ANALISA TEORI

D. ANALISA TEORI

Tindakan yang dilakukan oleh para isteri korban kekerasaan dalam rumah tangga yang menyimpan masalah kekerasaan yang dialami dan tidak melaporkan kekerasan kepada pihak yang berwajib sesuai dengan tindakan sosial dari Teori Aksinya Talcott Parsons yang mengemukakan bahwa tindakan aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan, yaitu dengan melayani suaminya walaupun mendapatkan kekerasan ataupun siksaan dalam berumah tangga..

Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat terjadi kapan saja,dimana saja dan tanpa mengenal waktu dan tempatnya. berawal dari sebuah perkawinan yang diharapkan mampu menyatukan dua jiwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun tidak semua harapan itu mampu nyata. Bagi mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, rumah tangga yang mereka jalani justru menjadi belenggu, dimana mereka harus rela mendapatkan pemukulan hanya untuk mempertahankan rumah tangganya. Pilihan sendiri dalam menentukan pasangan hidup bukan berarti kita akan lepas dari kekerasan dalam rumah tangga, bahkan lama perkawinan juga tidak menjamin bahwa suatu hubungan itu akan terjaga keharmonisannya. Terkadang diawal pernikahan pun ada sebagian orang yang mengalami kekerasan yang terkadang tanpa mereka sadari bahwa itu adalah suatu kekerasan.

Kekerasan yang terjadi pertama atau sudah beberapa kali terjadi pada isteri, dan memandang bahwa itu adalah sebuah kecelakaan, dan terjadi pengingkaran pada diri korban dimana mereka tidak mengakui adanya kekerasan , bila belum ada luka fisik yang diterima. Kebanyakan korban tidak menyadari adanya kekerasan atau bahkan melakukan penyangkalan, baru setelah mereka merasa tidak mampu menahan semua penderitaan sendiri mereka meminta bantuan meski mereka tetap melayani suaminya. Hal ini disebabkan karena isteri dipagari oleh suatu aturan atau norma yang mengharuskan seorang isteri menurui dan melayani suami dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan dasar tindakan sosial yang dikemukakan oleh Parsons.

Berdasarkan hasil penelitian, ternyata jenis kekerasan yang terjadi pada individu itu tidak tunggal melainkan kompleks dan itu bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. seperti yang terjadi pada subyek yang kesemuanya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang kompleks dan hampir semuanya sama, yaitu fisik, psikis dan ekonomi. Namun sayangnya masih banyak orang yang mengetahui batasan dari kekerasan itu sendiri yang mereka tahu bahwa ketika mereka mengalami luka fisik barulah meraka mengatakan mereka mengalami kekerasan, padahal sebenarnya jauh mereka mengalami kekerasan fisik pastilah kekerasan yang lain telah mengawalinya. Padahal sebenarnya kekerasan fisik merupakan kekerasan yang terparah. Tidak berbeda dengan jenis kekerasan, faktor penyebab kekerasan terhadap istri pun bukan sebuah persoalan yang disebabkan karena faktor tunggal, melainkan pengaruh yang saling menguatkan satu sama lain. Ungkapan ini merupakan hasil penelitian dimana kekerasan yang terjadi pada semua subjek disebabkan karena faktor yang kesemuanya saling berkaitan dan seperti mata rantai yang saling berhubungan. Namun pada dasarnya semua lebih berpangkal pada budaya patriarki yang masih membedakan peran sosial serta karakteristik antara laki-laki dan perempuan di mana memandang bahwa pria adalah superior dan perempuan selalu di bawah.

Keputusan yang diambil oleh setiap korban kekerasan terhadap istri akan menimbulkan satu reaksi baru. Diam ketika kekerasan terjadi sebenarnya akan memberikan kesempatan untuk pelaku kekerasan melakukan kekerasan berikutnya bahkan ketahap yang lebih besar dampaknya. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa subjek memutuskan untuk tidak melawan, Keputusan yang diambil oleh setiap korban kekerasan terhadap istri akan menimbulkan satu reaksi baru. Diam ketika kekerasan terjadi sebenarnya akan memberikan kesempatan untuk pelaku kekerasan melakukan kekerasan berikutnya bahkan ketahap yang lebih besar dampaknya. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa subjek memutuskan untuk tidak melawan,

Kebiasaan (pandangan gender partriaki) inilah yang masih ada di masyarakat kita, dan keberadaannya masih begitu kental apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh korban kekerasan terhadap istri. Bagi orang Jawa kondisi yang sejahtera atau dalam kata lain tenteram bahagia ini sangat penting, mereka rela melakukan apa saja hanya demi mempertahankan kondisi yang sejahtera meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Pandangan ini sama dengan seperti apa yang ada dalam pandangan korban kekerasan terhadap istri dimana mereka rela untuk bertahan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya meskipun mereka tinggal dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan atau dengan kata lain keseharian meraka diwarnai dengan kekerasan psikis, fisik, maupun ekonomi. Namun tidak semua korban kekerasan terhadap istri memiliki pandangan yang sama, ada golongan minoritas yang mereka memang mempertahankan kesejahteraan namun bukan berarti rela untuk melakukan apapun. Mempertahankan kesejahteraan bukan berarti membiarkan diri mereka untuk disakiti. Mereka mampu memberikan batasan sampai sejauh mana mereka “nrimo”. Dan hasilnya ternyata mereka mampu menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin lebih baik dari pada sebelumnya. Keputusan untuk bertahan bukan hanya disebabkan karena budaya patriarki saja namun ada kalanya mereka memilih bertahan karena anak atau bahkan karena mereka ingin terlihat sebagai Kebiasaan (pandangan gender partriaki) inilah yang masih ada di masyarakat kita, dan keberadaannya masih begitu kental apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh korban kekerasan terhadap istri. Bagi orang Jawa kondisi yang sejahtera atau dalam kata lain tenteram bahagia ini sangat penting, mereka rela melakukan apa saja hanya demi mempertahankan kondisi yang sejahtera meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Pandangan ini sama dengan seperti apa yang ada dalam pandangan korban kekerasan terhadap istri dimana mereka rela untuk bertahan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya meskipun mereka tinggal dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan atau dengan kata lain keseharian meraka diwarnai dengan kekerasan psikis, fisik, maupun ekonomi. Namun tidak semua korban kekerasan terhadap istri memiliki pandangan yang sama, ada golongan minoritas yang mereka memang mempertahankan kesejahteraan namun bukan berarti rela untuk melakukan apapun. Mempertahankan kesejahteraan bukan berarti membiarkan diri mereka untuk disakiti. Mereka mampu memberikan batasan sampai sejauh mana mereka “nrimo”. Dan hasilnya ternyata mereka mampu menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin lebih baik dari pada sebelumnya. Keputusan untuk bertahan bukan hanya disebabkan karena budaya patriarki saja namun ada kalanya mereka memilih bertahan karena anak atau bahkan karena mereka ingin terlihat sebagai

Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dicegah begitu saja, karena terkait dengan pemahaman setiap orang terhadap penghargaan bagi sesama, seharusnya kaum pria harus dapat menghargai wanita terlebih lagi setelah berumah tangga, tetapi buktinya penghargaan itu masih belum sepenuhnya ada. Wanita telah diidentikkan sebagai kaum lemah. Jika penghargaan itu ada dan terpelihara, maka kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari.

Dampak kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, setres, minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, ganggungan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian. Dampak psikologis lainya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami

perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emocional maupun seksual. Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki- laki atau suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak- anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlukan kejam.