Bagaimana di Indonesia

C. Bagaimana di Indonesia

Menurut pengamatan saya memang sulit untuk menolak pendapat bahwa selama kurang lebih 40 tahun terakhir ini bangsa Indonesia telah menyimpang dari cita-cita Proklamasi 1945, dan mengabaikan amanat para pendiri bangsa ini, terutama di bidang agraria. Rujukan bagi penilaian ini, paling tidak ada dua hal. Pertama, pidato Bung Hatta tahun 1946 dan tulisan-tulisan beliau sekitar masalah ekonomi Indonesia di masa depan. Sebagian besar pemikiran beliau terjabarkan dalam isi UUPA 1960 (untuk uraian lebih rinci, lihat buku suntingan Sri Edi Swasono dan Fauzi Ridjal, 1992). Kedua, landasan filosofis yang mendasari pandangan hukum agraria yang telah diletakkan oleh para pendiri RI. Landasan filosofis ini adalah apa yang disebut filosofi “Monodualis” (lihat Imam Soetiknjo 1987). Sepanjang yang saya tahu, landasan ini tak pernah dibahas secara serius oleh para ahli hukum kita sekarang ini (Diterimakah? Ditolakkah? Dimodifikasikah? Tidak jelas). “Ignorance!” akibatnya, tanpa sadar kita menyimpang.

Proses penyimpangan itu memang tidak terjadi secara mendadak tetapi melalui proses panjang akibat dinamika politik sejak lahirnya Orde Baru. Apa yang terjadi belakangan ini menurut saya adalah merupakan “residual consequences” dari kebijakan- kebijakan Orde Baru. Akan terlalu panjang kiranya jika saya harus menggambarkan “route” penyimpangan itu. Yang jelas, yang kita saksikan selama beberapa dekade ini adalah terjadinya ribuan konflik agraria. Menurut seorang pakar, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras atau tingkatan tertinggi dari persaingan (cf. Hoult 1969). Padahal sekarang ini “tiada hari tanpa kata-kata, meningkatkan daya saing”. Dalam konteks RA, apa yang terjadi sekarang ini oleh seorang pakar disebut sebagai “land reform

Epilog: Masalah Kehutanan dalam Konteks Reforma Agraria

terbalik” atau “an upside down land reform” (White, 2011:10). Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Penyimpangan yang tak terasa tapi mendasar adalah hasil amandemen UUD 1945. Dari 37 pasal, hanya 5 pasal yang tak dikutik-kutik. Bagian Penjelasan pun dihilangkan, hanya Mukaddimahnya saja yang asli.

Pada bulan Juli 2011 yang lalu di Lombok telah berlangsung Konferensi Internasional tentang tata kelola hutan serta usaha kehutanan, yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan dan Right And Resources International (RRI). Kebetulan saya bukan peserta. Walaupun demikian, saya sudah membaca dokumen yang disusun oleh sejumlah lembaga yang mewakili kelompok masyarakat sipil yang menjadi peserta konferensi tersebut. Dokumen tersebut berisi pandangan bersama setelah mereka mengikuti konferensi itu.

Saya menghargai sekali usaha para perumus dan pendukung- nya yang mewakili pandangan masyarakat sipil, melahirkan dokumen berjudul “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial”. Isi yang terpenting dari dokumen itu, menurut saya, adalah rumusan yang menggambarkan “route” aksi bersama untuk mengatasi berbagai persoalan, yaitu melalui tiga ranah: (a) perbaikan kebijakan; (b) penyelesaian konflik; (c) perluasan wilayah kelola rakyat. Saya kira lebih tepat naskah itu diberi judul “Menuju Keadilan Agraria melalui Kepastian Tenurial”.

Saya berpendapat mengusahakan kepastian tenurial (tenurial security) bagi lebih dari 31.957 desa sebagaimana dimaksudkan dalam naskah itu (hal. 6-7) merupakan pekerjaan besar dan sulit. Hal ini adalah salah satu masalah agraria di kawasan hutan negara yang bersifat kronis dan kompleks, dan tidak bisa sekadar ditangani oleh cara-cara perbaikan yang reformis saja. Hal ini adalah sekadar “pintu pembuka” untuk pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh dan “genuine”.

Hutan untuk Rakyat

Demikianlah, dengan kondisi masyarakat yang semakin rumit ini, pendekatan “pragmatisme” tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, bahkan dapat melahirkan masalah baru yang makin memperumit keadaan. Konflik agraria, termasuk di bidang kehutanan, akan terus berlanjut, karena itu, untuk mengatasi masalah agraria yang makin kompleks ini, tak ada cara lain kecuali melalui program Reforma Agraria dalam artinya yang benar (“genuine”), bukan “pseudo-reform”.

Penutup

Demikianlah pandangan dan pokok-pokok pikiran yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, yang tujuannya ingin menyumbangkan sekelumit pemikiran:

Sumbangan sekadar sumbangan Tak berguna boleh dibuang Namun bila isi berkenan di hati Mudah-mudahan dapat direnungkan kembali

Sekian dan terima kasih.