INTEGRASI SISTEM PENGUASAAN LAHAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PEMBANGUNAN KPH DI KALIMANTAN SELATAN

INTEGRASI SISTEM PENGUASAAN LAHAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PEMBANGUNAN KPH DI KALIMANTAN SELATAN

Kushartati Budiningsih

Pendahuluan

Kondisi hutan alam di berbagai wilayah di Indonesia banyak yang telah mengalami deforestasi dan degradasi akibat pemanfaatan hutan maupun penggunaan hutan untuk berbagai kepentingan. Dalam periode 2000-2009, luas hutan Indonesia yang mengalami deforestasi seluas 15,16 juta ha. Daerah penyumbang deforestasi terbesar adalah pulau Kalimantan seluas 5,50 juta ha (FWI, 2011). Hutan yang mengalami kerusakan ini tetap harus dikelola agar fungsi hutan tetap terjaga untuk kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah berupaya untuk membenahi pengelolaan hutan agar lestari khususnya yang berada di luar pulau Jawa dengan kebijakan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pengelolaan hutan dengan konsep KPH mengarahkan hutan dikelola ke dalam unit-unit manajemen terkecil di tingkat tapak berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan agar pengusahaan hutan terselenggara secara berkelanjutan.

Realita di lapangan menunjukkan bahwa di dalam atau di sekitar hutan terdapat masyarakat lokal yang kehidupannya bergantung pada hutan. Salah satu contohnya masyarakat lokal di desa Paramasan Bawah yang hidup di areal kawasan KPH Model Banjar yang memanfaatkan hasil hutan dan mengelola lahan hutan.

Hutan untuk Rakyat

Mereka memanfaatkan hasil hutan dengan cara eksploitasi sekadar untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka, namun ada pula yang menjadi sumber usaha mereka. Mereka mengelola lahan hutan untuk dijadikan ladang sebagai areal penananam padi dan dilanjutkan dengan penananam berbagai jenis pohon hingga terbentuk kebun.

Beberapa hasil telaah terhadap kajian tenurial di KPH mengungkapkan tentang konflik dan penataan tenurial (Nur, 2012; Gamin, 2014). Tulisan ini mengungkap sistem penguasaan lahan masyarakat lokal dalam kawasan hutan yang mendeskripsikan tentang cara-cara penguasaan lahan dan bukti-bukti kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal yang diperoleh berdasarkan kajian eksploratoris yang dilakukan pada 2009. Pada bagian akhir diuraikan pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka integrasi sistem penguasaan lahan masyarakat lokal dalam pembangunan KPH.

Kerangka Berpikir

Realita menunjukkan bahwa dalam kawasan hutan terdapat masyarakat lokal yang memiliki kepentingan terhadap hutan, baik lahan maupun hasil hutannya. Terkait dengan pemanfaatan lahan, dalam kehidupan masyarakat lokal ada sebuah sistem penguasaan lahan yang hidup berkembang. Sistem penguasaan lahan masyarakat lokal sering kali berbeda dalam perspektif de jure dan de facto sehingga tidak jarang menimbulkan konflik.

Dalam perspektif konseptual, penguasaan lahan dapat didekati dengan konsep Schlager dan Ostrom (1992), yang mengatakan bahwa hak-hak yang melekat pada suatu objek dapat diuraikan menjadi (1) hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, (2) hak pemanfaataan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil sesuatu atau memanen suatu hasil alam seperti memancing ikan, memanen buah, menebang pohon, dan sebagainya, (3) hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan

Bagian V: Konflik Tenurial dan Model Resolusi Konflik di Hutan Negara

internal dan mengubah sumber daya yang ada untuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi, (4) hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses dari satu orang atau satu kelompok ke orang atau kelompok lain, dan (5) hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk menjual atau menyewakan, atau keduanya.

Terkait sistem penguasaan lahan, dalam istilah asing sistem penguasaan lahan dikenal dengan land tenure. Menurut Bruce (1998), land tenure adalah keseluruhan sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional ataupun oleh sistem lokal. Pengertian lainnya mengarah pada relasi sosial dalam sistem penguasaan, pemanfaatan, pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainnya, baik yang diakui maupun yang tidak diakui oleh hukum negara yang berlaku. Dalam penelitian ini sistem penguasaan lahan yang dimaksud menunjukkan relasi sosial dalam memanfaatkan dan mengelola pemanfaatan dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainnya, baik yang diakui maupun yang tidak diakui oleh hukum negara yang berlaku.

