TANAH TERLANTAR: PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAANNYA UNTUK LAND REFORM *

TANAH TERLANTAR: PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAANNYA UNTUK LAND REFORM *

Budi Mulyanto **

Pendahuluan

Sumber daya alam (SDA), terutama tanah, merupakan sumber daya strategis bagi pembangunan suatu bangsa karena tanah merupakan unsur dasar dan vital dari sistem penyangga kehidupan. Hubungan antara tanah dengan kehidupan, terutama dengan manusia, sangat menentukan tingkat keadilan, kesejah- teraan dan kemakmuran suatu bangsa. Berbagai persoalan mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan sistem lingkungan penyangga kehidupan, sengketa dan konflik yang berkembang di masyarakat, kerentanan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, dan bahkan kerentanan ketahanan nasional pada umumnya berhubungan dengan tanah.

Tanah menjadi fokus karena berbagai sumber daya alam seperti air, udara, hutan, tanaman dan tumbuhan dalam pertanian dan perkebunan, berkaitan erat dengan tanah. Sementara itu kehidupan manusia senantiasa berhubungan dengan sumber daya

* Paper ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional tentang Pemanfaatan dan Pendayagunaan Lahan Terlantar Menuju Implementasi Reforma Agraria yang

diselenggarakan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian pada tanggal 28 November 2012.

** Guru Besar Ilmu Tanah di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan juga sebagai Direktur Penatagunaan Tanah, Badan Pertanahan Nasional.

Hutan untuk Rakyat

alam terutama tanah dalam bentuk penguasaan, pemilikan, peng- gunaan dan pemanfaatan tanah (P4T).

Pengertian tanah perlu dipahami secara komprehensif, multi dimensi, lintas sektoral dan dinamis. Tanah dan urusan yang berhubungan dengan tanah atau yang biasa dikenal dengan “pertanahan” memerlukan pendekatan yang terintegrasi (sosial- budaya, ekonomi, politik pertahanan dan keamanan serta lingkungan hidup). Oleh karena itu pengertian tanah dalam hal ini mencakup pengertian tanah (soil) dan lahan (land), dan pengertian inilah yang dipahami dalam aspek hukum (yuridis).

Berbagai persoalan di atas terjadi karena berhubungan dengan ketimpangan P4T. Salah satu bentuk ketimpangan P4T adalah tanah yang terindikasi terlantar. Di dalam paper ini akan dibahas mengenai tanah terlantar dan persoalannya dalam pemanfaatan sebagai objek land reform.

Perspektif Pertanahan

Amanah konstitusional UUD 1945 pasal 33 ayat 3 memberikan landasan bahwa kebijakan pertanahan nasional bertujuan: tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan. 1 Selanjutnya dalam tataran operasional landasan ini dituangkan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 (UUPA), khususnya pasal

1 dan 2. 2

1 Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. 2 Pasal 1: (1)Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh

rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2)Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3)Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

Bagian III: Reforma Agraria dari Perspektif Ekonomi-Politik

Hubungan yang mendasar dan asasi sebagaimana diuraikan di atas dijamin dan dilindungi keberadaannya oleh konstitusi. Di antara jaminan konstitusi tersebut adalah Pasal 27 ayat (2), Pasal

28 dan Pasal 33 UUD 1945. Secara khusus, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA kepada lembaga pemerintah/ negara yang bertanggung jawab atas pertanahan. Kewenangan yang dimaksud pasal ini adalah:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

(4)Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. (5)Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. (6)Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini. Pasal 2 : (1)Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2)Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3)Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4)Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan- ketentuan Peraturan Pemerintah.

Hutan untuk Rakyat

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sehubungan dengan itu maka kebijakan pertanahan nasional pada hakekatnya merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang dirumuskan lebih lanjut di dalam UUPA. Dalam ketentuan pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, di samping fungsi–fungsi lainnya. Pasal ini memberikan arah dan dasar kebijakan pemerintah dalam pengelolaan pertanahan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (prosperity), keadilan (justice), harmoni sosial (social harmony) dan keberlanjutan (sustainibility) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan pemaknaan norma tersebut disusun dan ditetapkan kebijakan pertanahan yang meliputi kebijakan dalam P4T. Salah satu bentuk kebijakan pertanahan tersebut adalah penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.

