Kehutanan dalam Konteks Reforma Agraria

B. Kehutanan dalam Konteks Reforma Agraria

Kita tahu bahwa hamparan hutan yang tergelar di bumi Indonesia ini adalah hutan hujan tropika (“tropical rain forest” TRF) dan di dunia ini ada tiga formasi, yaitu formasi Amerika, formasi Afrika dan formasi Indo-Malaya. Indonesia termasuk dalam formasi Indo-Malaya. Daerah “tropis”, adalah daerah yang terbentang di sepanjang katulistiwa. Ini, kita semua sudah tahu.

Hutan untuk Rakyat

Sayangnya, sepanjang yang saya tahu (mungkin saya keliru, atau ketinggalan jaman), di antara lebih dari 11 ribu buku, laporan penelitian ataupun dokumen yang ada di FAO, Roma, yang membahas masalah Reforma Agraria (RA), ternyata yang mengandung pembahasan mengenai masalah hutan amat sangat sedikit.

Yang sempat saya kenali adalah, pertama, debat agraria selama sepuluh tahun di Jepang (1927-1937) yang menyinggung masalah hutan. Perdebatan tersebut berlanjut setelah selesainya Perang Dunia II, dan setelah selesainya land reform pasca Perang Dunia II. Tapi jelas, hutan di Jepang bukan TRF. Dan lagi, inti perdebatan itu bukan semata-mata masalah hutan itu sendiri melainkan menyangkut aspek filosofis/ideologis. Terjadi perbedaan pandangan antara aliran Kozaha School” versus “Ronoha School” di dalam menilai sifat dan makna dua “land reform” yang pernah dilakukan di Jepang (yaitu yang pertama tahun 1868 di masa “Restorasi Meiji”, dan yang kedua tahun 1946 di bawah pengawasan dan atas perintah Jenderal Mac Arthur, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II). Para ilmuwan dari aliran “Kozaha” menilai bahwa kedua land reform itu tidak ada artinya apa-apa karena tidak mengubah susunan masyarakat. Stelsel feudalism tetap bertahan karena hutan sama sekali tidak disentuh, bahkan dikuasai oleh kaum bangsawan. Sebaliknya, aliran “Ronoha” menilai, bagaimanapun juga land reform pertama itu ada artinya (untuk uraian yang lebih rinci, lihat antara lain, T.J. Byres, 1989).

Kasus kedua yang sempat saya kenal, walaupun hanya sekilas, adalah apa yang terjadi dalam dasawarsa 1960-an. Hutan di Bolivia jelas termasuk TRF. Ribuan hektar saat itu masih merupakan “open frontier” dan belum tergarap. Dalam rangka ingin membangun, pemerintah merencanakan membuka seluas-luasnya wilayah hutan tersebut untuk pertanian rakyat beserta infrastruktur yang diperlukan. Tetapi masalahnya terbentur pada kekurangan tenaga. Untuk mengatasinya, pemerintah Bolivia lalu memberi peluang

Epilog: Masalah Kehutanan dalam Konteks Reforma Agraria

kepada petani dari berbagai negara. Siapa pun yang bersedia untuk berpartisipasi dalam pembukaan besar-besaran hutan tersebut, akan menerima hadiah, kalau tidak salah, tanah seluas 50 acre (kurang lebih 12 ha). Yang menarik adalah bahwa ternyata lebih dari 50% dari jumlah pelamar adalah petani Jepang.

Kasus berikutnya yang sangat menarik adalah Meksiko, di mana 80 persen hutan secara de jure dimiliki secara komunal oleh dua tipe komunitas, yaitu yang ejido dan communidades agrarias (komunitas-komunitas agraria). Yang dimaksudkan dengan ejido adalah bidang tanah yang diberikan secara kolektif kepada sekelompok tani, sedangkan communidades agrarias terdiri dari tanah-tanah yang diredistribusi kepada komunitas petani yang sebelumnya memperoleh akses atas tanah itu dari kerajaan Spanyol (yang sebelumnya menjajah Meksiko). Kenyataan ini berbeda dengan gambaran secara umum di Amerika Latin bahwa

80 persen hutan dimiliki oleh Negara. Land Reform menjadi salah satu pilar dari program pemerintahan revolusioner Meksiko, yang dimandatkan secara formal melalui pasal 27 konstitusi Meksiko 1917. Program reforma agraria Meksiko, yang berlangsung secara massif utamanya pada masa kepemimpinan Presiden Lazaro Cardenas (1934-1937), telah meredistribusi lebih dari separuh kepemilikan wilayah tanah Meksiko, melalui pengakuan atas eksistensi communidades agrarias dan pemberian tanah-tanah ejido. Melalui land reform inilah, pengelolaan hutan di Meksiko didominasi oleh bentuk-bentuk community forestry maupun usaha-usaha produksi kayu komersial yang dimiliki oleh rakyat (selanjutnya lihat Klooster, 2003; Taylor, 2003).

Pertanyaannya, mengapa di banyak negara wacana tentang tercakup atau tidaknya faktor kehutanan ke dalam program Reforma Agraria relatif kurang mendapat perhatian? Jawaban sementara terhadap pertanyaan tersebut kurang lebih sebagai berikut:

a. Di banyak negara, terutama di Afrika, secara de facto hutan masih diperlakukan secara “open frontier”. Artinya, intervensi negara masih sangat terbatas.

Hutan untuk Rakyat

b. Landasan filosofis/ideologis masih merupakan hal yang bersifat problematik. Tanah kehutanan itu sebenarnya milik siapa? (milik negara, milik masyarakat, milik perorangan, atau siapa?).

c. Pertimbangan yang menyangkut aspek ekologis.