Keberadaan sistem penguasaan lahan masyarakat lokal dalam kawasan hutan perlu diintegrasikan dalam kerangka pembangunan KPH. Integrasi ini merupakan sebuah upaya agar pengelolaan hutan dapat berlangsung secara harmonis menuju pengelolaan hutan lestari.

Karakteristik Masyarakat Lokal

Masyarakat lokal di desa Paramasan Bawah yang berada di areal KPHP Model Banjar didominasi orang Bukit. Orang Bukit atau sering juga disebut dengan Dayak Meratus menurut Wajidi (2009) termasuk etnis Banjar. Sebenarnya sebutan Dayak Meratus ini muncul sebagai rasa solidaritas orang Bukit terhadap Dayak sejak meletusnya konflik etnis Madura dengan etnis Dayak. Hal ini didasarkan pada hubungan kekerabatan bahwa sesungguhnya etnis Banjar dan etnis Dayak berasal dari rumpun yang sama.

Hutan untuk Rakyat

Pola penggunaan lahan yang diterapkan oleh orang Bukit berupa areal perladangan padi dan tanaman semusim, kebun pisang, kebun karet, kebun campuran, kebun kemiri. Tanaman semusim yang bersifat komersil untuk dijual seperti kacang tanah, jagung, dan empon-empon. Sedangkan sayuran seperti bayam, sawi, kacang panjang ditanam petani untuk pemenuhan kebutuhan subsisten. Pisang, karet, kemiri juga merupakan tanaman komersil yang ditanam untuk dijual. Pohon buah-buahan seperti durian, cempedak, mangga, rambutan, dan buah-buahan lokal lainnya ditanam untuk kebutuhan subsisten, namun jika ada hasil panen buah berlebih dijual. Dalam penanaman kebun apa pun selalu terintegrasi dengan perladangan bergilir. Pola penggunaan lahan seperti ini sangat membantu perekonomian masyarakat desa Paramasan Bawah. Sementara itu, pemanfaatan hasil hutan mulai berkurang karena ketersediaan hasil tidak sebanyak dua dasawarsa terakhir. Sektor pertambangan menjadi sumber pendapatan tunai dalam jangka pendek, yang biasanya dilakukan di luar waktu kegiatan perladangan.

Cara Masyarakat Menguasai Lahan

a. Sistem Membuka Hutan

Praktik perladangan merupakan tradisi masyarakat lokal dalam upaya pemenuhan kebutuhan makanan pokok dan kebutuhan subsisten lainnya selama 1 tahun atau maksimal 2 tahun. Praktik perladangan dengan cara membuka hutan biasanya dilakukan secara berkelompok. Namun setiap KK yang tergabung dalam kelompok tersebut mengelola lahan dengan batas yang jelas dan luasan yang sesuai kebutuhan rumah tangganya. Batas-batas lahan setiap rumah tangga yang digunakan sebisa mungkin menggunakan batas alam seperti sungai-sungai kecil. Rata-rata luasan areal perladangan yang dikerjakan setiap KK tiap tahun berkisar 1-2 ha. Praktik perladangan dengan cara membuka hutan hingga saat ini masih dilakukan meskipun saat ini jumlah peladang

Bagian V: Konflik Tenurial dan Model Resolusi Konflik di Hutan Negara

berkurang dibandingkan 1-2 dasawarsa terakhir. Hal ini terkait dengan lokasi hutan sudah jauh dan berada di atas bukit. Bagi keluarga muda yang masih memiliki tenaga dan biaya yang cukup, lokasi hutan yang jauh tidak menjadi masalah. Ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pokok tahunan dan pemenuhan kebutuhan lahan di masa mendatang. Dalam kelembagaan sistem penguasaan lahan yang hidup di masyarakat bahwa orang yang pertama kali membuka hutan adalah pemilik lahan tersebut. Bukan hanya warga desa saja yang dapat membuka hutan, warga desa tetangga lainnya (orang luar desa) juga dapat membuka hutan untuk berladang berdasarkan izin kepala desa. Ada biaya pengeluaran izin dan izin tersebut berlaku selama 1 tahun. Hak warga desa tetangga sama dengan hak warga desa. Selain menanam padi, mereka dapat pula menanam tanaman keras sehingga mereka menguasai lahan tersebut. Namun jika orang luar desa itu menjadi warga desa maka dia tidak perlu lagi membayar izin untuk membuka hutan. Namun kemudian atas musyarawah penduduk desa, orang luar desa tidak diperkenankan lagi untuk membuka hutan di wilayah Paramasan Bawah. Keputusan ini dibuat atas kekhawatiran ketersediaan lahan bagi penduduk desa di masa mendatang.

b. Sistem Warisan

Sistem warisan merupakan salah satu cara seseorang mempunyai hak untuk memiliki lahan. Sistem warisan ini berlaku dalam sistem keluarga. Dalam sistem warisan suku Dayak, anak tertua biasanya mempunyai peran penting dalam pembagian warisan. Hal ini karena biasanya anak tertua lebih mengetahui lokasi lahan-lahan milik orang tuanya. Sejak kecil anak tertua biasanya sudah ikut berladang. Sistem pembagian warisan biasanya diurut mulai dari anak tertua hingga anak termuda. Hak warisan anak laki-laki sama dengan hak warisan anak perempuan.

c. Sistem Jual-Beli

Sistem jual-beli merupakan cara lain untuk menguasai lahan dengan adanya transaksi jual-beli. Istilah bagi masyarakat lokal

Hutan untuk Rakyat

bukan transaksi “ jual-beli”, melainkan “ganti rugi”. Transaksi jual- beli yang dilakukan secara prinsipil dinilai berdasarkan biaya yang telah dikeluarkan penguasa lahan terhadap lahan yang akan dipindahtangankan. Nilai tanah sendiri tidak diperhitungkan sehingga istilah ganti rugi lebih tepat dalam pandangan masyarakat lokal. Ganti rugi lahan berupa semak belukar dinilai dari biaya yang telah dikeluarkan oleh penguasa lahan saat membuka lahan tersebut. Jika lahan yang diganti rugi berupa kebun besarnya ganti rugi berdasarkan biaya yang dikeluarkan ketika membangun kebun tersebut. Harga ganti rugi kebun tentunya jauh lebih mahal dibandingkan harga semak belukar. Harga kebun pun dilihat dari jenis pohon yang dikembangkan. Sebagai contoh, kebun karet mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan kebun kemiri. Transaksi ganti rugi bisa terjadi antarwarga dalam desa, bahkan warga dari luar desa, namun transaksi ganti rugi ini sering kali terjadi antara warga luar desa atau pendatang dengan warga desa.

Pola Kerjasama Masyarakat dalam Pemanfaatan Lahan

a. Sistem Pinjam Lahan

Sistem pinjam lahan terjadi, baik di lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Lahan dipinjam selama 1 tahun untuk berladang atau menanam palawija, namun peminjam lahan tidak diizinkan untuk menanam tanaman keras. Mereka yang meminjam lahan biasanya tidak memiliki lahan, atau lahan yang ada relatif jauh. Selain itu tidak memungkinkan berladang di lahan- nya sendiri karena tidak ada teman membuka ladang bersama- sama. Berladang secara mengelompok lebih disukai penduduk karena biasanya diperlukan kerjasama dalam praktik berladang, salah satunya pengelolaan serangan hama seperti serangan monyet terhadap tanaman padi.

Bagian V: Konflik Tenurial dan Model Resolusi Konflik di Hutan Negara

b. Sistem Sewa Lahan

Sistem sewa lahan biasanya terjadi di luar lingkungan keluarga. Penyewa lahan membayar sejumlah uang kepada pemilik lahan. Sistem sewa ini pernah terjadi ketika kegiatan pendulangan emas ramai di desa ini yang terjadi 10 tahun yang lalu. Banyak para pendulang emas dari luar desa menetap sementara di desa. Kebutuhan makanan pokok dipenuhinya dengan berladang. Mereka berumah ketika musim tanam tiba dengan menyewa lahan milik warga. Sistem sewa atas sebidang lahan hanya berlaku selama

1 tahun. Sama dengan sistem pinjam lahan, dalam sistem sewa ini juga tidak diizinkan untuk menanam tanaman keras.

Bukti Penguasaan Lahan oleh Masyarakat

Hamparan lahan berupa lahan bekas dibakar, lahan semak belukar dan lahan dengan vegetasi seperti kemiri, karet, pisang, hutan belantara yang berada di bukit-bukit yang tinggi terlihat saat memasuki wilayah desa Paramasan Bawah. Dalam perspektif masyarakat, selain hutan belantara, semua lahan dengan berbagai kondisi tutupan lahan telah dikuasai penduduk lokal secara individual.

Kepemilikan lahan ini diperkuat dengan bukti tertulis berupa surat yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat. Surat sebagai bukti kepemilikan lahan berupa surat pernyataan ganti rugi dan surat batas areal tanah. Ada biaya transaksi yang dikeluarkan untuk surat tersebut dengan biaya tidak murah menurut pandangan masyarakat lokal, sehingga mereka yang memutuskan untuk membuat surat ini biasanya memandang bahwa surat tersebut merupakan jaminan penguasaan lahan. Pembuatan surat-surat terkait tanah ini biasanya dilakukan pada kasus transaksi ganti rugi tanah antara penduduk desa dan pendatang (orang luar desa). Ini dapat dimaklumi karena orang luar desa tidak menetap di desa sehingga jaminan penguasaan lahan berupa surat, mutlak diperlukan. Selain transaksi ganti rugi antara orang luar desa dan pemilik lahan,

Hutan untuk Rakyat

transaksi antarwarga desa, juga terkadang menggunakan surat pernyataan ganti rugi.

Sementara itu, surat batas areal tanah biasanya dibuat pada kasus lahan yang berkonflik. Ketika konflik terjadi, kepala desa ikut menangani. Aternatif penyelesaian konflik dengan membuat surat batas tanah agar konflik tidak terjadi lagi. Bagi mereka yang memiliki lahan tanpa konflik, memandang bahwa surat batas areal tanah saat ini tidak diperlukan, apalagi orang lain yang mengetahui batas lahan masih hidup. Dengan demikian bukti tertulis tentang penguasaan lahan biasanya diperlukan bagi mereka yang ingin mendapatkan kepastian penguasaan lahan lebih terjamin.

The Bundle of Rights

Fakta penguasaan lahan oleh masyarakat lokal dalam kawasan hutan yang dijumpai di Paramasan Bawah menunjukkan bahwa mereka memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak pembatasan dan hak pelepasan. Hak akses, masyarakat dengan mudah dapat memasuki kawasan hutan, karena wilayah desa mereka memang dalam kawasan hutan. Hak pemanfaatan, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan maupun lahan hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hak pengelolaan, masyarakat mengelola lahan hutan untuk dijadikan areal perladangan dan kebun yang dikelola masyarakat secara individual. Hak pembatasan, masyarakat memiliki aturan siapa saja yang dapat memanfaatkan lahan yang dikuasainya dengan sistem pinjam lahan ataupun sewa kepada pihak lain dengan syarat tidak boleh menanam pohon. Hak pelepasan, masyarakat dapat memindahtangankan hak terhadap lahan kepada pihak lain dengan sistem ganti rugi.

Kelima hak di atas merupakan konsep the bundles of rights (Schlager dan Ostrom, 1992). Jika seseorang mempunyai kelima hak tersebut maka sepenuhnya itu merupakan “hak milik”. Fenomena penguasaan lahan masyarakat lokal di lokasi penelitian memenuhi kelima hak tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat

Bagian V: Konflik Tenurial dan Model Resolusi Konflik di Hutan Negara

lokal adalah pemilik lahan yang diakui dalam kelembagaan sistem penguasaan lahan yang hidup di masyarakat.