Penertiban Tanah Terlantar

Tanah terlantar menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendaya- gunaan Tanah Terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, HP dan HPL, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Peraturan Pemerintah ini merupakan tindak lanjut dari amanah UUPA (UU No 5/1960) Pasal 2, 6, 27, 34, 40; UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 29, 46,

58, 67; UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan Pasal 18, 22; dan UU No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal

8, 12c. Semua Undang-Undang ini merupakan pengejawantahan Undang-Undang Dasar 1945 terutama pada bagian Pembukaan UUD ‘45, Pasal 33, 27, 28, dan Pasal 34.

Bagian III: Reforma Agraria dari Perspektif Ekonomi-Politik

Tanah terlantar mempunyai implikasi yang luas terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, karena tanah terlantar menutup kemungkinan bagi masyarakat lain untuk memanfaatkan tanahnya bagi kehidupan dan penghidupannya. Penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak optimal berarti terjadi kehilangan peluang (opportunity loss) untuk memperoleh manfaat dari tanah terlantar dimaksud. Sementara di lain pihak masyarakat luas mempunyai akses yang sangat terbatas terhadap pemanfaatan sumber daya tanah. Oleh karena itu perlu usaha penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tersebut.

Objek Penertiban

Objek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Dalam penertiban ini yang tidak termasuk objek penertiban tanah terlantar adalah:

a. Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perse- orangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Sementara itu yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak diper- gunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam ketentuan ini adalah karena Pemegang Hak perseorangan dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

b. Tanah yang dikuasai pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak diper-

Hutan untuk Rakyat

gunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam ketentuan ini adalah karena keterbatasan anggaran negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

Langkah-langkah Penertiban

Penertiban tanah terlantar akan dilakukan secara sistematis, teliti, adil, dan transparan. Oleh sebab itu, penertiban tanah terlantar akan mengikuti tahapan-tahapan yang jelas dan mudah diikuti oleh semua pihak. Diharapkan dengan langkah-langkah yang jelas, Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 dapat mencapai tujuannya dengan baik. Tahapan pelaksanaan penertiban tanah terlantar akan dimulai dengan tahap inventarisasi tanah terindikasi terlantar, identifikasi dan penelitian, peringatan dan yang terakhir adalah tahap penetapan tanah terlantar.

1. Tahapan Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar

Tahap inventarisasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan penggunaan dan pemanfaatan tanah hak dan dasar penguasaan atas tanah oleh pemegang hak. Dengan demikian dapat diketahui pemegang hak telah menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaan atas tanahnya, atau sebaliknya masih terdapat tanah yang tidak diusahakan atau diterlantarkan.

Informasi tanah hak skala besar terindikasi terlantar (HGU, HGB induk, Hak Pakai berjangka waktu), hak pengelolaan, dan dasar penguasaan atas tanah (Izin Lokasi) diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas/instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat atau dari laporan pemegang hak.

Bagian III: Reforma Agraria dari Perspektif Ekonomi-Politik

Pemegang hak atas tanah dan pemegang dasar penguasaan atas tanah wajib mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak dan dasar penguasaan atas tanahnya. Oleh karena itu pemegang hak berkewajiban melaporkan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya secara berkala setiap triwulan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar, meliputi data tekstual dan spasial. Data tekstual di antaranya adalah nama dan alamat pemegang hak, nomor, dan tanggal keputusan pemberian hak, nomor, tanggal, dan berakhirnya sertifikat, letak tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar, dan data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar. Hasil inventa- risasi tanah terindikasi terlantar selanjutnya dilakukan rekapitulasi oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional menjadi basis data tanah terindikasi terlantar.

2. Tahapan Identifikasi dan Penelitian

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menetapkan target tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar untuk dilakukan identifikasi dan penelitian, dengan mempertimbangkan lamanya tanah hak tersebut diterlantarkan dan/atau luas bidang tanah yang terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan penelitian, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar, meliputi:

a. Verifikasi terhadap data fisik dan data yuridis;

b. Mencek buku tanah, warkah dan dokumen lainnya;

c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi- tahukan secara tertulis kepada pemegang hak bahwa dalam waktu yang telah ditentukan akan dilaksanakan identifikasi dan

Hutan untuk Rakyat

penelitian tanah terindikasi terlantar. Apabila pemegang hak tidak diketahui alamat dan domisilinya, maka pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di lokasi, bahwa tanah tersebut sedang dilaksanakan identifikasi dan penelitian oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional;

d. Meminta keterangan pemegang hak dan pihak lain yang terkait;

e. Melaksanakan pemeriksanaan fisik lapangan untuk menentu- kan letak batas penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan GPS hand-held;

f. Melaksanakan plotting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah;

g. Menyusun konsep (draft) laporan hasil identifikasi dan penelitian;

h. Menyusun konsep (draft) Berita Acara Panitia C. Setelah proses tersebut dilaksanakan, Kepala Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Nasional membentuk Panitia C dan Sekretariat Panitia C. Panitia C melaksanakan sidang panitia dengan meng- gunakan bahan konsep (draft) laporan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dan apabila diperlukan Panitia C dapat melakukan cek lapang. Panitia C menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

3. Tahapan Peringatan

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran pertimbangan Panitia C (Berita Acara Panitia C) disimpulkan terdapat tanah tersebut diterlantarkan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu satu bulan pemegang hak telah mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Jika pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah memper-

Bagian III: Reforma Agraria dari Perspektif Ekonomi-Politik

hatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan pertama, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan peringatan kedua. Pada setiap peringatan disebutkan tindakan konkret yang harus dilakukan pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang hak tidak melaksanakannya.

Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala setiap dua mingguan kepada Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan oleh Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional pada setiap akhir peringatan.

4. Tahap Penetapan Tanah Terlantar

Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi, masih terdapat tanah yang diterlantar- kan (berarti pemegang hak tidak mematuhi peringatan tersebut), maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional meng- usulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud tidak mematuhi peringatan, adalah apabila:

a. Seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak;

b. Sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

Hutan untuk Rakyat

c. Sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

d. Seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

e. Tanah yang telah diberikan dasar penguasaan dan sebagian atau seluruhnya telah digunakan sesuai dengan peruntukannya, tetapi belum mengajukan permohonan hak; dan/atau

f. Tidak ada tindak-lanjut penyelesaian pembangunan. Sebagai bahan pertimbangan penetapan tanah terlantar

dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah hak/ dasar penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai berikut:

a. Seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100% diterlantarkan;

b. Sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% - < 100% diterlantarkan;

c. Sebagian kecil terlantar, dengan kisaran < 25% diterlantarkan. Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar

dinyatakan dalam kondisi status quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar.

Atas usulan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar, sekaligus memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukum dan menegaskan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI tersebut disampaikan kepada pemegang hak atau bekas pemegang hak, dengan tembusan kepada Gubernur, Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Kepala Kantor Pertanahan, instansi terkait serta kepada pemegang Hak Tanggungan apabila terdapat Hak Tanggungan. Tanah yang telah

Bagian III: Reforma Agraria dari Perspektif Ekonomi-Politik

ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu satu bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak.

Apabila tanah terlantar tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus dengan hapusnya hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi hapusnya hak tanggungan tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum tersebut bersifat keperdataan.

Terhadap pemegang hak yang hanya menelantarkan tanahnya sebagian, dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi atas luas bidang tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan, maka setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Penertiban tanah terlantar sebagai implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 hanya diberlakukan terhadap pemegang hak atas tanah atau dasar penguasaan atas tanah yang menelantarkan tanahnya sebagai bentuk sanksi terhadap penyimpangan yang dilakukan para pemegang hak. Bagi pemegang hak yang melaksanakan kewajiban- nya sesuai dengan Surat Keputusan Pemberian Hak atau dasar penguasaan atas tanah, tidak terkena Peraturan Pemerintah ini.

Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar

Tanah-tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar dikuasai langsung oleh negara, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, merupakan Tanah Cadangan Umum Negara yang dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara, melalui:

Hutan untuk Rakyat

a. Reforma agraria;

b. Program strategis negara; dan

c. Cadangan negara lainnya. Hasil penertiban tanah terlantar, selain langsung untuk

kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui reforma agraria, juga diperlukan untuk kepentingan program strategis guna memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, tanah negara bekas tanah terlantar digunakan juga untuk cadangan negara guna memenuhi kebutuhan tanah bagi kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.

Land Reform

Disebutkan di atas bahwa tanah-tanah yang telah ditetapkan menjadi tanah terlantar menjadi tanah cadangan umum negara yang dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara, antara lain untuk reforma agraria. Reforma agraria sesungguhnya adalah penyelenggaraan land reform yang dilanjutkan dengan pembangunan akses (access reform) terhadap berbagai keperluan untuk berbudidaya dengan tanah yang telah didistribusikan kepada masyarakat. Sehingga formula Reforma Agraria (RA) = Land reform (LR) + Akses Reform (AR). Reforma agraria didahului dengan penataan sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA yang kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan land reform (LR) dan access reform (AR) secara simultan.

Tujuan reforma agraria adalah untuk memberantas kemiskinan, membuka lapangan kerja, mengatasi ketimpangan P4T, mencegah dan juga menyelesaikan sengketa dan konflik yang berhubungan dengan tanah, menguatkan kedaulatan dan ketahanan pangan dan energi, mencegah dan memperbaiki kerusakan

Bagian III: Reforma Agraria dari Perspektif Ekonomi-Politik

lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan. Pelaksanaan Raforma Agraria merupakan bentuk perwujudan tanah untuk sebesar-besar membangun kemakmuran dan kesejahteraan, keadilan, keberlanjutan dan menjaga harmoni sosial.

Sehubungan dengan itu maka pelaksanaan reforma agraria tidak cukup dengan pelaksanaan land reform dengan membagikan tanah negara kepada masyarakat yang dilanjutkan dengan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah, namun kegiatan ini harus dilanjutkan dengan pembangunan akses berbagai keperluan masyarakat untuk membudidayakan tanahnya. Akses yang umumnya diperlukan masyarakat adalah akses teknologi dan kelembagaan, akses terhadap permodalan, akses terhadap perbankan, akses terhadap pasar atas hasil-hasil budidaya yang dilakukan masyarakat dengan menggunakan tanahnya. Meng- hubungkan land reform dengan access reform diperlukan upaya pendampingan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan reforma agraria yang demikian diproyeksikan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini secara fundamental.

Land reform telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 60-an sebagai salah satu bentuk pelaksanaan UUPA, namun proses pendistribusi dan/atau redistribusi tanah ini berjalan kurang optimal. Sumber tanah untuk pelaksanaan land reform selain tanah negara bekas tanah terlantar yang ditegaskan menjadi tanah objek land reform, juga tanah-tanah yang terkena ketentuan land reform (berasal dari kelebihan maksimum, absentee, dan bekas swapraja); tanah-tanah yang telah ditegaskan menjadi objek land reform; dan tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Penutup

Penertiban tanah yang terindikasi terlantar merupakan usaha untuk meningkatkan dayaguna tanah untuk menjawab persoalan-

Hutan untuk Rakyat

persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam rangka membangun kesejahteraan, keadilan, keberlanjutan dan harmoni sosial. Penertiban tanah terindikasi terlantar adalah amanat UUPA (UU No. 5/1960, UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan , dan UU 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang merupakan pengejawantahan Undang-Undang Dasar 1945 terutama pada bagian Pembukaan UUD ‘45, Pasal 33,

27, 28, dan Pasal 34. Hasil penertiban tanah terindikasi terlantar ditetapkan sebagai

tanah terlantar yang selanjutnya ditetapkan sebagai tanah cadangan umum negara. Tanah cadangan umum negara ini didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria, program strategis negara dan cadangan negara lainnya. Reforma agraria sesungguhnya adalah penyelenggaraan land reform yang dilanjutkan dengan pembangunan akses (access reform) terhadap berbagai keperluan untuk berbudidaya dengan tanah yang telah didistribusikan kepada masyarakat.

Sumber tanah untuk pelaksanaan land reform selain tanah negara bekas tanah terlantar yang ditegaskan menjadi tanah objek land reform, juga tanah-tanah yang terkena ketentuan land reform (berasal dari kelebihan maksimum, absentee, dan bekas swapraja), tanah-tanah yang telah ditegaskan menjadi objek land reform, dan tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara.