpsi gas.

2.4. Proses Etsa (Etching) terhadap Silikon

Untuk material-material semikonduktor, pengetsaan kimia secara basah biasanya berlangsung melalui oksidasi, yang diikuti dengan penguraian oksida dalam suatu reaksi kimia. Untuk Silikon, bahan pengetsa (etchants) yang lazim digunakan adalah campuran antara, Asam fluorida (HF), Asam Nitrat (HNO3), dan Asam Asetat

(CH3COOH). Reaksi berlangsung dengan mengubah Silikon dari keadan teroksidasi

ke tingkat oksidasi yang lebih tinggi:


(45)

Dalam reaksi oksidasi ini, dibutuhkan lubang (h+). Oksidator utama dalam pengetsaan semikonduktor adalah ion OH-, dimana ion OH- tersebut dihasilkan dari reaksi disosiasi air (H2O):

H2O OH- + H+ (b)

Si2+ dalam reaksi (a) bereaksi dengan OH-, menghasilkan:

Si2+ + 2 OH- Si(OH)2 (c)

Kemudian, akan membebaskan Hidrogen untuk membentuk SiO2:

Si(OH)2 SiO2 + H2 (d)

Asam fluorida (HF) digunakan untuk melarutkan SiO2:

SiO2 + 6 HF H2SiF6 + H2O (e)

Dimana H2SiF6 dapat larut dalam air.

Lubang (h+) dalam reaksi (a) dihasilkan dari suatu reaksi autokatalitik yang dapat dijelaskan sebagai berikut: dalam reaksi antara HNO2 dengan HNO3 dalam air,

akan dihasilkan:

HNO2 + HNO3 2 NO2- + 2 h+ + 2 H2O (f)

2 NO2- + 2 H+ 2 HNO2 (g)

HNO2 yang dihasilkan dalam reaksi (g) akan kembali bereaksi dalam reaksi

(f), sehingga didapatkan reaksi akhir (overall reaction) sebagai berikut:

Si + HNO3 + 6 HF H2SiF6 + HNO2 + H2O + H2 (h) Tabel 2.4 berikut ini memperlihatkan beberapa jenis bahan pengetsa (etchants) lainnya untuk semikonduktor dari bahan Silikon (Si):

Tabel 2.4 Beberapa Jenis Bahan Pengetsa (etchants) untuk Semikonduktor dari Bahan Silikon (Si)

No. Formula Nama

1. 1 ml HF, 1 ml C2O3 (5M) Sirtl

2. 1 ml HF, 3 ml HNO3, 1 ml CH3COOH Dash


(46)

2 ml HF, 1 ml Cr2O3 (0.15M) Secco

4. 200 ml HF, 1 HNO3

5. 60 ml HF, 30 ml HNO3

60 ml H20

60 ml CH3COOH, 30 ml

(1g CrO3 dalam 2 ml H20)

Jenkins Wright

6. 2 ml HF, 1 ml HNO3, 2 ml AgNO3 (0.65M

dalam H20)

Silver 7. 5 g H5IO6, 5 mg KI dalam 50 ml H2O, 2 ml HF Sponheimer

Mills 8. Shipley 112°

9. 6 ml HF, 19 ml HNO3

10. (150g/l 1.5M, CrO3 dalam H20) dan HF 1:1 Yang

11. 600 ml HF, 300 ml HNO3 28g Cu(NO3)2, 3 ml H20 Copper Etch

12. 1000 ml H2O, 1 ml (1.0N) KOH, 3.54g KBr,

708g KbrO3

13. 55g CuSO4, SH20, 950 ml H20, 50 ml HF Copper

Displacement

14. 1 ml HF, 3 ml HNO3 White

15. 3 ml HF, 5 ml HNO3, 3 ml CH3COOH CP-4

16a.

16b. 16c. 16d.

25 ml HF, 18 ml HNO3,

5 ml CH3COOH/ 1g Br2

10 ml H20, 1g Cu(NO3)2

100 ml HF; 1 ml dalam 5 ml HNO3 50 ml Cu(NO3)2; 1 ml dalam 2 ml HF

4% NaOH + 40 NaClO hingga H2 habis dari Si

SD1

17. 300 ml HNO3, 600 ml HF 2 ml Br2, 24g Cu(NO3)2

larutkan 10:1 dengan H2O

Sailer 18. a) 75g CrO3 dalam 1000 ml H2O (bagian 1).

Campurkan (bagian 1) dengan 48% HF


(47)

(bagian 2)

b) Campurkan (bagian 1) dengan (bagian 2) ke dalam 1.5 bagian H2O

19. 5g H5IO6, 50 ml H2O, 2 ml HF, 5mg KI Periodic HF

www.virginiasemi.com, tech@virginiasemi.com

2.5. Mikroskop Elektron Payaran (SEM)

Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan menggunakan mikroskop elektron payaran, karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan ini secara langsung.

Dengan berkas sinar elektron difokuskan ke suatu titik dengan diameter sekitar 100 Å dan digunakan untuk melihat permukaan dalam suatu layar. Elektron-elektron dari benda uji difokuskan dengan suatu elektroda elektrostatik pada suatu alat


(48)

pemantul yang dimiringkan. Sinar yang dihasilkan diteruskan melalui suatu pipa sinar pantulan ke suatu alat pembesar foto dan sinyal yang dapat digunakan untuk memodulasikan terangnya suatu titik osiloskop yang melalui suatu layar dengan adanya persesuaian dengan berkas sinar elektron pada permukaan benda uji

(Gambar 2.9). Gambaran yang diperoleh pada layar osiloskop sama dengan

gambaran optik, dan biasanya benda uji digeser ke arah kolektor pada sudut kecil 30o terhadap horizontal, untuk alat yang umum dipakai.

Sebagai pengertian awal, mikroskop elektron payaran menggunakan hamburan balik elektron-elektron (dengan E = 30 kV, yang merupakan energi datang), dan elektron-elektron sekunder (dengan E = 100 eV) yang dipantulkan dari benda uji.

Gambar 2.9 Pemencaran elektron-elektron yang datang oleh lempengan tipis dengan spesimen yang bulky ditransmisikan, berkas yang dipencarkan secara elastis dan inelastis diserap.

Karena elektron-elektron sekunder mempunyai energi yang lebih rendah, maka elektron-elektron tersebut dapat dibelokkan membentuk sudut dan menimbulkan bayangan topografi. Intensitas dari hamburan balik elektron-elektron yang cenderung tertimbun karena dengan energinya yang lebih tinggi, maka tidak mudah untuk dikumpulkan oleh sistem kolektor normal seperti yang digunakan pada elektron mikroskop payaran. Jika elektron-elektron sekunder terkumpul, maka kisi di depan detektor akan mengalami kemiringan sekitar 200 eV. (Smallman, 1991).


(49)

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat

1. Neraca Analitis Metler P.M. 400

2. Alu dan Mortir

3. Gelas Beaker Pyrex

4. Labu Erlenmeyer Pyrex

5. Spatula

6. Ayakan 400 Mesh

7. Labu Takar Pyrex

8. Hot Plate Fisher

9. Alat Tanur Fisher

10. Gelas Ukur Pyrex

11. Gelas Ukur Plastik 12. Pipet Tetes Plastik 13. Pengaduk Plastik 14. Wadah Plastik

15. SEM (Scanning Electron Microscope)

16. Surface Area Analyser

3.2. Bahan-bahan

1. Bentonit Alam Malaysia 2. NaCl(s)

3. H2SO4(p) p.a. Merck

4. FeCl3. 6 H2O(s)

5. Aquadest


(50)

7. HF p.a. Merck

8. HNO3 p.a. Merck

9. CH3COOH (glasial) p.a. Merck

3.3. Pembuatan Reagensia

3.3.1. Pembuatan Larutan NaCl 1 M

1. Ditimbang dengan tepat sebanyak 14,61 g NaCl(s), dimasukkan ke dalam

labu takar 250 ml.

2. Dilarutkan dengan aquadest sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

3.3.2. Pembuatan Larutan NaCl 6 M

1. Ditimbang dengan tepat sebanyak 87,66 g NaCl(s), dimasukkan ke dalam

labu takar 250 ml.

2. Dilarutkan dengan aquadest sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

3.3.3. Pembuatan Larutan NaCl Jenuh

1. Dimasukkan sebanyak 250 ml Aquadest ke dalam gelas beaker.

2. Kemudian dimasukkan NaCl(s) sambil diaduk sampai didapatkan Larutan

NaCl Jenuh.

3.3.4. Pembuatan Larutan H2SO4 1 M

1. Diukur dengan tepat sebanyak 13,60 ml H2SO4(p),dimasukkan ke dalam

labu takar 250 ml.


(51)

3.3.5. Pembuatan Larutan FeCl3 1 M

1. Ditimbang dengan tepat sebanyak 67,57 g FeCl3. 6 H2O(s),dimasukkan ke

dalam labu takar 250 ml.

2. Dilarutkan dengan aquadest sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

3.3.6. Pembuatan Larutan Bahan Pengetsa (Etchants)

1. Disediakan wadah plastik yang bersih.

2. Diukur dengan tepat sebanyak 3 ml HF (p), dimasukkan ke dalam wadah

plastik.

3. Ditambahkan sebanyak 5 ml HNO3 (p), sambil diaduk.

4. Ditambahkan sebanyak 3 ml CH3COOH (glasial), sambil diaduk.

5. Dalam pembuatan larutan bahan pengetsa ini, semua peralatan yang digunakan harus terbuat dari bahan plastik, jangan terbuat dari bahan gelas/ kaca, karena dalam pembuatan larutan bahan pengetsa ini digunakan HF yang dapat melarutkan gelas/ kaca.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Pengambilan Sampel Bentonit

Bentonit alam Malaysia dihaluskan dan diayak dengan menggunakan ayakan 400 mesh. Bentonit yang telah halus tersebut diambil sebanyak 5 g untuk

dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser. Sisanya digunakan dalam pembuatan Bentonit Terpilar-Fe2O3 berikutnya.

3.4.2. Pembuatan Bentonit Terpilar-Fe2O3

Bentonit dengan kehalusan 400 mesh diambil sebanyak 75 g, kemudian direndam


(52)

larutan NaCl 1 M diganti dengan larutan NaCl 1 M yang baru. Kemudian, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi. Selanjutnya, endapan tersebut direndam lagi dalam 250 ml larutan NaCl 6 M selama 2 hari. Kemudian, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi. Selanjutnya, endapan tersebut direndam lagi dalam 250 ml larutan NaCl jenuh selama 7 hari, dimana setiap 2 hari, larutan NaCl jenuh diganti dengan larutan NaCl jenuh yang baru. Kemudian, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi. Selanjutnya, endapan tersebut dicuci dengan 250 ml Aqua Bidestilata untuk menghilangkan sisa ion kloridanya, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Bentonit ini disebut Na-bentonit. Selanjutnya, Na-bentonit tersebut direndam dalam 250 ml larutan H2SO4 1 M selama

1 hari, kemudian didekantasi. Endapan dikeringkan di bawah sinar matahari. Selanjutnya, endapan tersebut direndam dalam 250 ml larutan FeCl3 1 M selama

1 hari, kemudian didekantasi. Endapan dicuci dengan 250 ml Aqua Bidestilata untuk menghilangkan sisa ion kloridanya, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Selanjutnya, endapan tersebut dibagi ke dalam 3 bagian. Bagian 1 ditanur (kalsinasi) pada suhu 400oC, Bagian 2 ditanur (kalsinasi) pada suhu 450oC, dan Bagian 3 ditanur

(kalsinasi) pada suhu 500oC. Proses kalsinasi ini menghasilkan Bentonit Terpilar-Fe2O3. Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang telah dikalsinasi pada suhu

400oC, 450oC, dan 500oC tersebut masing-masing dibagi lagi ke dalam 2 bagian. Masing-masing Bagian 1 untuk dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser, dan masing-masing Bagian 2 digunakan untuk Pengetsaan berikutnya.

3.4.3. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3

3.4.3.1. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang dikalsinasi pada suhu 400oC.

Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang dikalsinasi pada suhu 400oC diambil sebanyak 5 g,

kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik. Selanjutnya ditambahkan Larutan Pengetsa (Campuran antara: 3ml HF(p) + 5ml HNO3 (p) + 3ml CH3COOH (glasial) ).

Kemudian diaduk dengan menggunakan pengaduk plastik selama 10 menit. Setelah 10 menit, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi menggunakan


(53)

pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh dinetralkan pH-nya dengan menggunakan Aqua Bidestilata, kemudian didekantasi menggunakan pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh ditanur pada suhu 400oC selama 1 jam. Kemudian hasilnya dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser.

3.4.3.2. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang dikalsinasi pada suhu 450oC.

Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang dikalsinasi pada suhu 450oC diambil sebanyak 5 g,

kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik. Selanjutnya ditambahkan Larutan Pengetsa (Campuran antara: 3ml HF(p) + 5ml HNO3 (p) + 3ml CH3COOH (glasial) ).

Kemudian diaduk dengan menggunakan pengaduk plastik selama 10 menit. Setelah 10 menit, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi menggunakan pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh dinetralkan pH-nya dengan menggunakan Aqua Bidestilata, kemudian didekantasi menggunakan pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh ditanur pada suhu 450oC selama 1 jam. Kemudian hasilnya dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser.

3.4.3.3. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang dikalsinasi pada suhu 500oC.

Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang dikalsinasi pada suhu 500oC diambil sebanyak 5 g,

kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik. Selanjutnya ditambahkan Larutan Pengetsa (Campuran antara: 3ml HF(p) + 5ml HNO3 (p) + 3ml CH3COOH (glasial) ).

Kemudian diaduk dengan menggunakan pengaduk plastik selama 10 menit. Setelah 10 menit, endapan dipisahkan dari larutannya dengan cara dekantasi menggunakan pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh dinetralkan pH-nya dengan menggunakan Aqua Bidestilata, kemudian didekantasi menggunakan pipet tetes plastik. Endapan yang diperoleh ditanur pada suhu 500oC selama 1 jam. Kemudian hasilnya dianalisis dengan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Surface Area Analyser.


(54)

3.5. Bagan Penelitian

3.5.1. Pengambilan Sampel Bentonit

100 g Bentonit Alam

dihaluskan

diayak dengan menggunakan ayakan 400 mesh Bentonit dengan Kehalusan 400 mesh

diambil 5 g

Sisa Bentonit dengan Kehalusan 400 mesh 5 g Bentonit dengan Kehalusan 400 mesh dikarakterisasi

- SEM - Surface

Area Analyser


(55)

3.5.2. Pembuatan Bentonit Terpilar-Fe2O3 75 g Bentonit (400 mesh)

direndam dalam 250 ml larutan NaCl 1 M selama 7 hari, setiap 2 hari larutan NaCl 1 M diganti dengan cara dekantasi

Endapan Filtrat

direndam dalam 250 ml larutan NaCl 6 M selama 2 hari didekantasi

Endapan Filtrat

direndam dalam 250 ml larutan NaCl jenuh selama 7 hari, setiap 2 hari larutan NaCl jenuh diganti dengan cara dekantasi

Endapan Filtrat

direndam dalam 250 ml Aqua Bidestilata didekantasi

Endapan Filtrat

dikeringkan di bawah sinar matahari

dikarak-terisasi dikarak-terisasi dikarak-terisasi Na-Bentonit

ditambahkan 250 ml larutan H2SO41 M diaduk

didiamkan selama 1 hari didekantasi

Endapan Filtrat

dikeringkan di bawah sinar matahari Endapan

ditambahkan 250 ml larutan FeCl31 M diaduk

didiamkan selama 1 hari didekantasi

Endapan Filtrat

direndam dalam 250 ml Aqua Bidestilata didekantasi

Filtrat Endapan

dikeringkan di bawah sinar matahari dibagi ke dalam 3 bagian

Bentonit Terpilar-Fe2O3 Bentonit Terpilar- Fe2O3 Bentonit Terpilar- Fe2O3 dibagi ke dalam 2

bagian

dibagi ke dalam 2 bagian

dibagi ke dalam 2 bagian

Bagian 2.A Bagian 2.B Bagian 3.B Bagian 1.A Bagian 1.B Bagian 3.A

untuk peng- etsa-an selan-jutnya untuk peng- etsa-an selan-jutnya untuk peng- etsa-an selan-Bagian 2 Bagian 3

Bagian 1

jutnya ditanur (kalsinasi)

pada suhu 400oC selama 5 jam

ditanur (kalsinasi) pada suhu 450oC selama 5 jam

ditanur (kalsinasi) pada suhu 500oC selama 5 jam

- SEM - Surface - SEM - Surface - SEM - Surface


(56)

3.5.3. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3

3.5.3.1. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang Dikalsinasi pada Suhu 400oC

5 g Bentonit Terpilar-Fe2O3Bagian 1.B.

dimasukkan ke dalam wadah plastik ditambahkan campuran:

( 3 ml HF (p) + 5 ml HNO3 (p) + 3 ml CH3COOH (glasial)) diaduk selama 10 menit dengan pengaduk plastik

didekantasi dengan menggunakan pipet tetes plastik

ditambahkan Aqua Bidestilata sampai pH = 7

didekantasi dengan menggunakan pipet tetes plastik

Endapan Filtrat

ditanur pada suhu 400oC selama 1 jam

Endapan Filtrat

Endapan

dikarakterisasi - SEM

- Surface Area Analyser


(57)

3.5.3.2. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang Dikalsinasi pada Suhu 450oC

5 g Bentonit Terpilar-Fe2O3Bagian 2.B.

dimasukkan ke dalam wadah plastik ditambahkan campuran:

( 3 ml HF (p) + 5 ml HNO3 (p) + 3 ml CH3COOH (glasial)) diaduk selama 10 menit dengan pengaduk plastik

didekantasi dengan menggunakan pipet tetes plastik

ditambahkan Aqua Bidestilata sampai pH = 7

didekantasi dengan menggunakan pipet tetes plastik

Endapan Filtrat

ditanur pada suhu 450oC selama 1 jam

Endapan Filtrat

Endapan

dikarakterisasi - SEM

- Surface Area Analyser


(58)

3.5.3.3. Pengetsaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang Dikalsinasi pada Suhu 500oC

5 g Bentonit Terpilar-Fe2O3Bagian 3.B.

dimasukkan ke dalam wadah plastik ditambahkan campuran:

( 3 ml HF (p) + 5 ml HNO3 (p) + 3 ml CH3COOH (glasial)) diaduk selama 10 menit dengan pengaduk plastik

didekantasi dengan menggunakan pipet tetes plastik

ditambahkan Aqua Bidestilata sampai pH = 7

didekantasi dengan menggunakan pipet tetes plastik

Endapan Filtrat

ditanur pada suhu 500oC selama 1 jam

Endapan Filtrat

Endapan

dikarakterisasi - SEM

- Surface Area Analyser


(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Data Surface Area

Analyser untuk Bentonit Alam

Hasil Analisis Foto SEM untuk Bentonit Alam dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut ini:

Gambar 4.1 Foto SEM untuk Bentonit Alam

Sementara Luas Permukaan (Surface Area) untuk Bentonit Alam didapatkan: 83,3018 m2/g (Data A).

4.1.2. Foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan Data Surface Area


(1)

(2)

(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian diperoleh:

1. Bentonit Terpilar-Fe2O3 dapat dietsa dengan menggunakan Larutan Pengetsa (Etchant) Jenis CP-4, yaitu Campuran antara: 3ml HF(p) + 5ml HNO3 (p) + 3ml CH3COOH (glasial)

2. Ukuran pori dan Luas permukaan Bentonit alam dapat diperbesar/ ditingkatkan melalui pengaktifan dalam suasana asam H2SO4, yang seterusnya dilakukan pemilaran menggunakan larutan FeCl3, dan dikalsinasi pada suhu tinggi (400oC, 450oC, dan 500o), sehingga diperoleh Bentonit Terpilar-Fe2O3, yang memiliki Ukuran pori dan Luas permukaan yang lebih besar/ tinggi dibandingkan dengan Ukuran pori dan Luas permukaan Bentonit alam.

3. Ukuran pori Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang paling besar/ tinggi diperoleh melalui kalsinasi pada suhu 450oC.

4. Luas permukaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 yang paling besar/ tinggi diperoleh melalui kalsinasi pada suhu 450oC, yakni sebesar: 89,0563 m2/g.

5. Ukuran pori dan Luas permukaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 dapat diperbesar/ ditingkatkan melalui pengetsaan dengan menggunakan Larutan Pengetsa (Etchant), yaitu Campuran antara: 3ml HF(p) + 5ml HNO3 (p) + 3ml CH3COOH (glasial), dan dikalsinasi pada suhu tinggi (400oC, 450oC, dan 500o), sehingga diperoleh Bentonit Terpilar-Fe2O3 Hasil etsa yang memiliki Ukuran pori dan Luas permukaan yang lebih besar/ tinggi dibandingkan dengan Ukuran pori dan Luas permukaan Bentonit Terpilar-FeO .


(4)

7. Luas permukaan Bentonit Terpilar-Fe2O3 Hasil etsa yang paling besar/ tinggi diperoleh melalui kalsinasi pada suhu 450oC, yakni sebesar: 92,0123 m2/g.

5.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya disarankan melakukan Analisis Difraksi Sinar-X terhadap Bentonit Terpilar-Fe2O3 Hasil etsa, untuk lebih memperhatikan peningkatan jarak antar lapis pada Bentonit-Fe2O3 Hasil etsa tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Cool P., Vansant E.F., 2002, “Pillared Clays: Preparation, Characterization, and Application”, Laboratory of Inorganic Chemistry, Department of Chemistry, University of Antwerp (UIA), Belgium, pages: 265-286.

2. Zulkarnaen, Wardoyo S., Marmer D.H., 1990, “Pengkajian Pengolahan dan Pemanfaatan Bentonit dari Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur Sebagai Bahan Penyerap dan Bahan Lumpur Bor”, Buletin PPTM Vol. 12, No. 6, Jakarta, Hal. 9-12.

3. Lestari S., 2002, “Preparasi Lempung Terpilar Sebagai Katalis”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hal. 1-10.

4. Figueras F., 1988, “Pillared Clay as Catalyst”, Catalyst Rev. Science-Engineering 30 (3), pages: 457-499.

5. Burch R., 1997, “Pillared Clay”, Elsevier Science Publisher Amsterdam, Netherland, pages: 283-297.

6. Pinnavaia, 1985, “Layer Cross Linking in Pillared Clays”, Journal of Amateur Chemistry Society, page: 722.

7. Pinnavaia, 1985, “New Chromia Pillared Clay Catalyst”, Journal of Amateur Chemistry Society, page: 4783.

8. Plee, 1985, “High Resolution Solid-State 27Al and 29Ni Nuclear Magnetic Resonance, Study of Pillared Clay”, Journal of Amateur Chemistry Society, page: 2362.

9. Sukadental P., Supeno M., 2002, “Studi Bentonit Terpilar Sumatera Utara”,

Laporan Penelitian Dana Rutin-USU, Medan.

10. Soedjoko T.S., 1987, “Penelitian Pemanfaatan Bentonit di Indonesia”, Buletin PPTM Vol. 9, No. 2, Jakarta, Hal. 15-24.

11. Proyek Kerja Dinas Pertambangan Daerah Sumatera Utara, 1999/2000,

“Pengukuran Pencadangan Wilayah Pertambangan Bahan Galian Golongan C Komoditi Bentonit di Desa Tapus Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan”, Medan.


(6)

13. Occeli M.L., Robson H.E., 1992, “Synthesis of Microporous Solids: Expanded Clays and Other Microporous Solids”, Vol. 2, Van Nostrand Reinhold, New York.

14. Vaughan, D.E.W., 1987, “US Patent 4 666 877”, USA.

15. Barrer R.M., 1978, “Zeolites and Clay Minerals as Sorbents and Molecular Sieves”, Academic Press, London.

16. Bradley S.M., Kydd R.A., Yamdagni R., Fyfe C.A., 1992, “Expanded Clays and Other Microporous Materials: Synthesis of Microporous Materials”, Vol. 2, Van Nostrand Reinhold, New York.

17. Sze S.M., 1985, “Semiconduktor Devices: Physics and Technology”, John Willey and Sons, New York, pages: 451-455.

18. Kharitonova G.V., Shein E.V., Vityazev V.G., Lapekina C.I., 2004, ”Water Vapour Adsorption by Soil Aggregate Fractions”, Journal of International Agrophysics, Vol. 19, pages: 47-52, Russia.

19. Brunaeur S., Emmet P.H., Teller E., 1938, “Adsorption of Gases in multi

molecular Layers”, Journal of Amateur Chemistry Society, Vol. 60, pages: 309-319.

20. www.4.2.2Chemical Etcing. www.virginiasemi.com.