Kepastian Memiliki Hak atas Lahan

Berdasarkan penelusuran historis, masyarakat lokal lebih dahulu berada di Paramasan Bawah sebelum perusahaan PT Emil Timber pada tahun 1980-an yang diberi hak pengusahaan oleh pemerintah untuk mengeksploitasi hasil hutan kayu di wilayah tersebut. Hal tersebut dibuktikan masyarakat dengan adanya kuburan-kuburan datuk mereka yang sudah tua di beberapa gunung di wilayah desa tersebut. Selain itu nama-nama sungai dan gunung seperti sungai Halutap, sungai Hatau, sungai Tangkukuwatan, sungai Hanunuk, gunung Limpahukiri, gunung Tarantang dan lain sebagainya menunjukkan pemberian nama sungai dan gunung oleh masyarakat lokal terdahulu.

Sementara itu dari aspek legalitas hukum negara menunjukkan bahwa kawasan hutan tersebut merupakan hutan negara berdasarkan SK Menhutbun No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Selatan, yang selanjutnya disempurnakan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK435/Menhut-II/2009 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Selatan. Namun demikian, amanat konstitusi dalam UUD yang lebih tinggi yang menunjukkan bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara, dan pemerintah mewakili negara bertanggung jawab dalam pemanfaatan kekayan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Integrasi Sistem Penguasaan Lahan dalam KPH

Keberadaan sistem penguasaan lahan oleh masyarakat lokal dalam kawasan hutan tidak dipungkiri terdapat pada sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. Perspektif pemerintah terhadap sistem penguasaan lahan oleh masyarakat dalam kawasan hutan sering kali dianggap sebagai masalah atau kendala dalam

Hutan untuk Rakyat

pengelolaan hutan. Pemerintah memandang bahwa kawasan hutan tidak dapat dimiliki oleh masyarakat didasarkan pada amanat konstitusi bahwa negaralah yang menguasai hutan. Oleh karena itu, apabila sebidang lahan dalam kawasan hutan dimiliki oleh masyarakat dengan bukti-bukti tertulis yang menunjukkan kepemilikan tanah itu maka dinilai sebagai sebuah pelanggaran hukum. Kondisi seperti ini sering kali menimbulkan konflik penguasaan lahan antara pemerintah dan masyarakat.

Contreras dan Fay (2003) dalam risetnya terkait dengan penguasaan tanah dalam kawasan hutan mempunyai pandangan berbeda. Ada dualisme sistem pertanahan, yaitu sistem pertanahan yang diatur UU Agraria dan sistem pertanahan yang diatur UU Kehutanan. Lebih lanjut dibahas oleh Contreras dan Fay (2003) bahwa jika merujuk pada UU Agraria, Kementerian Kehutanan dinilai telah melebihi kewenangannya dalam penetapan awal kawasan hutan yang tidak memperhatikan hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat. Seharusnya areal yang dikuasi oleh masyarakat dikeluarkan dalam penetapan kawasan hutan. Salah satu alternatif tindakan dalam mengatasi permasalahan penguasaan tanah dalam kawasan hutan adalah dengan melepaskan lahan- lahan yang sudah memiliki sertifikat dari kawasan hutan (enclave).

Terkait dengan rencana enclave pemukiman dalam kawasan hutan, Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar telah melakukan enclave pada beberapa kecamatan dalam areal KPH, termasuk di wilayah desa Paramasan Bawah pada tahun 2013 telah dilakukan sosialisasi enclave di desa tersebut. Areal yang akan enclave hanya sekitar pemukiman dan pekarangan rumah, tidak termasuk areal kebun masyarakat. Berdasarkan status keberadaan desa, desa Paramasan Bawah berada di wilayah HTI PT. Prima Multibuana. Pola kerjasama antara perusahaan dan masyarakat pernah digagas dengan mengembangkan tanaman karet, namun hingga saat ini belum ditemukan kesepakatan terkait bagi hasil dari usaha tanaman karet tersebut.

Bagian V: Konflik Tenurial dan Model Resolusi Konflik di Hutan Negara

Kasus penguasaan lahan yang terjadi di Paramasan Bawah adalah bahwa secara individual seseorang bisa menguasai lahan hingga puluhan hektar yang melintasi antardesa. Jika pendekatan enclave yang digunakan sesuai dengan pengakuan hak dari masyarakat, tentunya hal ini akan menimbulkan peluang terjadi- nya devolusi dalam pemantapan kawasan hutan. Dalam devolusi tersebut terjadi transfer hak-hak kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, namun pendekatan ini belum tentu menjamin pencapaian kesejahteraan masyarakat. Perlu dilakukan analisis tipologi penguasaan lahan yang mengungkap siapa aktor yang menguasai lahan, apa motif penguasaan lahan dan untuk kepentingan apa. Selain itu, analisis pemetaan tipologi masyarakat juga perlu dilakukan agar diketahui kelompok masyarakat marjinal yang membutuhkan kemudahan akses terhadap kawasan hutan untuk pencapaian kesejahteraan hidupnya.

KPH sebenarnya mempunyai peran strategis dalam optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan. Sistem-sistem penguasaan lahan oleh masyarakat lokal dalam kawasan hutan membentuk sebuah peta yang perlu di-overlay-kan dalam rencana pembangunan KPH. Hal ini juga terkait dengan amanat konstitusi bahwa sumber daya alam dikelola untuk kemakmuran rakyat. Masyarakat lokal di dalam dan di sekitar kawasan hutan tampak jelas hidupnya tergantung pada sumber daya hutan, baik hasil hutan maupun lahan kawasan hutan. Sebuah kewajaran jika dalam pembangunan KPH perlu adanya reposisi peran masyarakat dan penetapan bentuk akses terhadap hutan yang tepat bagi masyakarat.

Pemerintah pusat telah menyediakan ruang-ruang, bukan hanya ditujukan dalam pemberian akses saja, namun dalam kebijakan terbarunya juga memberikan hak kelola kepada masyarakat lokal di dalam maupun di sekitar kawasan hutan. Berbagai kebijakan pemerintah terkait pemberian akses dan hak kelola kepada masyarakat seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), hutan adat, hutan desa dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Masing- masing kebijakan ini mempunyai karakteristiknya tersendiri.

Hutan untuk Rakyat

Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat tentunya jauh lebih memahami permasalahan riil di lapangan. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat memilih program mana yang sesuai bagi masyarakat yang dapat mengakomodir kebutuhan hidup mereka.

Penutup

Sistem penguasaan lahan oleh masyarakat lokal di dalam kawasan hutan merupakan fakta yang harus dihadapi pemerintah dalam pengelolaan hutan. Berbagai cara menguasai lahan, pola- pola kerjasama dalam pemanfaatan lahan serta bukti-bukti kepemilikan lahan telah melembaga dalam kehidupan masyarakat lokal. Oleh karena itu, integrasi sistem penguasaan lahan masyarakat lokal dalam kerangka pembangunan KPH merupakan hal yang penting agar terjadi harmonisasi pengelolaan hutan yang menyangkut banyak pihak berkepentingan.

Analisis tipologi penguasaan lahan oleh masyarakat lokal perlu dilakukan agar diperoleh peta masyarakat lokal yang memang berhak untuk memperoleh kesejahteraan dari pengelolaan hutan. Dengan demikian, jaminan terhadap hak-hak atas lahan bagi masyarakat lokal dapat ditegakkan menuju muara pengelolaan hutan lestari, yakni kesejahteraan yang adil bagi masyarakat.

Bagian V: Konflik Tenurial dan Model Resolusi Konflik di Hutan Negara

Daftar Pustaka

Contreras, A. dan C.Fay. 2003. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan. World Agroforestry Centre. Bogor.

Creswell, W. Jhon. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. SAGE Publications.

Ellsworth, Lynn. 2000. A Place in the World: Tenure Security and Community Livelihoods. A Literature Review. Washington DC: F Trend dan New York: Ford Foundation.

Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Forest Watch Indonesia (FWI).

Ostrom , E. 2000. Private and Common Property Rigths. Workshop in Political Theory and Policy Analysis, and Center for the Study of Institutions, Population, and Environmental Change, Indiana University.

Ribot, J. C. and N. Peluso. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2): 153-181.

Schalger, Edella and Elinor Ostrom. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economics 68 (3): 249-262.

Wajidi. (2009). Orang Bukit “Lebih Banjar” Dibanding Dayak. Diunduh dari http://bubuhanbanjar.wordpress.com pada tanggal 20 Februari 2011.

Yin, R. K. 2003. Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada.