Perkembangan Perantau Minang di Surakarta

D. Perkembangan Perantau Minang di Surakarta

Perantau Minangkabau yang ada di rantau ada yang berhasil dan ada pula yang kurang berhasil. Tetapi setidaknya jarang dari mereka yang kurang berhasil terus pulang ke kampung halaman. Jika mereka akan pulang, akan menunggu bekalnya cukup dulu atau jika tidak pulang akan mengirimkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sanak saudaranya. Mereka ingin meningkatkan taraf hidup keluarga yang ada di kampunga halaman.

Tujuan utama selama berada di rantau adalah menabung atau mengumpulkan sebanyak mungkin uang untuk persiapan dibawa pulang ke kampung halaman. Untuk itu mereka dalam hidup sehari-hari di perantauan harus berlaku hemat dalam pengeluaran dan perbelanjaan. Mereka sangat menghindari pola hidup yang boros dan membuang-buang uang.

Para perantau pada saat berangkat merantau terkadang tidak membawa apa-apa, tetapi setelah berada dirantau mereka banyak memiliki barang-barang seperti barang-barang ektronik, kendaraan atau bahkan memiliki rumah sendiri. Keadaan yang demikian membuat mereka harus berpikir dua kali untuk pulang ke kampung halaman. Dirantau mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan, sedangkan di kampung mereka belum tentu akan mendapatkan hal yang sama.

Memang tujuan semula merantau adalah untuk mengumpulkan uang dan harta untuk dibawa pulang ke kampung halaman, tetapi dalam kenyataannya tidak sesederhana itu. Mereka bingung jika ditanya akan pulang atau tidak, terutama para perantau yang sudah mapan. Jika ditanya untuk mengirimkan uang atau hasil jerih payah ke kampung biasanya mereka akan bersedia, tetapi jika harus kembali dan tinggal di kampung mereka belum tentu bersedia.

dengan berayahkan orang Minangkabau (sedanghkan ibunya orang bugis) tidaklah menyebabkan ia menjadi orang Minangkabau pula. Di Sumatra Barat rat-rata orang menganggap dia sebagai orang Bugis, karena ibunya orang Bugis. Lihat dalam Hamka. 1957. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Jakarta : Balai Pustaka

Hal ini dialami oleh Muhamad Rusdi Salim 29 . Ia sekarang telah memili kios sendiri. Ia berjualan tas, helm dan pulsa. Menurutnya ia tidak memiliki keinginan untuk kembali menetap di kampung

halaman. Ia sudah mengajak seluruh keluarganya di rantau. Ia bahkan sudah memiliki rumah di rantau. Keadaan yang sudah mapan tersebut menjadikan ia ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya di rantau bersama keluarganya. Ia pulang ke Sulit Air hanya jika ada keperluan penting yang mengharuskannya untuk pulang ke Sulit Air.

Hal yang dialami oleh Sabililah juga sama. Ia tidak ingin pulang ke kampung halaman dan ingin mengembangkan usahanya di rantau. Ia lebih senang tinggal di kota karena di kota segala sesuatunya juga mudah didapat. Ia membayangkan jika harus pulang, mungkin ia belum tentu bisa hidup seperti sekarang. Hal serupa banyak diutarakan oleh para perantau. Mereka yang sudah cukup mapan di rantau atau mungkin sudah memiliki keluarga di rantau tidak memiliki pikiran lagi untuk pulang ke kampung halaman. Yang ada dipikiran mereka adalah bagaimana usaha mereka di rantau dapat menjadi lebih baik dan berkembang sehingga dapat menjamin masa depan mereka. Bagi mereka, pulang ke kampung setelah tinggal cukup lama di rantau dan sudah dapat beradaptasi dengan rantau merupakan proses merantau juga. Karena mereka harus beradaptasi dengan lingkungan kampung yang mungkin sudah banyak berubah dan agak asing karena jarang melihatnya. Mereka terkadang tidak tahu harus mengerjakan apa di kampung karena pekerjaan di kampung berbeda dengan yang ada di rantau.

Para perantau yang sudah cukup berhasil biasanya akan mengajak saudara maupun teman- temannya yang ada di kampung halaman. Keadaan yang demikian menjadikan kampung halaman mereka menjadi sepi. Di kampung halaman mereka jika letaknya di kota, masih ada para pendatang dari luar Sumatra Barat. Mereka inilah yang meramaikan suasanya di kampung halaman para perantau. Tetapi lain halnya jika keadaannya di desa, maka desa akan kekurangan tenaga kerja, terutama tenaga kerja laki-laki karena sebagian besar yang merantau adalah kaum laki-laki. Pada tahun 1993 warga Sulit Air berjumlah 70.000 jiwa, 55.000 diantaranya berada dirantau dan hanya

29 Wawancara dengan Muhamad Rusdi Salim tanggal 3 Oktober 2009 jam 15.00 29 Wawancara dengan Muhamad Rusdi Salim tanggal 3 Oktober 2009 jam 15.00

30 Singgalang, ”Musyawarah Besar SAS Ke-XII di Sulit Air Dihadiri 10.000 Perantau”, Minggu 21 Maret 1993, Hal 11

BAB III