Land Tenure di Kawasan KPHL di Kabupaten Lampung Selatan

B. Land Tenure di Kawasan KPHL di Kabupaten Lampung Selatan

Konflik penguasaan dan pemanfaatan lahan (kawasan hutan untuk pertanian) sering tidak dapat dihindarkan terutama karena petani tidak atau hanya sedikit memiliki alternatif pekerjaan di perdesaan dan keterbatasan lahan garapan untuk kegiatan usahataninya. Perselisihan dapat terjadi antarsesama petani secara individu atau kelompok, di dalam atau di luar keluarga dan antar petani dengan pihak lain (pemerintah lokal atau lembaga lain). Sifat dan kondisi konflik terhadap kawasan hutan di luar Jawa (Propinsi Lampung) sangat berbeda dengan di Pulau Jawa, dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik setempat (bersifat local specific). Demikian juga ketidakharmonisan hubungan antar instansi birokrasi dalam hal penguasaan dan wewenang terhadap pengelolaan kawasan hutan (pusat, propinsi dan kabupaten/kota) terkait memengaruhi proses pelaksanaan dan berujung pada kegagalan kegiatan program pembangunan kehutanan atau meng- akibatkan tidak optimalnya pencapaian sasaran pembangunan itu.

Kawasan hutan di Provinsi Lampung ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Lampung. Penunjukan kawasan hutan ini disusun berdasarkan hasil pemadu- serasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Penunjukan kawasan hutan mencakup pula kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Kawasan hutan di Provinsi Lampung telah ditunjuk sejak jaman pemerintah kolonial Belanda, hal tersebut terbukti dengan adanya bukti-bukti surat penetapan tentang kawasan hutan yang masih dijadikan sebagai acuan/referensi untuk pengukuhan kawasan hutan di Provinsi lampung. Penunjukan kawasan hutan di Provinsi Lampung telah mengalami 3 kali penetapan, yaitu:

Hutan untuk Rakyat

· SK. No. 67/Kpts-II/91 tanggal 31 Januari 1991, dengan kawasan hutan seluas 1.237.268 ha

· SK. N0. 416/Kpts-II/99 tanggal 15 Juni 1999, dengan kawasan hutan seluas 1.144.512 ha

· SK. No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, dengan kawasan hutan seluas 1.004.735 ha.

Desa Sekitar Hutan

Pengelolaan kawasan hutan tidak lepas dari pengaruh sosial masyarakat yang berada di desa-desa sekitar kawasan hutan. Tinggi rendahnya tekanan terhadap kawasan hutan dapat diindikasikan dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat yang berada di desa sekitar hutan tersebut. Keberadaan desa definitif dalam kawasan hutan lindung dapat dilihat pada KPHL Batu Serampok, seperti Gambar 4.

Gambar 4. Pemukiman di KPHL Batu Serampok, Lampung Selatan

Kawasan hutan di Provinsi Lampung hampir seluruhnya mengalami perambahan yang menimbulkan berbagai konflik lahan di dalam kawasan hutan. Upaya pembinaan desa-desa sekitar hutan diharapkan mampu menekan perambahan tersebut.

Bagian V: Konflik Tenurial dan Model Resolusi Konflik di Hutan Negara

Gambar 5. Pasar dan Alfamart di desa Sripendowo (KPHP Way Pisang) di dalam

kawasan hutan, Lampung Selatan

Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat (petani), tokoh masyarakat dan aparat desa Neglasari dan desa Sripendowo, diperoleh beberapa kesimpulan dan rekomendasi, di antaranya : a) Karena areal desa dan lahan garapan petani masih merupakan kawasan hutan, maka bagi mereka, orang kehutanan menjadi momok bagi mereka, b) Keluhan masyarakat dan aparat desa relatif sama yaitu ingin agar lahan desa dan lahan garapannya yang saat ini merupakan kawasan hutan, menjadi lahan garapan tetap (bisa dimiliki) dan disertifikatkan, c) Masyarakat bersedia memenuhi kewajibannya dalam menjalankan fungsi mengelola lahan secara berkelanjutan, baik untuk kepentingan kelestarian lingkungan (hutan), sosial dan ekonomi secara terpadu, d) Sudah sejak lama (1960) masyarakat selalu membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) setiap tahun. Tahun 2010 jumlah PBB yang disetor ke Kas Negara sebesar Rp 18 juta,- untuk desa Neglasari sebanyak 1776 lembar SPT sedangkan desa Sripendowo nilai PBB-nya Rp 12,8 juta,- sebanyak 1054 lembar SPT setiap tahunnya, dan e) Masyarakat bersedia untuk mengembangkan dan menanam berbagai jenis pohon kehutanan, di antara jenis pohon yang mereka sukai adalah: medang, sengon, merbau, jati, waru, mindi, bayur, mahoni, akasia, duren, bungun dan buah-buahan lainnya serta f) Masyarakat bersedia mengembangkan program-program yang telah dicanangkan Kementerian Kehutanan seperti: Program

Hutan untuk Rakyat

Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa pada kawasan hutan yang saat ini digarap dan menjadi tempat tinggalnya.