FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CERAI GUGAT

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CERAI GUGAT

Begitu sepasang insan resmi sebagai suami isteri, maka ucapan “selamat” berdatangan “semoga bahagia selama-lamanya”, demikian salah satu bunyi ucapan itu. Memasuki kehidupan berumah tangga memang selalu dianggap sebagai awal dari kehidupan baru yang penuh madu, keindahan, cinta, kemesraan, dan kebahagiaan. Namun, tidak jarang terjadi, lain impian lain pula kenyataan. Rumah tangga yang semula diimpikan sebagai “surga dunia” ternyata tak ubahnya seperti “neraka menyiksa”. Akibatnya, banyak di antara pasangan yang tidak mampu mempertahankan kelangsungan rumah tangganya. Penyebabnya tentu saja tidak selalu sama antara satu pasangan dengan pasangan yang lainnya. Perceraian merupakan jalan terakhir pasangan dalam menyelesaikan kemelut rumah tangga mereka.

Seperti yang diungkapkan oleh hakim Pengadilan Agama Surakarta, Bapak Sururi, SH: “ Perceraian menurut saya adalah salah satu jalan keluar apabila

rumah tangga terus menerus terjadi perselisihan dan percekcokan apalagi dalam waktu yang cukup lama seperti kebanyakan kasus yang saya tangani, percekcokan dalam waktu yang lama bahkan ada beberapa yang sudah tidak serumah lagi dengan pasangannya”.

Hal lain diungkapkan oleh H. Muhtarom M.Ag, seorang tokoh masyarakat dan juga guru, sebagai berikut: “Perceraian terjadi karena orang kurang mengerti dengan hak dan

kewajiban sebagai suami isteri. Perceraian juga bisa terjadi karena kurangnya iman dan ambisi yang kuat, mengerti agama itu sangat penting. Kalau orang sudah mengerti dengan masalah agama maka akan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dalam rumah tangga. Lebih baik memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada daripada memiliki pasangan baru yang bukan berarti masalah dalam rumah tangga tidak muncul lagi bukan?. Permasalahan perkawinan juga dapat disebabkan karena orang- kewajiban sebagai suami isteri. Perceraian juga bisa terjadi karena kurangnya iman dan ambisi yang kuat, mengerti agama itu sangat penting. Kalau orang sudah mengerti dengan masalah agama maka akan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dalam rumah tangga. Lebih baik memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada daripada memiliki pasangan baru yang bukan berarti masalah dalam rumah tangga tidak muncul lagi bukan?. Permasalahan perkawinan juga dapat disebabkan karena orang-

Pandangan dari tokoh masyarakat ini dapat disimpulkan kurang setuju dengan perceraian sebagai jalan keluar dari permasalahan rumah tangga. Perceraian terjadi karena orang kurang mengerti dengan hak dan kewajiban masing-masing, dan karena lemahnya iman. Untuk itu Agama sangatlah penting untuk dimengerti agar dapat menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.

Pendapat berbeda yang dikemukakan oleh seorang karyawan toko bernama Sinta (25 tahun, belum menikah) sebagai berikut: “ Menurut saya wajar dan sah-sah saja kalau memilih bercerai

kalau suami isteri sudah merasa tidak ada kesamaan lagi. Kalau dipaksakan nanti keduanya bisa stress lho mbak, kalau saya ya mending pisah saja daripada hidup sama orang yang tidak sejalan dengan saya’.

Menurut Panitera Pengadilan Agama, Edy Iskandar SH, dalam satu kasus perceraian dapat terkait beberapa penyebab tetapi diambil salah satu yang menjadi penyebab yang diberatkan pada penggugat. Dan yang paling banyak terjadi adalah kurang dan bahkan meninggalkan tanggung jawab dan buruknya akhlak. Pak Edy mengatakan:

“ Di Solo ini, faktor penyebab perceraian yang paling banyak terjadi adalah buruknya moral suami dan kurangnya tanggung jawab. Buruknya moral disini kebanyakan karena suami gemar berjudi, mabuk- mabukan, suka berbuat kasar bahkan sampai ketahuan tidur dengan perempuan lain sehingga keluarga terabaikan”.

Dari hasil wawancara yang dilakukan, ada beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat, yaitu :

1. Poligini tidak Sehat

Sebelumnya penulis akan menjelaskan arti dari Poligini itu sendiri agar menjadi lebih jelas. Menurut Abdurrahman dan Riduan Syahrini (1978:79) menyebutkan bahwa: “ Perkataan Poligami berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua pokok kata, yaitu Polu dan Gemein. Polu berarti banyak; Gemein berarti kawin. Jadi Poligami berarti perkawinan yang banyak. Dalam Bahasa Indonesia disebut “Permaduan”. Poligini lazimnya dirumuskan sebagai suatu sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita”. Poligini adalah “ Perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah memiliki ikatan perkawinan,dan akan melakukan perkawinan lagi dengan orang lain. Poligami sendiri terbagi menjadi dua yaitu Poligini dan Poliandri. Poligini adalah perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa perempuan dalam waktu yang bersamaan. Sedang Poliandri merupakan perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki dalam waktu yang bersamaan. Bukan hal yang mudah untuk seorang wanita yang suaminya berpoligini, karena begitu banyak yang mesti dikorbankan dari mulai perasaannya,harkat dan martabatnya,serta tentunya keluarganya. Tidak ada satu wanitapun di muka bumi ini yang sebenarnya rela untuk menerima poligini meskipun kadarnya yang berbeda-beda. Ada yang menentang secara keras dengan minta dicerai, ada yang setuju dengan persyaratan dan mungkin juga terpaksa karena dia merasa tidak kuasa melawan suaminya. Namun semua itu tetap ada penolakan dalam diri setiap wanita,meskipun ada beberapa gelintir poligini yang dilakukan oleh laki-laki atas Sebelumnya penulis akan menjelaskan arti dari Poligini itu sendiri agar menjadi lebih jelas. Menurut Abdurrahman dan Riduan Syahrini (1978:79) menyebutkan bahwa: “ Perkataan Poligami berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua pokok kata, yaitu Polu dan Gemein. Polu berarti banyak; Gemein berarti kawin. Jadi Poligami berarti perkawinan yang banyak. Dalam Bahasa Indonesia disebut “Permaduan”. Poligini lazimnya dirumuskan sebagai suatu sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita”. Poligini adalah “ Perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah memiliki ikatan perkawinan,dan akan melakukan perkawinan lagi dengan orang lain. Poligami sendiri terbagi menjadi dua yaitu Poligini dan Poliandri. Poligini adalah perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa perempuan dalam waktu yang bersamaan. Sedang Poliandri merupakan perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki dalam waktu yang bersamaan. Bukan hal yang mudah untuk seorang wanita yang suaminya berpoligini, karena begitu banyak yang mesti dikorbankan dari mulai perasaannya,harkat dan martabatnya,serta tentunya keluarganya. Tidak ada satu wanitapun di muka bumi ini yang sebenarnya rela untuk menerima poligini meskipun kadarnya yang berbeda-beda. Ada yang menentang secara keras dengan minta dicerai, ada yang setuju dengan persyaratan dan mungkin juga terpaksa karena dia merasa tidak kuasa melawan suaminya. Namun semua itu tetap ada penolakan dalam diri setiap wanita,meskipun ada beberapa gelintir poligini yang dilakukan oleh laki-laki atas

“ Delapan tahun saya hidup dengan suami saya, tapi saya tidak bisa memberikan anak untuk suami saya. Dokter menyatakan kalau rahim saya ada semacam kista. Karena suami saya sangat menginginkan anak, maka saya mengikhlaskan suami untuk menikah lagi,dengan syarat saya yang memilihkan calon isteri untuknya. Kami bertiga hidup dalam satu rumah, dan sekarang sudah ada 2 jagoan yang meramaikan rumah kami,yang sulung berumur 3.5 tahun dan yang bungsu baru berumur 4 bulan . Saya menganggapnya sebagai anak sendiri”.

Pernyataan diatas merupakan salah satu contoh dimana Poligini menjadi suatu jalan darurat yang hanya boleh dibuka kalau keadaan memaksa, misalnya isteri mandul tidak memberi keturunan atau isteri sakit sehingga tidak bisa menunaikan kewajibannya melayani suami. Tetapi tidak semua wanita dapat menerima kenyataan bahwa suami mereka meminta ijin untuk memiliki isteri lagi. Seperti pernyataan Sinta (25 tahun, belum menikah) yang berikut ini:

“Menurut saya semua wanita tidak akan rela 100%, tapi kalau memang ikhlas dengan alasan tersendiri itupun haknya wanita untuk dimadu, positifnya para isteri bisa bekerja sama saling membantu dalam rumah tangga, kalau salah satu tidak sempat atau sedang tidak sehat yang satu bisa menggantikan untuk melakukan aktivitas dalam rumah tangga (bukan urusan ranjang aja loh). Yang harus dihindari kalau tidak ada “kerelaan” itu, pasti kedepannya rumah tangganya tidak akan sehat, kalau suami sulit ‘tuk diminta dengan hormat agar tidak menikah lagi,mendingan berpisah aja….. pasti dia akan selingkuh juga dengan wanita lain yang tidak bisa dinikahinya itu. Tapi kalau kita sebagai isteri mau mengurus suami dengan lebih ringan, bisa juga kan dimanfaatkan isteri ke-2. jadi kadang-kadang isteri pertama bisa istirahat deh….ada nggak ya yang rela seperti itu???”

Pada dasarnya poligini yang dilakukan laki-laki adalah satu bentuk pemaksaan baik secara halus maupun terang-terangan (kasar), namun hanya Pada dasarnya poligini yang dilakukan laki-laki adalah satu bentuk pemaksaan baik secara halus maupun terang-terangan (kasar), namun hanya

” Sekitar 4 tahunan setelah suami menikah lagi dengan isteri mudanya, suami saya jarang sekali pulang ke rumah,dia lebih sering nginep di rumah isteri muda di Kartasura, dia juga jarang ngasih duit sama saya. Kemarin saja pas mbayar uang sekolah juga saya bayar sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi mbak, saya minta cerai saja, saya tidak mau diperlakukan nggak adil seperti itu”.

Kasus lain adalah kisah dari Ny. Ht seorang ibu rumah tangga dengan satu puteri yang berusia 4,5 th. Dimana beliau telah menikah selama 8 th. Selama itu suaminya berlaku baik dan tidak ada perilaku yang mencurigakan, namun pertengahan tahun 2005 suaminya mulai susah dihubungi dan selalu cerita kalau sekarang memiliki ibu angkat yang memperhatikannya,uang bulanan pun mulai berkurang bahkan di bulan September tidak ada lagi uang bulanan. Setelah diselidiki ternyata suaminya menikah lagi dengan orang lain dan beliau tidak tahu. Merasa dibohongi dan dikhianati,Ny. Ht mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.

2. Perselisihan / Percekcokan

Konflik yang berkepanjangan dan tidak ada putusnya dalam rumah tangga membuat suasana rumah bak neraka, sudah tidak harmonis lagi antar pasangan. Perselisihan dapat terjadi karena salah satu dari pasangan memiliki ego yang besar, tidak ada yang mengalah yang membuat masalah semakin rumit. Kesalahpahaman akan terjadi karena kurangnya pengertian terhadap pasangannya, Konflik yang berkepanjangan dan tidak ada putusnya dalam rumah tangga membuat suasana rumah bak neraka, sudah tidak harmonis lagi antar pasangan. Perselisihan dapat terjadi karena salah satu dari pasangan memiliki ego yang besar, tidak ada yang mengalah yang membuat masalah semakin rumit. Kesalahpahaman akan terjadi karena kurangnya pengertian terhadap pasangannya,

“Setelah saya jadi tukang lebon, saya dan suami saya sering sekali cekcok. Itu semua karena suami saya terlalu mengekang dan tidak percaya pada saya. Dia tidak bisa menerima dan mengerti pekerjaan saya yang harus keluar rumah setiap hari padahal saya sudah berusaha membereskan pekerjaan rumah dulu sebelum pergi kerja, tapi suami saya mengangap saya kurang tangung jawab sebagai isteri”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami istri tidak selamanya berada dalam situasi yang damai tentram serta harmonis. Tidak ada satupun pasangan suami istri yang senang menghadapi perceraian. Namun terkadang perceraian tidak dapat dihindarkan meski berbagai upaya sudah dicoba. Ada kalanya terjadi kesalahpahaman antara suami istri, melakukan kelalaian terhadap salah satu kewajibannya dan salah satu pihak tidak mempercayai satu sama lain, sehingga dalam keadaan demikian harus ada kesadaran masing-masing pihak untuk mengalah atau meredakan masalah yang dihadapi. Namun demikian ada kalanya kesalahpahaman tersebut menjadi berlarut dan tidak dapat didamaikan, sehingga terjadi perselisihan dan pertengkaran. Jika hal tersebut terus menerus dan sulit untuk didamaikan, maka jalan keluar terakhir yang perlu ditempuh adalah perceraian.

Perceraian sekarang bukan menjadi aib keluarga tetapi masyarakat menganggap perceraian merupakan suatu jalan keluar terakhir setelah mungkin terjadi perselisihan yang tak kunjung selesai. Perceraian mulai menjadi jalan keluar ataupun solusi dalam mengakhiri permasalahan dan konflik yang ada dalam sebuah keluarga. Perceraian mulai dianggap hal yang wajar bagi sebuah rumah tangga yang terus menerus bertentangan dan terus menerus rebut.

Perceraian bisa saja terjadi dalam sebuah keluarga. Apabila kedua pihak sudah tidak bisa menghasilkan keputusan lain kecuali bercerai. Percekcokan yang terjadi,bisa diatasi kalau salah satu pihak ada yang mengalah sehingga konflik yang terjadi bisa dikendalikan dan tidak terus memuncak.

3. Perselingkuhan

Hadirnya pihak ketiga bisa memicu hadirnya perselisihan dan percekcokan dan mengakibatkan pasangan suami isteri tidak saling percaya. Hal ini juga mengakibatkan terlintasnya memikiran untuk mengakhiri hubungan pernikahan dengan perceraian. Seperti yang dialami Ny. Lasmini sebagai berikut:

” ternyata selama tujuh bulan suami saya punya selingkuhan, waktu itu saya mergoki dia lagi jalan sama pacarnya itu mbak...... pamitnya ke kerja tapi ternyata dia lagi duaan sama wanita itu....”.

Pernyataan diatas diakui oleh suami ibu Lasmini sendiri yaitu pak Joko (buka nama sebenarnya) sebagai berikut: ” .....waktu itu memang saya ngaku dik kalau saya memang punya

demenan ya....kira-kira setengah tahun, saya khilaf waktu itu.

Rasa sakit hati dan merasa dikhianati memang sulit untuk dihilangkan. apalagi hadirnya pihak ketiga yang memang tidak dikehendaki. Untuk mengembalikan kepercayaan pada suami menang tidak mudah, membutuhkan waktu lama tidak semudah membalikkan telapak tangan.

4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan ini adalah salah satu bentuk ketidak adilan gender yang biasa terjadi. Kekerasan

terhadap perempuan merupakan tindakan yang merugikan perempuan baik secara fisik dan nonfisik. Kebanyakan orang memahami kekerasan itu hanyan sebagai tindakan fisik yang kasar saja, sehubungan bentuk perilaku menekan tidak pernah diperhitungkan sebagai kekerasan. Padahal yang disebut dengan kekerasan itu mencakup keseluruhanya, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. Kebanyakan orang beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami adalah kekhilafan sesaat dan tidak banyak para pihak yang menyadari bahwa kekerasan terhadap rumah tangga itu merupakan suatu perilaku yang berulang, dan yang menjadi permasalahan di sini, banyak korban yang takut melaporkan kekerasan tersebut kepada pihak-pihak yang berwenang.

Di dalam rumah tangga, konflik merupakan hal yang biasa, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, tapi semua itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Undang-undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan melindungi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang PKDRT ini juga tidak bertujuan untuk Di dalam rumah tangga, konflik merupakan hal yang biasa, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, tapi semua itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Undang-undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan melindungi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang PKDRT ini juga tidak bertujuan untuk

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tindakan kriminal yang dapat mengenai siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, isteri, anak bahkan pembantu rumah tangga. Ini merupakan tindakan pidana yang sulit terungkap karena masyarakat menilai kejadian itu masuk pada wilayah pribadi karena terjadinya di lingkungan rumah tangga. Selain itu, faktor tertutupnya kekerasan dalam rumah tangga lainnya adalah pemaksaan hubungan seksual terhadap isteri dengan dalih kebaikan. Istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sendiri dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan, baik secara fisik,seksual,psikologi dan atau penelantaran dalam rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemerkosaan, perampasan kemerdekaan dalam lingkup rumah tangga. Bila dipersempit, kekerasan yang tertadi dalam rumah tangga namun korbannya kebanyakan adalah perempuan atau isteri.

Tatanan masyarakat Indonesia umumnya menganut sistem Patriakat. Struktur komunitas yang mendudukkan kaum laki-laki sebagai pemegang kekuasaan ini dipandang melemahkan posisi perempuan. Hal ini merupakan akibat dari pandangan sebagaian masyarakat yang menganggap kedudukan Tatanan masyarakat Indonesia umumnya menganut sistem Patriakat. Struktur komunitas yang mendudukkan kaum laki-laki sebagai pemegang kekuasaan ini dipandang melemahkan posisi perempuan. Hal ini merupakan akibat dari pandangan sebagaian masyarakat yang menganggap kedudukan

Fenomena kekerasaan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari tahun ketahun dan telah banyak diketahui oleh masyarakat. Itu tidak lepas dari peran media masa yang ikut mengekspos kekerasan yang ada dengan beritanya yang selalu up to date dan akurat. Bentuk dari kekerasan cakupannya sangat luas. Seperti kekerasan fisik yaitu kekerasan yang mengakibatkan rasa sakit dan luka berat. Kekerasaan psikis yaitu kekerasan yang mengakibatkan ketakutan, hilang rasa percaya diri,hilang kemampuan bertindak hingga penderitaan psikis yang berat. Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual dan yang terakhir adalah penelantaran dimana biasanya berkaitan dengan ekonomi atau nafkah.

Kekerasan terhadap perempuan sangat mungkin dilakukan oleh kalangan terdekat dalam keluarga, seperti suami, ayah, anak, saudara laki-laki atau keluarga lainnya. Ketidakadilan gender pada perempuan terjadi ketiak laki- laki memahami perempuan Cuma sebagai pelengkap dari laki-laki dalam ruang domistik dengan fungsi melayani suami. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran di masyarakat. Pemahaman ini menjadikan perempuan amat rentan mengalami kekerasan, baik di lingkungan keluarga maupun di luar keluarga. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan dipicu oleh 2 faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, masih adanya pola pikir lingkungan terhadap sosok perempuan telah dibangun secara sosial maupun kultural.

Perempuan dianggap lemah lembut, cantik dan emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional dan jantan. Ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang tidak harus sesuai dengan stereotype yang ada di masyarakat. Perempuan dapat memiliki sifat kuat dan rasional, sedangkan laki-laki dapat memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Secara internal, perempuan seringkali memancing terjadinya kekerasan terhadap dirinya, contohnya kasus perkosaan yang disebabkan perempuan yang memakai pakaian yang memperlihatkan bagian- bagian tubuhnya seperti pusar, dada, paha, punggung dan lainnya.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena diawali dengan adanya perselisihan, perselingkuhan ataupun alasan ekonomi. Seperti yang dialami oleh Ibu Yeni (41 tahun) bukan nama sebenarnya yang sudah 17 tahun berumah tangga, asam garam pernikahan telah ia rasakan. Namun di penghujung tahun 2007 lalu ia tidak bisa lagi hidup berdampingan bersama keluarganya. Tahun 2007 adalah tahun terberat dalam pernikahannya, ibu empat anak ini harus menelan pahit karena berulang kali dianiaya dan dihina oleh suaminya. Sambil menunjukkan bekas luka di bagian mata kirinya akibat dilempar benda keras, ibu Yeni mengatakan tidak tahu menahu penyebab hingga suaminya sering memukulnya.

”Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan suami saya, tiba-tiba saja dia sering memukul dan menghina saya, memecahkan barang-barang dan melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Entah ada apa, kondisi ekonomi kami baik-baik saja” (katanya dengan ekspresi bingung).

Ibu Yeni mengaku telah cukup bersabar dan bertahan menghadapi ulah suaminya tersebut. Setiap malam hanya bisa berdoa semoga suaminya besok tidak memukulnya atau paling tidak ada ”keajaiban” sehingga pukulan itu tidak terlalu Ibu Yeni mengaku telah cukup bersabar dan bertahan menghadapi ulah suaminya tersebut. Setiap malam hanya bisa berdoa semoga suaminya besok tidak memukulnya atau paling tidak ada ”keajaiban” sehingga pukulan itu tidak terlalu

”Kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anak-anak mereka tumbuh sehat, ceria dan mampu meraih cita-cita mereka, dan saya sudah meminta ijin kepada anak-anak dan mereka menyetujuinya, jika saya bercerai. Saya tahu mereka juga terluka, untuk itu saya minta maaf”.

Meski telah menerima tindak kekerasan dari orang terdekat, Ibu Yeni enggan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Berbagai alasan menghambat mereka untuk bertindak tegas, salah satunya adalah tidak ingin memperpanjang masalah. Memperpanjang masalah sama dengan lebih menyakiti anak-anak dan menyebarluaskan aib mereka pada masyarakat.

”Saya tidak ingin masalah ini menjadi besar dengan melaporkannya ke polisi atau dengan visum, kalau suami dipanggil maka masalahnya akan semakin panjang dan saya tidak mau itu. Lebih baik meminta cerai langsung tanpa harus bertemu lagi dengan dia”.

Meski telah mendapatkan dukungan dari warga sekitar tempat ia tinggal untuk melapor, namun Ibu Yeni tetap berpegang pada pendiriannya. Menurutnya akan lebih menyakitkan jika ayah anak-anak di penjara, demi menjaga perasaan putra-putrinya, ia memilih untuk menyimpannya sendiri dan bertahan.

”Jika dia ditangkap lalu bagaimana dengan anak-anak, siapa yang akan membiayai hidup mereka. Maka saya harus bertahan hingga anak- anak cukup besar dan mampu membiayai hidup mereka sendiri. Setelah itu saya bercerai”.

Kasus kekerasan juga dialami oleh Ny. Lasmini (45 th , bukan nama sebenarnya) seorang ibu rumah tangga dimana pernikahan beliau selama 19 tahun

hancur dengan hadirnya orang ketiga. Setelah hadirnya orang ketiga maka Ny. Lasmini sering sekali tindakan kekerasan, baik secara fisik,batin maupun ekonomi. Selama 3 bulan suaminya tidak pulang kerumah dan tidak memberi nafkah. Selama itu pula Ny.Lasmini tidak melaporkan keadaannya kepada pihak yang berwajib meskipun orang-orang terdekatnya memintanya untuk melaporkan hal tersebut. Penolakan tersebut dilakukan dengan alasan suatu saat suaminya pasti akan berubah dan akan kembali kepada keluarga jika suaminya sudah tidak memiliki apa-apa dan jika telah puas. Suaminya pernah kembali dan memutuskan hubungannya dengan wanita selimgkuhannya itu, suaminya juga berjanji untuk berubah dan tidak akan berbuat kasar lagi,namun selang beberapa bulan dari dia kembali kekerasan itu terkadang masih Ny. Lasmini alami,apalagi kalau suaminya tidak bekerja dan tidak punya uang.

“ Pernikahan Saya hanya bertahan 19 tahun saja mbak. Saya sangat berharap dulu suami saya berubah tapi harapan tinggal harapan. Dia tetep mukulin saya,walaupun saya tidak melakukan kesalahan. Awalnya dia tidak setuju saya minta cerai,tapi setelah dipikirkan matang-matang dia akhirnya setuju juga. Mungkin dia sudah kasihan melihat saya……”

Setiap wanita korban KDRT sebagian besar cenderung melakukan tindakan yang bersifat afeksi (kasih sayang) dan cenderung memunculkan sifat menerima atas apa yang dialaminya dari pada menolak tindakan tersebut. Sikap menerima itu misalnya, menerima apa yang menjadi pilihan hidupnya, diam tanpa melawan terhadap perlakuan suami, pasrah dengan menganggap bahwa itu merupakan karakter dan watak suami dan memaafkan apa yang dilakukan oleh suami dan menggap apa yang terjadi dalam rumah tangganya sebagai cobaan dari Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Ny. Lasmini sebagai berikut;

“ Cinta saya terhadap suami sangat besar sakali, saya nrimo mau diapakan saja saya rela, wong namanya tresno,tapi lama-lama saya capek mbak….. knapa cinta saya dibalas dengan penghianatan,knapa dia masih nglirik perempuan lain. Saya ini kurang apa?? Saya nggak ngerti mbak…..”.

Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang semakin terkuak menghantarkan kita semua kepada pemikiran-pemikiran baru. Kasus demi kasus terus bermunculan tak ubahnya seperti fenomena gunung es yang terus meluas meski UU tentang KDRT ini telah disahkan yaitu UU No. 23 th 2004. Namun tampaknya UU ini tidak berdampak signifikan karena terlihat dari tahun ketahun jumlah korban semakin meningkat. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebuah peristiwa domestik. Peristiwa yang hanya dikonsumsi oleh anggota rumah tangga itu saja sehingga seringkali masyarakat sekilas tidak mampu berbuat apa-apa. Seorang saksi dari Ny. Lasmini yang bernama Sumirah (bukan nama sebenarnya) memberikan keterangan sebagai berikut;

“ Awalnya saya mendengar teriakan yu lasmini, minta tolong,karna rumah kami sangat dekat, lalu saya lari menuju rumah yu lasmini,saya melihat dengan mata kepala sendiri kalau yu lasmini ditampar sama pakdhe Sardi (suami Ny. Lasmini)”.

Setiap tindakan yang dilakukan pasti ada konsekuansinya yang harus diterima baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain, sama halnya dengan tindak kekerasaan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Tindakan kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga akan menimbulkan dampak negatif bagi tiap orang mulai dari dampak untuk korban, pelaku, bahkan hingga orang-orang yang berada disekitar kejadian. Penderitaan fisik yang dapat terjadi akibat kekerasaan ini adalah cacat tubuh seperti luka-luka bahkan hingga

kematian. Seperti yang dialami oleh Ny. Sukini (38 tahun, penjual karak keliling), mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. pada awal pernikahan sang suami menunjukkan sikap yang baik, pulang kerja tepat waktu dan orangnya tidak macam-macam dan itu terus berlangsng hingga hampir 15 tahun. Namun ketika suami di PHK awal tahun 2004 lalu, membuat suami kesana-kemari tanpa tujuan. Ditambah lagi saat itu mendapat uang pesangon dari pabrik. Sejak saat iru uang yang dipegang untuk foya-foya dan lupa dengan isteri dan anak. Suami jadi jarang pulang. Hingga sang isteri tahu dari teman-teman suaminya kalau sekarang suaminya memiliki wanita simpanaan. Mulai dari itu kekerasan sering terjadi, dan sang isteri mulai percaya kalau suaminya memiliki wanita lain.

“ Sebelumnya itu tidak terjadi apa-apa mbak…… awal perselilisan itu ketika suami saya dikeluarkan dari pabrik mbak, di PHK itu lho mbak…. Setelah dia nganggur, kerjanya cuma kluyuran ‘gak jelas. kebetulan dari pabrik itu memberikan pesangon,tapi duitnya dipake foya- foya sendiri, lupa kalau punya isteri dan anak. Kata temen saya, suami saya punya selingkuhan mbak….. kluyuran itu pasti sama wanita mbak”.

Sejak kehadiran pihak ketiga suami sering marah-marah nggak jelas, ketika ditanya sebabnya suami tidak segan-segan memukul dan menendang. Saat kejadian itu isteri hanya bisa diam dan menangis karena takut. Namun bila sudah tidak tahan dengan perlakuan suami,terkadang isteri berteriak minta tolong kepada tetangga sekitar. Pernah suatu waktu Ny. Sukini mengancam akan melapor RT namun kekerasan makin menjadi-menjadi. Berikut pernyataan Ny. Sukini;

“ Kalau saya tanya masalah itu, dia malah marah-marah bahkan nggak segan-segan menampar lagi, memukul gitu mbak….., bahkan sering kali kaki itu menginjak. Ya….. sering saya mendapat pukulan, tendangan setiap dia marah. Pernah muka saya bengkak,kaki juga bengkak sampe biru-biru, itu sudah biasa mbak….badan ini sakit semua. Ya…..saya ya diam saja mbak, waktu itu saya hanya diam dan hanya bisa menangis.

Setiap dia marah, dia memukul, menendang saya. Saya takut…..saya udah nggak kuat, saya teriak “sakit….” gitu”.

Sebetulnya tidak ada hal yang terlalu sulit untuk dilakukan selama kita secara sadar menginginkan dan memperjuangkannya. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali menjadi berlarut-larut karena rasa takut sang isteri, takut dihajar suami,takut tidak bisa bertemu dengan anak-anak, takut mengecewakan keluarga, dan mungkin takut menjadi janda.

Kekerasaan yang berujung pada perceraian terjadi pada kehidupan rumah tangga seorang pemilik rental komputer di sekitar kampus UMS bernama Sri Mulyani ( SM, 36 tahun) warga Jajar, laweyan. Kejadian Kekerasan itu terjadi berawal ketika Sm hamil dua bulan, sang suami sudah mulai banyak main dan minum-minuman keras dengan teman-temannya. Dari situlah percekcokan bermula, karena Sm mencoba untuk bicara dengan suaminya. Ketika Sm hamil tujuh bulan kekerasan psikis mulai nyata. Ada seorang perempuan yang datang ke rumah dan ternyata adalah pacar suaminya. Tanpa memperhatikan perasaan Sm, suaminya bersenda gurau dengan wanita tersebut didepan Sm dan memintanya membuatkan minum untuknya. Perasaan Sm shock, namun membiarkan semua itu terjadi karena saat itu kondisi sedang hamil. Berikut pernyatan Sm mengenai permulaan kekerasan itu terjadi:

” Kisruh keluarga itu terjadi saat kulo hamil dua bulan. Dan dua bulan itu mungkin menandakan kalau suamiku itu kurang nyocokin hatiku. Mungkin kadang-kadang itu masih kepingin dolan, main kemana-mana sama teman-temannya. Kadang-kadang masih mau kepingin minum bareng sama temen-temennya gitu terus ya........ jadi percekcokan gitu mbak, saya gak suka dia mabuk lagi mbak. Mulai dari persoalan itulah aku mulai berselisih dengan suamiku. Trus lagi waktu kahamilanku berajak nuju bulanan ada wanita yang mencari suamiku kerumah dan ngaku pacar suamiku”.

Kondisi itu tetap berlangsung hingga Sm melahirkan anaknya. Saat itu kondisi keuangan mulai memburuk dan akhirnya Sm diajak ke rumah mertuanya di Bandung (karena suami asli Bandung). Sikap suami Sm kembali baik seperti dulu hingga suatu hari mendapat pinjaman modal dari orang tuanya dan bekerja sebagai pedagang meubel. Sikap suami mulai berubah lagi, jarang pulang kerumah dan ketika pulang uang hasil dagang sudah habis. Sm jarang diberi uang belanja, untuk kesehariannya Sm diberi oleh mertuanya. Sm merasa sebagai isteri sudah tidak berfungsi lagi dan merasa malu dengan mertua. Hati Sm berontak namun tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali suaminya tidak pulang, Sm selalu bertanya tapi suaminya tetap menutupi kesalahannya dengan marah-marah. Sm mencoba melawan tapi yang didapat bukan jawaban melainkan tamparan. Ketika Sm menbalas menampar dari suaminya yang didapatnya adalah suaminya malah lebih keras menampar dan menempelengnya. Semua berakhir ketika suaminya puas dan pergi begitu saja. Rasa sakit dan sendiri membuat Sm ingin kembali ke Solo namun niatnya diurungkan karena melihat anaknya yang masih balita. Sm memutuskan untuk mempertahankan rumah tangganya meski dalam hatinya berontak dan mulai tidak ada komunikasi dengan suaminya.

” ........mungkin untuk menutupi kesalahannya ya.....itu dia marah- marah sama saya, marah-marah terus lebih marah-marah lagi, dia nggak pulang lagi langsung pergi gitu aja. Nggak pulang ya udah saya diam, trus besoknya saya mengungkit kembali pertanyaan itu ya.....itu akhirnya dia marah-marah terus, dia marah-marah, ngomel-ngomel, saya juga ngomel- ngomel trus saya ditamparnya.......”.

Keputusan Sm untuk tetap bertahan membuat suaminya semakin seenaknya. Suami sering marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor yang Keputusan Sm untuk tetap bertahan membuat suaminya semakin seenaknya. Suami sering marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor yang

” Kalau dulu itu ya.... waktu masih menikah itu ya..... namanya menikah, punya suami, kemana-mana ya harus pamit sama suami. Apalagi suamiku itu pecemburu, kadang kalau keluar sebentar saja apalagi kalau pake’ bedak pake’ lipstik. Dulu aku nggak pernah keluar pake’ bedak apalagi lipstik, waktu itu aku keluar pake’ bedak dan lipstik........ itu apa.... bajuku sudah hangus kena slomotan rokok”.

Selang beberapa hari setelah kepergian Sm ke Solo, akhirnya suaminya menjemputnya agar mau kembali ke Bandung. Suaminya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Karena bujuk rayu suami dan alasan kasihan dengan anak maka Sm kembali ikut pulang dengan suaminya. Namun janji yang diberikan suaminya itu palsu, keadaan semakin parah. Kini suaminya berpacaran dengan saudaranya sendiri yang juga sudah punya suami. Setiap kali ditanya oleh Sm yang dilakukan oleh suaminya hanya marah-marah. Namun kali ini Sn hanya diam karena takut nanti akan mendapat perlakuan kasar. Suami Sn sebenarnya takut akan dituntut karena merusak rumag tangga orang. Namun, dengan bantuan orang tuanya maka kasus itupun dianggap tidak ada. Meski begitu, Sn merasa malu dan sakit hati karena semua tetangga membicarakannya.

Keadaan rumah tangga yang tidak pernah berubah membuat Sm tidak betah lagi dan untuk kedua kalinya memutuskan untuk meninggalkan suami dan

anaknya. Kepergiannya yang kedua ini tidak pernah dijemput lagi oleh suaminya. Semenjek kepergiannya ke Solo, Sm tidak pernah bekomunikasi dengan suaminya. Saat anaknya lulus SD, Sm berani untuk mengambil anaknya dengan alasan sekarang ekonominya sudah lebih mapan. Hingga suatu hari Sm mendengar bahwa suaminya ke Solo namun pada saat itu suaminya tidak mampir ke tempatnya untuk skedar mengunjunginya. Baru setelah itu Sm mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi, padahal saat itu statusnya masih dalam ikatan pernikahan. Tanpa pikir panjang karena sakit hati Sm mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surakarta.

”Karena sudah ya........Aku merasa masih muda, Aku masih mampu untuk kerja. Suamiku itu orangnya nggak bisa Aku pegang, ya udah Aku minta cerai aja. Waktu itu suamiku sudah punya gandengan. Aku minta cerai sama Dia, Dia nggak mau jadinya Aku yang menceraikannya. Tapi sebenarnya, waktu palu hakim diketok tiga kali hatiku sakiiiiit sekali. Pernikahanku akhirnya gagal, Aku merasa kasihan sama anakku. Aku merasa harus bagaimana setelah ini terjadi. Aku berstatus janda dan hatiku merasa sakit, merasa terkhianati...............”.

Selama ini yang terbayangkan oleh Sm, menikah itu adalah membuat keluarga bahagia dan saling tukar pikiran. Namun ternyata rumah tangga yang diimpikan tidak tercipta, yang ada keluarga yang dibinanya justru membelenggunya.

”Pada dasarnya, waktu itu Aku menganggap pernikahan itu membuat keluarga, keluarga yang bahagia bisa untuk bertukar pikiran. Walau itu harapan bisa rumah tangga paling enggak sosok orang tuaku lah meskipun enggak punya, tapi dalam kehidupan rumah tangganya itu bagus gitu lho.............. mencontoh orang tuaku. Tapi ternyata lha kok Aku yang lakukan sendiri, yang Aku terima sendiri itu pernikahanku itu kok malah ya membelenggu Aku gitu........”.

Selama ini dalam kehidupan rumah tangganya Sm dianjurkan oleh orang tuanya bahwa perempuan itu harus menerima apa adanya yang diberikan Selama ini dalam kehidupan rumah tangganya Sm dianjurkan oleh orang tuanya bahwa perempuan itu harus menerima apa adanya yang diberikan

Rasa sakit hati ketika perceraian terjadi dan membuat Sm sedikit bersedih namun sekarang ini Sm memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia dengan anaknya. Akibat dari pernikahannya yang terdahulu, Sm masih merasa takut bia menikah lagi, takut peristiwa itu terulang kembali. Sm lebih tegar dan yang terpenting baginya adalah anaknya mendapatkan apa yang terbaik dan berharap anaknya tidak akan mengalami nasip seperti dirinya.

Dari hasil wawancara, maka dapat disimpulkan bahwa korban kekerasan pada awalnya sudah tahu bila ada kekerasan dalam rumah tangganya dan korbanpun melakukan perlawanan namun karena hasilnya tidak merubah keadaan, maka korban memilih diam demi anaknya dan tetap melayani suaminya. Saat korban merasa tidak kuat lagi, korban memilih kembali ke orang tuanya namun korban luluh dengan bujukan dan rayuan suami untuk kembali kepadanya dan kekerasan itu kembali terulang. Korban tidak mencoba untuk melawan karena takut mendaptkan kekerasan yang lebih. Dalam kondisi itu korban memilih pergi meninggalkan suaminya untuk kembali kepada orang tuanya. Korban merasa Dari hasil wawancara, maka dapat disimpulkan bahwa korban kekerasan pada awalnya sudah tahu bila ada kekerasan dalam rumah tangganya dan korbanpun melakukan perlawanan namun karena hasilnya tidak merubah keadaan, maka korban memilih diam demi anaknya dan tetap melayani suaminya. Saat korban merasa tidak kuat lagi, korban memilih kembali ke orang tuanya namun korban luluh dengan bujukan dan rayuan suami untuk kembali kepadanya dan kekerasan itu kembali terulang. Korban tidak mencoba untuk melawan karena takut mendaptkan kekerasan yang lebih. Dalam kondisi itu korban memilih pergi meninggalkan suaminya untuk kembali kepada orang tuanya. Korban merasa

Dari hasil penelitian dan wawancara, dapat diperoleh data, sikap atau perlakukan isteri setelah memperoleh perlakuan kasar suami ada yang memilih untuk tetap bersama suaminya meski mereka mengalami kekerasan dan menganggap bukan suatu masalah yang serius. Pernyataan ini sesuai dengan yang dialami Ny. Hastuti, 48 th, seorang buruh tani, sebagai berikut;

“ Suami saya kerap memaki-maki saya kalau sedang marah,tapi saya menganggap hal itu biasa, karma suami saya memang sifatnya seperti itu, tempramennya tinggi, jadi ya…..sudah biasa”.

Hal seperti diatas terjadi karena isteri belum mengetahui dan mengerti hak dari isteri dan kewajiban dari suami. Ini terbukti ada yang sudah mengerti hakny sebagai isteri untuk mengakhiri pernikahan yang dijalani karena sudah tidak tahan dengan perlakuan suami yang kasar.

Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat terjdi kapan saja,dimana saja dan tanpa mengenal waktu dan tempatnya. berawal dari sebuah perkawinan yang diharapkan mampu menyatukan dua jiwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun tidak semua harapan itu mampu nyata. Bagi mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, rumah tangga yang mereka jalani justru menjadi belenggu, dimana mereka harus rela mendapatkan pemukulan hanya untuk mempertahankan rumah tangganya. Pilihan sendiri dalam menentukan pasangan hidup bukan berarti kita akan lepas dari kekerasan dalam rumah tangga, bahkan lama perkawinan juga tidak menjamin bahwa suatu hubungan itu akan terjaga keharmonisannya. Terkadang diawal pernikahan pun Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat terjdi kapan saja,dimana saja dan tanpa mengenal waktu dan tempatnya. berawal dari sebuah perkawinan yang diharapkan mampu menyatukan dua jiwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun tidak semua harapan itu mampu nyata. Bagi mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, rumah tangga yang mereka jalani justru menjadi belenggu, dimana mereka harus rela mendapatkan pemukulan hanya untuk mempertahankan rumah tangganya. Pilihan sendiri dalam menentukan pasangan hidup bukan berarti kita akan lepas dari kekerasan dalam rumah tangga, bahkan lama perkawinan juga tidak menjamin bahwa suatu hubungan itu akan terjaga keharmonisannya. Terkadang diawal pernikahan pun

Kekerasan yang terjadi pertama atau sudah beberapa kali terjadi pada isteri, dan memandang bahwa itu adalah sebuah kecelakaan, dan terjadi pengingkaran pada diri korban dimana mereka tidak mengakui adanya kekerasan , bila belum ada luka fisik yang diterima. Kebanyakan korban tidak menyadari adanya kekerasan atau bahkan melakukan penyangkalan, baru setelah mereka merasa tidak mampu menahan semua penderitaan sendiri mereka meminta bantuan meski mereka tetap melayani suaminya. Isteri yang mengalami kekerasan itu mengalami lima tahap yaitu; penyangkalan, menyalahkan diri sendiri, mencari pertolongan, sikap mendua, dan hidup tanpa kekerasan.

Berdasarkan hasil penelitian, ternyata jenis kekerasan yang terjadi pada individu itu tidak tunggal melainkan kompleks dan itu bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. seperti yang terjadi pada subyek yang kesemuanya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang kompleks dan hampir semuanya sama, yaitu fisik, psikis dan ekonomi. Namun sayangnya masih banyak orang yang mengetahui batasan dari kekerasan itu sendiri yang mereka tahu bahwa ketika mereka mengalami luka fisik barulah meraka mengatakan mereka mengalami kekerasan, padahal sebenarnya jauh mereka mengalami kekerasan fisik pastilah kekerasan yang lain telah mengawalinya. Padahal sebenarnya kekerasan fisik merupakan kekerasan yang terparah. Tidak berbeda dengan jenis kekerasan, faktor penyebab kekerasan terhadap istri pun bukan sebuah persoalan yang disebabkan karena faktor tunggal, melainkan pengaruh yang saling menguatkan satu sama Berdasarkan hasil penelitian, ternyata jenis kekerasan yang terjadi pada individu itu tidak tunggal melainkan kompleks dan itu bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. seperti yang terjadi pada subyek yang kesemuanya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang kompleks dan hampir semuanya sama, yaitu fisik, psikis dan ekonomi. Namun sayangnya masih banyak orang yang mengetahui batasan dari kekerasan itu sendiri yang mereka tahu bahwa ketika mereka mengalami luka fisik barulah meraka mengatakan mereka mengalami kekerasan, padahal sebenarnya jauh mereka mengalami kekerasan fisik pastilah kekerasan yang lain telah mengawalinya. Padahal sebenarnya kekerasan fisik merupakan kekerasan yang terparah. Tidak berbeda dengan jenis kekerasan, faktor penyebab kekerasan terhadap istri pun bukan sebuah persoalan yang disebabkan karena faktor tunggal, melainkan pengaruh yang saling menguatkan satu sama

Keputusan yang diambil oleh setiap korban kekerasan terhadap istri akan menimbulkan satu reaksi baru. Diam ketika kekerasan terjadi sebenarnya akan memberikan kesempatan untuk pelaku kekerasan melakukan kekerasan berikutnya bahkan ketahap yang lebih besar dampaknya. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa subjek memutuskan untuk tidak melawan, membiarkan suaminya melakukan kekerasan maka yang terjadi adalah dilain hari meraka mengalami kekerasan yang jauh lebih menyakitkan dari pada sebelumnya.

Namun ketika mereka memutuskan untuk melawan maka yang terjadi adalah intensitas kekerasan berkurang bahkan bisa tidak ada sama sekali meskipun itu semua membutuhkan waktu yang cukup lama. Semua itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan, di mana kekerasan terhadap istri itu melewati

3 tahap di mana ada ketegangan antara suami istri yang yang disebabkan karena adanya perselisihan, kemudian tahap di mana adanya pemukulan akut bisa berbentuk kekerasan fisik, dan tahap ketiga adalah dimana suami menyadari perbuatannya dan mulai menyesali. Namun tahap ini bukan sebuah skema yang akan selesai bila telah mencapai tahap terakhir, namun ini merupakan sebuah siklus yang akan terus berputar dan itu akan berhenti jika keputusan yang diambil 3 tahap di mana ada ketegangan antara suami istri yang yang disebabkan karena adanya perselisihan, kemudian tahap di mana adanya pemukulan akut bisa berbentuk kekerasan fisik, dan tahap ketiga adalah dimana suami menyadari perbuatannya dan mulai menyesali. Namun tahap ini bukan sebuah skema yang akan selesai bila telah mencapai tahap terakhir, namun ini merupakan sebuah siklus yang akan terus berputar dan itu akan berhenti jika keputusan yang diambil

Kebiasaan (pandangan gender partriaki) inilah yang masih ada di masyarakat kita, dan keberadaannya masih begitu kental apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh korban kekerasan terhadap istri. Bagi orang Jawa kondisi yang sejahtera atau dalam kata lain tenteram bahagia ini sangat penting, mereka rela melakukan apa saja hanya demi mempertahankan kondisi yang sejahtera meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Pandangan ini sama dengan seperti apa yang ada dalam pandangan korban kekerasan terhadap istri dimana mereka rela untuk bertahan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya meskipun mereka tinggal dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan atau dengan kata lain keseharian meraka diwarnai dengan kekerasan psikis, fisik, maupun ekonomi. Namun tidak semua korban kekerasan terhadap istri memiliki pandangan yang sama, ada golongan minoritas yang mereka memang mempertahankan kesejahteraan namun bukan berarti rela untuk melakukan apapun. Mempertahankan kesejahteraan bukan berarti membiarkan diri mereka untuk disakiti. Mereka mampu memberikan batasan sampai sejauh mana mereka “nrimo”. Dan hasilnya ternyata mereka mampu menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin lebih baik dari pada sebelumnya. Keputusan untuk bertahan bukan hanya disebabkan karena budaya patriarki saja namun ada kalanya mereka memilih bertahan karena anak atau bahkan karena mereka ingin terlihat sebagai Kebiasaan (pandangan gender partriaki) inilah yang masih ada di masyarakat kita, dan keberadaannya masih begitu kental apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh korban kekerasan terhadap istri. Bagi orang Jawa kondisi yang sejahtera atau dalam kata lain tenteram bahagia ini sangat penting, mereka rela melakukan apa saja hanya demi mempertahankan kondisi yang sejahtera meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Pandangan ini sama dengan seperti apa yang ada dalam pandangan korban kekerasan terhadap istri dimana mereka rela untuk bertahan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya meskipun mereka tinggal dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan atau dengan kata lain keseharian meraka diwarnai dengan kekerasan psikis, fisik, maupun ekonomi. Namun tidak semua korban kekerasan terhadap istri memiliki pandangan yang sama, ada golongan minoritas yang mereka memang mempertahankan kesejahteraan namun bukan berarti rela untuk melakukan apapun. Mempertahankan kesejahteraan bukan berarti membiarkan diri mereka untuk disakiti. Mereka mampu memberikan batasan sampai sejauh mana mereka “nrimo”. Dan hasilnya ternyata mereka mampu menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin lebih baik dari pada sebelumnya. Keputusan untuk bertahan bukan hanya disebabkan karena budaya patriarki saja namun ada kalanya mereka memilih bertahan karena anak atau bahkan karena mereka ingin terlihat sebagai

Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dicegah begitu saja, karena terkait dengan pemahaman setiap orang terhadap penghargaan bagi sesama, seharusnya kaum pria harus dapat menghargai wanita terlebih lagi setelah berumah tangga, tetapi buktinya penghargaan itu masih belum sepenuhnya ada. Wanita telah diidentikkan sebagai kaum lemah. Jika penghargaan itu ada dan terpelihara, maka kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari.

5. Suami tidak Bertanggung jawab

Banyak isteri yang mengajukan cerai karena terpaksa, suami mereka meninggalkan keluarga selama bertahun-tahun walaupun sang isteri berusaha mencari informasi mengenai keberadaan suaminya, tetapi tidak juga diketahui keberadaannya. Kemapanan ekonomi membuat mereka berani untuk mengajukan cerai di Pengadilan walaupun tidak disertai suami. Penggugat hanya mengajukan saksi sebagai orang yang dapat memberikan kesaksian bahwa apa yang dialaminya benar. Seperti yang dialami Warsini (31 tahun) warga Laweyan yang memiliki usaha batik, sebagai berikut:

“ Saya tidak pernah memikirkan sampai sejauh itu untuk bercerai, tapi saya tidak tahu dimana suami saya berada, terakhir dia kasih kabar kalau dia menjadi TKI di Malaysia,itupun sudah 4 tahun yang lalu. Memang sebelumnya kami seringkali selisih paham karena suami saya pengangguran apalagi melihat kondisi ekonomi saat itu masih pas-pasan dan kami memiliki dua anak yang masih kecil. Perceraian ini merupakan jalan yang terbaik daripada saya terus berharap sama suami yang nggak tanggung jawab seperti dia”.

6. Tidak Mempunyai Keturunan

Suatu perkawinan yang harmonis haruslah disertai dengan keturunan yang diharapkan. Itu bila dilihat dari salah satu pihak. Sebenarnya, meski tanpa keturunan,ada perkawinan yang bisa bahagia. Sebaliknya meski sudah dikaruniai keturunan, tidak otomatis perkawinan akan bahagia.

Seperti yang dialami oleh Dina bukan nama sebenarnya (usia 32 tahun) sebagai berikut: ”Kami menikah sudah 6 tahun tapi sampai sekarang kami belum

juga dikaruniai keturunan,mungkin Tuhan belum memberikan kepercayaan kepada kami untuk mengasuh anak. Kami berdua sepakat untuk mengakhiri perkawinan karena dari pihak suami selalu mendesak dan saya pun sudah tidak tahan lagi”.

Bagi Dina yang mempunyai masa lalu buruk, keturunan sangat diharapkan, lantaran ia ingin memperlihatkan pada orang lain bahwa dirinya masih seorang wanita sejati, tapi karena keluarga suaminya selalu merendahkannya maka dia tak tahan untuk menggugat cerai suaminya. Perceraian merupakan keputusan yang baik bagi keluarga daripada rumah tangga tidak rukun apalagi kalau pasangan mereka sudah dibumbuhi dengan perselisihan soal kehadiran anak .